Tes..tes...tes...
Byur..
Rutinitas terkoyak berita
Kala segala menjadi tak biasa
Kata yang membunuh
Mengarah pada sebuah jalan
Haruskah?
Namun ini bukan main-main
Tak bisa kata manis menjadi jawab
Karena semua telah nyata
Dalam sebuah kertas buram
Hitam dengan corakan putih
Akan indah dalam suatu masa
Tapi petaka dalam ruang lain
Akankah ada pilihan?
Tuesday, August 31, 2004
Hore..
Konyol kan seneng banget karena internet di Salman udah idup lagi. He..he.. kayanya gw udah termasuk kategori orang yang terjajah sama mesin. Ngga usah ribet2 kaya film matrix yang udah secara fisik terikat, sekarang mah zamannya penjajahan kesadaran. Dan kayanya gw termasuk.. hi.. serem. Tapi kayanya bukan gw doang, liat aja gimana hotspot jadi daya tarik kafe-kafe, lagian tugas kuliah gw juga harus browsing. Sekadar pembenaan boleh khan? Bukannya semua orang hidup dengan kebenarannnya masing-masing? Seperti yang dibilang Wittgenstein, kebenaran objektif adalah kumpulan dari kebenaran subjektif. Kalo kaya gini mungkin ngga ya?! 5 menit lagi gw kul, trus anak2 sekelas sepakat majuin jam tangannya 15 menit, pas dosennya nanya jam berapa sekarang, gw masih punya beberapa menit tambahan. Tapi kayanya itu tetap ngibul soalnya berangkat dari kesepakatan untuk niat yang jelek, biar aman kayanya gw harus kuliah dulu. Ciao..
Tuesday, August 24, 2004
Cuka
Parah banget, mail yang gw tunggu dari beberapa waktu lalu ternyata masuk ke bulk. Tanggal 31 Juli kemaren gw ngirim ke pak bhm, gw tunggu2 ngga ada jawabannya, tau2 gw denger Tempo mo' ngasih training, jadi gw pikir pertanyaan gw udah kebales lewat para petinggi KM. Ngga taunya mail gw dibales hari itu juga tapi masuk bulk. Ironisnya gw baru tau sekarang, dan kayanya ngga lucu kalo nyambung lagi, padahal kata bapaknya gw boleh nanya lagi kalo masih ada yang masih belum dimengerti. Sebenernya kalo nanya lagi sih ngga masalah, cuma ya awal2 abis ngirim surat, gw jadi hobi nyariin balesan dari beliau. Hmm... mungkin sekarang saat yang tepat bagi gw untuk mendapat penghiburan dari Sang Maha Penyayang
Friday, August 20, 2004
Dulu dan Sekarang
Ngga beda jauh ama kata-kata ‘Masa lalu yang membunuh masa depan’, intinya apa yang kita lakuin hari ini ngaruh banget buat masa depan. He..he.. jadi inget iklannya film Mengejar Matahari, yang kalo ngga salah redaksionalnya kaya gini “Hari ini tidak dimulai dari saat membuka mata, hari ini dimulai jauh sebelum itu.” Nah, itu jugalah yang terjadi dalam kajian-kajian sejarah, ngga mungkinlah nyomot suatu peristiwa tanpa ngeliat kaitannya dengan kejadian-kejadian sebelumnya, keadaan masyarakat saat itu dll. Bagaimana dengan saya sendiri?
Dulu, saya selalu kagum dengan orang yang tahu lebih banyak, baca buku lebih banyak, pokoknya bisa dibilang wawasannya luas. Seperti yang pernah saya singgung di tulisan yang judulnya ‘Buruan’ kebanyakan sih saya kena doktrin soalnya kalo diajak diskusi saya cuma bisa bengong terkagum-kagum. Tapi sekarang, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya hanya berjalan satu arah kini menjadi dua arah. Jujur aja, kadang nyaman menemukan tempat bertanya dengan penjelasan yang terdengar masuk akal. Tanpa perlu mikir terlalu banyak, solusi kita peroleh dengan mudah. Jadi agak menakutkan bahwa ternyata orang-orang yang semakin lama terbungkus dalam mitos manusia kuat, ternyata memiliki sisi lemah. Dan ada saatnya yang diperlukan adalah kisah sepasang merpati Gibran, ketika ada dua merpati yang terluka mereka saling mendekat dan menjadi pelengkap satu sama lain. Kalau di buku Gibran sih, ini kisah pasangan, tapi saya lebih melihatnya pada kecendrungan manusia untuk saling melengkapi dan mendukung satu sama lain(wah koq jadi kaya konsep pasangan beneran ya?!).
Adakalanya pemahaman lahir dari pemberitahuan searah, seiring dengan bertambahnya umur ada dialog-dialog, makanya sekitar tahun 2000-an yang laku buku-buku seperti Who Move My Cheese untuk manajemen dan Chicken Soup untuk motivasi diri. Tampaknya ada periode saat manusia lelah untuk diceramahin dan hanya membutuhkan sekadar teman senasib. Bagi saya kehilangan sosok manusia kuat merupakan pukulan tersendiri. Kayanya semua orang emang butuh sosok idol, termasuk sahabat yang sempat shock ketika Rasul dipanggil oleh Sang Khalik. Siapa yang tidak rindu akan kehadiran sosok yang perilakunya merupakan sumber hikmah, yang oleh musuh-musuhnya ia diakui sebagai orang jujur dan tutur katanya senantiasa disesuaikan dengan orang yang diajak bicara sehingga meneduhkan.
Mungkin contoh diatas cuma sebuah pembenaran bagi kehilangan saya. Tapi entah kenapa ini seolah menandai bahwa saya juga harus semakin kuat. Karena nun jauh disana ada yang percaya bahwa saya mampu menghadapi semua tantangan. Asli ini karena pengaruh simulacra, dentingan-dentingan yang membesar membentuk sebuah mitos. Dulu ada beberapa sosok yang saya anggap sebagai bintang di langit, namun belakangan ini perspektif itu berganti dengan berjalan beriringan dan saling melengkapi. Karena ternyata bintang tersebut memenuhi legenda pribadinya dengan kehadiran orang lain.
Dulu, saya selalu kagum dengan orang yang tahu lebih banyak, baca buku lebih banyak, pokoknya bisa dibilang wawasannya luas. Seperti yang pernah saya singgung di tulisan yang judulnya ‘Buruan’ kebanyakan sih saya kena doktrin soalnya kalo diajak diskusi saya cuma bisa bengong terkagum-kagum. Tapi sekarang, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya hanya berjalan satu arah kini menjadi dua arah. Jujur aja, kadang nyaman menemukan tempat bertanya dengan penjelasan yang terdengar masuk akal. Tanpa perlu mikir terlalu banyak, solusi kita peroleh dengan mudah. Jadi agak menakutkan bahwa ternyata orang-orang yang semakin lama terbungkus dalam mitos manusia kuat, ternyata memiliki sisi lemah. Dan ada saatnya yang diperlukan adalah kisah sepasang merpati Gibran, ketika ada dua merpati yang terluka mereka saling mendekat dan menjadi pelengkap satu sama lain. Kalau di buku Gibran sih, ini kisah pasangan, tapi saya lebih melihatnya pada kecendrungan manusia untuk saling melengkapi dan mendukung satu sama lain(wah koq jadi kaya konsep pasangan beneran ya?!).
Adakalanya pemahaman lahir dari pemberitahuan searah, seiring dengan bertambahnya umur ada dialog-dialog, makanya sekitar tahun 2000-an yang laku buku-buku seperti Who Move My Cheese untuk manajemen dan Chicken Soup untuk motivasi diri. Tampaknya ada periode saat manusia lelah untuk diceramahin dan hanya membutuhkan sekadar teman senasib. Bagi saya kehilangan sosok manusia kuat merupakan pukulan tersendiri. Kayanya semua orang emang butuh sosok idol, termasuk sahabat yang sempat shock ketika Rasul dipanggil oleh Sang Khalik. Siapa yang tidak rindu akan kehadiran sosok yang perilakunya merupakan sumber hikmah, yang oleh musuh-musuhnya ia diakui sebagai orang jujur dan tutur katanya senantiasa disesuaikan dengan orang yang diajak bicara sehingga meneduhkan.
