Tuesday, March 22, 2005

Tentang Tuhan

Aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Ungkap Amir Hamzah dalam puisinya yang indah. Ah, tampaknya rindu itu membuahkan
gelisah. Rasa asing yang sebenarnya tak kuharapkan tapi menimbulkan amarah. Melihat
sekeliling dengan tatapan menyerah. BBM hingga TKI yang tak kunjung meredakan gundah.
Lalu dimanakah aku dapat menemukan Maha Pemurah. Tapi tunggu, disudut kota aku masih
bisa melihat pengais sampah tersenyum ramah. Bahkan senyumnya mengalahkan laki-laki
berdasi yang keluar dari gedung megah, lengkap dengan mobil wah. Meski aku tak dapat
menerjemahkan semua dalam penjelasan ilmiah, Kau telah mampu menjinakkan resah.
Kalaupun ada sedikit marah,itu karena aku salah langkah. Kadang aku memang pongah,
berteriak pada seisi dunia bahwa aku bukan makhluk rendah. Tapi tetap kucari Kau
untuk dijadikan tumbal salah. Ha..ha… aku hanya berusaha melarikan diri dari
kesalahanku yang tumpah ruah. Sambil mencoba mencari pembenaran akan segala musibah.
Tuhan, pada siapa sebenarnya aku bersilat lidah? Aku tahu aku takkan mampu
menandingi perhatianmu pada rubah, ataupun lalat buah. Mungkin aku hanya terbakar api
membara, karena lama tak sujud merebah.
Tenggelam dalam amarah karena lemah, namun
tak jua mampu untuk berubah.
Hasilnya sebuah kemarahan yang kehilangan arah.
Kucari jawab pada rembulan, bintang
bahkan bunga merah merekah. Kudapat ketundukkan
sebagai hikmah. Benarkah gelisah
yang membuatku cepat naik darah? Atau karena aku
memang belum berakhlakul karimah?
Tuhan, aku akan berhenti berkeluhkesah. Kutunggu
Kau nanti malam untuk menggenapkan
pikiranku yang terbelah.

Bagian yang yang tak utuh. Potongan pertama, yang merupakan pembuka tulisan diatas, aku simpan rapat-rapat dalam memori flash diskku dan juga sepotong identitas di yahoo. Entah sejak kapan, emailku jadi tempat memadu resah, atau bahkan wadah bagi gelisah untuk tumpah ruah. Tapi aku tak mau terpaku, aku tak mau masuk kategori mabuk teknologi. Setidaknya aku hanya memanfaatkan bit-bit itu untuk memenuhi kebutuhanku akan informasi. Namun seperti sebuah tulisan yang baru saja kubaca dari seorang teman, pikiran bisa jadi mengkudeta seluruh jiwa. Pikiran bisa menguasaimu sedemikian rupa, hingga seperti kata Descartes, keberadaanmu hanya diukur oleh sel-sel kelabu dalam otak kirimu. Cogito ergo sum(kau berpikir, maka kau ada). Sesederhana itu, tak lebih maupun kurang.

Ah, aku bisa saja mengaitkan segalanya dengan pikiran. Bahkan aku bisa meletakkan segala sesuatu dengan sudut psyche materialism(serem pake kata psikologi, ilmuku masih dangkal banget). Religiusitas hingga konstruksi sosial, bahkan dari beberapa halaman pertama Misteri Soliter yang sedang kubaca ulang, sang bapak, berpendapat bahwa manusia adalah objek-objek artifisial, “Boneka-boneka yang diberi kehidupan”(h.26-27). Tapi bagiku secara pribadi, ada sebuah pertanyaan mendasar mengenai penyakit abad-21. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan masalah kejiwaan, mulai dari skizofrenia hingga gangguan mental. Berbeda dengan penyakit abad-18, yang terkait masalah kebersihan lingkungan, serta pola makan.

