Wednesday, July 28, 2004

Abstrak dan Real

Tadi ada diskusi lucu di kampus. Lucu karena dua hal, pertama karena temanya yang emang menarik dan lumayan berat, kedua karena banyak distorsi bahasa(karena kemampuan inggris yang lumayan parah kalau verbal). Walaupun belakangan udah mulai menggalakkan membaca buku2 teks berbahasa inggris, tapi lumayan ngga nolong he..he.. Jadi ya setengah mendengarkan dan setengahnya lagi bikin konstruksi sendiri di otak. Kalau akhirnya ada yang bilang sains itu berfungsi baik untuk kemanusiaan, tapi gw nangkepnya kebalikannya, ya ngga heranlah. Untung pak Bambang bikin tulisannya dalam bahasa Indonesia.

Setiap kali memulai kajian, pasti ada pertanyaan esensial yang yang harus dijawab? Kenapa gw ngelakuin ini semua? Maksudnya apa sih pentingnya diskursus ini bagi masing-masing individu? Gw sendiri waktu pertama kali dikenalin ama wacana sains-agama ama kak Rezha, melihat ini kesempatan untuk ngeliat sains dalam perspektif yang lebih luas. Maunya sih ceritanya kaya gini sains+agama->semangat belajar math->ip gede->lulus cepet->hidup bahagia selama-lamanya. Eh alurnya malah jadi wacana sains+agama->mikir macem-macem->pikiran kemana-mana. Skenario awal gagal total deh.

Ada hal yang menarik mengenai abstrak dan real. Dengan tema sains dan nilai-nilai kemanusian, acara tadi mencoba untuk menyoroti perkembangan sains yang ternyata banyak menimbulkan dampak merugikan. Tapi karena banyak distorsi, jadi tulisan ini kayanya ga nyambung ama yang tadi. Menurut Whitehead, salah satu alasan kenapa sains pada era modern banyak menimbulkan kerusakan disebabkan oleh kesalahan penafsiran(mistaking abstractions with reality). Karena latarbelakangnya math, sekalian aja gw tamabahin curhat tentang pelajaran Analysis Real. Judulnya sih keren tapi dalemnya asli anril(baca:unreal). Bayangin aja, kita disuruh ngebuktiin 1+0=1. Gila ngga sih? Kalo satu lidi ngga ditambah-tambah lagi kan bakal tetep sat(aduh, semoga dosen gw ngga ada yang baca blog ini, ntar gw dipecat jadi mahasiswa math). Tapi dalam math ada pembuktiannya yang dianggap ngga loncat. Sedangkan kalau penulisan 1+0=1 sebenarnya masih loncat.

Trus mana batasan antara abstrak dan real. Seperti di potongan awal acara tadi yang gw tangkep, real muncul dari kesadaran. Nah, selama orang akrab dengan suatu realitas tertentu maka itulah realita bagi dia. Math dengan analysis real-nya yang asli abstrak banget bagi orang awam, begitupula sebaliknya. Mungkin itu yang menjadikan dunia ini begitu penuh warna, ketika kita mengintip dunia orang lain dan terpesona sesuatu yang baru.

Dialog

Gw      : “Gila lo, mau bikin blogspot ini kaya tempat ceramah apa, liat tuh dua tulisan  sebelum ini?! Ga’ asyik tau.”

Saya    : “Serius amat, nyantai aja lagi. Kamu sih hobi ngotak-ngotakin hikmah. Kalau perasaan semacam pencerahan--kata yang dulu sering banget kamu pakai itu-- kamu dapatkan dari jalan-jalan di alam atau melihat keadaan orang-orang sekitar, maka ada yang mendapatkannya dari tulisan. Kamu jangan sombong, awalnya kan kamu juga belajar banyak dari ustad-ustad di sekolah yang ngasih banyak banget rujukan. Kenapa kamu menafikan semua itu, apa kamu ngerasa tahap itu udah selesai? Wah kalau gitu kamu harus balik lagi ke kelas satu SMA. Ada orang yang terinspirasi dari film, ada juga dari kisah hidup seseorang, kamu jangan lupa kalau semesta ini hadir sebagai tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Bagi para pencari yang senantiasa berharap, insyaAllah ada jalan koq. Hanya mungkin pendekatan bagi setiap orang beda-beda.”

Gw      : “Bukannya gw bikin klasifikasi, tapi ga asyik aja bacanya. Kan lebih enak kalau semuanya ngalir aja. Ngga perlu segala teori dan tetek bengek lainnya.”

Saya    : “Itu sih, kamu ngeledekin gaya tulisan saya.”

Gw      : “Bukan ngeledekin, tapi ketika gw baca tulisan lo, kayanya yutinya jadi terlalu serius.”

Saya    : “Saya nangkep arahannya, itu semua karena ada banyak pertimbangan termasuk tulisan yang masuk kategori privat atau publik.”

Gw      : “Ya ampun, lo ngga tau apa, blogger tempatnya orang cuap-cuap. Mau ngomong apa kek bebas aja lagi. Gitu aja koq repot.”

Saya    : “Nah itu dia yang jadi masalah. Ketika seseorang melakukan sesuatu di wilayah privat maka hal itu merupakan tanggungjawab dia sepenuhnya, terkait juga dengan apa yang dianutnya. Tapi ketika, misalnya dia melanggar norma kesusilaan di wilayah publik, maka dia harus bertanggungjawab juga secara moral kepada orang lain. Masa kamu lupa, pernah diingatkan untuk ngayak tulisan kamu untuk memperkecil kemungkinan salah tafsir.”

Gw      : “He..he.. serius amat. Kidding lagi. Tapi internet kan dunia maya dimana semua orang bebas jadi siapa aja. Kalau dulu Descartes pernah bilang Cogito Ergo Sum(Saya berpikir maka saya ada) yang kental dengan nuansa math-nya, pembuktian jika maka. Dengan menerapkan kata-kata tersebut dalam dunia maya, eksistensi seseorang dinilai dari pola pikirnya. Contoh paling gampang dalam milis, ngga perlu pakai nama asli selama bisa mengikuti dan melontarkan pemikiran yang cerdas maka apapun yang dia hadirkan sebagai identitas bakal eksis. Terus kenapa juga sekarang repot ngomongin batasan? Jelas-jelas dunia maya hadir untuk meruntuhkan segala sekat, entah itu jarak, ras atau apapun juga."

Saya    : “Nah, sekarang siapa yang berteori? Emang ngga ada batasan. Tapi semuanya kembali kepada tanggungjawab individu itu nulis. Kamu sendiri kan punya beberapa tingkatan tulisan, dan kamu juga yang memutuskan mana yang masuk catatan untuk publik dan mana yang masuk wilayah privat. Ketika seseorang melakukan sesuatu hal di wilayah publik, mengatasnamakan ekspresi diri padahal jelas-jelas ngelanggar norma yang ada, nah itu yang salah. Tapi hukuman itu ada tingkatan-tingkatannya juga."

Gw      : “Nah kan, lo mulai ngga asyik lagi. Apa sih isi pikiran lo? Kayanya teori mulu, apa lo ngga pernah bersenang-senang?”

Saya    : “Kamu lucu ya, bagaimana kamu mendefinisikan bersenang-senang? Jalan-jalan ke mall, ketawa-tawa atau yang lebih parah lagi versi sinetron ABG rebutan cowo’ dengan segala cara, terus ketawa penuh kelicikkan jika saingan kamu itu kalah? Wah kalau saya memandang itu sebagai sebuah penurunan martabat.”