Mungkin contoh diatas cuma sebuah pembenaran bagi kehilangan saya. Tapi entah kenapa ini seolah menandai bahwa saya juga harus semakin kuat. Karena nun jauh disana ada yang percaya bahwa saya mampu menghadapi semua tantangan. Asli ini karena pengaruh simulacra, dentingan-dentingan yang membesar membentuk sebuah mitos. Dulu ada beberapa sosok yang saya anggap sebagai bintang di langit, namun belakangan ini perspektif itu berganti dengan berjalan beriringan dan saling melengkapi. Karena ternyata bintang tersebut memenuhi legenda pribadinya dengan kehadiran orang lain.
Manusia Lemah vs Manusia Kuat
Tadinya tulisan ini mau dibikin lebih serius, tapi karena lagi ngga bisa baca buku-buku berat(harfiah, karena bukunya tebel) jadinya unsur subjektifnya bakal lebih kental. Entah kenapa, saya selalu penasaran dengan kecendrungan manusia, mulai dari psikologi, sosiologi, antroplogi, semuanya berlomba-lomba untuk menjelaskan manusia. Ada yang dari dalem, ada yang dari budaya, ada juga dari keturunan, macem-macemlah. Waktu dulu bikin tulisan tentang karakteristik masyarakat di sebuah daerah, teman saya menyarankan baca aja buku Levi-Strauss(koq malah jadi kaya nama komposer ya?!, lupa euy) kalo mau ngeliat hubungan daerah dengan karakteristk manusia. Tapi apa benar semua bisa selinier itu?
Kayanya ngga juga, di buku yang sedang saya baca ada runutan sejarah mulai dari revolusi Perancis yang dianggap sebagai kelahiran ideologi2 zaman sekarang sampai perkembangan ideologi masa kini. Lucunya, saya malah ngga liat cerita mengenai ideologi tentang dunia, tapi malah kecendrungan manusia menemukan dirinya di tengah alam semesta. Mungkin lebih lengkap ditarik dari zaman pencerahan, yang menempatkan materialisme dan logika sebagai sebuah kebenaran absolut menggantikan kedudukan agama. Kemudian dari sana berkembang sains dan isme-isme yang mengatur kehidupan antar manusia. Mulai dari liberalisme yang menganggap manusia semua sama sehingga harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berusaha menurut kemampuannya. Hal ini kental dalam pemikiran Adam Smith dengan pasar idealnya, dimana semuanya dapat berkompetisi dengan adil. Namun kemudian timbul Keynes yang melibatkan campurtangan pemerintah, dalam cara pandang yang masih masuk kubu liberal, Keynesian dianggap lebih mendukung semangat liberalisme, karena memberi kesempatan bagi masyarakat yang pada awalnya terpuruk.
Dari adanya campur tangan pemerintah kemudian berkembang lagi ke sosialisme, Marxisme yang terpecah-pecah menjadi Neo-Marxis, Marxisme klasik, Manifesto Communist yang ditafsirkan bebas oleh Lenin, paham-paham yang menempatkan negara sebagai sistem kontrol raksasa, dimana rakyat hanya seperti sebuah mur dalam sebuah mesin raksasa bernama negara. Setelah komunis runtuh, terutama setelah Sovyet merubah garis kebijakannya, manusia kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan, benarkah manusia merupakan makhluk kuat yang mampu berusaha dengan akal dan nuraninya, ataukah harus ada intervensi sistem yang mengatur kehidupan antar manusia? Jadi inget film A View Good Man yang dibintangin Tom Cruise, kedua perwira yang diadili dinyatakan bersalah karena mereka ngga bisa ngebela temen mereka yang lemah, meski itu merupakan perintah dari atasan. Jadi adakalanya sistem juga diperluin untuk ngelindungin orang-orang yang termarjinalkan.
Bukankah manusia senantiasa membutuhkan petunjuk jalan? Kalau begitu manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan sebuah sistem kontrol agar semuanya dapat berjalan aman dan teratur. Kembali ke buku rujukan, ada tokoh namanya Rawl, nah menurut dia untuk mencapai sebuah masyarakat ideal diperlukan sebuah kontrak sosial yang disusun oleh sekelompok orang yang mengatur kaidah pengaturan masyarakat untuk mengatur kepentingan seluruh warga. Dengan kata lain masyarakat memang harus diatur karena manusia lemah. Lalu dimanakah keunggulan liberalisme? Dari kesepakatan yang ada oleh pemikir-pemikir zaman baheula, liberalisme menjamin ditegakannya hak asasi manusia, yang sayangnya masih sering bersifat subjektif. Satu hal lagi, liberalisme menjunjung hak privat seluas-luasnya, hingga menyisakan sebuah tanda tanya besar bagi moralitas.
Sejauh manakah manusia harus diatur, dan siapakah yang paling efektif mengatur manusia? Dengan melibatkan faktor agama, tentu kontrol dari dalam diri sendirilah yang menjadi paling penting, sebagaimana yang diungkapkan Muththahari, bahwa musuh yang terbesar adalah diri sendiri. Melihat agama, terutama dari asal katanya a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, agama memiliki arti tidak kacau alias menjadi penuntun bagi manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dari sini, agama bersifat syumul’(menyeluruh) meliputi semua unsur kehidupan manusia. Dengan melihat konsep iman, islam, ihsan kemudian penjelasan mengenai muhsin, muslim dan mu’min diperoleh gambaran bahwa seharusnya manusia merupakan manusia kuat selama ia memiliki keyakinan yang meliputi ketiga hal yang saya sebutkan diatas. Namun untuk membentuk tatanan masyarakat ideal seperti zaman Rasulullah(saya pernah diprotes ini ngga mungkin, jadi setidaknya mirip dengan kekhalifahan Abbasiyah), apakah manusia-manusia dapat dibiarkan bebas menurut standarnya masing-masing?
Merujuk sejarah, tapi kebanyakan literaturnya sekuler sih, ngga bisa. Soalnya manusia walaupun dibilang kuat tetep aja gampang tergoda. Jadi diperlukan semacam kontrol sosial buat mengatur manusia. Dulu saya sempet kagum Hitler, bukan karena rekornya dalam pembunuhan umat manusia tapi karena kengototannya mempertahankan apa yang dia yakini, tapi isunya dia bunuh diri(banyak sih isu mengenai kematian Hitler, ada yang bilang dia dibunuh anak buahnya, ada yang bilang dia melarikan diri, wah koq jadi kaya acara gosip ;P) jadi ngga respek deh sama orang yang lari dari kenyataan dengan bunuh diri. Sekarang ada juga lho komik yang nyeritain tentang anak-anak yang didoktrin ketika masih dibawah umur, judulnya Monster. Tapi kadang saya mikir, semuanya tergantung pada kacamata yang kita pakai, kalo pakai kacamata biru ya semua pemandangan yang kita liat bakalan biru(sedih banget baca komik tapi pikirannya ngga lepas dari buku2 berat).
Makanya kalo kelamaan ngedalemin suatu wacana bisa-bisa kacamatanya ngga bisa lepas. Sebenernya saya mau udahan ngegunain teori-teorinya Mbah Jenggot, tapi di kajian budaya(CS) rujukannya Mbah Jenggot banget. Malah lebih rame lagi dengan adanya Lacan, Althusser dkk, yang rata-rata kepengaruh ama Mbah Jenggot. Abis apa yang ada sekarang kebanyakan pengaruh kapitalisme, konsumerisme dan hedonisme sih, muncul deh teori-teori yang diperbaharui tapi rujukannya tetep klasik. Sebenernya bisa juga ditarik dengan pendekatan agama, cuma ada beberapa kritikan terhadap fenomena yang berkembang sekarang. Pertama, kadang agama juga menjadi bagian dari posrealitas(ini ngeliat dari makalah pak Deden pas acara bedah buku pak Yasraf). Trus, fenomena kedua agama masih sering sekuler dalam artian agama lebih sering dijadikan ajang untuk menjadi semacam orang suci, namun ngga ada sangkut pautnya dari kehidupan sosial.
