Wednesday, March 30, 2005

Jilbab, IC, dan Saya

What you wear, is not about other people.
It's about who you are.


“Saya tidak pernah memproklamirkan diri mengenakan jilbab. Saya hanya mengenakan penutup kepala, sedangkan jilbab didefinisikan sebagai kain yang menutupi bagian tubuh lain, tidak sebatas kepala,” ujar seorang artis yang kini mengenakan wig sebagai pengganti penutup kepala yang telah dipakainya selama tujuh tahun. Mungkin sebagian orang akan mengaitkan keputusan mengganti penutup kepala tersebut, dengan status yang kini disandangnya. Mungkin… yah, apapun yang ada dalam pikiran saya maupun Anda, tampaknya tidak akan menggoyahkan keputusan artis yang tengah naik daun karena reality show itu. Ada pula kisah yang tidak jauh berbeda, kali ini dengan versi penutup kepala sampai leher. Alasannya, ia mengalami sebuah titik jenuh. Ia menganggap ia memerlukan perubahan total, termasuk penunjukkan jatidirinya sebagai seorang muslimah.

Jujur saja, saya agak shock. Meski saya seringkali juga memperoleh cerita yang mengandung nilai yang sama. Seseorang memutuskan menanggalkan atribut kemuslimahannya setelah melewati fase tertentu. Dalam cerita yang saya dengar dari teman, ia melepaskan jilbab setelah lulus SMA. Alasan mengenakan jilbabnya pun ketika SMA lebih banyak didasari oleh perasaan segan daripada kesadaran. Ia, sebut saja namanya Rani, memiliki kelompok mentoring. Ketika teman-teman sementoringnya memutuskan untuk mengenakan jilbab ia merasa turut berkewajiban untuk mengikuti teman-teman sekelompoknya tersebut. Namun selepas SMA, saat dimana ia berpisah dengan kawan-kawannya tersebut ia pun berpisah dengan penutup kepalanya tersebut.

Saya jadi ingat pertama kali mengenakan jilbab. Kisah yang sangat tidak klasik dan mengharukan, tapi sebagai orang yang sering memproklamirkan diri sebagai manusia rasional, tampaknya jalan cerita ini cukup masuk akal untuk menjadi bagian dari kesejarahan seorang Yuti. Saat itu, saya baru lulus SMP, dengan berbagai semangat pemberontakkan dan ingin mandiri, saya mau melamar ke sekolah yang letaknya jauh dari rumah di Serpong. Saya memutuskan untuk masuk sekolah favorit di Bandung. Setelah berbagai proses saya diterima di sekolah negeri Bandung tersebut. Namun disaat yang sama sebuah sekolah berasrama dekat rumah membuka pendaftaran.

Dengan bekal nekat dan ingin tahu, saya ikuti tes yang diadakan untuk menyaring murid baru. Sekolah tersebut ternyata mengharuskan murid-muridnya mengenakan jilbab. Saat pertama, karena awalnya memang hanya ingin tahu, maka saya berpikir tak ada salahnya mencoba. Dengan jilbab yang biasanya hanya saya gunakan ketika mengaji atau pergi ke masjid, saya mengikuti tes yang bertempat di sekolah berasrama tersebut. Kepada ibu, saya sudah bilang bahwa kalau saya masuk ke sekolah tersebut belum tentu saya akan mengenakan jilbab untuk seterusnya. Bahkan langsung sesudah tes selesai dan gerbang sekolah terlewati, jilbab yang tadinya bertengger di kepala langsung saya lepaskan. Alasannya,“Gerah."

Ternyata… saya diterima oleh sekolah berasrama bernama Insan Cendekia tersebut. Dengan perasaan tidak percaya(bayangkan saja, saya yang kemampuan bahasa Arabnya nol besar, bisa diterima padahal pada seleksi masuknya ada tes bahasa Arab segala), orangtua saya berpendapat sebaiknya saya memilih bersekolah disana saja. Perbandingan suara saat itu 3:1, orangtua dan kakak condong saya sekolah di IC, sedangkan saya lebih memilih sekolah di Bandung(padahal saya yakin, orangtua cuma tidak mau berpisah jauh dari saya:D, bener kan mom?). Akhirnya saya memilih untuk bersekolah di IC.

Kelas satu merupakan masa-masa paling hancur. Nyaris setiap bulan saya minta pindah sekolah. Alasannya bermacam-macam, mulai dari pelajaran agama masjid yang kerjaannya membaca kitab putih(baca: kitab kuning yang telah difotokopi) sampai aturan asrama yang sangat ketat. Parahnya lagi, kitab putih itu udah berbahasa arab, botak pula. Gila… blank berat kan(bahasa prokemnya mulai keluar gara2 gemes). Mana ada hapalan Qur’an juga… wah makin berat aja perjuangan. Tapi hal yang cukup meninggalkan kesan yang mendalam adalah pendekatan ustadz-ustadz saya. Ada salah seorang ustadz yang hobinya bertanya, “Kaifa haluk yut?” Gara-gara sebel ujiannya selalu dikasih pakai bahasa Arab, padahal untuk memahami tauhid pakai bahasa Indonesia aja udah rada belepotan, saya selalu menjawab pertanyaan itu dengan, “Haluk-haluk pak.” Biasanya saya langsung dicemberutin, sambil dibilangin jawaban yang benar adalah, “Ana bi khoir.” Hehe… bukannya ngga tau… tapi untuk mengimbangi hobi beliau memberi soal menggunakan bahasa Arab, 1-1lah.

Suatu kali saya pernah ditanya pendapat tentang jilbab. “Kalau yuti, akan pakai jilbab untuk seterusnya tidak?” Saat itu saya menjawab, “Wah ngga tau pak, yang jelas kalau saya belum sampai pada kesadaran mengenakan jilbab, saya ngga bakal pakai.” Saat itu bapaknya hanya mengangguk-angguk. Seiring dengan berjalannya waktu, kesadaran itu terbentuk.

Terimakasih kepada guru-guru tersayang di IC yang tidak pernah berkata harus, namun tak pernah lelah untuk menunjukkan cahaya. Untuk ayah dan ibu, yang senantiasa mempercayai jalan dan pilihan hidupku. Kalianlah cahaya-Nya di bumi.