Gw      : “He..he.. gw sepakat banget. Tapi cara lo itu lho kayanya tuh hidup itu serius banget. Nyantai aja lagi…”

Saya    : “Wah, kalo itu sih kamunya aja yang ngga gaul. Masing-masing orang kan punya taman bermainnya masing-masing. Rasul aja menjadikan ladang jihad sebagai sarana rekreasi. Semua yang kamu liat ngga lain hasil penafsiran di otak. Jadi kalau kamu bilang saya orangnya serius banget, ya bagi saya semuanya relatif.”

Gw      : “Ya ampun, lo koq ngejadiin kita beda banget sih. Apa memang mungkin penggunaan kata gw dan saya berpengaruh banget? Btw, kenapa lo(saya) yang lebih pinter ya, kan gw juga berasal dari orang yang sama?”

Saya    : “Cka..ka..kak.. dasar, dari dulu kamu tuh konyol banget. Soalnya kamu meledak-ledak. Suka samber sana, samber sini ngga karuan. Kalau saya lebih teratur, tapi lama-lama lupa akan tujuan. Saat itulah saya membutuhkan kehadiran kamu untuk kembali mengingatkan rasa-rasa yang hilang.”

Gw      : “Jadi kalo gaya tulisan sebelum-sebelum ini yang beda banget kalau yuti lagi jadi gw atau lo(saya) itu pengaruh mood-moodan.”

Saya    : “Kalau itu karena ketika nulis otomatis kamu akan mikir untuk siapa tulisan itu kamu buat. Kata gw lebih bersifat pribadi sementara kata saya lebih bersifat reflektif.”

Gw      : “Gila lo ya, mau jadi psikolog. Tetep aja curang, kenapa lo yang memainkan tokoh          pinternya. Gantian dong.”

Saya    : “Ye, gaya kita kan beda. Masing-masing punya cara koq dalam memainkan peranannya.”

“Tarian Pendekar Bayangan menunjukkan padanya bahwa keheningan juga memiliki keindahan dan keanggunannya sendiri; bahwa tindakan bisa sama terhormatnya dengan kata-kata; dan bahwa makhluk kegelapan bisa sama indahnya seperti anak-anak cahaya.” (Harun&Lautan Dongeng, h.134, Salman Rushdie)

NB:Bukan dalam artian mencampur yang hak dan yang batil, namun dalam menafsirkan kehidupan orang lain, adakalanya semua berasal dari persepsi pribadi.

Tuesday, July 27, 2004

Sufi(Suka Film)

Tadi abis nonton Spiderman padahal harusnya rapat. He..he.. ini sekalian sebagai rasa penyesalan( eh lebih tepatnya pembenaran kali ya..). Asli film Spidey manusia banget. Ngga asyik sih kalau diceritain, tapi intinya semua orang punya masalahnya masing-masing, dan menjadi seorang manusia super dengan kemampuan lebih, entah itu kekuatan, kecerdasan, kekuasaan atau apapun namanya ngga bakal bisa ngehindarin manusia dari yang namanya sakit hati bahkan terluka. Salah satu bagian yang menyentuh, saat Dr. Otto-nya menceritakan kisah cintanya dengan L..(agak lemot dalam mengingat nama orang ;p). Dr. Otto-nya ngomong tentang teori relavitas, calon istrinya(saat ngomong belum nikah) ngomongin T.S Elliot kemudian keduanya dipersatukan oleh sebuah puisi. Sebuah kisah cinta-cintaan ala Barat? Kalau mandang segala hal dengan kecurigaan dan sinis bisa jadi itu yang ketangkep, tapi kalau ditaro dalam kerangka yang lebih luas, sesuatu yang Hakiki bisa mengalahkan sedikit perbedaan yang ada, kayanya dunia ini indah banget ya...

Btw, saya merasa ada orang yang lagi melancarkan perang dingin pada saya. Kalau emang bener, saya minta maaf. Soalnya kadang-kadang kalo becanda suka ngga diayak, jadi kali aja ada yang tersakiti. Balik lagi ke film, pas nonton sih muncul banyak inspirasi untuk nulis, tapi kalau sekarang udah melayang deh ide-ide gila yang tadi sempat mencuat. O iya, film tadi nyambung juga sama chatting kemarin-kemarin, kalo setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Pas ngobrol kemarin dicontohin kalo Einstein aja benci ama perang, tapi itu ngga menjadikannya terjun ke medan pertempuran melainkan membuat bom(sorry, kalau salah ngingetnya). Nah, pas nonton film spidey, jadi keinget lagi ama pesan dari kakak chatting kemarin, peter parker juga harus menentukan sendiri langkah yang akan dia ambil. Apakah dia mau hidup normal dan meninggalkan semua kelebihan yang dia miliki(di film digambarkan dengan berlebihan diiringi lagu bahagia yang menjadikan semuanya sarkastik) atau dia tetap hidup di dunia, menjadi peter parker sekaligus spiderman?

Bagi kita, tentu tidak ada pilihan untuk memiliki jaring laba-laba, tapi masih ada banyak kelebihan lain yang bisa menjadikan hidup ini sempurna atau malah kebalikannya. Masalah, nah itu juga milik semua orang. Kadang saya merasa semua masalah seperti menyerang saya seorang diri, tapi kalo ditinggal tidur, matiin hp masalahnya ilang deh(untuk sementara). Pas bangun n nyalain hp, hua... kaya ada bom meledak dua..ar. Masalah makin banyak. Sekarang sih udah kapok paling matiin hp kalo lagi tepar dan ini juga atas perintah atasan(orang-orang di rumah yang bingung koq anaknya yang bungsu ini ngga pulang-pulang).

Sunday, July 25, 2004

Menjadi Dewasa(2)

 
Apakah dewasa berarti siap menantang dunia dalam kesendirian atau berani bertanggungjawab atas semua tindakan yang diambil? Saya lebih memilih pilihan kedua. Dalam perspektif dunia-akhirat, tanggungjawab adalah sebuah keniscayaan. Meski hidup di dunia adalah semacam sebuah pilihan bebas, dimana tipu menipu, memperdayai terjadi. Namun jika seseorang dewasa dalam kehidupan antar manusia dan spiritual, seharusnya ia juga mempertimbangkan Sang Maha Melihat.

Jadi bagaimana dengan menjadi dewasa? Apakah semua orang siap dengan transformasi, padahal setiap perubahan pasti membutuhkan energi yang lebih besar? Mungkin dewasa juga lekat dengan perubahan, yaitu bagaimana kedewasaan kita dituntut menerima perubahan ke arah yang lebih baik. Wu..ih berat juga ya… Ketika saya bertanya kepada seorang pengemis yang biasa nangkring di daerah dekat kampus, dia bilang sudah puas dengan kehidupannya. Atau ketika saya bertanya pada pedagang yang biasa berjualan di ITB, apakah dia sudah memanfaatkan waktu penundaan, jawabannya adalah tidak. Mengatakan bahwa kekurangan mereka adalah akibat ulah mereka sendiri, tentu akan terasa konyol. Bukan membela atau membiarkan sebuah kemapanan akan kemalasan, namun struktur yang ada dari dulu memang sudah salah. Hmm.. tampaknya masing-masing orang memiliki rumah kacanya sendiri.