Jadi manusia lemah vs manusia kuat, kayanya ngga dua-duanya. Saat manusia futur adakalanya sebuah sistem mapan mampu mengembalikan ia ketempat yang seharusnya, dan ketika ia menjadi manusia kuat, ia bisa berguna bagi sesama dan menemukan posisinya dihadapan Sang Khalik.
Kayanya ngga juga, di buku yang sedang saya baca ada runutan sejarah mulai dari revolusi Perancis yang dianggap sebagai kelahiran ideologi2 zaman sekarang sampai perkembangan ideologi masa kini. Lucunya, saya malah ngga liat cerita mengenai ideologi tentang dunia, tapi malah kecendrungan manusia menemukan dirinya di tengah alam semesta. Mungkin lebih lengkap ditarik dari zaman pencerahan, yang menempatkan materialisme dan logika sebagai sebuah kebenaran absolut menggantikan kedudukan agama. Kemudian dari sana berkembang sains dan isme-isme yang mengatur kehidupan antar manusia. Mulai dari liberalisme yang menganggap manusia semua sama sehingga harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berusaha menurut kemampuannya. Hal ini kental dalam pemikiran Adam Smith dengan pasar idealnya, dimana semuanya dapat berkompetisi dengan adil. Namun kemudian timbul Keynes yang melibatkan campurtangan pemerintah, dalam cara pandang yang masih masuk kubu liberal, Keynesian dianggap lebih mendukung semangat liberalisme, karena memberi kesempatan bagi masyarakat yang pada awalnya terpuruk.
Dari adanya campur tangan pemerintah kemudian berkembang lagi ke sosialisme, Marxisme yang terpecah-pecah menjadi Neo-Marxis, Marxisme klasik, Manifesto Communist yang ditafsirkan bebas oleh Lenin, paham-paham yang menempatkan negara sebagai sistem kontrol raksasa, dimana rakyat hanya seperti sebuah mur dalam sebuah mesin raksasa bernama negara. Setelah komunis runtuh, terutama setelah Sovyet merubah garis kebijakannya, manusia kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan, benarkah manusia merupakan makhluk kuat yang mampu berusaha dengan akal dan nuraninya, ataukah harus ada intervensi sistem yang mengatur kehidupan antar manusia? Jadi inget film A View Good Man yang dibintangin Tom Cruise, kedua perwira yang diadili dinyatakan bersalah karena mereka ngga bisa ngebela temen mereka yang lemah, meski itu merupakan perintah dari atasan. Jadi adakalanya sistem juga diperluin untuk ngelindungin orang-orang yang termarjinalkan.
Bukankah manusia senantiasa membutuhkan petunjuk jalan? Kalau begitu manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan sebuah sistem kontrol agar semuanya dapat berjalan aman dan teratur. Kembali ke buku rujukan, ada tokoh namanya Rawl, nah menurut dia untuk mencapai sebuah masyarakat ideal diperlukan sebuah kontrak sosial yang disusun oleh sekelompok orang yang mengatur kaidah pengaturan masyarakat untuk mengatur kepentingan seluruh warga. Dengan kata lain masyarakat memang harus diatur karena manusia lemah. Lalu dimanakah keunggulan liberalisme? Dari kesepakatan yang ada oleh pemikir-pemikir zaman baheula, liberalisme menjamin ditegakannya hak asasi manusia, yang sayangnya masih sering bersifat subjektif. Satu hal lagi, liberalisme menjunjung hak privat seluas-luasnya, hingga menyisakan sebuah tanda tanya besar bagi moralitas.
Sejauh manakah manusia harus diatur, dan siapakah yang paling efektif mengatur manusia? Dengan melibatkan faktor agama, tentu kontrol dari dalam diri sendirilah yang menjadi paling penting, sebagaimana yang diungkapkan Muththahari, bahwa musuh yang terbesar adalah diri sendiri. Melihat agama, terutama dari asal katanya a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, agama memiliki arti tidak kacau alias menjadi penuntun bagi manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dari sini, agama bersifat syumul’(menyeluruh) meliputi semua unsur kehidupan manusia. Dengan melihat konsep iman, islam, ihsan kemudian penjelasan mengenai muhsin, muslim dan mu’min diperoleh gambaran bahwa seharusnya manusia merupakan manusia kuat selama ia memiliki keyakinan yang meliputi ketiga hal yang saya sebutkan diatas. Namun untuk membentuk tatanan masyarakat ideal seperti zaman Rasulullah(saya pernah diprotes ini ngga mungkin, jadi setidaknya mirip dengan kekhalifahan Abbasiyah), apakah manusia-manusia dapat dibiarkan bebas menurut standarnya masing-masing?
Merujuk sejarah, tapi kebanyakan literaturnya sekuler sih, ngga bisa. Soalnya manusia walaupun dibilang kuat tetep aja gampang tergoda. Jadi diperlukan semacam kontrol sosial buat mengatur manusia. Dulu saya sempet kagum Hitler, bukan karena rekornya dalam pembunuhan umat manusia tapi karena kengototannya mempertahankan apa yang dia yakini, tapi isunya dia bunuh diri(banyak sih isu mengenai kematian Hitler, ada yang bilang dia dibunuh anak buahnya, ada yang bilang dia melarikan diri, wah koq jadi kaya acara gosip ;P) jadi ngga respek deh sama orang yang lari dari kenyataan dengan bunuh diri. Sekarang ada juga lho komik yang nyeritain tentang anak-anak yang didoktrin ketika masih dibawah umur, judulnya Monster. Tapi kadang saya mikir, semuanya tergantung pada kacamata yang kita pakai, kalo pakai kacamata biru ya semua pemandangan yang kita liat bakalan biru(sedih banget baca komik tapi pikirannya ngga lepas dari buku2 berat).
Makanya kalo kelamaan ngedalemin suatu wacana bisa-bisa kacamatanya ngga bisa lepas. Sebenernya saya mau udahan ngegunain teori-teorinya Mbah Jenggot, tapi di kajian budaya(CS) rujukannya Mbah Jenggot banget. Malah lebih rame lagi dengan adanya Lacan, Althusser dkk, yang rata-rata kepengaruh ama Mbah Jenggot. Abis apa yang ada sekarang kebanyakan pengaruh kapitalisme, konsumerisme dan hedonisme sih, muncul deh teori-teori yang diperbaharui tapi rujukannya tetep klasik. Sebenernya bisa juga ditarik dengan pendekatan agama, cuma ada beberapa kritikan terhadap fenomena yang berkembang sekarang. Pertama, kadang agama juga menjadi bagian dari posrealitas(ini ngeliat dari makalah pak Deden pas acara bedah buku pak Yasraf). Trus, fenomena kedua agama masih sering sekuler dalam artian agama lebih sering dijadikan ajang untuk menjadi semacam orang suci, namun ngga ada sangkut pautnya dari kehidupan sosial.
Jadi manusia lemah vs manusia kuat, kayanya ngga dua-duanya. Saat manusia futur adakalanya sebuah sistem mapan mampu mengembalikan ia ketempat yang seharusnya, dan ketika ia menjadi manusia kuat, ia bisa berguna bagi sesama dan menemukan posisinya dihadapan Sang Khalik.
Kepada Angin, Untuknya
Angin,
Bolehkah kutitipkan sebait kata?
Agar mendung tak menggelayut wajahnya
Dalam ketegaran sikapnya
Kutemukan telaga air mata
Angkuh meraih mimpi
Namun entah kenapa
matanya menyimpan luka
Angin,
Bisakah kau menjaganya?