Tuesday, March 22, 2005

Tentang Tuhan

Aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Ungkap Amir Hamzah dalam puisinya yang indah. Ah, tampaknya rindu itu membuahkan
gelisah. Rasa asing yang sebenarnya tak kuharapkan tapi menimbulkan amarah. Melihat
sekeliling dengan tatapan menyerah. BBM hingga TKI yang tak kunjung meredakan gundah.
Lalu dimanakah aku dapat menemukan Maha Pemurah. Tapi tunggu, disudut kota aku masih
bisa melihat pengais sampah tersenyum ramah. Bahkan senyumnya mengalahkan laki-laki
berdasi yang keluar dari gedung megah, lengkap dengan mobil wah. Meski aku tak dapat
menerjemahkan semua dalam penjelasan ilmiah, Kau telah mampu menjinakkan resah.
Kalaupun ada sedikit marah,itu karena aku salah langkah. Kadang aku memang pongah,
berteriak pada seisi dunia bahwa aku bukan makhluk rendah. Tapi tetap kucari Kau
untuk dijadikan tumbal salah. Ha..ha… aku hanya berusaha melarikan diri dari
kesalahanku yang tumpah ruah. Sambil mencoba mencari pembenaran akan segala musibah.
Tuhan, pada siapa sebenarnya aku bersilat lidah? Aku tahu aku takkan mampu
menandingi perhatianmu pada rubah, ataupun lalat buah. Mungkin aku hanya terbakar api
membara, karena lama tak sujud merebah.
Tenggelam dalam amarah karena lemah, namun
tak jua mampu untuk berubah.
Hasilnya sebuah kemarahan yang kehilangan arah.
Kucari jawab pada rembulan, bintang
bahkan bunga merah merekah. Kudapat ketundukkan
sebagai hikmah. Benarkah gelisah
yang membuatku cepat naik darah? Atau karena aku
memang belum berakhlakul karimah?
Tuhan, aku akan berhenti berkeluhkesah. Kutunggu
Kau nanti malam untuk menggenapkan
pikiranku yang terbelah.

Bagian yang yang tak utuh. Potongan pertama, yang merupakan pembuka tulisan diatas, aku simpan rapat-rapat dalam memori flash diskku dan juga sepotong identitas di yahoo. Entah sejak kapan, emailku jadi tempat memadu resah, atau bahkan wadah bagi gelisah untuk tumpah ruah. Tapi aku tak mau terpaku, aku tak mau masuk kategori mabuk teknologi. Setidaknya aku hanya memanfaatkan bit-bit itu untuk memenuhi kebutuhanku akan informasi. Namun seperti sebuah tulisan yang baru saja kubaca dari seorang teman, pikiran bisa jadi mengkudeta seluruh jiwa. Pikiran bisa menguasaimu sedemikian rupa, hingga seperti kata Descartes, keberadaanmu hanya diukur oleh sel-sel kelabu dalam otak kirimu. Cogito ergo sum(kau berpikir, maka kau ada). Sesederhana itu, tak lebih maupun kurang.

Ah, aku bisa saja mengaitkan segalanya dengan pikiran. Bahkan aku bisa meletakkan segala sesuatu dengan sudut psyche materialism(serem pake kata psikologi, ilmuku masih dangkal banget). Religiusitas hingga konstruksi sosial, bahkan dari beberapa halaman pertama Misteri Soliter yang sedang kubaca ulang, sang bapak, berpendapat bahwa manusia adalah objek-objek artifisial, “Boneka-boneka yang diberi kehidupan”(h.26-27). Tapi bagiku secara pribadi, ada sebuah pertanyaan mendasar mengenai penyakit abad-21. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan masalah kejiwaan, mulai dari skizofrenia hingga gangguan mental. Berbeda dengan penyakit abad-18, yang terkait masalah kebersihan lingkungan, serta pola makan.

Bisa saja seseorang menafikan segala sesuatu. Ekstrimnya hingga menolak keberadaan prima causa. Namun bagaimana orang tersebut mengatasi kehampaan makna, serta kerinduan akan sebuah nilai-nilai, aku tak pernah menemukan jawabannya. Ada sebuah hal yang menarik ketika beberapa bulan yang lalu aku pergi ke Badui. Para peserta track tersebut rata-rata orang kantoran dengan penghasilan mapan. Kepergian mereka ke Badui, rata-rata dilandasi motif mencari suasana lain dari keseharian mereka yang terkungkung oleh gedung-gedung bertingkat dan bau parfum. Di Amerika, kecendrungan untuk kembali ke nilai-nilai spiritual juga marak terdengar, mulai Tom Cruise hingga Madona dengan sekte Karbalahnya.

Ketika seorang teman menanyakan apa alasan aku mempercayai keberadaaan Tuhan(with a big T, ngga kaya penganut paham pantheisme), aku hanya bisa menjawab, aku percaya atas dasar subjektivitasku. Bisa saja aku mengemukakan kata-kata Wittgenstein yang bilang kebenaran objektif merupakan kumpulan dari kebenaran subjektif. Artinya, tidak ada sebuah kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya penafsiran akan kebenaran(pasca Rasulullah dan thabi’in). Kemudian untuk memperkuat pendapatku ini, aku comot pendapatnya Ibn Arabi yang bilang bahwa Rasulullah merupakan sebuah gambaran ideal akan seorang pemimpin sebagaimana yang disyaratkan Plato/Aristoteles bahwa pemimpin yang baik adalah seorang filosof., karena Rasulullah memiliki kesejatian langsung dari Sang Sumber. Bisa saja… tapi apakah hal tersebut berguna untuk meyakinkan seseorang yang memilih untuk tidak percaya? Aku tidak begitu yakin.

Kenapa aku bilang seseorang lebih berkecendrungan untuk memilih tidak percaya. Akarnya berasal dari buku tauhid yang pernah aku baca. Dari buku tersebut aku peroleh bahwa keengganan manusia untuk tunduk berasal dari kesombongan yang ada dalam diri manusia. Hal ini jelas terlihat ketika nyawa Fir’aun sudah sampai tenggorokan(ngga ingat persis redaksionalnya seperti apa), yang jelas ketika sudah menyadari hidupnya sudah mendekati penghabisan, Fir’aun menyatakan keimanannya. Bagi aku sendiri, kisah Fir’aun merupakan sebuah kisah yang unik. Bayangkan, sepanjang hidupnya ia dipenuhi ketakutan akan datangnya seorang anak lelaki sesuai ramalan. Sungguh sebuah hidup yang menyedihkan, sepanjang hari ia menggunakan pedang terhunus untuk membuat orang2 bersujud di kakinya. Belum cukup, ia juga membunuh semua anak laki-laki yang ada didaerahnya. Bukankah kisah Fir’aun merupakan contoh sempurna akan kekerdilan manusia?

Subjektivitas maupun objektivitas pun menjadi kehilangan makna. Ketika seseorang menyatakan bahwa ia bahagia, parameter seperti apa yang ia gunakan. Apakah dunia gemerlap menjadi pilihan, atau sebenarnya ia mencari sosok panutan yang akan menjadi ‘rasul’ baru di zaman edan seperti sekarang ini? Mungkin pelariannya bisa ke obat-obatan psikotropika yang memberikan efek langsung ke pusat saraf. Bukankah, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mencapai kebahagian. Oleh karena itu daripada mencari formula yang tepat kenapa tidak sumber persepsi itu sendiri yang dimanipulasi. Jadilah orang-orang yang tidak berani menapaki realita, orang-orang yang lebih memilih bersembunyi menggunakan kacamata kuda daripada berada di front depan perubahan. Orang-orang yang telah terberangus oleh hal-hal manipulatif, lengkap dengan perayaan dan tokoh-tokoh pujaan.

