Wednesday, March 02, 2005

Manusia Bunga

Pernahkah kau mendengar kisah mengenai manusia bunga, manusia yang mampu meredam kegalauan hati dan membuatmu merasa nyaman? Kalau belum aku akan menceritakan kisah mengenai manusia bunga padamu. Karena aku tahu kau tidak suka dengan khayalan ksatria berkuda putih lengkap dengan setangkai bunga mawar, maka aku tentu saja tidak akan memulainya dengan dahulu kala atau pada suatu waktu, tapi aku akan memulainya dengan peristiwa yang kualami belum lama ini.

Seperti biasa aktivitas pagi berjalan dengan cepat. Mahasiswa lalu-lalang dengan langkah yang tergesa, beberapa orang dari mereka melirik jam tangan, sambil mempercepat jalan. Udara pagi yang masih segar karena menyudahi hujan yang mengguyur semalam harus bersaing keras dengan nafas pendek-pendek. Ah, sungguh sayang. Apalagi ritme pagi itu berubah karena ada pembangunan di tengah-tengah kampus. Biasanya aku masih dapat melihat pemandangan lain dari pagi, yaitu orang-orang yang bermain basket lengkap dengan segala canda mereka, atau senam pagi setiap Jum’at di dekat departemen Sipil. Pemandangan yang biasanya membuat aku tersenyum simpul karena para peserta senam senantiasa bersusah payah untuk mengikuti gerak instruktur yang umurnya jauh lebih muda dan lagu yang senantiasa berganti-ganti tiap minggu. Satu hal yang tidak bisa terpisahkan dari senam Jum’at itu adalah penjual bubur dengan gerobak dan meja-meja kayunya. Biasanya seusai senam, orang-orang itu akan berkumpul di dekat penjual bubur. Beberapa memilih untuk langsung makan, yang lainnya hanya memanfaatkan bangku-bangku yang tersedia untuk melepas lelah.

Untung saja, pagiku yang monoton berubah ketika aku bertemu manusia bunga. Pada awalnya ia tampak biasa saja, namun tiba-tiba langkahnya melambat. Tangannya sibuk meraba-raba saku celananya, dan tak berapa lama kemudian tangannya sibuk menekan tombol yang ada di hp-nya. Tapi bukan itu yang menjadikannya seorang manusia bunga, melainkan wajahnya. Mukanya yang serius perlahan melembut. Mulutnya yang terkatup membentuk garis lurus perlahan bergerak keatas, ia menyunggingkan senyum dan perubahan paling drastis terlihat dari roman mukanya yang kini tampak seperti seorang anak kecil yang baru mendapatkan hadiah. Bahkan langkahnya yang tadi tampak tergesa-gesa dan melangkah mantap, kini membentuk ayunan-ayunan kecil.

Manusia bunga itu telah merekah, meninggalkan kuncup yang tadi menggelayut diwajahnya. Lalu seperti bumi yang menyambut kehadiran bunga yang baru mekar, manusia bunga ini pun menyebarkan wanginya pada orang lain. Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Sang manusia bunga tersenyum pada orang yang lewat didepannya, seolah ia ingin memberitahu seisi dunia bahwa ia tengah bahagia. Aku jadi tergoda untuk mengamati orang yang diberi senyum oleh manusia bunga, dan kau tahu apa, orang itu kebingungan. Sambil menengok ke belakang dengan gaya cuek tapi agak lama, ia ingin memastikan kepada siapa manusia bunga itu tersenyum. Ketika ia lihat dibelakangnya tak ada seorangpun dan menyadari bahwa senyum manusia bunga itu untuk dirinya, ia pun ikut tersenyum. Langkahnya yang tadi terlihat berat kini menjadi ringan, mukanya pun berubah menjadi cerah. Tanpa ia sadari iapun telah menjadi manusia bunga. Lalu bagaimana dengan aku, ya karena aku melihat dua manusia bunga, aku jadi tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Senyum damai untukku, untukmu, merekah selalu…

1 comment:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...