Huehehe.. lagi pengen main versus-versusan. Aku lagi membandingkan sosial dengan sains. Di suatu buku(Feynmann kalo ngga salah) aku menemukan angka perceraian orang sosial jauh lebih tinggi, bahkan mencapai 5x lipat orang sains. Aku langsung mikir, "Wah, aku orang sains koq, ckakaka.." Perbandingan ini juga berlaku pada karakteristik bidangnya. Sebagai ilsutrasi, kalau di math ngga ada otoritas tertentu untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah(kebenaran adalah hakim tertinggi, karena semua orang diharapkan dapat membuktikan atau mengetahui jawaban dari sebuah permasalahan dalam matematika sesuai postulat yang digunakan), sedangkan dalam ilmu sosial segalanya bersifat relatif.
Karakteristik ini bisa ditarik sebagai landasan angka perceraian tadi, sosial sifatnya lebih fleksibel sedangkan orang sains lebih kaku. Aku sendiri, seringkali memandang diriku orang yang ngga teratur, tapi ketika menghadapi puluhan laporan berbeda format dan aku harus membuat summary-nya yang terjadi adalah kebutuhan STANDAR. Aku bisa gila kalau harus membaca ratusan halaman gara-gara format ngga baku. Bener-bener ngga terdokumentasi dengan baik.
Dalam buku Dunia Sophie, klasifikasi memang dimaksudkan untuk mempermudah kehidupan manusia. Salah satunya, ya si Standar itu. Yang jadi masalah adalah standar terkadang memarjinalisasikan kelompok minoritas. Aku sendiri ngga tau bagaimana mengatasi paradoks ini, disatu sisi, kebutuhan untuk standar diperlukan agar kehidupan tidak mengarah pada chaos, disisi lain, standar menghilangkan keanekaragaman.
Nah, kalau sosial dipetakan pada ketidakteraturan dan sains pada keteraturan, aku masuk kelompok mana ya? Aku sendiri senang melihat pola, dan itu semua untuk mendukung daya imajinasiku, hehe. Gara-gara seneng berkhayal, kalau aku jalan ke mana gitu, trus melihat suatu hal yang menarik, aku pasti membuat narasi tertentu dalam kepalaku, dan narasi itu tentu aja punya landasan logika tertentu. Sama seperti dimensi Harry Potter yang memiliki hukum fisika sendiri. Jadi aku pecinta keteraturan jika menyangkut orang lain dan relasi orang lain terhadapku, tapi aku sendiri ngga suka teratur, karena yang biasa itu membosankan, dan menjadi orang yang tertebak lebih membosankan lagi.
Yutiiiii, Dasar pemberontak!!
6 comments:
"dan menjadi orang yang tertebak lebih membosankan lagi"
so, mysterious person is exciting, huh?
:p
BANYAK orang sains yang pada titik tertentu melakukan U-turn. Mereka jenuh dengan sains dan menjadi orang sosial (seperti orang math yang belajar SP he...he...). Nah jangan-jangan yang suka cerai itu adalah orang sosial yang dulunya orang sains..ha...ha...Just kidding.
Yup, orang yang misterius selalu menarik.
Hehe, ngga tau juga tuh, angka itu diperoleh dengan metode apa:D tapi ada perbedaan yang cukup tajam antara dosen SP dengan matematika. Menarik untuk ditelaah lebih dalam:D
Yuti, tumben terjebak dikotomi. Bukannya kamu tidak suka dengan simplifikasi dan lebih suka berpikir holistik.
Dalam dunia keamanan jaringan komputer dikenal istilah social engineering. Jadi biarpun server sudah dikonfigurasi sedemikian amannya, mulai dari firewall, port-port yang ditutup, IDS, dll, server tetap saja bisa bobol! Gara-gara dilakukan teknik hacking menggunakan metoda social engineering.
Sains memang bersikap digital, benar-salah dan dunia sosial penuh dengan relativitas. Lalu bagaimana dengan hukum? Jadi teringat dengan kisah seorang pencuri yang terpaksa mencuri karena memang tidak ada jalan lain baginya untuk hidup bila tidak mencuri. Lalu layak dihukumkah orang seperti itu?
Hmm... jadi teringat Balairung. Dalam edisi "Kembali ke Desa", ada kata-kata yang menarik. "Kekuasaan, pengetahuan dan uang yang berkomplot akan menjadi kekuatan yang luar biasa".
Lalu menurut Yuti dimanakah letak pengetahuan (termasuk pengetahuan sains dan sosial) diantara kekuasaan dan uang?
hubungannya timbal balik, jadi harus memenuhi syarat perlu dan cukup. seorang ilmuwan, entah itu sains maupun sosial, akan terpengaruh oleh 'visi' hidupnya. artinya, seorang atheis akan mengarahkan pengetahuan yang dimilikinya untuk mendukung visinya tersebut(ex: dawkins, hoho). Dan bisa sebaliknya, pengetahuan mempengaruhi visi hidup. hal ini saya temui di sebuah milis dimana pandangan sesoerang akan Tuhan dipengerahi diskusi yang berjalan di milis tersebut.
kekuasaan dan uang pun sama, bisa mempengaruhi dan dipengaruhi. dengan citra yang melekat pada ilmuwan, seseorang dapat menggunakan ilmunya untuk meyakinkan orang yang sama seklai asing dengan ilmunya. itulah mengapa matematika dipenuhi dengan berbagai mitos, salah satu jawaban yang sering kali muncul dalam penelitian mengenai mitos matematika adalah gap komunikasi karena simbol-simbol yang digunakannya. uang dan kekuasaan juga membuat kelompok-kelompok dalam ilmuwan, salah satunya adalah penolakan Grisha atas ield Medal yang tak murni lagi.
Akhirnya siapaun tinggal memilih, apa vuisi hidupnya,dan dengan tools apa ia akan meraihnya.
Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008
Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).
INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?
Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):
Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).
Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.
PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).
THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm - The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.
Post a Comment