Kadang kegamangan itu datang tanpa dapat kucegah. Tidak hanya menerpa sebagian kemapan, tapi juga mengobrak-abrik keyakinan. Suatu kali aku pernah merasa benar-benar sendiri, tanpa ada satu orang pun yang dapat mengerti. Saat itu merupakan masa-masa kegelapan. Tapi dari sana pula aku mulai belajar untuk bangkit, dan ketika masa itu terlewati, ada semacam kekuatan serta bekal baru untuk menapaki segala rintangan. Aku pikir semua orang pasti pernah mengalaminya, meski aku tidak tahu sedalam apa, bukankah segala sesuatu yang hadir menyapa tak lain disesuaikan untuk masing-masing individu atas kehendak-Nya?

Ada satu judul buku yang cukup mengusik. Aku hanya membaca judulnya sepintas lalu, If God is Good, why the world is Bad? Mungkin judulnya tidak tepat seperti itu, namun dari yang sekilas aku baca, ada semacam gugatan akan kebobrokan dunia ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, aku berterimakasih pada teman mayaku yang bercerita mengenai pengemis. Kadangkala aku sering berpikir, keadilan tidak ada di dunia ini. Namun pandangan ini sedikit berubah ketika aku melihat bahwa kebahagian itu memiliki berbagai dimensi dan warna. Ia bukan hanya milik orang berpunya, melainkan milik seluruh manusia. Bahkan dari kisah yang aku baca di TEMPO, orang Amrik menjadi sedemikian paranoidnya pada kue lapis yang dibawa oleh GM ketika hendak mengunjungi adik iparnya, hingga disangka merupakan bahan peledak tingkat tinggi.

Aku tidak tahu harus tertawa atau mennagis, menyaksikan ini semua. Bagiku, kadang Tuhan tampak lebih nyata ketika aku mengamati detil. Makanya ada buku yang berjudul The God of Small Things. Tuhan ada dalam detil, dan mengikuti kata-kata yang pernah aku baca(somewhere, someplace) dalam setiap detil tersebut ada tanda-Nya. Aku lebih senang membicarakan-Nya dalam kerangka kedekatan dan kesejatian. Sesuatu yang mampu diasah dengan melakukan hal-hal tertentu.

Batasan-batasan antara pencarian dan pikiran nyleneh aku letakkan dalam 3 koridor: tauhid uluhiyah, rububiyah dan asma wa’sifat(atau tauhid ilahiyah). Bagiku rambunya hanya itu. Meski kadang aku suka kehilangan pegangan juga, karena sudah cukup lama juga aku tidak membaca bacaan-bacaan Islam yang membutuhkan kajian mendalam. Bahkan belakangan, aku suka menafsirkan sesuatu berdasarkan kajian budaya.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam mendekati atau memahami sesuatu. Pertama, belajar teorinya, kemudian praktekkan. Cara kedua adalah, lihat prakteknya kemudian pelajari teorinya. Metode yang pertama bisa dikatakan relatif ideal, namun dalam pelaksanaannya cukup sulit, karena ketika seseorang mempelajari teori terus menerus tanpa berada dalam komunitas yang melakukan teori tersebut, orang yang baru belajar tersebut bisa langsung patah semangat. Cara kedua, lebih pragmatis, cepat namun memiliki kemungkinan salah pijakan.

Entahlah, aku suka pusing memikirkan hal-hal seperti ini. Adakalanya membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana adanya juga baik, namun disaat yang sama muncul juga keinginan untuk melakukan sesuatu.

Monday, March 21, 2005

Keledai

“Selamat Yut.”
“He… Selamat apaan?”
“Anda mengulang kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya. Karena keberhasilan Anda tersebut, Anda dianugerahi trofi keledai.”
“Sebentar, apa hubungannya dengan keledai?”
“Hmm… menurut pendapat umum, hanya keledai yang mengulang kesalahan hingga tiga kali.”
“Ngga serius, sejak kapan keledai bisa menghitung sampai tiga?”
“Wah, kalau gitu, saya harus mengucapkan selamat lagi pada Anda.”
“Selamat buat apa, karena saya cerdas ya?”
“Bukan, itu artinya Anda mendapat dua trofi keledai. Masing-masing atas pengulangan salah yang Anda lakukan.”
“Lha… kalau keledai sampai bisa mengingat kesalahannya sampai dua kali, artinya ketika ia melakukan kesalahan untuk yang ketiga kali, niatnya memang biar mengikuti pendapat umum. Kalau seperti itu, keledainya cerdas dong. Jadi, keledai=cerdas <=> Trofi keledai=trofi cerdas?? Wah boleh juga tuh”
“???”

Hehe.. silogismenya ancur berat

Sahabat

“Tak ada sahabat yang kekal dalam politik(berlaku juga untuk lawan).” Itulah pameo yang sering aku dengar. Kalau untuk lawan, mungkin aku akan setuju, bukankah dunia ini memang lebih indah jika semua manusia saling bersahabat. Tapi tentu saja, pandangan yang akan diamini semua orang tersebut sangat sulit diperoleh bentuk realnya. Jangankan yang berbeda latarbelakang budaya atau negara. Antara satu keluarga saja bisa terjadi pertempuran. Seperti tadi siang, aku mendengar cerita mengenai Hideyoshi. Tokoh yang diceritakan bijak dalam buku Taiko tersebut, ternyata menyimpan lembaran hitam. Demi melanggengkan putranya menjadi orang nomor satu, ia membunuh keponakannya sendiri yang telah menjadi biksu. Sungguh, kekuasaan kadang membuatku merinding. Sama juga dengan kisah sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia, aku lupa yang mana, yang jelas ada kerajaan yang isinya penuh bunuh-bunuhan, kakak ipar, istri, anak semuanya tewas mengenaskan… pokoknya ketika menghadapi ujian sejarah jadi pusing deh… banyak bener meninggalnya.

Tapi sebagaimana yang pernah aku baca, sejarah pada umumnya hanya mencatat orang-orang besar. Kajian sosial dan orang-orang kecil yang sebenarnya punya andil cukup banyak, luput dalam catatan. Hal ini yang kadang menjadikan perubahan itu tampak kasar dan menggilas sisi-sisi kemanusiaan. Bagaimana tidak, atas nama kekuasaan seseorang sah-sah saja mengenyahkan lawan politiknya. Entah lewat propaganda-propaganda hingga UU Subversif, yang pasca-reformasi dicabut. Untung saja, aku masih bisa menemukan cerita-cerita yang bisa membuat aku tersenyum. Kartini dengan surat-suratnya cukup membuat aku terhibur. Setidaknya masih ada sebuah nilai yang dihormati bersama, yaitu persahabatan yang tidak pandang budaya.