Ada yang bilang mental kita masih mental bangsa terjajah. Maksudnya, bentuk perubahan paling bisa terjadi jika ada seorang pemimpin(bisa digantikan dengan kata provokator, pembaharu dll.). Akibatnya untuk merubah suatu hal kita masih sangat tergantung dengan tokoh karismatik(bisa artis, negarawan atau siapapun yang lekat dengan sosok idol). Dalam situasi ini penokohan jadi sangat sentral. Jadi inget sejarah waktu ada pengelompokkan masa sebelum 1908(atau 1928 ya, lupa euy..) dan sesudahnya. Kalau yang sebelumnya masih bersifat kedaerahan dan jika ada kematian seorang pemimpin maka perjuangan akan padam. Pasca 1908(/1928), perjuangan sudah bersifat nasional, dan sudah ada regenarasi pemimpin. Kalau ngeliat keadaan kayanya malah ngga ada corak lagi. Ngga ada lagi musuh bersama yang kasat mata. Mental atau kesadaran hanya berada di wilayah personal, meski pada tahun-tahun tertentu terjadi juga ledakan pergerakan akibat kondisi ekonomi yang melarat.

Apakah pergerakan hanya akan terjadi jika keadaan itu menyangkut keadaan diri sendiri? Atau ini peranan penggeraknya. Di buku Tipping Point ada tuh penjelasan-penjelasan bagaimana suatu yang kecil bisa menjadi besar. Seperti kebangkitan merk Hush Puppies yang dulu nyaris mati, atau yang lebih nyambung dengan pergerakan bagaimana Paul Reverre berhasil menyebarkan rencana penyerangan Inggris dalam sehari, ditengah malam buta pula. Berkat jasa Reverrelah balatentara Inggris mengalami kekalahan yang memalukan pada tanggal 19 April 1775. Peristiwa ini sekaligus menjadi pemicu terjadinya Revolusi Amerika.

Di Indonesia pergerakan yang berhasil mengakibatkan pergantian pimpinan(terlepas dari isu kudeta, sukarela dll) terjadi dua kali keduanya melibatkan mahasiswa dan banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan fisik merupakan motivasi nomor satu. Artinya jika harga melambung tinggi, masyarakat kontan akan menjerit. Jika keadaan ini diartikan sebagai suatu kondisi di titik nol(nothing to lose) maka rasanya tak ada keadaan yang akan lebih buruk lagi. Kesadaran titik nol inilah yang menyebabkan mereka mau bergerak. Kehadiran sosok Reverre sebagai seorang penghubung tampaknya wajib ada untuk menggerakan sekian ribu massa dan membenarkan aksi yang dapat dipersepsi negatif. Dalam era informasi media tampaknya menjadi penghubung terbaik. Masalahnya tinggal pada sebagaimana sebuah keyakinan itu diusung dan dirangkai menjadi sebuah berita yang dapat meyakinkan pemirsa untuk mendukung perjuangan tersebut.

Dalam sebuah studi pengaruh media khususnya acara TV tertentu, pernah dibandingkan dengan perkembangan pemirsa. Acara Sesame Street yang pernah booming di awal 90-an dibandingkan dengan Blue’s Clues. Hasilnya acara Blue’s Clues dapat merangsang anak-anak untuk lebih kreatif. Ya..h gitulah kira-kira;p Bagaimana dengan tayangan berita? Saya sendiri memilih liputan6, terutama setelah kasus STPDN. Sebelumnya, di masa Orba lipatan6 juga pernah menayangkan tayangan kontroversial tentang kasus cabut gigi. Jika sebuah tayangan sudah memperoleh kepercayaan yang tinggi, otomatis tingkat kepercayaan pemirsa terhadap validitas acara tersebut juga tinggi. Dari sanalah, media bisa berperan sebagai pilar keempat demokrasi, asal menjunjung tinggi kaidah2 jurnalisme aja.

He..he.. makin ngga jelas arah tulisannya kemana. Kembali ke perubahan dan kedewasaan, apakah perubahan yang dimanifestasikan dalam pembangunan lima tahun selama ini sudah mengarah pada manusia paripurna, yang memiliki tanggungjawab? Bagi saya jawabannya adalah tidak, karena kesadaran mayarakat belum merata. Belum ada yang bercita-cita menjadi anak jalanan, sementara cita-cita seperti dokter, presiden kerap kita dengar. Jika jalan hidup adalah sebuah pilihan, biarlah ia terbuka dengan selebar-lebarnya, untuk semua umat manusia.

Menjadi Dewasa(1)

Tahun ajaran baru artinya, adik-adik baru. Bakal ada tambahan satu angkatan lagi yang manggil dengan teh, kakak atau mba. Makin dewasa? Kayanya ngga juga, yang pasti sih makin tua. Tapi biasanya kehadiran adik-adik baru artinya turun angkatan. Soalnya kalau mereka nebak biasanya selisih satu taun, jadi bakal dikira anak 2003 nih. Malah ada adik angkatan yang sampai setaun baru nyadar kalau saya angkatan 2001, padahal tiap hari ketemu. Mungkin karena masih gaya yang masih rada asal dan main ama anak 2002. He..he.. jadi kesimpulannya bukan makin tua, tapi kebalikannya.

Lalu apa hubungannya dengan makin dewasa? Seharusnya sih udah punya banyak tanggungjawab. Kalau dulu masih bisa ngandalin orang, sekarang seharusnya udah bisa mulai diandalin. Seharusnya dengan predikat dewasa, seseorang dituntut untuk lebih berkomitmen dan bertanggungjawab. Kalau waktu kecil mecahin gelas yang panik adalah ortu karena takut sang anak kena pecahan gelas, kalau udah gede kita yang dituntut untuk lebih berhati-hati dan menyelesaikan persoalan.

Kemarin ikut acara wisudaan KM3. Wah, kakak-kakak udah akan memasuki fase baru, memasuki gerbang kehidupan yang sebenarnya. Ada beberapa orang yang mengibaratkan masa-masa kuliah sebagai sebuah tempat inkubasi. Ada juga yang yang bilang seperti sebuah simulasi kehidupan. Tapi saat kita selesai kuliahlah kehidupan yang sebenarnya akan dimulai. Saat kita udah harus dengan tegas menentukan langkah yang kita ambil. Dulu waktu saya menceritakan ketakutan menjadi gede, guru SMA menenangkan dengan mengisahkan anak-anak di Amrik yang sudah mulai dilepas umur 18 tahun. Umurlah yang menentukan kematangan seseorang, dan siap atau tidak siap, ia harus mulai terjun ke dunia yang keras. Makanya, kata guru saya lagi, umur 17-18 merupakan saat yang labil di Amrik. Ada yang ketakutan sampai ngeboat, ada juga yang mulai mencari kerja, macem-macem reaksi deh…

Saya sendiri tampaknya masih harus menjawab tantangan besar ini dengan serius. Ada sebuah daerah aman yang saya namakan rumah kaca. Rumah itu senantiasa memberikan perlindungan dan kasih sayang. Didalamnya ada orang-orang dengan pemikiran sama, ada orang-orang yang peduli dan untuk lepas dari rumah kaca itu rasanya sangat sulit. Salah satu rumah kaca itu adalah IC, walaupun setiap tahun langganan mau keluar dari sekolah--sampai waktu ketemu guru di ITB waktu ngedampingin adik-adik ikut lomba, saya diledekin-- tapi IC merupakan sebuah tempat dimana semuanya nyaris terpredikisi. Mungkin mirip dengan gambaran sosialis utopisnya Simon(seorang pengusaha yang menyediakan perumahan, pendidikan dan toko2 bagi karyawannya, cerdiknya para karyawannya digaji dengan kupon sehingga selain kebutuhan hidup tercukupi, semangat kerja terjaga, barang2 produksi pun langsung memiliki konsumen).

