Tadinya tulisan ini mau dibikin lebih serius, tapi karena lagi ngga bisa baca buku-buku berat(harfiah, karena bukunya tebel) jadinya unsur subjektifnya bakal lebih kental. Entah kenapa, saya selalu penasaran dengan kecendrungan manusia, mulai dari psikologi, sosiologi, antroplogi, semuanya berlomba-lomba untuk menjelaskan manusia. Ada yang dari dalem, ada yang dari budaya, ada juga dari keturunan, macem-macemlah. Waktu dulu bikin tulisan tentang karakteristik masyarakat di sebuah daerah, teman saya menyarankan baca aja buku Levi-Strauss(koq malah jadi kaya nama komposer ya?!, lupa euy) kalo mau ngeliat hubungan daerah dengan karakteristk manusia. Tapi apa benar semua bisa selinier itu?
Kayanya ngga juga, di buku yang sedang saya baca ada runutan sejarah mulai dari revolusi Perancis yang dianggap sebagai kelahiran ideologi2 zaman sekarang sampai perkembangan ideologi masa kini. Lucunya, saya malah ngga liat cerita mengenai ideologi tentang dunia, tapi malah kecendrungan manusia menemukan dirinya di tengah alam semesta. Mungkin lebih lengkap ditarik dari zaman pencerahan, yang menempatkan materialisme dan logika sebagai sebuah kebenaran absolut menggantikan kedudukan agama. Kemudian dari sana berkembang sains dan isme-isme yang mengatur kehidupan antar manusia. Mulai dari liberalisme yang menganggap manusia semua sama sehingga harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berusaha menurut kemampuannya. Hal ini kental dalam pemikiran Adam Smith dengan pasar idealnya, dimana semuanya dapat berkompetisi dengan adil. Namun kemudian timbul Keynes yang melibatkan campurtangan pemerintah, dalam cara pandang yang masih masuk kubu liberal, Keynesian dianggap lebih mendukung semangat liberalisme, karena memberi kesempatan bagi masyarakat yang pada awalnya terpuruk.
Dari adanya campur tangan pemerintah kemudian berkembang lagi ke sosialisme, Marxisme yang terpecah-pecah menjadi Neo-Marxis, Marxisme klasik, Manifesto Communist yang ditafsirkan bebas oleh Lenin, paham-paham yang menempatkan negara sebagai sistem kontrol raksasa, dimana rakyat hanya seperti sebuah mur dalam sebuah mesin raksasa bernama negara. Setelah komunis runtuh, terutama setelah Sovyet merubah garis kebijakannya, manusia kembali dihadapkan pada sebuah pertanyaan, benarkah manusia merupakan makhluk kuat yang mampu berusaha dengan akal dan nuraninya, ataukah harus ada intervensi sistem yang mengatur kehidupan antar manusia? Jadi inget film A View Good Man yang dibintangin Tom Cruise, kedua perwira yang diadili dinyatakan bersalah karena mereka ngga bisa ngebela temen mereka yang lemah, meski itu merupakan perintah dari atasan. Jadi adakalanya sistem juga diperluin untuk ngelindungin orang-orang yang termarjinalkan.
Bukankah manusia senantiasa membutuhkan petunjuk jalan? Kalau begitu manusia adalah makhluk lemah yang membutuhkan sebuah sistem kontrol agar semuanya dapat berjalan aman dan teratur. Kembali ke buku rujukan, ada tokoh namanya Rawl, nah menurut dia untuk mencapai sebuah masyarakat ideal diperlukan sebuah kontrak sosial yang disusun oleh sekelompok orang yang mengatur kaidah pengaturan masyarakat untuk mengatur kepentingan seluruh warga. Dengan kata lain masyarakat memang harus diatur karena manusia lemah. Lalu dimanakah keunggulan liberalisme? Dari kesepakatan yang ada oleh pemikir-pemikir zaman baheula, liberalisme menjamin ditegakannya hak asasi manusia, yang sayangnya masih sering bersifat subjektif. Satu hal lagi, liberalisme menjunjung hak privat seluas-luasnya, hingga menyisakan sebuah tanda tanya besar bagi moralitas.