Untuk menjadi seorang sahabat, kau hanya perlu membuka hati lebar-lebar, selanjutnya biarkan hatimu menuntun langkahmu. Aku kadang suka heran dengan berbagai kebetulan, seperti suatu kali saat aku sedang gundah, tiba-tiba ada telepon. Dari seberang, sobatku bilang “Tiba-tiba aku ingin nelpon kamu.” Aku suka terkagum-kagum dengan kebetulan, makanya aku seneng dengan kata-kata providentia dei(penyelenggaraan Tuhan), yaitu salah satu bentuk kasih-Nya yang mewujud dalam bentuk seorang sahabat.

Indah, murni dan membebaskan. Cka..ka…kak aku seneng banget dengan kata-kata membebaskan, tertindas, proletar. Biasalah, pengaruh masa muda. Tapi itulah sahabat, meski dalam definisinya ia merupakan sebuah bentuk ikatan, namun ketika kau menjalaninya ia akan membebaskanmu. Bagaimana ya… mengatakannya? Sahabat adalah orang yang akan ada saat kau membutuhkannya dan mengerti ketika kau butuh ruang untuk sendiri. Seseorang yang akan menguatkanmu ketika kau lemah, dan ketika kau menopangnya kau akan menjadi utuh. Bagian yang terpisah dari dirimu, sekaligus paling mengerti siapa dirimu yang sebenarnya.

Kayanya aku masih harus belajar banyak untuk menjadi sahabat yang baik. Untuk seseorang yang telah mengingatkan aku, makasih banyak nya…

Friday, March 18, 2005

Cinta

Kau adalah bintang, cahaya, langit, bunga
Utuh dalam bayang kehidupan
Oksigen jingga bagi para pecinta
Cahaya bagi malam gulita
Awan bagi terik siang

Kau mengenalkanku pada berbagai warna
Memaknai setiap kejadian
Menyesap sang waktu dalam kelembutan
Hanya untuk memancing sebait tawa

Kata-katamu adalah semilir kehangatan
Membawa rona bagi pohon jiwa
Menghilangkan segala duka
Diam namun telah mengerti segala

Alasan tak lagi berharga
Rasional hingga logika ilmiah
Tak lagi bermakna
Karena kau adalah jawabnya
(10.03.05)

Kau tahu, mengenalmu adalah salah satu hal terbaik yang terjadi padaku. Tanpa kusadari aku jadi begitu terpaku, resahmu kini menjadi resahku dan gembiramu pun menyatu dalam deru nafasku.

He..he.. kacau juga nih blog kenapa jadi sarana bermelow-melow gini? Abis kemaren ada yang request biar lebih puitis sedikit, jadi deh puisi nyleneh. Didukung suasana malam, hmm… lengkap banget. Menurut kang Iyus, salah satu syarat agar bisa membuat puisi adalah pernah jatuh cinta. Ketika kang Iyus berkata seperti itu, protes langsung berdatangan dari golongan tertentu. Kalau bagi saya pribadi, puisi memang jauh lebih emosional. Kalau tulisan biasa bisa dipaksain dengan membaca beberapa bahan, tapi kalau puisi, asalnya memang bener-bener dari dalam. Istilah kerennya luapan perasaan. Jadi kalau sampai muncul pernyataan, harus jatuh cinta terlebih dahulu, tinggal diletakkan dalam kerangka yang tepat.

Saya jadi teringat percakapan beberapa waktu lalu mengenai spiritualitas. Dalam obrolan santai tersebut, saya menangkap ada kebutuhan akan sosok guru. Sosok ini adalah orang yang terbuka terhadap jiwa murni(lupa euy istilah psikologinya apa). Sebenarnya masing-masing orang memiliki jiwa murni, tapi kemampuan untuk mengasah dan mencari harus dibantu oleh sesuatu diluar dirinya sendiri(misalnya bagi orang beragama alat bantunya berupa kitab suci). Dengan alat bantu ini, seseorang dapat menajamkan jiwa murninya(masih tetep ngga inget, tapi kalo ngga salah pengklasifisiannya ada 3:nafs, kalbu,…).

Dalam hal ini subjektivitas seseorang menjadi cukup dominan. Pencerahan, saat dimana seorang mengalami ‘aha experience’ menjadi relatif, apakah pengalaman ‘aha’ tersebut hanya berlaku sesaat atau untuk selamanya. Orang yang sedang jatuh cinta misalnya, bisa menjadi begitu puitis dan romantis. Alam serasa menyanyikan simfoni berjudul kebahagian. Pohon-pohon mengilhami ratusan kata-kata tenggelam oleh perasaan yang meluap hingga akhirnya hanya bisa terdiam. Kepala hingga ujung kaki seolah hendak bernyanyi dengan segala nada yang pernah dikenal namun karena terlalu sesak, ia hanya bisa bergoyang-goyang ringan. Kau seolah ingin berteriak, “Dunia ini indah.”

Bagi yang jatuh cinta pada hal-hal materi, suasana mistis yang melingkupi ‘aha experience’ akan dikaitkan dengan berbagai hal-hal berbau fisik. Lain lagi bagi para pecinta dunia akhir, pengalaman ini akan diasosiasikan dalam hal-hal yang lebih hakiki. Lalu bagaimana jika tiba-tiba kau berhenti jatuh cinta, akankah kau tetap bahagia dan merasakan dunia dengan pandangan baru?

Ketika kau mencintai Sang Maha Mutlak maka kau akan jatuh cinta selamanya. Tapi bagaimana jika kau hanya tertarik pada satu sisi tanpa mau melihat sesuatu secara lebih utuh. Lama kelamaan kau hanya jatuh cinta pada imaji semu. Imaji tentang dunia yang tak pernah berakhir, tentang harta benda dan mungkin juga seraut wajah. Ketika kau jatuh cinta pada kerapuhan, maka pengalaman ‘aha’ hanya akan berlangsung sementara. Kau hanya terpaku beberapa saat kemudian hidup akan berjalan sebagaimana sebelumnya.

