Minggu ini pulang lagi ke Serpong. Baliknya lumayan mendadak, Jum’at jam 11-an masih asyik di kampus(lebih tepatnya masih sibuk dengan bunyi tring..tring ym, dan beberapa windows yang terbuka), tiba-tiba kepikiran untuk pulang aja. Soalnya pas kuliah alin(aljabar linier) tadi dapat selebaran dari tentang membahagiakan orangtua, ditambah salah satu tulisan di Diary Project berjudul: “Ma, Maafkan Aku..”, jadi mumpung bisa pulang kenapa ngga. Sambil itung-itungan jam, kayanya masih sempat untuk ngejar buka di rumah.
Sambil mempercepat langkah kaki, ke sekre sebentar untuk mengundur waktu traktiran, trus lari ke tempat parkir sambil berdoa belum dikunci. Sampai di bawah, gerbangnya udah dalam posisi tertutup. Waktu udah menunjukkan waktu setengah dua belas, tapi untung aja masih ada petugasnya yang membukakan pintu. “Fiu…h, nyaris aja.”
Sampai di rumah, buru-buru masukin barang-barang yang perlu dibawa pulang. Buku-buku bahan TA, Alin, dan segala peralatan standar: charger hp, dompet, dan pinsil. Akhirnya, yup, siap pulang. O iya sebelum itu, pamit dulu ama Oma. “Ma, pulang dulu.” Cium pipi kiri-kanan, trus cabut. Bener-bener ngejar waktu, biar ngga kesorean di jalan.
Lumayan juga, sekitar jam 6 lewat aku udah sampai. Kebetulan ibuku lagi ada acara buka bareng di kantor, jadi kepulanganku belum diketahui. Pas ibuku pulang, “Momyy…”. Yes!! Bisa bikin mama terkejut. Ibuku Sabtu kemarin ulangtahun. Tadinya mikir mau kirim MMS aja, atau nelpon, tapi setelah dipikir-pikir mending aku-nya aja yang sekalian balik.
Meski minggu lalu udah balik, tetap aja suasana rumah merupakan kondisi tidak biasa. Kondisi ruang-waktunya aneh. Abis di rumah rasanya waktu berjalan sangat cepat, tau-tau weekend sudah habis dan aku harus balik ke Bandung, padahal rasanya belum ngapa-ngapain. Atau hanya mengisi waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana seperti nonton televisi, rasanya sudah senang banget. Selain kondisi tidak biasa itu, keadaan di Serpong juga sangat subur bagi kemunculan ide-ide.
Kali ini aku berpikir tentang anak-anak, kompensasi, dan karakter. Pemicunya acara Oprah Show(16/10) tentang Super Nanny. Acara yang mampu menggulirkan diskusi diantara aku, ibu dan kakak. Sambil diskusi, otakku juga ngga mau diam. Ternyata membesarkan anak sulit banget. Apalagi aku juga sedang membaca I don’t know how she does it dan Anak-anak pun Berfilsafat. Buku pertama covernya mirip chicklit, isinya mengisahkan seorang ibu sekaligus perempuan karier. Kerumitan membagi waktu, konsentrasi serta perhatian menjadi fokus dari buku itu. Sedangkan buku kedua bercerita tentang bagaimana anak-anak(usia 4-10 tahunan, kalo ngga salah) ternyata seorang filosof sejati(ngga heran Gardner sering menggunakan anak-anak di buku-bukunya).
Hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukan oleh anak-anak ternyata memiliki kesamaan dengan masalah-masalah filosof besar dunia. Asli, anak-anak ternyata kompleks banget. Merupakan sebuah keajaiban menyadari aku sudah melewati tahap itu dan menjadi seperti sekarang ini. Padahal melihat permasalahan yang ditimbulkan anak-anak pada orangtuanya, perjuangan orangtua antara mengikuti semua keinginan anaknya dan menetapkan batasan-batasan bagi kebaikan anaknya merupakan suatu hal yang berat. Dari salah satu contoh keluarga yang masuk acara Oprah, diperlihatkan sang ibu tak mampu menahan air mata ketika ia dilarang oleh Nanny untuk mendekati anaknya yang sedang menangis.
Benar-benar ngga kebayang. Ajaibnya, kalau banyak sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu sosial, eksak, ngga ada satu sekolah pun yang mengajarkan bagaimana cara menjadi seorang ibu yang baik. Harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa awan berwarna biru, sampai masalah Tuhan. Menjadi tegas namun sekaligus lembut.
1 comment:
Kapan kamu mau jadi mom juga Ti? :P
-za,
Post a Comment