Saat di kelam malam ia termenung
Memikirkan semuanya dalam sepi
Lalu berusaha tegar
Untuk dirinya, orang-orang disekitarnya
Mungkin…
Angin,
Bolehkah kupinta senandung?
Agar ia tahu, ia tak pernah sendiri
Mimpinya, bukan miliknya seorang
Namun entah, ia memilih hening
Lalu kembali berjalan
Sendiri…
Bolehkah kutitipkan sebait kata?
Agar mendung tak menggelayut wajahnya
Dalam ketegaran sikapnya
Kutemukan telaga air mata
Angkuh meraih mimpi
Namun entah kenapa
matanya menyimpan luka
Angin,
Bisakah kau menjaganya?
Saat di kelam malam ia termenung
Memikirkan semuanya dalam sepi
Lalu berusaha tegar
Untuk dirinya, orang-orang disekitarnya
Mungkin…
Angin,
Bolehkah kupinta senandung?
Agar ia tahu, ia tak pernah sendiri
Mimpinya, bukan miliknya seorang
Namun entah, ia memilih hening
Lalu kembali berjalan
Sendiri…
Thursday, August 19, 2004
Metamorfosis
Entah kenapa sebait kenangan hadir dari sebuah nama. Namun kini semua tak sama..(meminjam lagunya 'Padi'), ada perubahan yang membuatku terpengarah. Betulkah ini giliranku? Melihat orang-orang yang silih berganti, namun tak jua berhasil mempengaruhiku. Tiba-tiba sebuah mail datang dengan sebuah panggilan baru, benarkah aku sudah siap? Dulu aku selalu mencari orang yang dapat kujadikan tokoh. Namun kini, ketika harus berjalan setara, entah apa aku sanggup?
Tuesday, August 17, 2004
Buruan ...
Huek..huek… ngga tega gw nyebutnya. Abisnya ngelecehin cewe banget, emang isi otaknya ngga ada yang lain apa selain kaya gituan. Gila katanya zaman emansipasi wanita, Kartini bakalan nangis kalo ngeliat tayangan sinetron sekarang dan kalau ditambah film Buruan bla..bla.. bakal makin sedih. Apalagi kalo bawa2 feminsime, wah tuh film bener2 enak buat dibantai. Tapi bisa juga sih jadi alasan wanita untuk bersuara, tergantung feminis kubu mana dulu. Dari kemaren udah ada dua acara yang ngebahas film itu, yang acara diskusi yang ngelibatin MUI dan lembaga sensor film. Kata lembaga sensor film, dia udah ngelakuin tugasnya tapi kalo masih ada yang ngga puas layangin surat aja. Kalau pendapatnya MUI sih tuh film harus ditarik dari peredaran. Ngga nyadar apa kalo film kaya gitu bisa ngerusak, bukannya gw mau ngelanggar hak publik orang, masalahnya ini bawa nama budaya.
Oke deh, realitas yang ada di luar emang ngga bersih-bersih banget. Tapi apa yang dilayarin dilayar tv juga bukan cermin dari realitas yang sesungguhnya. Nah, dari selisih antara relaitas, film dan citra yang ditangkap oleh penonton bakalan ada sebuah penafsiran baru yang bakal dibawa ke realitas selanjutnya. Misalnya kita biasa nonton sinetron remaja yang udah mulai longgar dalam mengisahkan hubungan sebelum nikah, maka para penonton secara tidak sadar akan mulai menginternalisasi kelonggaran tersebut dalam pikiran mereka. Akibatnya, generasi bakal rusak dan menganggap hal-hal yang dulunya tabu sebagai suatu hal yang wajar.
Di acara showbiz tadi siang, Raam Punjabi diwawancara. Katanya sih waktu pertama kali disodorin skenarionya, beliau nolak tegas-tegas, tapi somehow beliau nerima juga. Gila ngga sih, judulnya aja udah kaya gitu. Alasan yang gw baca di majalah atau komen orang2, udah ngga zamannya lagi hubungan kaya Rangga dan Cinta yang manis meski buntutnya tetep aja ada kissingnya. Aduh.. gw koq koq males ya ngeliatnya. Abis tren sekarang mau dibawa kearah yang ngga jelas banget. Kalau sebelumnya gw ngomongin ‘Merdeka 100%’ sekarang juga gw mo negasin hal yang sama, woi sadar dong, kita nih lagi dijajah. Penjajahan kesadaran, bayangin aja kalo lo didoktrin ama suatu hal tapi lo ngga sadar.
Definisi gw tentang didoktrin gampang aja, yaitu ketika lo ngga punya kesempatan untuk ngelak. Ngga tau nih, analoginya tepat apa ngga, misalnya lo lagi diajarin hal baru ama temen lo, ilmunya bukan suatu hal yang lo kuasain, yang terjadi bukannya proses diskusi tapi malah lo cuma bisa ngangguk-ngangguk, entah karena terpesona atau karena hanya itu yang bisa lo lakuin. Ini juga sama, ketika lo natap layar televisi, trus tayangan yang lo hadapin itu-itu aja, bisa2 lo kena cuci otak. Nilai-nilai yang biasa lo dapetin dari ortu atau pelajaran agama perlahan bakal pudar. Ini juga pentingnya hubungan yang harmonis dengan orang rumah, biar ngga ada gap-gapan. Jujur aja, kadang gw ngerasa hedonisme itu lebih nakutin dari korupsi. Abis ngerusaknya tuh diem-diem. Kalo ngedenger kata korupsi semua orang bakalan sepakat kalo itu ngga baik, tapi kalo hedonsime kayanya masih banyak pro kontra. Temen gw aja ada yang bangga nyebut dirinya anak hedon.
Sebenernya gw takut aja anak-anak ngga punya kesempatan untuk milih. Maksudnya belum apa-apa dia udah keseret pada suatu budaya massa dimana dia hilang didalamnya. Kalo menurut teori2 ini, dia ngga bakal kehilangan panutan, tapi dia tidak pernah berada dalam keadaan sadar untuk apa dia ngelakuin segala sesuatu. Kaya di film AADC(salah satu film populer), ketika Rangga memprotes kelakuan Cinta yang serba seragam dengan gengnya. Dulu sih gw ngga pernah geng-gengan tapi punya juga kelompok yang kalo ngga mau jalan bareng langsung dicap sombong, padahal asli waktu itu gw ada keperluan. Repotlah, hidup ini serba terikat, bukannya hidup itu bisa bebas kaya layang-layang putus, tapi selain sebagai seorang individu kolektif kita juga senantiasa harus punya kesadaran pribadi.
Hal ini bisa gw tarik juga ke masalah aksi. Gw pengennya setiap kali aksi setiap orang nyadar apa yang dia perjuangin. Dan kalo bawa nama institusi seharusnya institusi itu juga udah melakukan sosialisasi ke massa tempat dia bernaung. Tapi di Indon, gw ngga yakin kondisinya bisa seideal itu. Ada beberapa hal yang terpaksa gw tarik ulur lagi, masalahnya kalo suatu masalah publik bisa terangkat/tersosialisasi ke wilayah yang lebih luas dengan ngejual nama institusi, meski ngga tersosialisasi dengan baik ke massa tempat dia bernaung, akhirnya gw milih setuju. Jadi gw sih nyimpulin ini masalah niat, kebaikannya lebih baik dari mudharatnya. Meski sekarang masih banyak massa mengambang yang ikut tanpa tau esensinya, asal untuk kebaikan dan dilakukan dengan cara yang baik. Gw setuju deh…
Beda banget ama sinetron. Gw masih menganggap masalah terbesar dari sinetron adalah penjajahan kesadaran, pelecehan wanita, kapitalisme tersembunyi dan perusakkan akhlak. Gila ngga sih ngeliatin anak SD jahatnya minta ampun. Udah gitu obrolannya ngga mutu banget, mending nyeritain cara orang mau masuk olimpiade keq atau masalah anak yang ngga bisa ngikutin pelajaran. Kondisinya diperparah dengan posisi guru yang selalu dijadiin tokoh badut. Gw bilang sih ini udah penghinaan terhadap institusi pendidikan. Tapi kayanya orang2 koq tenang2 aja. Buktinya cerita2 kaya gitu ratingnya bagus. Gw pernah baca tentang cara kerja rating dan bagaimana insan perfilman menyikapinya, ternyata ya ngaruh banget. Bahkan Jelangkung versi sinetron aja beberapa tokohnya diganti karena ratingnya jeblok.