Ada kenyamanan didalamnya. Jaring-jaring kemapanan yang membuat saya merubah segala cara pandang saya didalamnya. Sebelum lulus lulus aja ada berbagai macem pesan yang sampai saat ini masih melekat dengan jelas, “Yut, kamu jangan terlalu gampang percaya ama orang”, “Jangan lupain apalannya”(wah kalau yang ini sih agak berat) atau “Kalau kamu lagi bingung, berpikirlah untuk apa kamu ngelakuin itu semua.” Pesan-pesan sederhana yang jika tiba-tiba melintas dalam pikiran bisa membuat saya senyum-senyum sendiri.

Menginjak tahun ketiga kuliah rumah kaca itu menjadi sebuah wilayah yang tidak jelas. Tidak ada suatu tempat yang benar-benar lekat. Anak-anak IC masih menjadi rumah paling ideal, sampai orang kadang bingung mendefinisikan hubungan yang ada diantara kami. Tapi kalau dari mulai jam 5 pagi ampe jam 8 malem barengan terus, apa ngga jadi kaya saudara. Dengan adanya orang-orang yang selalu ada, tengah malam sekalipun, bagaimana ketergantungan itu tidak tercipta? Dan sekali lagi, bagaimana cara kami menjadi dewasa?

Wednesday, July 21, 2004

Koq

Salahkah jika seorang ingin eksis?
Tapi entah kenapa, hanya asing yang terasa
Kekaguman yang berawal pada kesederhanaan
Kini berkembang menjadi peng-akuan
Dimana-mana...
Siapa yang berubah?

Takdir

Sekarang gw mau kental dengan pendekatan Qadariyah. Sebenernya lebih mirip lagi dengan ajaran atau spirit yang dibawa buku Celestine Prophecy, yaitu energi positif dan negatif bakal mempengaruhi keputusan seseorang. Lebih ekstrem lagi, semua yang ada di dunia ini merupakan tanda untuk menyatakan eksistensi-Nya. Kaya jaring-jaring kehidupan gitu deh, jadi kalo Einstein diberi ilmu untuk menafsirkan alam dengan begitu hebatnya, ngga lain karena akumulasi keshalihan beliau, baik itu dalam komitmennya dalam penelitian maupun interaksinya dengan sesama(tapi ini pake perspektif universal, ngga pake sandaran agama tertentu). Dulu temen gw suka bisa nebak buku apa yang abis gw baca tulisan gw, ngga tau sekarang warnanya masih sekental dulu ngga.

Pernah gw ngadain percobaan ke orang. Ya… gw udah punya hipotesis awal, kalo dalam bahasa kerennya sih gw udah su’udzon duluan. Hasilnya sesuai tebakan gw, gw belum dapet barangnya sampai nyaris satu tahun. Kalau dipikir-pikir ini karena energi negatif di awal, atau bisa juga karena analisis karakter orangnya tepat banget. Tapi gw lebih suka pake pendekatan di buku itu. Jadi ketika kita su’udzon, hasil itulah yang kita peroleh. Kaya dalam perspektif tassawuf, Allah hadir sebagaimana kita berprasangka terhadap Dia. Ada kata-kata bagusnya tapi gw lupa. Intinya kalau kita melihat alam semesta sebagai lautan kasih-Nya maka paradigma kita cinta banget, tapi kalau dalam sudut pandang reward and punishment maka yang ada keterpaksaan. Sebenarnya ini tahapan-tahapan juga sih, kaya kalo waktu kecil hak ortu untuk mukul anaknya kalo ngga mau shalat. Beranjak dewasa udah ngga ada lagi pengawasan kaya dulu, yang ada adalah kesadaran kita untuk melakukan itu semua. Akhirnya kedewasaan kitalah yang dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang kita pilih.

Kemarin gw sempat kecewa, makanya catatan sebelum ini jadi agak ngga karuan. Tapi kalo ngeliat ini sebagai salah satu bentuk kasih sayang Sang Maha Kasih dalam negur gw, lebih tepat lagi merhatiin gw, maka gw jadi ngerasa lebih tenang. Gw nyadar ngga ada yang pengen hal itu terjadi, jadi apa yang terjadi merupakan bentuk perhatian Sang Khalik untuk gw dan mungkin orang-orang yang terlibat didalamnya. Abis semua proses kejadiannya serba kebetulan, ketemu ngga sengaja, trus firasat-firasat, semuanya seperti ada dalam satu skenario. Hmm… jadi setelah merenung akhirnya gw bisa lebih sabar. Dari awal sih gw udah mikir ini cara-Nya untuk negur gw. Abis liburan ini bikin gw rada ngga beres, kebiasaan-kebiasaan gw yang dulu, banyak kumat lagi. Bukan hal yang parah sih, tapi ya… jadi terbawa ke suatu arus tertentu. Negatif? Wah gw ngga pernah menganggap ada yang negatif soalnya segala hal yang gw jalanin gw anggap sebagai sebuah perjalanan mencapai kebenaran hakiki. Kadang serem juga sih kalau caranya udah beda banget, kalo goyahnya udah ngelewatin batas yang gw tetepin, atau kalo musim ngambek gw kumat. Tapi dengan peristiwa itu gw seneng bisa ngedapetin percakapan-percakapan yang selama 3 tahun ini sempat ilang. Bayangin segitu parah gw terluka…

Mending kalo Cuma monyet-monyetan, tapi sejak SMU gw disadarin ada yang lebih dalem dari itu, ada yang lebih sejati. Kalo zaman SD gw sering dimarahin karena berulang kali udah dikasih tau kalo dalam pelajaran agama tuh nikmat yang paling tinggi adalah iman dan Islam. Tapi karena gw belum merasakannya setiap kali ditanya, gw jawab dengan nikmat kesehatan. Bukannya kalo pidato yang pertama kali di syukuri adalah nikmat sehat, tapi sekarang gw baru nyadar. Kadang gw jadi mikir gimana kalau awal gw ngga disini, gw ngga tau deh apa yang bakal terjadi…

Kemarin sempat liat buku otobiografinya Karen Armstrong, beliau disebut sebagai monotheis freelance. Lucu juga… Ada beberapa pengarang yang gw liat ngusung semangat serupa. Rata-rata benci perang dan aktif dalam kemanusiaan. Tadinya gw juga menyamakan kemanusiaan dengan agama, seperti yang disebut dalam buku Lajja yang kontroversial, bagaimana kalau agama digantikan dengan kemanusiaan. Atau seperti yang pernah ditanyain temen gw, gimana kalo agama malah membuat rakyat sengsara. Kalo gini sih gw pake studi historis zamannya Marx yang nyebutin agama adalah candu bagi rakyat. Gw tafsirinnya ngga pake materialisme, tapi dari konsep candu yang bikin orang lupa diri. Tapi kalo diliat dari masyarakat satu itu, otoritas para kepala agama emang dominan, dan yang jadi masalah mereka manfaatin posisi mereka untuk suatu hal yang ngga bener. Jadi gw setuju-setuju aja selama kata-kata itu dipandang berkaitan dengan waktu dan tempat(jadi ngga nir-waktu dan nir-ruang).