Apa jadinya jika ku jatuh cinta
Akankah langit berwarna jingga
Kucing-kucing berbahasa manusia
Menyatakan turut bahagia

Apa jadinya jika ku jatuh cinta
Masihkah ada ruang tersisa
Bagi pertarungan gelisah
Di atas sajadah

Wednesday, March 16, 2005

Dari Irak hingga Cina

“Dua..r”. Dari balik pasir yang menghalangi pandangan mata, terlihat sebuah bangunan luluh lantak oleh sebuah smart bom. Selain bangunan yang kini sudah tidak berbentuk lagi, bau mesiu menyengat hidung. Udara panas siang, pasir-pasir yang beterbangan karena angin dan dentuman bom menambah semrawut suasana kota. Di rumah sakit, terlihat orang-orang tua dengan airmata yang sudah kering. Bayi-bayi yang terkena tetanus hingga penyakit paru-paru karena menghirup oksigen beraroma mesiu, hanya dapat menunggu kematian. Bukan karena mereka tidak memiliki askes ataupun surat miskin, namun rumah sakit itu tak memiliki listrik. Obat-obat antibiotik pun sudah enyah semenjak rezim tumbang. Penjarahan tak terelakkan, toko, rumah sakit, pemukiman habis diterpa gelombang kepanikkan. Rumah sakit hanya menjadi kuburan bagi bayi-bayi yang menunggu waktu tiba. Pasokan air yang minim, keadaan lingkungan, serta sarana yang tidak memadai hanya menambah kecil kemungkinan selamat. Dari rata2 30 bayi yang masuk tiap hari, 25 lima pergi menjelang petang menuju keabadian. Sementara orang-orang hanya dapat memandang dengan tatapan kosong, tanpa ada daya untuk merubah ataupun menyelamatkan bayi-bayi tak bersalah tersebut. Airmata berhamburan, segala jerit isak tangis, namun nyawa-nyawa itu tetap melayang

Perundingan demi perundingan diadakan. Isu minyak versus pemusnah massal lantang diperbincangkan. Aksi protes perang hingga pembahasan hegemoni negara adikuasa gencar diteriakkan. Namun negara penguasa itu tetap lengang berjalan. Ini adalah pertarungan kekuasaan, mungkin itu yang ada dalam pikiran. Setelah petroleum dollar mulai tersingkir perlahan, eoro dan yuan memegang peranan. Amerika mulai kelabakan. Kalau bukan lewat permainan uang, maka cengkaraman itu harus tegas dinyatakan, entah lewat pendudukkan negara lawan, ataupun lewat pertarungan pemikiran.

Namun semua tak tinggal diam. Sekutu-sekutu Amerika yang dulunya hanya bungkam, mulai menunjukkan perlawanan. Baik secara terang-terangan, maupun lewat sindiran-sindiran ringan. Untuk menggalang kekuatan negara-negara Eropa mulai meluaskan persekutuan. Dimulai dari pasar perdagangan, kini kerjasama itu meluas hingga penggunaan mata uang seragam. Bagian timur pun tak mau ketinggalan. Cina dengan ekonomi kerakyatan unjuk kebolehan. Barang-barang dengan harga murah meriah menyerbu Amerika hingga negeri Jiran. Motor Cina, hingga radio sepuluh ribuan lengkap dengan batere sepasang, beredar luas di pasaran. Industri-industri rumah yang biasanya hanya dipandang sebelah mata ternyata menjadi sektor yang mapan. Kalau dalam benak, ekonomi kerakyatan menampilkan sosok Panto berjualan ikan ke koperasi nelayan, maka di negeri sebrang, ekonomi kerakyatan telah menghasilkan motor lalu-lalang.

Globalisasi kini tengah menentukkan tuan. Setelah selama beberapa dasawarsa kekuasaan itu dipegang Amerika, kini bola itu akan menggelinding ke benua seberang. Namun dongeng diatas tetap tidak berakhir dengan, “Dan akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya” karena lagi-lagi Indonesia berada ditengah-tengah permainan kekuasaan.

[Yut, woi sadar, jangan ampe terpesona gitu dong ngedenger cerita dari kang Budhiana… Nyengir. Yut, jangan nyengir doang dong. Nyengir. Yut, serius nih… kalau kamu terus seperti ini kapan lulusnya? Nyengir. Yut… Hehe, abis gw ngga punya pembelaan. Untuk yang satu ini, gw cuma tau, kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Walah, yut..yut.. godaan banyak bener yak..:D]

Saturday, March 12, 2005

Politik

New kids on the block
Sucha buncha kids
Politic make my sick
(Summer, LFO(?))

Kemarin-kemarin ada yang nanya, "Wah, yut sekarang udah ngga alergi lagi ya ama politik?" Cka..ka..kak.. jadi pengen ketawa. Abis dulu sempet menyatakan diri sebagai orang yang anti-politik(dalam arti sempit), kalau disuruh nulis tentang politik aja, pasti sebisa mungkin aku alihin ke orang lain. Sekarang? Hmmm.. kayanya ngga banyak berubah. Aku masih benci politik, just same as the old times, tapi ngga menghindar 100% kaya dulu lagi. Dari dulu juga ngga pernah bener2 lepas sih, soalnya kadang ada sesuatu yang bener2 bikin kesel dan untuk mengurangi kekesalan itu biasanya aku baca-baca berita, yang sebenernya bikin aku makin kesel lagi. Sekarang aku mikirnya lebih pragmatis, konkrit aja deh. Apa yang bisa kulakuin sekarang? Salah satu solusi jangka pendek adalah kuliah yang bener, trus ada juga tawaran untuk jadi kru LKM di Salman. Output-nya jelas, trus buku+jurnal yang diangkat juga ngga jauh beda ama minatku, jadi sinergi aja.

Kalau masalah-masalah politik tingkat tinggi, biasanya aku nyari tujuan akhirnya. Kalau emang ada yang bisa disinergikan, ya aku jalanin, tapi kalau bentrok ya.. aku milih prioritas yang konkrit dulu aja. Pernah aku nyampe suatu titik dimana tulisan pun aku anggap ngga konkrit. Buat apa nulis, penuh dengan emosi, seperti yang dibilang Soedjatmoko, tapi hasilnya ngga ada. Nihil.. nothing... Kalau emang cuma buat aktualisasi diri, kayanya ada banyak cara lain, tapi kalau nulis aku pengennya ada pengaruh. Ada beberapa kajian media yang aku ikutin, rata-rata hasilnya menunjukkan bahwa media memeberikan pengaruh yang cukup signifikan. Terutama jika dikaitkan dengan fungsi pers. Makanya kemaren sempet semangat abis training jurnalistik dari TEMPO, tapi sekarang kayanya aku mau fokus kuliah dulu.

Mengenai pengaruh media, ada juga kisah tragis dari Tempo yang kubaca minggu lalu. Isi artikelnya mengenai pasien sakit jiwa. Menurut pengamatan, pasien-pasien tersebut umumnya mengalami gangguan karena menonton tayangan mistis. Jumlah pasien mengalami penurunan selama dua bulan, November-Desember, karena pada saat itu tayangan mistis dihentikan untuk menghormati bulan Ramadhan. Gila ya... politik uang dan kekuasaan media sampai makan korban penyakit jiwa...