Nok, nok… siapa menjajah siapa. Pemirsa nentuin rating, rating bikin panik sutradara, sutradara nebak2 keinginan pemirsa. Sedihnya menjadi pemirsa minoritas. Sebenernya bukan pemirsa juga sih. Soalnya kalo emang ngga ada yang layak diliat mending matiin aja.
Oke deh, realitas yang ada di luar emang ngga bersih-bersih banget. Tapi apa yang dilayarin dilayar tv juga bukan cermin dari realitas yang sesungguhnya. Nah, dari selisih antara relaitas, film dan citra yang ditangkap oleh penonton bakalan ada sebuah penafsiran baru yang bakal dibawa ke realitas selanjutnya. Misalnya kita biasa nonton sinetron remaja yang udah mulai longgar dalam mengisahkan hubungan sebelum nikah, maka para penonton secara tidak sadar akan mulai menginternalisasi kelonggaran tersebut dalam pikiran mereka. Akibatnya, generasi bakal rusak dan menganggap hal-hal yang dulunya tabu sebagai suatu hal yang wajar.
Di acara showbiz tadi siang, Raam Punjabi diwawancara. Katanya sih waktu pertama kali disodorin skenarionya, beliau nolak tegas-tegas, tapi somehow beliau nerima juga. Gila ngga sih, judulnya aja udah kaya gitu. Alasan yang gw baca di majalah atau komen orang2, udah ngga zamannya lagi hubungan kaya Rangga dan Cinta yang manis meski buntutnya tetep aja ada kissingnya. Aduh.. gw koq koq males ya ngeliatnya. Abis tren sekarang mau dibawa kearah yang ngga jelas banget. Kalau sebelumnya gw ngomongin ‘Merdeka 100%’ sekarang juga gw mo negasin hal yang sama, woi sadar dong, kita nih lagi dijajah. Penjajahan kesadaran, bayangin aja kalo lo didoktrin ama suatu hal tapi lo ngga sadar.
Definisi gw tentang didoktrin gampang aja, yaitu ketika lo ngga punya kesempatan untuk ngelak. Ngga tau nih, analoginya tepat apa ngga, misalnya lo lagi diajarin hal baru ama temen lo, ilmunya bukan suatu hal yang lo kuasain, yang terjadi bukannya proses diskusi tapi malah lo cuma bisa ngangguk-ngangguk, entah karena terpesona atau karena hanya itu yang bisa lo lakuin. Ini juga sama, ketika lo natap layar televisi, trus tayangan yang lo hadapin itu-itu aja, bisa2 lo kena cuci otak. Nilai-nilai yang biasa lo dapetin dari ortu atau pelajaran agama perlahan bakal pudar. Ini juga pentingnya hubungan yang harmonis dengan orang rumah, biar ngga ada gap-gapan. Jujur aja, kadang gw ngerasa hedonisme itu lebih nakutin dari korupsi. Abis ngerusaknya tuh diem-diem. Kalo ngedenger kata korupsi semua orang bakalan sepakat kalo itu ngga baik, tapi kalo hedonsime kayanya masih banyak pro kontra. Temen gw aja ada yang bangga nyebut dirinya anak hedon.
Sebenernya gw takut aja anak-anak ngga punya kesempatan untuk milih. Maksudnya belum apa-apa dia udah keseret pada suatu budaya massa dimana dia hilang didalamnya. Kalo menurut teori2 ini, dia ngga bakal kehilangan panutan, tapi dia tidak pernah berada dalam keadaan sadar untuk apa dia ngelakuin segala sesuatu. Kaya di film AADC(salah satu film populer), ketika Rangga memprotes kelakuan Cinta yang serba seragam dengan gengnya. Dulu sih gw ngga pernah geng-gengan tapi punya juga kelompok yang kalo ngga mau jalan bareng langsung dicap sombong, padahal asli waktu itu gw ada keperluan. Repotlah, hidup ini serba terikat, bukannya hidup itu bisa bebas kaya layang-layang putus, tapi selain sebagai seorang individu kolektif kita juga senantiasa harus punya kesadaran pribadi.
Hal ini bisa gw tarik juga ke masalah aksi. Gw pengennya setiap kali aksi setiap orang nyadar apa yang dia perjuangin. Dan kalo bawa nama institusi seharusnya institusi itu juga udah melakukan sosialisasi ke massa tempat dia bernaung. Tapi di Indon, gw ngga yakin kondisinya bisa seideal itu. Ada beberapa hal yang terpaksa gw tarik ulur lagi, masalahnya kalo suatu masalah publik bisa terangkat/tersosialisasi ke wilayah yang lebih luas dengan ngejual nama institusi, meski ngga tersosialisasi dengan baik ke massa tempat dia bernaung, akhirnya gw milih setuju. Jadi gw sih nyimpulin ini masalah niat, kebaikannya lebih baik dari mudharatnya. Meski sekarang masih banyak massa mengambang yang ikut tanpa tau esensinya, asal untuk kebaikan dan dilakukan dengan cara yang baik. Gw setuju deh…
Beda banget ama sinetron. Gw masih menganggap masalah terbesar dari sinetron adalah penjajahan kesadaran, pelecehan wanita, kapitalisme tersembunyi dan perusakkan akhlak. Gila ngga sih ngeliatin anak SD jahatnya minta ampun. Udah gitu obrolannya ngga mutu banget, mending nyeritain cara orang mau masuk olimpiade keq atau masalah anak yang ngga bisa ngikutin pelajaran. Kondisinya diperparah dengan posisi guru yang selalu dijadiin tokoh badut. Gw bilang sih ini udah penghinaan terhadap institusi pendidikan. Tapi kayanya orang2 koq tenang2 aja. Buktinya cerita2 kaya gitu ratingnya bagus. Gw pernah baca tentang cara kerja rating dan bagaimana insan perfilman menyikapinya, ternyata ya ngaruh banget. Bahkan Jelangkung versi sinetron aja beberapa tokohnya diganti karena ratingnya jeblok.
Nok, nok… siapa menjajah siapa. Pemirsa nentuin rating, rating bikin panik sutradara, sutradara nebak2 keinginan pemirsa. Sedihnya menjadi pemirsa minoritas. Sebenernya bukan pemirsa juga sih. Soalnya kalo emang ngga ada yang layak diliat mending matiin aja.
Triple S
Kemaren pas reunian ditanyain rencana kedepan, lengkap dengan targetan ngerubah status single dan kriteria pendamping. Aduh pertanyaan berat tuh, kalo masalah kuliah, kalo lancar pengennya bisa 9 semester dengan catatan kedepan harus lebih serius. Tapi pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, he..he.. kayanya cukup berat tuh ngejawabnya. Temen-temen juga beragam ngejawabnya, kalo diambil benang merahnya sih rata-rata pada ngeliat kualitas iman. Kalau untuk yang ikhwan sih udah ada kriterianya, pertama dari mukanya trus disusul dengan harta, kemampuan mempunyai keturunan dan imannya. Syarat terakhir ini sekaligus jadi yang paling penting, lagian kata orang cantik/cakep tuh relatif.
