Thursday, July 15, 2004

Surat dari Seorang Guru Untukku...

Pencarian yang Tiada Akhir!



Salamullah ‘alaik warahmatuhu wabarokatuh

Satu saat yang tidak ada dusta dan kamuflase, yang ada hanya kejujuran, kewajaran tanpa tendensi adalah saat manusia terlahirkan ke dunia inderawi ini. Ketika ia dipaksa untuk keluar dari alam rahim yang penuh dengan kemanjaan dan penuh kasih sayang, maka ia menjerit ketakutan, sungguh! Ia dalam ketakutan! Hanya kalimah-Nya (adzan) yang kemudian dapat menenangkannya. Ia diingatkan kembali akan sejatinya, bahwa semua itu ada dalam sebuah proses perjalanan menuju-Nya kembali. Ia lahir dalam ketakutan. Ketakutan yang justru disambut dengan kegembiraan, suka cita dan penuh dengan rasa syukur oleh semua yang ada disekitarnya. Kenapa? Sebuah pertanyaan yang tiada terhenti.

Lihatlah! Perjalanan hidup manusia, mereka yang muncul ke permukaan dan menghiasi lembaran perpustakaan di seantero alam dunia ini adalah cerita mereka yang penuh dengan kecemasan, kegelisahan, kehawatiran dan penuh dengan rasa penasaran sehingga mereka selalu mencari jalan untuk memecahkan dan memuaskan rasa kepenasaranan mereka.

Fir’aun, kenapa mengaku Tuhan? Bukankah karena justru ia takut diketahui bahwa dirinya sesungguhnya lemah dan tidak memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan rakyat Mesir pada umumnya. Bukankah politisasi keagamaan itu untuk melegalisasi dan melindungi dirinya dari kelemahan tersebut. Seolah-olah ia adalah manusia yang kuat, perkasa, berkuasa dan hidup dalam keabadian.

Goliath, kenapa harus berperang melawat David? Bukankah ia lebih kuat, lebih besar, lebih berkuasa dan lebih tinggi derajat social-politiknya dibandingkan dengan David. Apa yang diharapkannya? Goliath, sebenarnya mengetahui akan kekuatan hakiki kebenaran yang terdapat pada David, ia takut bila kebenaran itu akan menutupi ‘kebenaran’ yang ia tanamkan pada rakyatnya. Ia sadar dengan kekuasaan yang dibangun di atas pondasi kesombongan, kepura-puraan dan pembodohan akan diruntuhkan dengan benih kebenaran yang ditanam oleh David.

Atau tokoh kontemporer, Hitler, Mossolini, Marx dan lainnya, mereka semua adalah manusia yang gelisah akan lingkungannya yang tidak memberikan kenyamanan dan menghinakan satu golongan oleh golongan lainnya yang lebih besar. Kemudian mereka mencari format untuk mengumumkan kepada dunia bahwa mereka yang ‘kecil’ itu adalah sesuatu yang ‘besar’. Enstain, diakui oleh banyak ilmuwan adalah sebagai manusia terhebat abad ke-20. Karena ia mencari sesuatu yang ia yakini dapat memberikan manfaat besar kepada manusia pada umumnya, dan mencari rahasia kehidupan yang sebenar-benarnya, upayanya menghasilkan karya yang maha besar, padahal itu baru satu kunci yang terbuka dari sekian juta kunci-kunci kehidupan lainnya yang masih tertutup. Apa yang terjadi setelah itu, ia sendiri menyesalinya karena manusia tidak dapat memperoleh kedamaian dengannya, justru mendapatkan bencana terhebat di dunia ini, ia sadar betul dengan resiko tersebut, dapatkah ia membenarkannya, meluruskannya dan mengarahkannya, tentu saja tidak, sekali lagi tidak! Akhir hayatnya ditutup dengan penyesalan yang mendalam akan kehebatannya tersebut. Ia sadar akhirnya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang besar di dunia dan dunia tidak berjalan sendiri, katanya.

Ketahuilah wahai umat manusia, tidak ada kegelapan yang paling menakutkan walaupun dibandingkan gelapnya lautan yang paling dalam sekalipun, selain hari esok.

Bila saja sekalian umat manusia menaati perintah untuk selalu mengingat Tuhannya, dan muslim minimal 17 kali ia selalu meminta pertolongan dan bimbingan kepada Tuhannya. Untuk apa? Untuk dapat menghadapi hari esok yang penuh misteri. Tidak adakah rambu atau petunjuk yang dapat dikenali dengan mudah sebagai guide? Tentu saja ada bahkan banyak, banyak sekali hanya saja manusia seringkali menutup hati nurani mereka dengan syahwat duniawi dan logika rasional mereka yang amat sangat didewakan, didambakan dan dibanggakan. Tuhan tidak sekejam itu, menurunkan manusia ke alam yang gelap tanpa lampu penerang jalan sedikitpun, tentu Tuhan tidak seperti itu.

