Kau adalah bintang, cahaya, langit, bunga
Utuh dalam bayang kehidupan
Oksigen jingga bagi para pecinta
Cahaya bagi malam gulita
Awan bagi terik siang
Kau mengenalkanku pada berbagai warna
Memaknai setiap kejadian
Menyesap sang waktu dalam kelembutan
Hanya untuk memancing sebait tawa
Kata-katamu adalah semilir kehangatan
Membawa rona bagi pohon jiwa
Menghilangkan segala duka
Diam namun telah mengerti segala
Alasan tak lagi berharga
Rasional hingga logika ilmiah
Tak lagi bermakna
Karena kau adalah jawabnya
(10.03.05)
Kau tahu, mengenalmu adalah salah satu hal terbaik yang terjadi padaku. Tanpa kusadari aku jadi begitu terpaku, resahmu kini menjadi resahku dan gembiramu pun menyatu dalam deru nafasku.
He..he.. kacau juga nih blog kenapa jadi sarana bermelow-melow gini? Abis kemaren ada yang request biar lebih puitis sedikit, jadi deh puisi nyleneh. Didukung suasana malam, hmm… lengkap banget. Menurut kang Iyus, salah satu syarat agar bisa membuat puisi adalah pernah jatuh cinta. Ketika kang Iyus berkata seperti itu, protes langsung berdatangan dari golongan tertentu. Kalau bagi saya pribadi, puisi memang jauh lebih emosional. Kalau tulisan biasa bisa dipaksain dengan membaca beberapa bahan, tapi kalau puisi, asalnya memang bener-bener dari dalam. Istilah kerennya luapan perasaan. Jadi kalau sampai muncul pernyataan, harus jatuh cinta terlebih dahulu, tinggal diletakkan dalam kerangka yang tepat.
Saya jadi teringat percakapan beberapa waktu lalu mengenai spiritualitas. Dalam obrolan santai tersebut, saya menangkap ada kebutuhan akan sosok guru. Sosok ini adalah orang yang terbuka terhadap jiwa murni(lupa euy istilah psikologinya apa). Sebenarnya masing-masing orang memiliki jiwa murni, tapi kemampuan untuk mengasah dan mencari harus dibantu oleh sesuatu diluar dirinya sendiri(misalnya bagi orang beragama alat bantunya berupa kitab suci). Dengan alat bantu ini, seseorang dapat menajamkan jiwa murninya(masih tetep ngga inget, tapi kalo ngga salah pengklasifisiannya ada 3:nafs, kalbu,…).
Dalam hal ini subjektivitas seseorang menjadi cukup dominan. Pencerahan, saat dimana seorang mengalami ‘aha experience’ menjadi relatif, apakah pengalaman ‘aha’ tersebut hanya berlaku sesaat atau untuk selamanya. Orang yang sedang jatuh cinta misalnya, bisa menjadi begitu puitis dan romantis. Alam serasa menyanyikan simfoni berjudul kebahagian. Pohon-pohon mengilhami ratusan kata-kata tenggelam oleh perasaan yang meluap hingga akhirnya hanya bisa terdiam. Kepala hingga ujung kaki seolah hendak bernyanyi dengan segala nada yang pernah dikenal namun karena terlalu sesak, ia hanya bisa bergoyang-goyang ringan. Kau seolah ingin berteriak, “Dunia ini indah.”
Bagi yang jatuh cinta pada hal-hal materi, suasana mistis yang melingkupi ‘aha experience’ akan dikaitkan dengan berbagai hal-hal berbau fisik. Lain lagi bagi para pecinta dunia akhir, pengalaman ini akan diasosiasikan dalam hal-hal yang lebih hakiki. Lalu bagaimana jika tiba-tiba kau berhenti jatuh cinta, akankah kau tetap bahagia dan merasakan dunia dengan pandangan baru?
Ketika kau mencintai Sang Maha Mutlak maka kau akan jatuh cinta selamanya. Tapi bagaimana jika kau hanya tertarik pada satu sisi tanpa mau melihat sesuatu secara lebih utuh. Lama kelamaan kau hanya jatuh cinta pada imaji semu. Imaji tentang dunia yang tak pernah berakhir, tentang harta benda dan mungkin juga seraut wajah. Ketika kau jatuh cinta pada kerapuhan, maka pengalaman ‘aha’ hanya akan berlangsung sementara. Kau hanya terpaku beberapa saat kemudian hidup akan berjalan sebagaimana sebelumnya.
Apa jadinya jika ku jatuh cinta
Akankah langit berwarna jingga
Kucing-kucing berbahasa manusia
Menyatakan turut bahagia
Apa jadinya jika ku jatuh cinta
Masihkah ada ruang tersisa
Bagi pertarungan gelisah
Di atas sajadah
No comments:
Post a Comment