Bisa saja seseorang menafikan segala sesuatu. Ekstrimnya hingga menolak keberadaan prima causa. Namun bagaimana orang tersebut mengatasi kehampaan makna, serta kerinduan akan sebuah nilai-nilai, aku tak pernah menemukan jawabannya. Ada sebuah hal yang menarik ketika beberapa bulan yang lalu aku pergi ke Badui. Para peserta track tersebut rata-rata orang kantoran dengan penghasilan mapan. Kepergian mereka ke Badui, rata-rata dilandasi motif mencari suasana lain dari keseharian mereka yang terkungkung oleh gedung-gedung bertingkat dan bau parfum. Di Amerika, kecendrungan untuk kembali ke nilai-nilai spiritual juga marak terdengar, mulai Tom Cruise hingga Madona dengan sekte Karbalahnya.

Ketika seorang teman menanyakan apa alasan aku mempercayai keberadaaan Tuhan(with a big T, ngga kaya penganut paham pantheisme), aku hanya bisa menjawab, aku percaya atas dasar subjektivitasku. Bisa saja aku mengemukakan kata-kata Wittgenstein yang bilang kebenaran objektif merupakan kumpulan dari kebenaran subjektif. Artinya, tidak ada sebuah kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya penafsiran akan kebenaran(pasca Rasulullah dan thabi’in). Kemudian untuk memperkuat pendapatku ini, aku comot pendapatnya Ibn Arabi yang bilang bahwa Rasulullah merupakan sebuah gambaran ideal akan seorang pemimpin sebagaimana yang disyaratkan Plato/Aristoteles bahwa pemimpin yang baik adalah seorang filosof., karena Rasulullah memiliki kesejatian langsung dari Sang Sumber. Bisa saja… tapi apakah hal tersebut berguna untuk meyakinkan seseorang yang memilih untuk tidak percaya? Aku tidak begitu yakin.

Kenapa aku bilang seseorang lebih berkecendrungan untuk memilih tidak percaya. Akarnya berasal dari buku tauhid yang pernah aku baca. Dari buku tersebut aku peroleh bahwa keengganan manusia untuk tunduk berasal dari kesombongan yang ada dalam diri manusia. Hal ini jelas terlihat ketika nyawa Fir’aun sudah sampai tenggorokan(ngga ingat persis redaksionalnya seperti apa), yang jelas ketika sudah menyadari hidupnya sudah mendekati penghabisan, Fir’aun menyatakan keimanannya. Bagi aku sendiri, kisah Fir’aun merupakan sebuah kisah yang unik. Bayangkan, sepanjang hidupnya ia dipenuhi ketakutan akan datangnya seorang anak lelaki sesuai ramalan. Sungguh sebuah hidup yang menyedihkan, sepanjang hari ia menggunakan pedang terhunus untuk membuat orang2 bersujud di kakinya. Belum cukup, ia juga membunuh semua anak laki-laki yang ada didaerahnya. Bukankah kisah Fir’aun merupakan contoh sempurna akan kekerdilan manusia?

Subjektivitas maupun objektivitas pun menjadi kehilangan makna. Ketika seseorang menyatakan bahwa ia bahagia, parameter seperti apa yang ia gunakan. Apakah dunia gemerlap menjadi pilihan, atau sebenarnya ia mencari sosok panutan yang akan menjadi ‘rasul’ baru di zaman edan seperti sekarang ini? Mungkin pelariannya bisa ke obat-obatan psikotropika yang memberikan efek langsung ke pusat saraf. Bukankah, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mencapai kebahagian. Oleh karena itu daripada mencari formula yang tepat kenapa tidak sumber persepsi itu sendiri yang dimanipulasi. Jadilah orang-orang yang tidak berani menapaki realita, orang-orang yang lebih memilih bersembunyi menggunakan kacamata kuda daripada berada di front depan perubahan. Orang-orang yang telah terberangus oleh hal-hal manipulatif, lengkap dengan perayaan dan tokoh-tokoh pujaan.

