What you wear, is not about other people.
It's about who you are.
“Saya tidak pernah memproklamirkan diri mengenakan jilbab. Saya hanya mengenakan penutup kepala, sedangkan jilbab didefinisikan sebagai kain yang menutupi bagian tubuh lain, tidak sebatas kepala,” ujar seorang artis yang kini mengenakan wig sebagai pengganti penutup kepala yang telah dipakainya selama tujuh tahun. Mungkin sebagian orang akan mengaitkan keputusan mengganti penutup kepala tersebut, dengan status yang kini disandangnya. Mungkin… yah, apapun yang ada dalam pikiran saya maupun Anda, tampaknya tidak akan menggoyahkan keputusan artis yang tengah naik daun karena reality show itu.
Jujur saja, saya agak shock. Meski saya seringkali juga memperoleh cerita yang mengandung nilai yang sama. Seseorang memutuskan menanggalkan atribut kemuslimahannya setelah melewati fase tertentu. Dalam cerita yang saya dengar dari teman, ia melepaskan jilbab setelah lulus SMA. Alasan mengenakan jilbabnya pun ketika SMA lebih banyak didasari oleh perasaan segan daripada kesadaran. Ia, sebut saja namanya Rani, memiliki kelompok mentoring. Ketika teman-teman sementoringnya memutuskan untuk mengenakan jilbab ia merasa turut berkewajiban untuk mengikuti teman-teman sekelompoknya tersebut. Namun selepas SMA, saat dimana ia berpisah dengan kawan-kawannya tersebut ia pun berpisah dengan penutup kepalanya tersebut.
Saya jadi ingat pertama kali mengenakan jilbab. Kisah yang sangat tidak klasik dan mengharukan, tapi sebagai orang yang sering memproklamirkan diri sebagai manusia rasional, tampaknya jalan cerita ini cukup masuk akal untuk menjadi bagian dari kesejarahan seorang Yuti. Saat itu, saya baru lulus SMP, dengan berbagai semangat pemberontakkan dan ingin mandiri, saya mau melamar ke sekolah yang letaknya jauh dari rumah di Serpong. Saya memutuskan untuk masuk sekolah favorit di
Dengan bekal nekat dan ingin tahu, saya ikuti tes yang diadakan untuk menyaring murid baru. Sekolah tersebut ternyata mengharuskan murid-muridnya mengenakan jilbab. Saat pertama, karena awalnya memang hanya ingin tahu, maka saya berpikir tak ada salahnya mencoba. Dengan jilbab yang biasanya hanya saya gunakan ketika mengaji atau pergi ke masjid, saya mengikuti tes yang bertempat di sekolah berasrama tersebut. Kepada ibu, saya sudah bilang bahwa kalau saya masuk ke sekolah tersebut belum tentu saya akan mengenakan jilbab untuk seterusnya. Bahkan langsung sesudah tes selesai dan gerbang sekolah terlewati, jilbab yang tadinya bertengger di kepala langsung saya lepaskan. Alasannya,“Gerah."
Ternyata… saya diterima oleh sekolah berasrama bernama Insan Cendekia tersebut. Dengan perasaan tidak percaya(bayangkan saja, saya yang kemampuan bahasa Arabnya nol besar, bisa diterima padahal pada seleksi masuknya ada tes bahasa Arab segala), orangtua saya berpendapat sebaiknya saya memilih bersekolah disana saja. Perbandingan suara saat itu 3:1, orangtua dan kakak condong saya sekolah di IC, sedangkan saya lebih memilih sekolah di
Kelas satu merupakan masa-masa paling hancur. Nyaris setiap bulan saya minta pindah sekolah. Alasannya bermacam-macam, mulai dari pelajaran agama masjid yang kerjaannya membaca kitab putih(baca: kitab kuning yang telah difotokopi) sampai aturan asrama yang sangat ketat. Parahnya lagi, kitab putih itu udah berbahasa arab, botak pula. Gila… blank berat
Suatu kali saya pernah ditanya pendapat tentang jilbab. “Kalau yuti, akan pakai jilbab untuk seterusnya tidak?” Saat itu saya menjawab, “Wah ngga tau pak, yang jelas kalau saya belum sampai pada kesadaran mengenakan jilbab, saya ngga bakal pakai.” Saat itu bapaknya hanya mengangguk-angguk. Seiring dengan berjalannya waktu, kesadaran itu terbentuk.