Nah, kalo kita yakin bahwa apa yang kita anut merupakan fitrah manusia itu sendiri, ngga bakalah muncul pertentangan kaya yang diceritain sejarah, antara agama dan kemanusiaan. Bukankah kemanusiaan itu suatu hal yang fitrah juga?(untuk lebih jelasnya baca buku The Tao of Islam, yang ngajarin gimana untuk ngeliat segala sesuatunya lebih seimbang, bahwa kejahatan itu ada untuk menggenapkan kebaikan, seperti halnya Rasul yang hadir untuk membawa berita gembira sekaligus membawa peringatan). Seperti juga cerita di buku Taiko, ketika Nobunaga menyerang kuil …(lupa euy, yang posisinya di bukit) karena keberpihakkan mereka pada musuh Nobunaga dan kelakuan mereka yang ngga beres. Jadi kalo ngeliat dari asal katanya agama, a artinya tidak dan gama yang artinya kacau, seharusnya agama memang menjadi petnjuk jalan agar kehidupan manusia tidak kacau. Gw jadi inget sms yang nyasar ke hp gw, “Tidak ada agama yang akan membawa manusia ke surga.” Sayang tuh sms itu ilang dan nomornya kehapus gara-gara nyopot simcard. Gw heran ada aja perjalanan hidup gw yang ngarahin gw ke daerah yang ngga gw sangka-sangka. Pas gw bales, “Kenapa Anda menuhankan surga?” Eh ngga dibales lagi. Yah, kehilangan temen deh…(btw kalo baca blogspot ini dan masih mau melanjutkan diskusi, gw tunggu).

Tapi dalam perjalanan gw ke badui, hmm.. bukannya dapet hikmah tentang keterasingan, gw malah mendapat ilmu tentang manusia. Salah satu temen seperjalanan gw kerjanya sebagai penjaga rumah. Badannya penuh tatto, dari mulai punggung sampai tangan penuh dengan gambar. Pokoknya bisa dibilang sangar abis, tapi setelah berada dalam satu perjalanan ternyata orangnya baik banget. Disinilah pentingnya prinsip hidup atau ideologi. Kemarin-kemarin sih udah diskusi tentang ideologi, tapi gw tetep ngga tau istilah yang tepat buat dasar yang melandasi semua keputusan dan perilaku seseorang. Nah, dasar itulah yang menyebabkan suatu perbuatan bisa dinilai baik apa ngga. Trus definisi baiknya juga harus ditinjau lagi dari baik oleh siapa, kalo sebatas kebaikan dunia maka sangat mungkin perbedaan bisa direduksi sampai kebaikan universal, tapi kalo sampai tahap kebaikan akhirat gw pikir inilah yang menyebabkan adanya perang. Soalnya masing-masing pihak memperjuangkan apa yang mereka yakini. Keyakinan inilah yang menjadi alasan mereka hidup. Cara pandang ini bikin gw lebih simpatik terhadap perang. Makanya pas gw baca Taiko, gw bisa mulai menyelami keindahan berkorban. Walaupun gw masih freak out ngeliat darah, tapi berkorban untuk suatu hal yang kita yakini dan cintai kayanya merupakan keindahan tersendiri.

Mungkin dasar yang melandasi perilaku seseorang tepatnya disebut niat, soalnya kadang di tataran permukaan hasilnya sama tapi niatnya beda. Kaya beberapa temen gw yang protes kenapa aksi lebih banyak menyorot pada hal-hal yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Bukankah masalah buruh juga harus mendapat perhatian, untuk ngejawab ini gw pikir karena pemberitaan yang kadang emang ngga proporsional dan yang kedua karena ada keterikatan batin, soalnya bukan masalah jauh dan dekat tapi ada ikatan emosional yang nir-jarak(he..he.. lagi hobi pake kata nir). Gw pikir naluri manusia lebih pada kebaikan, kalo dia melawan nalurinya itu gw pikir karena ada faktor-faktor eksternal yang membuat dia terpaksa melakukan hal itu. Sebenarnya kefakiran deket dengan kekufuran, atau kebodohan seseorang yang menyebabkan orang ngambil jalan pintas, atau mungkin juga hawa nafsu(tamak, ketidaksabaran).

Kalau ada dua orang manusia di dunia apa yang akan mereka lakukan? Hidup damai atau malah perang? Gw bakal milih damai tapi hamster gw waktu dikasih temen(jadi sekandangnya berdua) eh temen barunya malah dibunuh. Mana enak hidup di dunia Cuma sendirian. He..he.. mana bisa manusia disamain ama hamster.

Hua..ah lega kalo udah curhat…

Ujian Cinta

“The one you love is the one you hate” itu kata Shakespeare. Gw kirain prinsipnya kaya orang ketawa, kalo kebanyakan jadi bikin nangis tapi ternyata gw salah. Tusukan-tusukan yang asalnya dari dalem rasanya jauh lebih sakit. Kenapa orang-orang yang gw sayangin karena cara mereka berinteraksi dengan-Nya, yang membawa simfoni tertentu setiap kali gw ngeliat ketaatan mereka, membuat gw terhempas sedemikian dalam. Meruntuhkan semua keyakinan yang gw bangun secara perlahan. Dari awal gw tau ada perbedaan pendekatan, gw nyadar dan gw sangat menghargai perbedaan itu. Tapi yang gw ngga abis pikir kenapa hal-hal kecil, yang biasanya ada di pelajaran pancasila atau tata krama semuanya ngga sejalan. Padahal buat gw hal2 demikian yang lebih prinsipil, buat gw itulah yang disebut kaffah. Gw ngga ngerti, untuk sesaat keyakinan gw goyah blas.

Dulu gw bisa menemukan kedamaian dalam percakapan-percakapan kecil dengan-Nya. Semuanya mengalir, tanpa skenario atau apapun. Apa yang gw lakuin atas dasar kata hati. Tapi sekarang, gw ngga tau berpijak dimana. Gw ngga tau lagi apa arti tulus yang sebenarnya. Dengan bombardir informasi dari berbagai sumber, gw jadi sebel banget ama Amrik. Pas gw nonton Info Mancanegara di televisi swasta, gw ngeliat ada bencana alam yang menimpa salah satu daerah di Amrik. Spontan gw bersorak gembira, tapi beberapa detik kemudian gw beristighfar karena yang jadi korban sebuah panti jompo. Apa yang terjadi pada kemanusiaan gw, apakah kesalahan pada segelintir orang menjadikan gw benci pada seluruh ras? Padahal waktu perang zaman Rasul ada batasan-batasan tertentu, orang yang berlindung di rumah Abu Sofyan ‘ga boleh diserang, anak-anak kecil dan wanita juga ngga boleh. Tapi sekarang semua peraturan luluh dalam satu warna, merah darah.

Ingin rasanya lari ke gua trus ngilang untuk beberapa saat. Tapi apa artinya kalo pas gw balik masalahnya ngga beres dan bahkan menjadi semakin besar. Dalam prinsip math kalo mau bikin grup, didefinisikan sifat-sifat yang ada pada suatu bilangan, kalau bilangan2 tersebut memenuhi sifat-sifat tersebut, maka mereka bisa menjadi suatu kelompok. Trus ntar ada syarat-syarat bagi bilangan yang mau masuk kelompok tersebut ya semacam perploncoanlah. Kadang gw kehilangan identitas, entah karena akar yang terlalu heterogen atau karena gw ngga yakin dengan apa yang gw lakuin. Ya Allah, benarkah ini jalan yang terbaik?

Gw nyadar semua jalan ngga ada yang gampang. Cuma kalo boleh milih gw pengen ujian itu datangnya dari luar, dari sesuatu yang gw tau bakal bermasalah. Bukan dari dalam, dari hal-hal yang gw cintai, dari keintiman gw dengan-Nya, dengan semua kasih yang Dia berikan melalui sunnatullah-Nya. Kenapa gw harus diuji dengan hal-hal prinsipil, dari orang-orang yang gw andalkan untuk nopang gw kalo gw lemah, kalo gw butuh dukungan. Pembenaran buat manusia, manusia ngga ada yang sempurna, tapi kenapa hal-hal seperti ini ngga pernah gw temuin di saudara-saudara gw yang lebih menonjolkan kemanusiaan. Gw tau temen gw ada yang jadi reader buat anak-anak tuna netra, atau ada yang concern banget ama masalah ekonomi. Mereka bisa ngomong A sampai Z dan mereka menghargai hal-hal dasar yang gw anut. Mereka nyadar waktu, tanggungjawab dan janji.

