Ia mencoba menggunakan otak kirinya. Mencari sebait pijakan bagi balasan yang diterimanya dan tetap tak yakin atas kesimpulan yang ia perolehnya. Andaikan ia seorang pujangga, mungkin ada dua narasi yang akan tercipta. Bahwa ini semua hanya sebuah permainan yang menghadirkan ia sebagai salah satu tokohnya dan tiap saat ada kemungkinan ia akan melihat kamera. Narasi lainnya adalah Kemala percaya pada penilaian lewat sebait informasi. Tentang bibit bebet bobot yang bermetamorfosa menjadi pertanyaan ya dan tidak. Apakah ia memiliki pekerjaan, menjalankan keyakinan, dan seribu satu pertanyaan lain yang akan mengidentifikasi kebaikan seseorang. Sedalam ia membenci kemungkinan pertama, ia tak bisa menerima identitas dirinya dikuantifikasi dengan demikian rupa. Tapi balasan Kemala menepis peluang kedua.
Arya jadi kian tak mengerti apa itu cinta ...
2 comments:
Mungkin,..seperti itu jangan ragu, hujam lebih dalam.Cabut rasa asih dengan cakar-cakarmu, biarkan aku melihat senyumu saat meludah diwajahku.
Kebencian sebenarya kerindu, kematian sebenarya kehidupan.
Benar kalau itu ilusi,benar pula kalau itu nyata, sampai aku tak melihat mana yang nyata.
Tak kau lihatkah pencabut nyawa tersenyum dingin.
"Hai pencabut nyawa ingin tahukah kau akan dosaku, benar aku mengubah keyakinan menjadi nalar pun sebaliknya,karena kehidupan berubah. Benar aku tidak tahu akan diriku,karena aku bukan bangkai,tapi aku hidup. Benar aku buruk,karena buruk adalah proses kebaikan. Benar aku tidak tahu akan Tuhan, tapi Tuhan tahu aku"
ketika kau campurkan nyata dan tiada, kau luruhkan dirimu dalam puja. kau bergantung pada Tuhan yang mengetahui dirimu lebih dari urat nadimu sendiri. tapi ketika kau kehilangan dirimu, bukankah kau juga kehilangan segalanya?
Post a Comment