Ada temen yang masang target berkeluarga dengan istilah triple S, gila keren banget tuh istilah, tapi ternyata singkatannya segera setelah siap. Cka..kak..kak.. temen saya yang satu itu ngga berubah, ada juga yang kriterianya harus sadar gender, pokoknya sebelum melangkah lebih jauh harus ada kesepakatan dulu deh. Lainnya sih macem-macem, ada yang lucu ada juga yang serius dan kayanya udah siap lahir batin. Ngeliat dari dasar hukumnya yang sunnah emang bagus juga kali ya kalo cepet. Tapi harus siap juga, lagian dalam fikih hukum nikah juga ada tingkatan-tingkatannya lagi, mulai dari mubah sampai haram. Contoh yang haram, kalau tujuan membina rumah tangganya untuk menyakiti salah satu pihak. Saya sendiri? He..he.. kayanya masih rahasia abis, cukup yang ada di forum waktu itu yang tau. Tapi mungkin masalah pasangan hidup sesederhana seperti kata Ulfah, ketika kita menemukan orang yang tepat, entah bagaimana kita tahu. Makanya kalo saya masih suka terheran-heran dengan buku2 karangan Nurul Huda atau Sakti Wibowo, mungkin karena saya memang belum terbiasa dengan atmosfer itu. Bayangin ada yang baru suka pasangannya setelah sekian tahun. Salut akan niat mereka untuk menggenapkan setengah dien mereka.
Ada temen yang masang target berkeluarga dengan istilah triple S, gila keren banget tuh istilah, tapi ternyata singkatannya segera setelah siap. Cka..kak..kak.. temen saya yang satu itu ngga berubah, ada juga yang kriterianya harus sadar gender, pokoknya sebelum melangkah lebih jauh harus ada kesepakatan dulu deh. Lainnya sih macem-macem, ada yang lucu ada juga yang serius dan kayanya udah siap lahir batin. Ngeliat dari dasar hukumnya yang sunnah emang bagus juga kali ya kalo cepet. Tapi harus siap juga, lagian dalam fikih hukum nikah juga ada tingkatan-tingkatannya lagi, mulai dari mubah sampai haram. Contoh yang haram, kalau tujuan membina rumah tangganya untuk menyakiti salah satu pihak. Saya sendiri? He..he.. kayanya masih rahasia abis, cukup yang ada di forum waktu itu yang tau. Tapi mungkin masalah pasangan hidup sesederhana seperti kata Ulfah, ketika kita menemukan orang yang tepat, entah bagaimana kita tahu. Makanya kalo saya masih suka terheran-heran dengan buku2 karangan Nurul Huda atau Sakti Wibowo, mungkin karena saya memang belum terbiasa dengan atmosfer itu. Bayangin ada yang baru suka pasangannya setelah sekian tahun. Salut akan niat mereka untuk menggenapkan setengah dien mereka.
Manusia dan Mesin
Ternyata saya termasuk orang yang udah rada kecanduan sama internet. Di rumah servernya lagi bermasalah, padahal tadinya ada beberapa hal yang mau saya lakuin dan perlu banget untuk online. Akhirnya saya nuangin pikiran di word deh. Tapi entah kenapa atmosfer rumah ama bandung beda banget. Kalau di Serpong bacaannya lumayan berat, sedangkan di Bandung kalau ngga sastra paling cultural studies atau ngga dialog sains-agama. Tapi khusus untuk yang terakhir juga udah ngga terlalu intens lagi. Kayanya atmosfernya dingin banget, jadi inget kata2 yang pernah saya baca di koran, kalau ngga salah sih di kolom opini “Pergerakan lahir di Yogya, meletus di Jakarta dan mati di Bandung.”
He..he.. bisa dimarahin anak bandung nih, tapi bagi saya keinginan untuk maju trus grusak-grusuk seperti bayangan zaman SMA emang ngga gitu kerasa lagi. Apa emang karena udah tua(udah ada tiga angkatan dibawah), atau dari awal udah kaya gitu. Sekarang aja pas balik ke rumah bacaannya Politik Ideologi Mutakhir, untunglah ngga gitu berat. Isinya kebanyakan ngalir kaya cerita sejarah, jadi kening ngga perlu ampe kerut2. Lagian ini bacaan khusus liburan. Kalau udah kuliah, mau fokus ama math tersayang. Kemarin udah ngider-ngider nyari dosen pembimbing TA, tapi koq ya jadi kaya dagelan. Abis mau topik tapi dosen yang nanganin topik yang saya inginkan kebanyakan udah penuh. Waktu konsultasi ke dosen yang ngurusin masalah pembagian TA, saya ditanyain maunya apa, saya jawab “Saya mau matematika terapan yang ada makhluk-makhluknya pak.” Abis kayanya udah ngga kuat kalo berhadapan dengan cacing-cacing integral, nabla dan segala simbol lain kalo ngga kebayang peranannya di dunia real.
Mungkin ini gara-gara kualat, soalnya pas TPB saya pernah ditanyain ama dosen Fisika bukannya math lebih rumit daripada fisika waktu ngambil tugas ke kantor beliau. Trus saya jawab ngga pak, kalau di fisika ada kedua kemungkinan kesalahan yaitu ketika kita menerjemahkan soal ke gambar dan kedua ketika perhitungan. Dosennya ngejawab “O, gitu ya?!”. He..he.. sekarang kualat, saya maunya terapan, ngga mudeng kalo cuma ngereka-ngereka di otak, mending ada barang yang bisa diliatin. Emang sih nantinya bakal nurunin rumus juga, apalagi saya maunya sistem dinamik yang banyak ngelibatin persamaan diferensial, tapi setidaknya saya ngertilah dimana kegunaannya. Dulu malah sempet mau ke ekonofisik, abis asyik ngeliatin temen-temen di Bandung Fe main-mainin fenomena yang ada dengan berbagai persamaan yang ada.
Asyik ngga sih ngeliat dunia ini sebagai sebuah model matematika. Makanya di ekonofisik, ilmu udah hibrid abis. Ada ilmu ekonomi, statistik, matematika trus semuanya dikocok buat bikin peramalan. Kemarin main-main ke web-nya ada tentang politik segala. Cuma ya biasalah, orang sains biasanya paling alergi kalau ketidakpastian ilmu sosial mau dibakuin sedemikian rupa. Trus temen2 di milis kajian budaya juga masih banyak yang ragu ama kevalidan ilmu yang relatif baru ini, soalnya ilmu sosial biasanya ngga sedeterministik sains. Dalam definisi ini sains lebih sering ditempatkan dalam ilmu alam. Biasalah, masing-masing kubu merasa nyaman dalam mitos tentang keunggulan ilmunya.
Seperti ketika saya masuk dalam kajian tentang sains-agama. Mulai dari theis, pantheis dan anggapan bahwa keyakinan Einstein akan keberadaan Tuhan masih sebatas pantheis, kepastian-ketidakpastian dan berbagai tetek bengek lainnya. Saya pribadi lebih mencari kaitannya dengan math, apakah math suatu hal terjadi secara natural ataukah ada sebuah skenario tertentu? Kadang saya merasa math seperti sebuah agama, gawat juga nih kalau disalahtafsirkan tapi ngga pa-palah udah terlanjur sampai sini. Maksudnya ada sebuah bangunan ideal disana yang menemukan untuk dicari(ya kaya kuda idealnya Plato gitu deh). Kalau ngedenger cerita Copernicus ketika memprotes tatanan tata surya Ptolomeus, ia merasa tatanan tata surya dengan bumi sebagai pusatnya ngga indah alias janggal. Ada sebuah rasa estetik yang menarik Copernicus untuk merubah tatanan yang ada. Kalau ngga salah baru pada masa Galileo, ada bukti nyata mengenai tatanan yang dicetus oleh Copernicus. Sama halnya dengan math, kalau ia menafsirkan dunia dalam suatu persamaan yang salah maka hasilnya tidak indah. Hubungan antara sains, seni dan metafisik(saya tafsirkan sebagai ilmu untuk menemukan Tuhan) menjadi utuh karenanya.