Ia bekali manusia dengan dua hal, pertama sesuatu yang ada pada dirinya, yaitu indera, rasa, dan kemampuan analisa dan memori. Kedua, sesuatu yang ada di luar dirinya, yaitu alam sekitar, dengan segala gambaran dan hukum-hukumnya serta pelajaran etika dan tauhid yang diperoleh oleh manusia tertentu yang terpilih. Artinya tuhan telah tinggalkan kisah manusia sebelumnya untuk dipelajari, diingat, dipilah, dianalisa dan dipilih untuk dijadikan panduan untuk menuju hari esok.

Itulah kisah sejarah manusia yang memenuhi perpustakaan di seluruh belahan tempat manusia menetap. Lihatlah apa yang telah engkau lakukan untuk menjelang hari esok, “…waltandzur nafsun maa taqoddamat lighad…” dan ayat yang lain “sesungguhnya pada qisah-qisah mereka terdapat pelajaran bagi mereka yang menggunakan pikirannya”

Tapi, hal itu hanya berlaku kepada manusia yang sedang dalam keadaan sadar pada kemampuan/ketidakmampuan dirinya serta keterbatasan/ketakterbatasan dirinya, bagi mereka yang memiliki pemikiran ‘rasional’ dan pemikiran bahwa ‘rasionalitas itu di atas segala-galanya’ maka dua petunjuk tersebut di atas tidak akan dapat berlaku, tidak! Saya sepakat bila ada yang mengatakan bahwa “tiada seorang pun yang tahu sampai di mana batas ketidakmampuan dan keterbatasan manusia itu” dan menurut saya itulah sebenarnya kebebasan, kemerdekaan dan berkahnya menjadi manusia, ini pula yang menjadikan manusia ahsanuttaqwim dibandingkan dengan makhluk lainnya yang diciptakan oleh Tuhan.

Kenapa juga kita sekarang masih merasa terkungkung, tertekan dan terjajah? Siapakah mereka yang berani menekan, menelikung dan menjajah kita? Harus jelas! Apakah orang lain ataukah dirikita sendiri atau lingkungan dan system atau apakah yang lainnya yang dirikita sendiri tidak mengetahuinya apa itu?

Yang saya tahu, diri kita dibatasi geraknya oleh badan kita, ruhaniah kita dibatasi oleh jasadiah kita. Itulah koridor kehidupan manusia yang mau tidak mau, setuju tidak setuju kita harus mengakuinya dan manjalaninya selebihnya adalah mau atau tidak kita menjelajahi batas koridor tersebut hingga kita mengetahui dengan jelas keterbatasan kita. Untuk hal ini manusia dibatasi oleh yang sebenarnya merupakan batas semu yang hanya tercipta oleh kita sendiri sehingga kita bias merubah, merenovasi dan atau menghilangkannya sama sekali. Ketidaktahuan kita dibatasi keengganan kita, kearifan kita dibatasi oleh kecongkakkan kita, kehalusan moralitas dibatasi oleh kedengkian dan kehewanan kita dibatasi oleh ‘etika’. Dan yang paling bebas adalah tinggal pemikiran dan perasaan kita, dalamilah dan selamilah keduanya hingga kita mencapai batasnya batas ketidakmampuan kita, disanalah baru kita akan sadar bahwa kita memang terbatas, pada proses penemuan inilah terkadang manusia memuali kejatuhannya menjadi manusia yang justru terbelenggu oleh pemikirannya sendiri, kebenaran yang diciptakannya, mereka menjadi kontra produktif ingin mendapatkan kebebasan yang hakiki justru menjadi terjajah yang hakiki, ingin meraih ahsanuttaqwim justru terpeleset bahkan terhunjam di asfalassafilin. Kenapa? Karena mereka telah memasukkan pemikirannya bahkan dirinya sekalian ke dalam golongan yang memiliki kocongkakan intelektual dengan segala dalih rasionalitasnya yang sangat diagung-agungkan dan didewakan, bahkan seakan-akan menjadi Tuhannya alam semesta ini. Naudzubillah.

Inikah yang selama ini kita cari-cari siang dan malam, dalam tidur dan terjaga baik di meja makan, meja belajar ataupun dalam meja permainan, dalam aman dan kacau, ataukah adalagi yang sebenarnya ingin kita cari tetapi kita sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya kita cari itu apa. Syukurlah kalau ternyata kita sudah mengetahui apa yang kita cari sebenarnya, jelas sudah orientasi hidup ini. Tetapi tidak ada salahnya kalau saya akhiri dengan ajakan marilah kita mencari sesuatu dengan sedikit pelita yang sudah disediakan, setidaknya tidak terlalu gelap gulita hidup ini, pelita yang suluhnya kita perlu jaga dan minyaknya kita oleskan lagi setiap hari hanya 17 kali yang tidak akan memakan waktu keseharian kita. Itulah pelita “iyyaka na’budu waiyyaka nasta’iin, ihdinashiratol mustaqim”.

Wasalamullah ‘alaik warahmatuhu wabarokatuh



Ipik Ernaka yang pelitanya sedang kerlap kerlip dan sedang mencari pertolongan kemana-mana yang bisa benar-benar masuk dalam sanubari……

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...