Politic make me sick...

Wednesday, March 09, 2005

Bimbingan[Perdana+Kedua]

Dua minggu yang lalu...
Jam udah nunjukin jam 3. Rencananya jam 3 ini aku ama maya mau bimbingan TA(akhirnya sampai juga diakhir perjalanan kuliah). Belum bikin janji ama dosennya sih, tapi di jadwal yang ditempel di depan ruangan beliau, bimbingan TA dialokasiin hari senin jam 1-3. Karena emang udah niat untuk mulai TA, ya… siap ngga siap diberaniin aja. Belum sempat ketemu ama maya, bapaknya keliatan lagi ngobrol diruang komputer. Wah, bisa ngga ya? Pikirku dalam hati. Ngga lama kemudian maya keliatan, dan bapaknya datang melintas. Jadi, ngga, jadi, ngga… masih belum yakin juga. Akhirnya milih jalan nekat aja. “Pak, bisa bimbingan sekarang?” Bapaknya keliatan mikir. “Oke deh.” [padahal sambil ngarepin bapaknya ngga bisa]

Namanya juga perdana dan masih nge-blank abis mengenai bimbingan TA, jadi pas masuk keruangan dosennya juga masih grogi berat. “Udah sampai dimana, ada kesulitan ngga?” Nah lho, ngejawab pertanyaan kaya gitu gimana caranya. Trus yang namanya bimbingan TA itu gimana sih. Mana langsung ngebahas bahan bacaan, bawaannya kan jadi panik. Tapi ada beberapa kesamaan antara ngewawancarain orang dengan bimbingan. Kalau dari pengalaman wawancara, salah satu kuncinya adalah tampil percaya diri. Kalo ngewawancarain orang sih teknik ini berhasil untuk memancing orang untuk bicara banyak, tapi kalo dalam kuliah dosisnya harus disesuaikan biar bener-bener ngerti apa yang diterangin sekaligus dianggap mahasiswa yang rada cerdas(asli nih butuh banget, abisnya dalam bidang math, kayanya aku masih blank berat).

Tadinya aku mau nanya, “Pak, bimbingan itu ngapain aja sih?” Tapi asli, tadi momennya rada susah untuk dibawa santai. Hasilnya, kepalaku blank untuk diajak nurunin persamaan linier dua kali. Mikirnya udah yang rumit-rumit, eh… ngga taunya sederhana banget. Parahnya lagi, aku lupa persamaan garis y=mx+c. Gila kan, spidol udah ditangan tapi bikin persamaan garis aja aku lupa. Semoga aja dosennya ngga mikir, nih anak 4 tahun ngapain aja yak? Ampun deh, itu antara rada freaky karena ngga siap bakal ditanya langsung dan panik. Abisnya aku kira bimbingan TA ama pemodelan ngga beda jauh, eh taunya bimbingan yang sekarang kaya ujian lisan.

Untung aja groginya ngga bertahan lama. Walaupun diawalnya rada bapalatak, tapi ujung-ujungnya rada intelek dikitlah(udah rada pake dikit pula, kebayang kan gimana menyedihkannya). Pikir2 kasian dosennya, dapet mahasiswa yang parah banget kaya aku. Apalagi aku ini rada2 gampang kebaca. Kalo lagi mumet atau bingung keliatan banget. Kebayang ngga sih, karena awalnya kacau banget, setiap kali dosennya nerangin hal baru, langsung ditanya udah ngerti apa belum. Malu berat nih(hey, everything has it beginning-lah). Ada satu hal lagi yang sampai sekarang bikin penasaran, kayanya aku sering banget jadi target disuruh maju kedepan. Hal ini berlanjut sampai kuliah semester ini, kata dosenku, tampangku percaya diri. Bukan dikuliah aja, kalo diskusi juga sering ditanya, “Mau nanya?” Wah, gawat juga kalo kaya gini terus. Mending tampang kaya kucing kecebur di bak deh, daripada jadi target maju untuk ngerjain soal. Tapi alhamdulillah karena udah dikenal aku jadi punya motivasi lebih untuk ngga ngecewain orang yang mempunyai harapan padaku.

Sebenernya prinsip hidupku itu sederhana loh. Aku ingin semua orang bahagia, terutama orang-orang yang aku sayang. Makanya kalo ada yang bilang sekolah itu motivasinya harus dari kesadaran sendiri, bagiku sih ngga harus mutlak kaya gitu. Karena sayang ama ortu dan ngga mau ngecewain mereka juga bisa jadi salah satu motivasi yang kuat. Pernah juga pengalaman ama dosen yang baik banget, tapi karena hasil evaluasi akhirnya agak mengecewakan, aku ampe ngga tega untuk ketemu ama beliau. Jadi buron deh…

Hehe.. kalo kasus yang terakhir mungkin namanya bersembunyi dari realitas. Kaya kebiasaanku semester2 kemarin yang ngga pernah mau ngitung IP dan jumlah sks. Cara ini sih sekalian biar ngga ngebo’ong ama ortu kalo ditanya IPK-nya berapa. Wong, emang bener2 ngga tau, tapi lagi2 itu hanya menunda-nunda masalah. Akhirnya dong heboh, malem-malem aku ngga bisa tidur dan selama 1 jam(dari jam 1 malem), aku ngitungin jumlah sks dan IPK. Yah… ngga separah dugaan sih, meski untuk ngejar target lulus 9 semester, aku harus banting tulang. Intinya semua yang kuambil semester sekarang dan depan ngga boleh ngulang lagi.

Kemarin...
Padahal udah niat bimbingan kedua bakal tampil lebih meyakinkan. Taunya... ancur banget. Masuknya aja udah ngga beres. Waktu udah menunjukkan pukul tiga lebih 5 menit. Aku dan maya(kami bimbingan berdua), siap-siap bimbingan ke ruangan dosen. Untuk sampai ke ruangan pembimbing, kami harus melewati sebuah lorong, yang lumayan panjang. Sampai di depan ruangan, pintu setengah terbuka. Di dalamnya terlihat, bapaknya lagi serius mengerjakan sesuatu. "Wah, ngga lucu juga kan kalau ngeganggu." Akhirnya sambil pasodok-sodok ama maya, kita ribut nentuin siapa yang bakal maju untuk ngetuk pintu.

Ketokan pertama, ngga ada reaksi. Cuma karena dari awal udah ngga serius, abis ngetok, aku langsung lari ke ujung lorong(ngejauhin ruangan dosen), sambil ketawa ngakak. Gila... udah tingkat empat kelakuan masih kaya gini. Oke deh, tarik napas dulu. Hup... ha... Nah sekarang, harus lebih beres. Akhirnya dengan langkah tenang, dan masih agak sakit perut gara2 kebanyakan ketawa, aku ama maya kembali menuju ruangan bapak.