Seperti halnya yanag diungkapkan oleh Mehdi dalam diskusi di Basic Science beberapa waktu lalu, dalam Islam, tidak pernah ada pertentangan antara sains dan agama. Dunia sains yang selama ini dianggap bebas nilai, ternyata tak pernah terlepas dari tafsiran pengamat. Salah satu contoh saya ambil dari kisah di psikologi. Dalam sebuah penelitian, saat manusia berdoa ada hormon yang akan mengalir dan menenangkan seseorang. Orang yang beragama menganggap ini sebagai campur tangan Tuhan dalam melindungi orang yang berdoa kepada-Nya, sementara orang atheis beranggapan bahwa hal ini hanya akibat struktur sosial, sehingga setiap kali orang berdoa ia akan terstimulus untuk menjadi tenang. Sama halnya dengan sains, dengan paradigma yang berbeda, akan diperoleh penafsiran yang berbeda pula.
Padahal tadinya mah mau udahan dari wacana diatas. Susah juga ya kalau udah pernah masuk untuk menghapus pikiran-pikiran yang suka loncat-loncat keluar. Kaya pas di rumah, suasananya beda banget, masing-masing tempat seperti punya pemikirannya sendiri. Mungkin ini akibat masa lalu juga, cie.. kesannya tua banget.
He..he.. bisa dimarahin anak bandung nih, tapi bagi saya keinginan untuk maju trus grusak-grusuk seperti bayangan zaman SMA emang ngga gitu kerasa lagi. Apa emang karena udah tua(udah ada tiga angkatan dibawah), atau dari awal udah kaya gitu. Sekarang aja pas balik ke rumah bacaannya Politik Ideologi Mutakhir, untunglah ngga gitu berat. Isinya kebanyakan ngalir kaya cerita sejarah, jadi kening ngga perlu ampe kerut2. Lagian ini bacaan khusus liburan. Kalau udah kuliah, mau fokus ama math tersayang. Kemarin udah ngider-ngider nyari dosen pembimbing TA, tapi koq ya jadi kaya dagelan. Abis mau topik tapi dosen yang nanganin topik yang saya inginkan kebanyakan udah penuh. Waktu konsultasi ke dosen yang ngurusin masalah pembagian TA, saya ditanyain maunya apa, saya jawab “Saya mau matematika terapan yang ada makhluk-makhluknya pak.” Abis kayanya udah ngga kuat kalo berhadapan dengan cacing-cacing integral, nabla dan segala simbol lain kalo ngga kebayang peranannya di dunia real.
Mungkin ini gara-gara kualat, soalnya pas TPB saya pernah ditanyain ama dosen Fisika bukannya math lebih rumit daripada fisika waktu ngambil tugas ke kantor beliau. Trus saya jawab ngga pak, kalau di fisika ada kedua kemungkinan kesalahan yaitu ketika kita menerjemahkan soal ke gambar dan kedua ketika perhitungan. Dosennya ngejawab “O, gitu ya?!”. He..he.. sekarang kualat, saya maunya terapan, ngga mudeng kalo cuma ngereka-ngereka di otak, mending ada barang yang bisa diliatin. Emang sih nantinya bakal nurunin rumus juga, apalagi saya maunya sistem dinamik yang banyak ngelibatin persamaan diferensial, tapi setidaknya saya ngertilah dimana kegunaannya. Dulu malah sempet mau ke ekonofisik, abis asyik ngeliatin temen-temen di Bandung Fe main-mainin fenomena yang ada dengan berbagai persamaan yang ada.
Asyik ngga sih ngeliat dunia ini sebagai sebuah model matematika. Makanya di ekonofisik, ilmu udah hibrid abis. Ada ilmu ekonomi, statistik, matematika trus semuanya dikocok buat bikin peramalan. Kemarin main-main ke web-nya ada tentang politik segala. Cuma ya biasalah, orang sains biasanya paling alergi kalau ketidakpastian ilmu sosial mau dibakuin sedemikian rupa. Trus temen2 di milis kajian budaya juga masih banyak yang ragu ama kevalidan ilmu yang relatif baru ini, soalnya ilmu sosial biasanya ngga sedeterministik sains. Dalam definisi ini sains lebih sering ditempatkan dalam ilmu alam. Biasalah, masing-masing kubu merasa nyaman dalam mitos tentang keunggulan ilmunya.
Seperti ketika saya masuk dalam kajian tentang sains-agama. Mulai dari theis, pantheis dan anggapan bahwa keyakinan Einstein akan keberadaan Tuhan masih sebatas pantheis, kepastian-ketidakpastian dan berbagai tetek bengek lainnya. Saya pribadi lebih mencari kaitannya dengan math, apakah math suatu hal terjadi secara natural ataukah ada sebuah skenario tertentu? Kadang saya merasa math seperti sebuah agama, gawat juga nih kalau disalahtafsirkan tapi ngga pa-palah udah terlanjur sampai sini. Maksudnya ada sebuah bangunan ideal disana yang menemukan untuk dicari(ya kaya kuda idealnya Plato gitu deh). Kalau ngedenger cerita Copernicus ketika memprotes tatanan tata surya Ptolomeus, ia merasa tatanan tata surya dengan bumi sebagai pusatnya ngga indah alias janggal. Ada sebuah rasa estetik yang menarik Copernicus untuk merubah tatanan yang ada. Kalau ngga salah baru pada masa Galileo, ada bukti nyata mengenai tatanan yang dicetus oleh Copernicus. Sama halnya dengan math, kalau ia menafsirkan dunia dalam suatu persamaan yang salah maka hasilnya tidak indah. Hubungan antara sains, seni dan metafisik(saya tafsirkan sebagai ilmu untuk menemukan Tuhan) menjadi utuh karenanya.
Seperti halnya yanag diungkapkan oleh Mehdi dalam diskusi di Basic Science beberapa waktu lalu, dalam Islam, tidak pernah ada pertentangan antara sains dan agama. Dunia sains yang selama ini dianggap bebas nilai, ternyata tak pernah terlepas dari tafsiran pengamat. Salah satu contoh saya ambil dari kisah di psikologi. Dalam sebuah penelitian, saat manusia berdoa ada hormon yang akan mengalir dan menenangkan seseorang. Orang yang beragama menganggap ini sebagai campur tangan Tuhan dalam melindungi orang yang berdoa kepada-Nya, sementara orang atheis beranggapan bahwa hal ini hanya akibat struktur sosial, sehingga setiap kali orang berdoa ia akan terstimulus untuk menjadi tenang. Sama halnya dengan sains, dengan paradigma yang berbeda, akan diperoleh penafsiran yang berbeda pula.
Padahal tadinya mah mau udahan dari wacana diatas. Susah juga ya kalau udah pernah masuk untuk menghapus pikiran-pikiran yang suka loncat-loncat keluar. Kaya pas di rumah, suasananya beda banget, masing-masing tempat seperti punya pemikirannya sendiri. Mungkin ini akibat masa lalu juga, cie.. kesannya tua banget.
Merdeka 100%
Asyik nih keluyuran terus, sekarang saya balik kerumah tersayang. Balik ke pangkuan bunda, he..he.. hiperbolanya kumat. Ternyata dirumah ada buku-buku lucu, peninggalan zaman SMA salah satunya tentang Tan Malaka. Pikir-pikir, sejarah hidupnya kasian juga ya… dan kenapa orang-orang hebat kaya dia seperti tenggelam dibalik nama-nama besar. Padahal perjuangannya aja yang rada beda. Okelah emang dia sempet duduk di Komintern pusat yang berkedudukan di Moskow, tapi abis itu dia kan jadi pejuang yang cukup nasionalis juga buktinya dia bikin PARI. Heran juga sih, kenapa banyak yang ngga cocok ama beliau, dengan pemikiran yang brilian dia mampu bikin sekolah-sekolah merah yang ngetrend dan mampu cepat menggerakkan massa.