Terimakasih kepada guru-guru tersayang di IC yang tidak pernah berkata harus, namun tak pernah lelah untuk menunjukkan cahaya. Untuk ayah dan ibu, yang senantiasa mempercayai jalan dan pilihan hidupku. Kalianlah cahaya-Nya di bumi.
11 comments:
"Sekarang gini..yang nggak boleh keliatan apanya? Rambut kan..?" kata Trie Utami.
"Nah sekarang, keliatan nggak rambut saya?" katanya lagi.
Saya sih nggak terlalu ambil pusing sama keputusan Miss Pitch Control kita itu.. Dia yang memutuskan pake jilbab, dia pula yang memutuskan melepasnya. Saya hargai itu.
Tapi.. Tindikannya itu loh.. Keren! Hehehehe.
Hwuah, Ikram sampai sini juga komentarnya. Jangan nge-blog mulu lo Kram. Kuliah! Katanya mo buru-buru lulus :P (eh kok jadi komentar disini).
Buat Yuti: (ya iyalah, ini kan blog nya Yuti).
Ha...ha.. bisa serius juga ni anak. Ngomong halo aja masih kaya anak kecil. Kalau kamu cerita soal IC aku jadi inget masa SD ku di Muhammadiyah. Ya udah selamat berjilbab dalam arti sepenuhnya deh Ti.
Hidup adalah masalah pilihan. Hehe.. kedengeran serius ya?
Liat blognya ikram ah...
Kebetulan aku juga sempat menyaksikan hal itu. Sempet lihat hidungnya yang bolong itu :D
Ya, biarlah... tiap orang kan berhak mengekspresikan dirinya. Selama itu nggak mengganggu orang lain, ya.. biarkan aja.
Heheh... mbak, postingnya bagus. Aku keduluan deh
Yang harus dijilbab kan adalah hati, masalah tutup kepala adalah lahiriah sifatnya, walau gak pake jilbab tapi santun luar dalam, malah kelihatan indah sekali. Hawa diciptakan gak pake jilbab, Allah menciptakan keindahan, jadi keindahan jangan ditutup2in
Ternyata banyak juga komentar tentang jilbab. Kayanya tema-tema tentang gender masih tetap menjadi fokus pembahasan ya?
Tiba-tiba aku merindui dunia pesantren itu...
Jilbab bagiku bukan masalah gender. Jilbab, beyond that limit.
Bagi saya agama merupakan sebuah kesadaran, proses menjadi, namun sekaligus utuh. Saya jadi teringat ucapan alm. Sigit yang menanyakan jalan mana yang akan saya tempuh. Beliau pernah bilang bahwa Allah akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang tak lelah untuk mencari-Nya. Tapi saya tidak tahu, apa batas antara kesadaran pribadi dengan kesadaran kolektif(dalam arti kesadaran yang direkayasa kepada seseorang agar melakukan sesuatu). MKarena mungkin... pencarian itu tak pernah ada yang benar-benar objektif...
Aku komentar lagi aja disini. Habisnya post yang diatas panjang banget. Dan yang ketik nama di search engine gak terlalu tertarik. :P
Batas antara kesadaran pribadi dan kesadaran kolektif bagi saya juga tidak jelas. Abu-abu, hitam putih. Bahkan salah seorang teman saya, yang kemudian saya belajar banyak darinya, tidak terlalu suka menilai. Baginya semua adalah abu-abu.
Setelah aku pikir, aku sepertinya lebih dominan dipengaruhi kesadaran pribadi. Termasuk dalam beragama.
Saya juga termasuk yang mengagungkan kesadaran pribadi, jadi cara-cara artificial/accelerated rada ngga cocok. Tapi kalau dipikir2, apa yang saya alami sekarang merupakan proses internalisasi yang dilakukan ortu. Seperti hobi baca, diskusi, bahkan kadang tukar pikirannya sampai tahap berdebat. Mungkin harus dibedakan antara konstruksi sosial, dengan konstruksi yang berjalan secara instan.
Post a Comment