Kali ini agak lebih serius, ngetok sambil ngejulurin kepala. Alhasil bapaknya noleh. "Oh, silahkan masuk. Kursinya satu ambil aja di luar," kata bapaknya ketika melihat kami berdua. Mulailah pertanyaan-pertanyaan horor(gara2 pemahaman kami yang masih bapalatak). Untung aja dosennya sabar banget. Dan kesalahanku sekarang adalah... cka..ka..kaa.. aku lupa gimana cara nyari jarak di satu garis. Kebayang ngga sih, ampe bapaknya bikin lingkaran dengan pusat di titik (1,0) trus memotong titik (3,0) disebelah kanan. And the question was, dimana titik sebelah kiri memotong sumbu-x?

Thanks banget buat dosen pembimbing, yang super duper baik bin sabar dan semoga ngga kapok ngadepin mahasiswa kaya aku:(

Monday, March 07, 2005

Seneng...

Alhamdulillah, setelah minggu kemaren sempat kacau, sekarang aku udah menemukan beberapa jawaban.

Aku seneng karena tadi pagi ngobrol sama bapak-bapak penjaga tambal ban.
Aku seneng karena beberapa tulisan yang aku rencanain selesai(meski tulisan untuk kronika masih perlu final touch).
Aku seneng karena bisa juga nyelesaiin pr pakai program Maple(padahal aku gaptek berat).
Aku seneng karena hari ini cerah.
Aku seneng membaca buku Gie, yang beberapa hari ini selalu nangkring dalam tas.
Aku seneng, aku seneng...

Ternyata gampang banget menjadi seneng, dan salah satu keajaiban yang paling aku sukai adalah keajaiban seneng yang tidak pandang bulu dan class. Bahkan kadang, aku merasa orang kecil senyumnya lebih bebas...

Aku seneng...

Friday, March 04, 2005

Whatta A Week

Gila... minggu ini semuanya berjalan dengan kacau. Mulai dari tugas-tugas baru yang bikin aku harus jungkir balik, motor yang sekarang jadi agak rewel(untung, udah mau jalan lagi) sampai kepala yang rada puyeng gara-gara keujanan. Hua... minggu depan pokoknya harus lebih baik. Tapi ngga mungkin kan, kalau satu minggu isinya kacau terus, meski untuk minggu kemarin dengan tegas aku nyatain sebagai minggu yang negatif(hasil pengurangan positif dan negatif, sumbunya ternyata kurang dari nol).

Apa ya yang salah? Kayanya jawaban klasik deh. Sering menunda-nunda pekerjaan. Udah gitu ada beberapa perkiraan yang meleset, akibatnya rencana lain yang udah kesusun ikutan ancur. Bagian yang menarik dari minggu ini adalah muncul beberapa ide. Meski masih tunas, tapi lumayan bikin semangat. O iya, aku juga lagi baca buku Catatan Hariannya Hok Gie. Asli, beliau revolusioner banget, dan baca bagian depannya bikin aku merenung, apakah setiap orang yang menantang arus sennatiasa sendirian. Salah satu catatan harian lain yang aku baca punyanya Tan, beliau juga selalu sendiri, berpetualang dari satu negara ke negara lain, dan meninggal di tangan anak negeri. Hok Gie, meski ngga meninggal karena dibunuh orang, tapi tetep aja disayangkan karena usianya yang cukup belia. Begitu juga Ahmad Wahib(tapi aku belom baca catatan hariannya).

Aku senang membaca catatan harian seseorang. Kalau dari buku yang aku baca, kejujuran dan kepolosan suatu teks memang menjadi nilai dari human interest yang senantiasa aku cari. O iya ada beberapa buku lagi mengenai catatan harian. Ketika SMU aku baca buku Gandhi. Beliau juga menceritakan pengalaman hidupnya dengan menarik. Salah satu poin yang aku tangkap dari Gandhi dan tak lama sesudahnya dari Dalai Lama adalah, bahwa perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan. Kalau mau lebih detil lagi, arahnya jadi ke sinkretisme agama, atau malah lari ke arah monotheis freelance seperti yang ditempuh Armstrong. Kadang aku suka serem kalau sampai ke titik itu.

Di pengantar dalam buku CSD-nya Gie, Wahib pun dalam catatan hariannya sampai pada titik itu, "Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut dengan muslim." Aku juga pernah dapat cerita bahwa pada masa Ibn ... terdapat berbagai macam ideologi, mulai dari komunis sampai nasionalis, dan ia menemukan kebenaran pada itu semua. Kebenaran di satu keping melengkapi kebenaran di keping yang lain, dan keping-keping itu menyatu menjadi sebuah kebenaran yang diyakininya. Hal ini juga mirip dengan ketetapan-ketetapan di matematika, dimana pada satu bagian ia memiliki sifat-sifat tertentu, kemudian pada akhir bagian, ketetapan tersebut membentuk sifat baru, yang berasal dari ketetapan2 sebelumnya namun membentuk sifat yang benar-benar baru.

[Hua... yut tobat, bersihin pikiran lo] Inilah yang terjadi kalau aku dapat serangan. Semua hal yang aku alami membentuk sebuah kesadaran baru. Tapi bagaimanapun aku masih setia pada target dan prioritas. Untuk sementara aku milih off dulu dari segala hiruk pikuk pemikiran dan kegelisahan.

Aku harus bisa...

Thursday, March 03, 2005

Relasi Gender

Tanya : "Maaf, mbak. Boleh minta waktunya?"
Jawab : "Silahkan."

Tanya : "Saya dari majalah tii..t. Saat ini kami hendak mengangkat tema gender. Bagaimana pendapat mbak tentang relasi gender di Indonesia dewasa ini?"
Jawab : "Sebenarnya relasi gender saat ini cukup menarik. Anda pernah mendengar affirmative action, penerapannya bagi golongan feminis ekstrim dianggap bertentangan dengan semangat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, yaitu kedudukan perempuan dan laki-laki merupakan bagian dari perjalanan sejarah, yang artinya melibatkan konstruksi budaya."

Tanya : "Jadi maksud mbak, kecendrungan perempuan untuk kerja di rumah merupakan hasil dari konstruksi budaya?"
Jawab : "Nah, Anda harus hati-hati kalau menyinggung masalah ini. Secara fisik, perempuan dan laki-laki memang berbeda. Jadi kalau ada perbedaan pekerjaan itu bisa terjadi karena dua alasan, pertama karena perbedaan fisik, dan kedua karena hasil konstruksi sosial. Hal ini harus diingat benar, agar tidak terjadi salah kaprah dan penyimpangan diantara semangat untuk mengangkat isu-isu gender."