Pengen rasanya gw ngumpat plus caci maki, tapi apa gunanya? Siapa gw gitu lho, entahlah kadang gw cape dengan semua ini. Mau nanya juga ngga tau harus kemana, malah ntar disangka yang macem-macem lagi. Males gw urusan dengan yang kaya gitu, ada terlalu banyak dinding yang potensial untuk menimbulkan prasangka negatif. Gw jadi inget simulakra deh. Pantulan-pantulan prasangka yang menghasilkan efek besar padahal ngga ada landasannya blas. Ini sih lebih parah dari chaos… Kalo dulu gw selalu yakin ada seseorang yang mampu memberi jawab, setidaknya sekufu’lah ama gw(gimana ngga pikiran gw banyak diwarnain oleh pemikiran beliau). Tapi sekarang gw ngga tau lagi…

Ya ampun nih blogspot jadi tempat apaan. Kacau abis… Seharusnya tulisan ini masuk kategori personal, tapi gw sebel karena sebelum-sebelumnya udah banyak yang mirip dengan tulisan ini. Hegel mungkin bakal ketawa karena kisah ini bakal jadi perulangan terus-menerus dalam sejarah yuti. Kalo ngga bikin resolusi tiap awal semester, kalo ngga ya tentang arah hidup yang serba ‘ga jelas. But the life, must go on…

Sunday, July 18, 2004

Tafsir

Gimana kalao gw salah menafsirkan segala sesuatu. Tanda-tanda yang ada di jalan, bahkan senyum orang pun jadi beda. Apakah ini karena memang ada distorsi? Atau perasaan aneh ini memang harus hadir dengan wajah yang dapat membuat gw senyum-senyum sendiri dan kadang jadi suka merenung-renung ngga karuan. Ada kalanya suasana sesudah hujan membuat gw merasa sangat melow, entah memang karena hujan adalah salah satu keajaiban-Nya untuk menyapa bumi, mengembalikan rumput-rumput yang tadinya tertunduk lesu atau apapun dapat membuat orang dalam kondisi seperti gw merasakan hal yang sama?
 
Entahlah, kadang gw seneng bisa kembali merasa, apalagi setelah bisa mengembalikan perasaan meluap-luap itu dalam bingkai yang indah. Alhamdulillah, Sang Maha Kasih masih berkenan menjaga hamba-Nya ini. Setelah masa yang cukup bikin gw pusing. Gw nyebutnya masa kegelapan, kabur ke badui, memperbaiki hubungan yang dulu sempat runyam, dan kembali gembira.
 
Kadang orang sering menempatkan segala sesuatu dalam perspektif pengorbanan, tapi kayanya bukan gw banget. Gw pengen apa yang gw lakuin dilandaskan pada kesadaran, jadi dunia ini adalah cinta. Dan bukankah ketika cinta menjadi dunia tak ada lagi perbedaan antara penafsir dan yang ditafsirkan, semuanya baur dalam sujud kepada-Nya?
 
 

Friday, July 16, 2004

Seandainya

Seandainya semua orang mempunyai kesempatan pendidikan, mungkin takkan lagi ada yang terseok di pinggir jalan. Tapi pendidikan seperti apa, pendidikan gaya bank dimana guru memuntahkan seluruh kata-kata di buku, entah lewat ucapan atau papan tulis. Dimana muridnya tinggal duduk manis dan mencatat. Sepenuhnya negatif? Nggalah, setidaknya kan ngasih penghasilan buat produsen kapur atau spidol, trus anggaran rumah tangga sekolah jadi gede deh. Dampaknya uang bangunan kian melangit, murid Cuma bisa nerima, gedenya jadi orang nrimo dan ABS, kisah ini berakhir pada semua orang hidup bahagia selama-lamanya. He..he.. sarkastik abis.

Seandainya semua orang mempunyai guru sekeren guru SMA-ku. Wah pasti keren, karena semua orang berkesempatan untuk melihat paradigma yang berbeda-beda. Guruku bilang kalau baca sesuatu, baca juga tulisan kontra-nya dari orang yang pikirannya berlawanan biar kita bias dewasa memilih. Banyak sih faktor yang mempengaruhi karakter seseorang, tapi pembukaan wawasan penting banget dan kehadiran guru2 dengan pikiran revolusioner kayanya perlu untuk ukuran SMA. Saat-saat pencarian identitas. Aku ngga inget gimana awalnya, yang jelas tiba-tiba aku udah ada kecendrungan ke arah tertentu. Bayangin aja waktu masuk SMA tahun 1998, nah pas banget dengan masa meledak-ledak, dan selain wacana reformasi ada lagi yang berdengung keras. Kebebasan informasi, buku-buku yang dulunya terlarang, kini bebas di pasaran. Dulu aku sempet kagum ama Hitler. Mulai dari SS sampai jadi pemimpin besar, tapi rasis banget aku jadi enek. Abis itu aku pindah ke pemikiran-pemikiran pembebasan. Siapa yang ngga bakal lari ke pemikiran seperti itu kalau tiap media yang lo baca isinya kebobrokan pemerintah. Mulai dari ide revolusi hingga negara yang lebih sosialis. Lagian kalau ngeliat para pendiri negara ini emang arahnya sosialis. Tapi jangan negatif thingking dulu, coba aja liat UUD’45 ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’, ‘Setiap warga negara berhak memperoleh penghidupan yang layak.’ Cukup menggambarkan keadaan negara ini ngga. Jadi inget dari zaman SD sampai SMA sering banget ngebandingin sistem kapital, komunis dan demokrasi Pancasila. Katanya ideal, tapi ya koq mayoritas masyarakatnya hidup dibawah garis kemiskinan. Jadi bingung…

Pemikiran-pemikiran yang mewarnai tulisan ternyata memiliki kecendrungan tertentu, ampe dulu sempet dipanggil Bolsyewijk muda. Dulu sih seneng aja, kesannya tuh keren. Bukan karena ngga tau artinya, tapi keren aja kedengarannya. Walau tetep aja aku ngga setuju kalo hak-hak dasar orang disamakan tanpa pandang bulu. Aku lebih setuju ama kehidupan sosialis di negara-negara Eropa Barat(belanda, perancis dkk di barat bukan ya? Wah ketauan nih ilmu buminya ancur) sekarang ini, pake pajak progresif. Jadi semakin tinggi pendapatan pajaknya juga makin gede. Kehidupan juga tenang banget ngapain jadi gila uang kalau pendapatannya bisa nyamain orang yang seharusnya berpenghasilan dibawahnya karena faktor pajak tadi. Ke kantor naik sepeda, kalau musim panas jalan-jalan ke Belgi, Perancis, Jerman. Ini sih patokan Belanda banget… Sekolah bayarannya murah. Kalau dulu sih baik-baik aja ama orang Indon, seharusnya sih sekarang masih. Tahun pertama balik aja masih dapet hadiah ti..it dari profesor di sana. Hidupnya damai banget, sama orang ngga dikenal nyapa, trus sekolah enak, tempat main banyak, taman kota, laut.. Tapi kan mereka yang menjajah Indon, siapa tau kalau kita dijajah Inggris kita ngga kaya gini(Nah lho, koq pilihannya jadi sama-sama dijajah sih?!). Ayo aja terus merekonstruksi sejarah dan berharap semuanya bisa berubah.