Tentang konsep sekolah sebenarnya saya masih banyak diliputi pertanyaan, menurut saya sih yang sekarang kita terapin lebih banyak masih untuk mengakomodisir keinginan pasar. Maksudnya bentuk sekolah yang ideal belum tercapai sepenuhnya. Hal yang sama juga diterapin di Korsel dengan menitikberatkan pada jurursan2 yang dapat langsung mendukung industri, makanya sekarang korsel udah maju banget. Nah, di masa perjuangan kemerdekaan dulu Tan juga bikin sekolah yang orientasinya buat bergerak. Lumayan nyebar koq sekolahnya cuma ya… biasalah faktor elit bikin penyebarannya terhambat mungkin karena banyak kecurigaannya juga didalamnya.
Saya kebayang kisah seorang Tan yang masa kecilnya dihabiskan di surau, belajar ngaji, trus termasuk murid berprestasi disekolahnya. Kalau ada pelajaran hapalan beliau sering pakai jembatan keledai. Makanya buku masterpieecenya juga dirangkai pake jembatan keledai, Madilog(Materialisme, Dialektika dan Logika). Pertama kali bawa buku itu dari Palasari kakek saya melarang keras untuk ngebaca buku itu. Alasannya nanti saya bisa jadi atheis. Emang sih materialisme berbahaya banget, saya aja kalo nerangin konsep itu ke orang masih suka gamang sendiri. Tapi mungkin ini emang jalan hidup.
Kayanya Tan juga ngga pernah milih keliling dunia, sembunyiin kopernya yang isinya buku semua, lari dari kejaran berbagai intel, tapi apa yang dia lakuin ngga lain karena keyakinan yang dia punyai. Ada banyak bentuk perjuangan membela tanah air, dan pria kelahiran 2 Juni 1896 ini memilih perjalanan panjang ini meski akhirnya dia meninggal di tangan anak negri. Ironis bukan? Ketika dulu pemerintah/elit pemerintah yang berkuasa sibuk menjalankan pendekatan dengan berbagai pihak asing, Tan memperjuangkan ‘Merdeka 100%’ yang intinya kalau mau merdeka maka Indonesia harus memperjuangkannya dengan tangan sendiri agar selanjutnya mempunyai kuasa penuh untuk menentukan nasib bangsa kedepan.
Tapi apa daya, entah karena ketika ia pendekatannya ke elit ngga berhasil atau karena Tan hanya seorang pejuang yang kesepian. Perjuangannya hanya dimengerti oleh dirinya, dan meski ia memperoleh gelar pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1963, mungkin tak ada yang benar-benar mengenal sosok Tan. Mungkin sosoknya masih lebih banyak dikaitkan dengan komunis meski ia juga seorang nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, atau mungkin tak ada yang mempedulikan masa kecilnya di surau atau kekritisan berpikirnya. Tapi semoga semangatnya untuk mencapai ‘Merdeka 100%’ masih dapat kita pegang teguh, karena merdeka adalah hak mendasar manusia, untuk menjadi sebagaimana ia seharusnya.
Tentang konsep sekolah sebenarnya saya masih banyak diliputi pertanyaan, menurut saya sih yang sekarang kita terapin lebih banyak masih untuk mengakomodisir keinginan pasar. Maksudnya bentuk sekolah yang ideal belum tercapai sepenuhnya. Hal yang sama juga diterapin di Korsel dengan menitikberatkan pada jurursan2 yang dapat langsung mendukung industri, makanya sekarang korsel udah maju banget. Nah, di masa perjuangan kemerdekaan dulu Tan juga bikin sekolah yang orientasinya buat bergerak. Lumayan nyebar koq sekolahnya cuma ya… biasalah faktor elit bikin penyebarannya terhambat mungkin karena banyak kecurigaannya juga didalamnya.
Saya kebayang kisah seorang Tan yang masa kecilnya dihabiskan di surau, belajar ngaji, trus termasuk murid berprestasi disekolahnya. Kalau ada pelajaran hapalan beliau sering pakai jembatan keledai. Makanya buku masterpieecenya juga dirangkai pake jembatan keledai, Madilog(Materialisme, Dialektika dan Logika). Pertama kali bawa buku itu dari Palasari kakek saya melarang keras untuk ngebaca buku itu. Alasannya nanti saya bisa jadi atheis. Emang sih materialisme berbahaya banget, saya aja kalo nerangin konsep itu ke orang masih suka gamang sendiri. Tapi mungkin ini emang jalan hidup.
Kayanya Tan juga ngga pernah milih keliling dunia, sembunyiin kopernya yang isinya buku semua, lari dari kejaran berbagai intel, tapi apa yang dia lakuin ngga lain karena keyakinan yang dia punyai. Ada banyak bentuk perjuangan membela tanah air, dan pria kelahiran 2 Juni 1896 ini memilih perjalanan panjang ini meski akhirnya dia meninggal di tangan anak negri. Ironis bukan? Ketika dulu pemerintah/elit pemerintah yang berkuasa sibuk menjalankan pendekatan dengan berbagai pihak asing, Tan memperjuangkan ‘Merdeka 100%’ yang intinya kalau mau merdeka maka Indonesia harus memperjuangkannya dengan tangan sendiri agar selanjutnya mempunyai kuasa penuh untuk menentukan nasib bangsa kedepan.
Tapi apa daya, entah karena ketika ia pendekatannya ke elit ngga berhasil atau karena Tan hanya seorang pejuang yang kesepian. Perjuangannya hanya dimengerti oleh dirinya, dan meski ia memperoleh gelar pahlawan Kemerdekaan Nasional pada tahun 1963, mungkin tak ada yang benar-benar mengenal sosok Tan. Mungkin sosoknya masih lebih banyak dikaitkan dengan komunis meski ia juga seorang nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, atau mungkin tak ada yang mempedulikan masa kecilnya di surau atau kekritisan berpikirnya. Tapi semoga semangatnya untuk mencapai ‘Merdeka 100%’ masih dapat kita pegang teguh, karena merdeka adalah hak mendasar manusia, untuk menjadi sebagaimana ia seharusnya.
Thursday, August 12, 2004
From Yogya With ...
Hai blogi.., he..he.. udah lama juga ngga ngisi blog. Abis kemaren-kemaren asyik main ke Yogya, judulnya sih mau mubes tapi tetep aja isinya kumpul-kumpul bareng anak IC. Asli temen2 masih kaya dulu, nyampe jam 2 malem aja dengan setia ditungguin. Aduh, setiap kali mo ngomong tentang anak IC pasti kata-kata ngga mau keluar abis yang ada terharu terus. Pas kemaren panas aja, ada yang ngompresin ampe jam 12 malem. Rin, kamu udah mampir ke blogku blom? Kalau udah komentar di messenger ya....
Jarum jam udah nunjukin pukul 2 lewat saat kereta memasuki stasiun tugu. Disamping kereta sudah menunggu ibu-ibu berkebaya lengkap dengan kain serasi menawarkan nasi gudeg. Wah, kalo ceritanya detail bakal panjang ya?! Ya udahlah ngga jadi aja...
Pesen buat Rini kalo mampir: Thanks Rin udah ngajakin aku muter2 Yogya di malem hari plus kunjungan singkatnya ke Balairung. Kayanya kunjungan ke Yogya kemarin belum cukup, sampai sekarang aja aku masih pengen cerita banyak, tentang segala hal...
Jarum jam udah nunjukin pukul 2 lewat saat kereta memasuki stasiun tugu. Disamping kereta sudah menunggu ibu-ibu berkebaya lengkap dengan kain serasi menawarkan nasi gudeg. Wah, kalo ceritanya detail bakal panjang ya?! Ya udahlah ngga jadi aja...
Pesen buat Rini kalo mampir: Thanks Rin udah ngajakin aku muter2 Yogya di malem hari plus kunjungan singkatnya ke Balairung. Kayanya kunjungan ke Yogya kemarin belum cukup, sampai sekarang aja aku masih pengen cerita banyak, tentang segala hal...
Subscribe to:
Posts (Atom)
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...