Sejauh manakah manusia harus diatur, dan siapakah yang paling efektif mengatur manusia? Dengan melibatkan faktor agama, tentu kontrol dari dalam diri sendirilah yang menjadi paling penting, sebagaimana yang diungkapkan Muththahari, bahwa musuh yang terbesar adalah diri sendiri. Melihat agama, terutama dari asal katanya a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau, agama memiliki arti tidak kacau alias menjadi penuntun bagi manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dari sini, agama bersifat syumul’(menyeluruh) meliputi semua unsur kehidupan manusia. Dengan melihat konsep iman, islam, ihsan kemudian penjelasan mengenai muhsin, muslim dan mu’min diperoleh gambaran bahwa seharusnya manusia merupakan manusia kuat selama ia memiliki keyakinan yang meliputi ketiga hal yang saya sebutkan diatas. Namun untuk membentuk tatanan masyarakat ideal seperti zaman Rasulullah(saya pernah diprotes ini ngga mungkin, jadi setidaknya mirip dengan kekhalifahan Abbasiyah), apakah manusia-manusia dapat dibiarkan bebas menurut standarnya masing-masing?
Merujuk sejarah, tapi kebanyakan literaturnya sekuler sih, ngga bisa. Soalnya manusia walaupun dibilang kuat tetep aja gampang tergoda. Jadi diperlukan semacam kontrol sosial buat mengatur manusia. Dulu saya sempet kagum Hitler, bukan karena rekornya dalam pembunuhan umat manusia tapi karena kengototannya mempertahankan apa yang dia yakini, tapi isunya dia bunuh diri(banyak sih isu mengenai kematian Hitler, ada yang bilang dia dibunuh anak buahnya, ada yang bilang dia melarikan diri, wah koq jadi kaya acara gosip ;P) jadi ngga respek deh sama orang yang lari dari kenyataan dengan bunuh diri. Sekarang ada juga lho komik yang nyeritain tentang anak-anak yang didoktrin ketika masih dibawah umur, judulnya Monster. Tapi kadang saya mikir, semuanya tergantung pada kacamata yang kita pakai, kalo pakai kacamata biru ya semua pemandangan yang kita liat bakalan biru(sedih banget baca komik tapi pikirannya ngga lepas dari buku2 berat).
Makanya kalo kelamaan ngedalemin suatu wacana bisa-bisa kacamatanya ngga bisa lepas. Sebenernya saya mau udahan ngegunain teori-teorinya Mbah Jenggot, tapi di kajian budaya(CS) rujukannya Mbah Jenggot banget. Malah lebih rame lagi dengan adanya Lacan, Althusser dkk, yang rata-rata kepengaruh ama Mbah Jenggot. Abis apa yang ada sekarang kebanyakan pengaruh kapitalisme, konsumerisme dan hedonisme sih, muncul deh teori-teori yang diperbaharui tapi rujukannya tetep klasik. Sebenernya bisa juga ditarik dengan pendekatan agama, cuma ada beberapa kritikan terhadap fenomena yang berkembang sekarang. Pertama, kadang agama juga menjadi bagian dari posrealitas(ini ngeliat dari makalah pak Deden pas acara bedah buku pak Yasraf). Trus, fenomena kedua agama masih sering sekuler dalam artian agama lebih sering dijadikan ajang untuk menjadi semacam orang suci, namun ngga ada sangkut pautnya dari kehidupan sosial.
Jadi manusia lemah vs manusia kuat, kayanya ngga dua-duanya. Saat manusia futur adakalanya sebuah sistem mapan mampu mengembalikan ia ketempat yang seharusnya, dan ketika ia menjadi manusia kuat, ia bisa berguna bagi sesama dan menemukan posisinya dihadapan Sang Khalik.
No comments:
Post a Comment