Wednesday, March 16, 2005

Dari Irak hingga Cina

“Dua..r”. Dari balik pasir yang menghalangi pandangan mata, terlihat sebuah bangunan luluh lantak oleh sebuah smart bom. Selain bangunan yang kini sudah tidak berbentuk lagi, bau mesiu menyengat hidung. Udara panas siang, pasir-pasir yang beterbangan karena angin dan dentuman bom menambah semrawut suasana kota. Di rumah sakit, terlihat orang-orang tua dengan airmata yang sudah kering. Bayi-bayi yang terkena tetanus hingga penyakit paru-paru karena menghirup oksigen beraroma mesiu, hanya dapat menunggu kematian. Bukan karena mereka tidak memiliki askes ataupun surat miskin, namun rumah sakit itu tak memiliki listrik. Obat-obat antibiotik pun sudah enyah semenjak rezim tumbang. Penjarahan tak terelakkan, toko, rumah sakit, pemukiman habis diterpa gelombang kepanikkan. Rumah sakit hanya menjadi kuburan bagi bayi-bayi yang menunggu waktu tiba. Pasokan air yang minim, keadaan lingkungan, serta sarana yang tidak memadai hanya menambah kecil kemungkinan selamat. Dari rata2 30 bayi yang masuk tiap hari, 25 lima pergi menjelang petang menuju keabadian. Sementara orang-orang hanya dapat memandang dengan tatapan kosong, tanpa ada daya untuk merubah ataupun menyelamatkan bayi-bayi tak bersalah tersebut. Airmata berhamburan, segala jerit isak tangis, namun nyawa-nyawa itu tetap melayang

Perundingan demi perundingan diadakan. Isu minyak versus pemusnah massal lantang diperbincangkan. Aksi protes perang hingga pembahasan hegemoni negara adikuasa gencar diteriakkan. Namun negara penguasa itu tetap lengang berjalan. Ini adalah pertarungan kekuasaan, mungkin itu yang ada dalam pikiran. Setelah petroleum dollar mulai tersingkir perlahan, eoro dan yuan memegang peranan. Amerika mulai kelabakan. Kalau bukan lewat permainan uang, maka cengkaraman itu harus tegas dinyatakan, entah lewat pendudukkan negara lawan, ataupun lewat pertarungan pemikiran.

Namun semua tak tinggal diam. Sekutu-sekutu Amerika yang dulunya hanya bungkam, mulai menunjukkan perlawanan. Baik secara terang-terangan, maupun lewat sindiran-sindiran ringan. Untuk menggalang kekuatan negara-negara Eropa mulai meluaskan persekutuan. Dimulai dari pasar perdagangan, kini kerjasama itu meluas hingga penggunaan mata uang seragam. Bagian timur pun tak mau ketinggalan. Cina dengan ekonomi kerakyatan unjuk kebolehan. Barang-barang dengan harga murah meriah menyerbu Amerika hingga negeri Jiran. Motor Cina, hingga radio sepuluh ribuan lengkap dengan batere sepasang, beredar luas di pasaran. Industri-industri rumah yang biasanya hanya dipandang sebelah mata ternyata menjadi sektor yang mapan. Kalau dalam benak, ekonomi kerakyatan menampilkan sosok Panto berjualan ikan ke koperasi nelayan, maka di negeri sebrang, ekonomi kerakyatan telah menghasilkan motor lalu-lalang.

Globalisasi kini tengah menentukkan tuan. Setelah selama beberapa dasawarsa kekuasaan itu dipegang Amerika, kini bola itu akan menggelinding ke benua seberang. Namun dongeng diatas tetap tidak berakhir dengan, “Dan akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya” karena lagi-lagi Indonesia berada ditengah-tengah permainan kekuasaan.

[Yut, woi sadar, jangan ampe terpesona gitu dong ngedenger cerita dari kang Budhiana… Nyengir. Yut, jangan nyengir doang dong. Nyengir. Yut, serius nih… kalau kamu terus seperti ini kapan lulusnya? Nyengir. Yut… Hehe, abis gw ngga punya pembelaan. Untuk yang satu ini, gw cuma tau, kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Walah, yut..yut.. godaan banyak bener yak..:D]

1 comment:

za said...

Hwuaa....sama! Godaan untuk tidak segera mengerjakan TA selalu datang dengan berbagai macam bentuknya. Memang status mahasiswa itu sangat nyaman euy. Kapan yah bisa melepas status itu dengan tenang dan besar hati?

Zaki, jadi lulus kapan?

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...