Cinta, cinta… kenapa aku ngga jatuh cinta ama math aja sih. Biar bisa hidup tenang, nyenengin ortu, lulus tepat waktu dan semua orang bakal bahagia. Sekarang disamping malah ada buku pergerakan mahasiswa. Jadi inget masa-masa SMA, ketika orang lain lagi belajar buat ujian aku masih terjebak dalam pesona bukunya Magnis Suseno yang mengkritik pemikirannya Marx. Maklumlah darah muda seneng yang bergejolak. Saat itu ada lagi temen yang eror di kamar, kalo dua temen yang lain rajinnya minta ampun. Temen yang satu lebih memilih bantal setidaknya kan ada temen(ngga belajar). Pengaruh kebanjiran informasi ternyata berbahaya juga, jadi merasa ilmu sekolah jauh banget dengan kondisi riil masyarakat. Jujur aja, sempat kehilangan orientasi sekolah. Orang mungkin ngeliatnya stres karena kungkungan tapi di suatu titik lost aja. Pernah juga sih hal ini disebut sebagai salah satu tantangan sekolah tradisional oleh Dewey, seorang filosof pragmatisme. Emang semuanya belum sempurna…

Sebagai obat, setidaknya untuk menyeimbangkan pemikiran, aku dipinjemin buku Syari’ati. Beda perspektif banget sih, terutama kalo barat kental dengan materialismenya. Walau ngga mutlak materialisme larinya ke atheis tapi tetep aja ada unsur yang hilang. Kalau buku-buku Iran kental nuansa (hua… lupa istilahnya) pokoknya auranya bedalah. Tapi dasar emang lagi seneng ikut tren 98-an dimana buku-buku merah membanjir, pas ditanya ama guru gimana bukunya jawabannya masih cenderung ke kutub sebelah. He..he.. murid yang satu ini memang rada nyleneh. Tapi kalo sekarang udah lebih seimbang. Masing-masing menerangkan dari paradigma yang berbeda, dan kadang dalam memilih jalan rasio ngga jalan. Dulu sih suka karena faktor kerennya aja kali, dan mungkin atmosfer panas karena penjarahan, pembunuhan dll, tapi setelah dkaji lebih dalam ada yang hilang.

Kemarin pas liat ada pameran buku, jadi beli Syari’ati yang dulu pernah diminta baca. Ternyata isinya jadi beda, maksudnya ya buku itu kan bisa senantiasa berubah sesuai kematangan si pembaca. Walau tetep ngga ada yang bisa menjamin apa maksud si pengarang itu sudah tertangkap apa belum. Jadi kangen ama guru IC…

Seandainya bapak kesasar dan menemukan blogspot ini, yuti mau mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, karena telah mengajarkan banyak hal. Cara memandang dunia dengan lebih bersahaja dan bijak. Walau kadang jadi ketergantungan juga dan masih mencari guru sehebat bapak. Sekarang saya belajar dari semesta pak, mencoba untuk mencari tanda-tanda-Nya yang berserakan agar menjadi orang yang senantiasa bersyukur.

Thursday, July 15, 2004

Surat dari Seorang Guru Untukku...

Pencarian yang Tiada Akhir!



Salamullah ‘alaik warahmatuhu wabarokatuh

Satu saat yang tidak ada dusta dan kamuflase, yang ada hanya kejujuran, kewajaran tanpa tendensi adalah saat manusia terlahirkan ke dunia inderawi ini. Ketika ia dipaksa untuk keluar dari alam rahim yang penuh dengan kemanjaan dan penuh kasih sayang, maka ia menjerit ketakutan, sungguh! Ia dalam ketakutan! Hanya kalimah-Nya (adzan) yang kemudian dapat menenangkannya. Ia diingatkan kembali akan sejatinya, bahwa semua itu ada dalam sebuah proses perjalanan menuju-Nya kembali. Ia lahir dalam ketakutan. Ketakutan yang justru disambut dengan kegembiraan, suka cita dan penuh dengan rasa syukur oleh semua yang ada disekitarnya. Kenapa? Sebuah pertanyaan yang tiada terhenti.

Lihatlah! Perjalanan hidup manusia, mereka yang muncul ke permukaan dan menghiasi lembaran perpustakaan di seantero alam dunia ini adalah cerita mereka yang penuh dengan kecemasan, kegelisahan, kehawatiran dan penuh dengan rasa penasaran sehingga mereka selalu mencari jalan untuk memecahkan dan memuaskan rasa kepenasaranan mereka.

Fir’aun, kenapa mengaku Tuhan? Bukankah karena justru ia takut diketahui bahwa dirinya sesungguhnya lemah dan tidak memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan rakyat Mesir pada umumnya. Bukankah politisasi keagamaan itu untuk melegalisasi dan melindungi dirinya dari kelemahan tersebut. Seolah-olah ia adalah manusia yang kuat, perkasa, berkuasa dan hidup dalam keabadian.

Goliath, kenapa harus berperang melawat David? Bukankah ia lebih kuat, lebih besar, lebih berkuasa dan lebih tinggi derajat social-politiknya dibandingkan dengan David. Apa yang diharapkannya? Goliath, sebenarnya mengetahui akan kekuatan hakiki kebenaran yang terdapat pada David, ia takut bila kebenaran itu akan menutupi ‘kebenaran’ yang ia tanamkan pada rakyatnya. Ia sadar dengan kekuasaan yang dibangun di atas pondasi kesombongan, kepura-puraan dan pembodohan akan diruntuhkan dengan benih kebenaran yang ditanam oleh David.

Atau tokoh kontemporer, Hitler, Mossolini, Marx dan lainnya, mereka semua adalah manusia yang gelisah akan lingkungannya yang tidak memberikan kenyamanan dan menghinakan satu golongan oleh golongan lainnya yang lebih besar. Kemudian mereka mencari format untuk mengumumkan kepada dunia bahwa mereka yang ‘kecil’ itu adalah sesuatu yang ‘besar’. Enstain, diakui oleh banyak ilmuwan adalah sebagai manusia terhebat abad ke-20. Karena ia mencari sesuatu yang ia yakini dapat memberikan manfaat besar kepada manusia pada umumnya, dan mencari rahasia kehidupan yang sebenar-benarnya, upayanya menghasilkan karya yang maha besar, padahal itu baru satu kunci yang terbuka dari sekian juta kunci-kunci kehidupan lainnya yang masih tertutup. Apa yang terjadi setelah itu, ia sendiri menyesalinya karena manusia tidak dapat memperoleh kedamaian dengannya, justru mendapatkan bencana terhebat di dunia ini, ia sadar betul dengan resiko tersebut, dapatkah ia membenarkannya, meluruskannya dan mengarahkannya, tentu saja tidak, sekali lagi tidak! Akhir hayatnya ditutup dengan penyesalan yang mendalam akan kehebatannya tersebut. Ia sadar akhirnya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang besar di dunia dan dunia tidak berjalan sendiri, katanya.

Ketahuilah wahai umat manusia, tidak ada kegelapan yang paling menakutkan walaupun dibandingkan gelapnya lautan yang paling dalam sekalipun, selain hari esok.