Kadang kegamangan itu datang tanpa dapat kucegah. Tidak hanya menerpa sebagian kemapan, tapi juga mengobrak-abrik keyakinan. Suatu kali aku pernah merasa benar-benar sendiri, tanpa ada satu orang pun yang dapat mengerti. Saat itu merupakan masa-masa kegelapan. Tapi dari sana pula aku mulai belajar untuk bangkit, dan ketika masa itu terlewati, ada semacam kekuatan serta bekal baru untuk menapaki segala rintangan. Aku pikir semua orang pasti pernah mengalaminya, meski aku tidak tahu sedalam apa, bukankah segala sesuatu yang hadir menyapa tak lain disesuaikan untuk masing-masing individu atas kehendak-Nya?

Ada satu judul buku yang cukup mengusik. Aku hanya membaca judulnya sepintas lalu, If God is Good, why the world is Bad? Mungkin judulnya tidak tepat seperti itu, namun dari yang sekilas aku baca, ada semacam gugatan akan kebobrokan dunia ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, aku berterimakasih pada teman mayaku yang bercerita mengenai pengemis. Kadangkala aku sering berpikir, keadilan tidak ada di dunia ini. Namun pandangan ini sedikit berubah ketika aku melihat bahwa kebahagian itu memiliki berbagai dimensi dan warna. Ia bukan hanya milik orang berpunya, melainkan milik seluruh manusia. Bahkan dari kisah yang aku baca di TEMPO, orang Amrik menjadi sedemikian paranoidnya pada kue lapis yang dibawa oleh GM ketika hendak mengunjungi adik iparnya, hingga disangka merupakan bahan peledak tingkat tinggi.

Aku tidak tahu harus tertawa atau mennagis, menyaksikan ini semua. Bagiku, kadang Tuhan tampak lebih nyata ketika aku mengamati detil. Makanya ada buku yang berjudul The God of Small Things. Tuhan ada dalam detil, dan mengikuti kata-kata yang pernah aku baca(somewhere, someplace) dalam setiap detil tersebut ada tanda-Nya. Aku lebih senang membicarakan-Nya dalam kerangka kedekatan dan kesejatian. Sesuatu yang mampu diasah dengan melakukan hal-hal tertentu.

Batasan-batasan antara pencarian dan pikiran nyleneh aku letakkan dalam 3 koridor: tauhid uluhiyah, rububiyah dan asma wa’sifat(atau tauhid ilahiyah). Bagiku rambunya hanya itu. Meski kadang aku suka kehilangan pegangan juga, karena sudah cukup lama juga aku tidak membaca bacaan-bacaan Islam yang membutuhkan kajian mendalam. Bahkan belakangan, aku suka menafsirkan sesuatu berdasarkan kajian budaya.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam mendekati atau memahami sesuatu. Pertama, belajar teorinya, kemudian praktekkan. Cara kedua adalah, lihat prakteknya kemudian pelajari teorinya. Metode yang pertama bisa dikatakan relatif ideal, namun dalam pelaksanaannya cukup sulit, karena ketika seseorang mempelajari teori terus menerus tanpa berada dalam komunitas yang melakukan teori tersebut, orang yang baru belajar tersebut bisa langsung patah semangat. Cara kedua, lebih pragmatis, cepat namun memiliki kemungkinan salah pijakan.

Entahlah, aku suka pusing memikirkan hal-hal seperti ini. Adakalanya membiarkan segala sesuatu berjalan sebagaimana adanya juga baik, namun disaat yang sama muncul juga keinginan untuk melakukan sesuatu.

2 comments:

imponk said...

Dulu saya sangat sering sekali diskusi tentang ini. Bahkan sampe "perang" antara yang percaya dengan adanya tuhan dan yang tidak. Bahkan, akhirnya tempat "perang" ditutup. Mereka berdalih kalo benar Tuhan ada, maka harus dibuktikan. Sedangkan bagi yang beranggapan Tuhan tidak ada, tidak usah dibutikan. Kenapa ada aturan aneh begitu ya? :D

btw, pembahasaannya berat mba' :) Siipp

za said...

font kutipan di bagian awalnya dirubah dulu yah Ti. Pusing bacanya.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...