Tanya : "Bagaimana pendapat mbak mengenai perempuan yang bekerja di luar rumah?"
Jawab : "Bagi saya permasalahannya bukan sekadar setuju atau tidak. Faktor-faktor mengenai kebutuhan aktualiasi diri, serta tanggungjawab terhadap keluarga sangat terkait erat. Saya pribadi, setuju-setuju saja asalkan kewajiban di dalam rumah dan di luar rumah dapat berjalan secara harmonis."

Tanya : "Apa pendapat mbak, tentang aksi penghapusan libur haid?"
Jawab : "Bagi saya itu aksi feminis yang kebablasan. Bagi saya, yang harus diperjuangkan bukan persamaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki, namun bagaimana agar permasalahan perempuan dapat didengar. Contoh, perempuan-perempuan yang sering dilecehkan di lift ataupun angkot. Sayangnya, kadang perjuangan ini berbenturan dengan perempuan-perempuan yang juga tidak menghargai diri mereka sendiri."

Tanya : "Maksud mbak?"
Jawab : "Hmm... contohnya seperti ini, di Australia sempat ada aksi penentangan larangan memakai rok mini. Perusahaan yang mengeluarkan peraturan itu beralasan penggunaan pakaian yang mengumbar aurat menyebabkan produktivitas kerja menurun. Perempuan-perempuan itu beralasan pembatasan cara berpakaian melanggar HAM. Disaat yang sama banyak negara yang melarang perempuan dengan busana tertutup dengan alasan simbol agama. Coba Anda pikirkan, yang pertama memiliki alasan logis, sedangkan alasan kedua dengan alasan yang emosional dan sangat oldfashion."

Tanya : "Hubungannya dengan menghargai diri sendiri?"
Jawab : "Perempuan sekarang merasa bangga jika berani memamerkan aurat. Padahal zaman dahulu mengenakan pakaian tertutup hanya dapat dilakukan oleh kalangan bangsawan."

Tanya : "Ok, mbak terimakasih."
Jawab : "Sama-sama."

Wednesday, March 02, 2005

Sho

Apakah kau sedang marah? Kalau tidak kenapa kau membuatku terengah-engah. Untung saja aku tak jadi sasaran amarah, karena tadi dosennya ramah. Katakan saja, agar aku tak perlu mereka-reka salah. Terlalu beratkah bebanmu hingga kau menyerah lelah, atau kini kau telah menjadi pembantah? Sho, mari kita selesaikan masalah ini dengan amanah, biar sumpah serapah tak tumpah ruah. Kalau kau sedang gundah, kau dapat menjadikanku tempat sampah bagi segala kisah. Kau juga boleh menuntut hadiah. Tapi bagaimana aku dapat tergugah, jika kau hanya diam tak berubah.
Damai Sho, kukibarkan bendera putih tanda menyerah.

NB:Parah, tadi pagi si Shogie(motor gw) ngga bisa distater. Alhasil gw naik angkot dan telat banget.

Manusia Bunga

Pernahkah kau mendengar kisah mengenai manusia bunga, manusia yang mampu meredam kegalauan hati dan membuatmu merasa nyaman? Kalau belum aku akan menceritakan kisah mengenai manusia bunga padamu. Karena aku tahu kau tidak suka dengan khayalan ksatria berkuda putih lengkap dengan setangkai bunga mawar, maka aku tentu saja tidak akan memulainya dengan dahulu kala atau pada suatu waktu, tapi aku akan memulainya dengan peristiwa yang kualami belum lama ini.

Seperti biasa aktivitas pagi berjalan dengan cepat. Mahasiswa lalu-lalang dengan langkah yang tergesa, beberapa orang dari mereka melirik jam tangan, sambil mempercepat jalan. Udara pagi yang masih segar karena menyudahi hujan yang mengguyur semalam harus bersaing keras dengan nafas pendek-pendek. Ah, sungguh sayang. Apalagi ritme pagi itu berubah karena ada pembangunan di tengah-tengah kampus. Biasanya aku masih dapat melihat pemandangan lain dari pagi, yaitu orang-orang yang bermain basket lengkap dengan segala canda mereka, atau senam pagi setiap Jum’at di dekat departemen Sipil. Pemandangan yang biasanya membuat aku tersenyum simpul karena para peserta senam senantiasa bersusah payah untuk mengikuti gerak instruktur yang umurnya jauh lebih muda dan lagu yang senantiasa berganti-ganti tiap minggu. Satu hal yang tidak bisa terpisahkan dari senam Jum’at itu adalah penjual bubur dengan gerobak dan meja-meja kayunya. Biasanya seusai senam, orang-orang itu akan berkumpul di dekat penjual bubur. Beberapa memilih untuk langsung makan, yang lainnya hanya memanfaatkan bangku-bangku yang tersedia untuk melepas lelah.

Untung saja, pagiku yang monoton berubah ketika aku bertemu manusia bunga. Pada awalnya ia tampak biasa saja, namun tiba-tiba langkahnya melambat. Tangannya sibuk meraba-raba saku celananya, dan tak berapa lama kemudian tangannya sibuk menekan tombol yang ada di hp-nya. Tapi bukan itu yang menjadikannya seorang manusia bunga, melainkan wajahnya. Mukanya yang serius perlahan melembut. Mulutnya yang terkatup membentuk garis lurus perlahan bergerak keatas, ia menyunggingkan senyum dan perubahan paling drastis terlihat dari roman mukanya yang kini tampak seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Bahkan langkahnya yang tadi tampak tergesa-gesa dan melangkah mantap, kini membentuk ayunan-ayunan kecil.

Manusia bunga itu telah merekah, meninggalkan kuncup yang tadi menggelayut diwajahnya. Lalu seperti bumi yang menyambut kehadiran bunga yang baru mekar, manusia bunga ini pun menyebarkan wanginya pada orang lain. Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Sang manusia bunga tersenyum pada orang yang lewat didepannya, seolah ia ingin memberitahu seisi dunia bahwa ia tengah bahagia. Aku jadi tergoda untuk mengamati orang yang diberi senyum oleh manusia bunga, dan kau tahu apa, orang itu kebingungan. Sambil menengok ke belakang dengan gaya cuek tapi agak lama, ia ingin memastikan kepada siapa manusia bunga itu tersenyum. Ketika ia lihat dibelakangnya tak ada seorangpun dan menyadari bahwa senyum manusia bunga itu untuk dirinya, ia pun ikut tersenyum. Langkahnya yang tadi terlihat berat kini menjadi ringan, mukanya pun berubah menjadi cerah. Tanpa ia sadari iapun telah menjadi manusia bunga. Lalu bagaimana dengan aku, ya karena aku melihat dua manusia bunga, aku jadi tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Senyum damai untukku, untukmu, merekah selalu…

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...