Bila saja sekalian umat manusia menaati perintah untuk selalu mengingat Tuhannya, dan muslim minimal 17 kali ia selalu meminta pertolongan dan bimbingan kepada Tuhannya. Untuk apa? Untuk dapat menghadapi hari esok yang penuh misteri. Tidak adakah rambu atau petunjuk yang dapat dikenali dengan mudah sebagai guide? Tentu saja ada bahkan banyak, banyak sekali hanya saja manusia seringkali menutup hati nurani mereka dengan syahwat duniawi dan logika rasional mereka yang amat sangat didewakan, didambakan dan dibanggakan. Tuhan tidak sekejam itu, menurunkan manusia ke alam yang gelap tanpa lampu penerang jalan sedikitpun, tentu Tuhan tidak seperti itu.

Ia bekali manusia dengan dua hal, pertama sesuatu yang ada pada dirinya, yaitu indera, rasa, dan kemampuan analisa dan memori. Kedua, sesuatu yang ada di luar dirinya, yaitu alam sekitar, dengan segala gambaran dan hukum-hukumnya serta pelajaran etika dan tauhid yang diperoleh oleh manusia tertentu yang terpilih. Artinya tuhan telah tinggalkan kisah manusia sebelumnya untuk dipelajari, diingat, dipilah, dianalisa dan dipilih untuk dijadikan panduan untuk menuju hari esok.

Itulah kisah sejarah manusia yang memenuhi perpustakaan di seluruh belahan tempat manusia menetap. Lihatlah apa yang telah engkau lakukan untuk menjelang hari esok, “…waltandzur nafsun maa taqoddamat lighad…” dan ayat yang lain “sesungguhnya pada qisah-qisah mereka terdapat pelajaran bagi mereka yang menggunakan pikirannya”

Tapi, hal itu hanya berlaku kepada manusia yang sedang dalam keadaan sadar pada kemampuan/ketidakmampuan dirinya serta keterbatasan/ketakterbatasan dirinya, bagi mereka yang memiliki pemikiran ‘rasional’ dan pemikiran bahwa ‘rasionalitas itu di atas segala-galanya’ maka dua petunjuk tersebut di atas tidak akan dapat berlaku, tidak! Saya sepakat bila ada yang mengatakan bahwa “tiada seorang pun yang tahu sampai di mana batas ketidakmampuan dan keterbatasan manusia itu” dan menurut saya itulah sebenarnya kebebasan, kemerdekaan dan berkahnya menjadi manusia, ini pula yang menjadikan manusia ahsanuttaqwim dibandingkan dengan makhluk lainnya yang diciptakan oleh Tuhan.

Kenapa juga kita sekarang masih merasa terkungkung, tertekan dan terjajah? Siapakah mereka yang berani menekan, menelikung dan menjajah kita? Harus jelas! Apakah orang lain ataukah dirikita sendiri atau lingkungan dan system atau apakah yang lainnya yang dirikita sendiri tidak mengetahuinya apa itu?

Yang saya tahu, diri kita dibatasi geraknya oleh badan kita, ruhaniah kita dibatasi oleh jasadiah kita. Itulah koridor kehidupan manusia yang mau tidak mau, setuju tidak setuju kita harus mengakuinya dan manjalaninya selebihnya adalah mau atau tidak kita menjelajahi batas koridor tersebut hingga kita mengetahui dengan jelas keterbatasan kita. Untuk hal ini manusia dibatasi oleh yang sebenarnya merupakan batas semu yang hanya tercipta oleh kita sendiri sehingga kita bias merubah, merenovasi dan atau menghilangkannya sama sekali. Ketidaktahuan kita dibatasi keengganan kita, kearifan kita dibatasi oleh kecongkakkan kita, kehalusan moralitas dibatasi oleh kedengkian dan kehewanan kita dibatasi oleh ‘etika’. Dan yang paling bebas adalah tinggal pemikiran dan perasaan kita, dalamilah dan selamilah keduanya hingga kita mencapai batasnya batas ketidakmampuan kita, disanalah baru kita akan sadar bahwa kita memang terbatas, pada proses penemuan inilah terkadang manusia memuali kejatuhannya menjadi manusia yang justru terbelenggu oleh pemikirannya sendiri, kebenaran yang diciptakannya, mereka menjadi kontra produktif ingin mendapatkan kebebasan yang hakiki justru menjadi terjajah yang hakiki, ingin meraih ahsanuttaqwim justru terpeleset bahkan terhunjam di asfalassafilin. Kenapa? Karena mereka telah memasukkan pemikirannya bahkan dirinya sekalian ke dalam golongan yang memiliki kocongkakan intelektual dengan segala dalih rasionalitasnya yang sangat diagung-agungkan dan didewakan, bahkan seakan-akan menjadi Tuhannya alam semesta ini. Naudzubillah.

Inikah yang selama ini kita cari-cari siang dan malam, dalam tidur dan terjaga baik di meja makan, meja belajar ataupun dalam meja permainan, dalam aman dan kacau, ataukah adalagi yang sebenarnya ingin kita cari tetapi kita sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya kita cari itu apa. Syukurlah kalau ternyata kita sudah mengetahui apa yang kita cari sebenarnya, jelas sudah orientasi hidup ini. Tetapi tidak ada salahnya kalau saya akhiri dengan ajakan marilah kita mencari sesuatu dengan sedikit pelita yang sudah disediakan, setidaknya tidak terlalu gelap gulita hidup ini, pelita yang suluhnya kita perlu jaga dan minyaknya kita oleskan lagi setiap hari hanya 17 kali yang tidak akan memakan waktu keseharian kita. Itulah pelita “iyyaka na’budu waiyyaka nasta’iin, ihdinashiratol mustaqim”.

Wasalamullah ‘alaik warahmatuhu wabarokatuh



Ipik Ernaka yang pelitanya sedang kerlap kerlip dan sedang mencari pertolongan kemana-mana yang bisa benar-benar masuk dalam sanubari……

Asing

Tadi pagi ketika buka email saya merasa ada orang yang narsis banget. Gila... tapi kemudian saya sadar. Btw, kadang saya kangen pake kata gw. Wislah giliran gw sekarang, buat saya, aku, yuti or kata pengganti orang pertama lainnya tunggu giliran ya... Tapi kemudian gw sadar dalam kadar tertentu semua orang butuh pengakuan dan kadang gw juga begitu. Jadi inget ceritanya Gibran tentang Raja Gila. Suatu ketika seorang nenek sihir menjatuhkan air yang bisa bikin orang gila ke sumber air negara. Semua orang minum kecuali sang raja. Keesokan harinya, rakyat ribut, "Raja kita telah gila, raja kita telah gila..". Namun ketika raja telah minum air yang diberikan ajudannya, raja langsung bahagia karena raja mereka telah sembuh.

Mungkin ini bukan tentang kadar, namun melainkan persepsi. Dan untuk kasus raja itu kebenaran atau standar kenormalan bersifat relatif. Kasus yang sama waktu gw pergi ke badui, gw ngeliatin orang badui yang antik abis, 'n mereka juga ngga kalah antusiasnya mengamati kita di depan rumah. Bayangin diliatin anak2 kecil dan ibu2 dengan pakaian tanpa warna(hitam dan putih). Mungkin bagi suku badui, para pendatang adalah orang2 aneh, namun bagi kami pun mereka cukup mengagumkan. Bayangin aja ngga ada listrik, ngga ada tv, sinyal hp apalagi internet. Mungkin gw bakalan ngga tahan karena kedua hal terakhir. Tapi gw tetep seneng karena bisa terputus dengan dunia, pergi dengan orang2 baru, tidak terhubung. Asing... sekaligus rekat dalam bahasa kemanusiaan.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...