Gw : “Gila lo, mau bikin blogspot ini kaya tempat ceramah apa, liat tuh dua tulisan sebelum ini?! Ga’ asyik tau.”
Saya : “Serius amat, nyantai aja lagi. Kamu sih hobi ngotak-ngotakin hikmah. Kalau perasaan semacam pencerahan--kata yang dulu sering banget kamu pakai itu-- kamu dapatkan dari jalan-jalan di alam atau melihat keadaan orang-orang sekitar, maka ada yang mendapatkannya dari tulisan. Kamu jangan sombong, awalnya kan kamu juga belajar banyak dari ustad-ustad di sekolah yang ngasih banyak banget rujukan. Kenapa kamu menafikan semua itu, apa kamu ngerasa tahap itu udah selesai? Wah kalau gitu kamu harus balik lagi ke kelas satu SMA. Ada orang yang terinspirasi dari film, ada juga dari kisah hidup seseorang, kamu jangan lupa kalau semesta ini hadir sebagai tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Bagi para pencari yang senantiasa berharap, insyaAllah ada jalan koq. Hanya mungkin pendekatan bagi setiap orang beda-beda.”
Gw : “Bukannya gw bikin klasifikasi, tapi ga asyik aja bacanya. Kan lebih enak kalau semuanya ngalir aja. Ngga perlu segala teori dan tetek bengek lainnya.”
Saya : “Itu sih, kamu ngeledekin gaya tulisan saya.”
Gw : “Bukan ngeledekin, tapi ketika gw baca tulisan lo, kayanya yutinya jadi terlalu serius.”
Saya : “Saya nangkep arahannya, itu semua karena ada banyak pertimbangan termasuk tulisan yang masuk kategori privat atau publik.”
Gw : “Ya ampun, lo ngga tau apa, blogger tempatnya orang cuap-cuap. Mau ngomong apa kek bebas aja lagi. Gitu aja koq repot.”
Saya : “Nah itu dia yang jadi masalah. Ketika seseorang melakukan sesuatu di wilayah privat maka hal itu merupakan tanggungjawab dia sepenuhnya, terkait juga dengan apa yang dianutnya. Tapi ketika, misalnya dia melanggar norma kesusilaan di wilayah publik, maka dia harus bertanggungjawab juga secara moral kepada orang lain. Masa kamu lupa, pernah diingatkan untuk ngayak tulisan kamu untuk memperkecil kemungkinan salah tafsir.”
Gw : “He..he.. serius amat. Kidding lagi. Tapi internet kan dunia maya dimana semua orang bebas jadi siapa aja. Kalau dulu Descartes pernah bilang Cogito Ergo Sum(Saya berpikir maka saya ada) yang kental dengan nuansa math-nya, pembuktian jika maka. Dengan menerapkan kata-kata tersebut dalam dunia maya, eksistensi seseorang dinilai dari pola pikirnya. Contoh paling gampang dalam milis, ngga perlu pakai nama asli selama bisa mengikuti dan melontarkan pemikiran yang cerdas maka apapun yang dia hadirkan sebagai identitas bakal eksis. Terus kenapa juga sekarang repot ngomongin batasan? Jelas-jelas dunia maya hadir untuk meruntuhkan segala sekat, entah itu jarak, ras atau apapun juga."
Saya : “Nah, sekarang siapa yang berteori? Emang ngga ada batasan. Tapi semuanya kembali kepada tanggungjawab individu itu nulis. Kamu sendiri kan punya beberapa tingkatan tulisan, dan kamu juga yang memutuskan mana yang masuk catatan untuk publik dan mana yang masuk wilayah privat. Ketika seseorang melakukan sesuatu hal di wilayah publik, mengatasnamakan ekspresi diri padahal jelas-jelas ngelanggar norma yang ada, nah itu yang salah. Tapi hukuman itu ada tingkatan-tingkatannya juga."
Gw : “Nah kan, lo mulai ngga asyik lagi. Apa sih isi pikiran lo? Kayanya teori mulu, apa lo ngga pernah bersenang-senang?”
Saya : “Kamu lucu ya, bagaimana kamu mendefinisikan bersenang-senang? Jalan-jalan ke mall, ketawa-tawa atau yang lebih parah lagi versi sinetron ABG rebutan cowo’ dengan segala cara, terus ketawa penuh kelicikkan jika saingan kamu itu kalah? Wah kalau saya memandang itu sebagai sebuah penurunan martabat.”
Gw : “He..he.. gw sepakat banget. Tapi cara lo itu lho kayanya tuh hidup itu serius banget. Nyantai aja lagi…”
Saya : “Wah, kalo itu sih kamunya aja yang ngga gaul. Masing-masing orang kan punya taman bermainnya masing-masing. Rasul aja menjadikan ladang jihad sebagai sarana rekreasi. Semua yang kamu liat ngga lain hasil penafsiran di otak. Jadi kalau kamu bilang saya orangnya serius banget, ya bagi saya semuanya relatif.”
Gw : “Ya ampun, lo koq ngejadiin kita beda banget sih. Apa memang mungkin penggunaan kata gw dan saya berpengaruh banget? Btw, kenapa lo(saya) yang lebih pinter ya, kan gw juga berasal dari orang yang sama?”
Saya : “Cka..ka..kak.. dasar, dari dulu kamu tuh konyol banget. Soalnya kamu meledak-ledak. Suka samber sana, samber sini ngga karuan. Kalau saya lebih teratur, tapi lama-lama lupa akan tujuan. Saat itulah saya membutuhkan kehadiran kamu untuk kembali mengingatkan rasa-rasa yang hilang.”
Gw : “Jadi kalo gaya tulisan sebelum-sebelum ini yang beda banget kalau yuti lagi jadi gw atau lo(saya) itu pengaruh mood-moodan.”
Saya : “Kalau itu karena ketika nulis otomatis kamu akan mikir untuk siapa tulisan itu kamu buat. Kata gw lebih bersifat pribadi sementara kata saya lebih bersifat reflektif.”
Gw : “Gila lo ya, mau jadi psikolog. Tetep aja curang, kenapa lo yang memainkan tokoh pinternya. Gantian dong.”
Saya : “Ye, gaya kita kan beda. Masing-masing punya cara koq dalam memainkan peranannya.”
“Tarian Pendekar Bayangan menunjukkan padanya bahwa keheningan juga memiliki keindahan dan keanggunannya sendiri; bahwa tindakan bisa sama terhormatnya dengan kata-kata; dan bahwa makhluk kegelapan bisa sama indahnya seperti anak-anak cahaya.” (Harun&Lautan Dongeng, h.134, Salman Rushdie)
NB:Bukan dalam artian mencampur yang hak dan yang batil, namun dalam menafsirkan kehidupan orang lain, adakalanya semua berasal dari persepsi pribadi.
No comments:
Post a Comment