Friday, March 04, 2005

Whatta A Week

Gila... minggu ini semuanya berjalan dengan kacau. Mulai dari tugas-tugas baru yang bikin aku harus jungkir balik, motor yang sekarang jadi agak rewel(untung, udah mau jalan lagi) sampai kepala yang rada puyeng gara-gara keujanan. Hua... minggu depan pokoknya harus lebih baik. Tapi ngga mungkin kan, kalau satu minggu isinya kacau terus, meski untuk minggu kemarin dengan tegas aku nyatain sebagai minggu yang negatif(hasil pengurangan positif dan negatif, sumbunya ternyata kurang dari nol).

Apa ya yang salah? Kayanya jawaban klasik deh. Sering menunda-nunda pekerjaan. Udah gitu ada beberapa perkiraan yang meleset, akibatnya rencana lain yang udah kesusun ikutan ancur. Bagian yang menarik dari minggu ini adalah muncul beberapa ide. Meski masih tunas, tapi lumayan bikin semangat. O iya, aku juga lagi baca buku Catatan Hariannya Hok Gie. Asli, beliau revolusioner banget, dan baca bagian depannya bikin aku merenung, apakah setiap orang yang menantang arus sennatiasa sendirian. Salah satu catatan harian lain yang aku baca punyanya Tan, beliau juga selalu sendiri, berpetualang dari satu negara ke negara lain, dan meninggal di tangan anak negeri. Hok Gie, meski ngga meninggal karena dibunuh orang, tapi tetep aja disayangkan karena usianya yang cukup belia. Begitu juga Ahmad Wahib(tapi aku belom baca catatan hariannya).

Aku senang membaca catatan harian seseorang. Kalau dari buku yang aku baca, kejujuran dan kepolosan suatu teks memang menjadi nilai dari human interest yang senantiasa aku cari. O iya ada beberapa buku lagi mengenai catatan harian. Ketika SMU aku baca buku Gandhi. Beliau juga menceritakan pengalaman hidupnya dengan menarik. Salah satu poin yang aku tangkap dari Gandhi dan tak lama sesudahnya dari Dalai Lama adalah, bahwa perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan. Kalau mau lebih detil lagi, arahnya jadi ke sinkretisme agama, atau malah lari ke arah monotheis freelance seperti yang ditempuh Armstrong. Kadang aku suka serem kalau sampai ke titik itu.

Di pengantar dalam buku CSD-nya Gie, Wahib pun dalam catatan hariannya sampai pada titik itu, "Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut dengan muslim." Aku juga pernah dapat cerita bahwa pada masa Ibn ... terdapat berbagai macam ideologi, mulai dari komunis sampai nasionalis, dan ia menemukan kebenaran pada itu semua. Kebenaran di satu keping melengkapi kebenaran di keping yang lain, dan keping-keping itu menyatu menjadi sebuah kebenaran yang diyakininya. Hal ini juga mirip dengan ketetapan-ketetapan di matematika, dimana pada satu bagian ia memiliki sifat-sifat tertentu, kemudian pada akhir bagian, ketetapan tersebut membentuk sifat baru, yang berasal dari ketetapan2 sebelumnya namun membentuk sifat yang benar-benar baru.

[Hua... yut tobat, bersihin pikiran lo] Inilah yang terjadi kalau aku dapat serangan. Semua hal yang aku alami membentuk sebuah kesadaran baru. Tapi bagaimanapun aku masih setia pada target dan prioritas. Untuk sementara aku milih off dulu dari segala hiruk pikuk pemikiran dan kegelisahan.

Aku harus bisa...

1 comment:

titi said...

Ass. wah, aku dah baca whatta a week nya mu yut. Tp, aku td nulis katakan saja dulu baru baca tulisanmu ini. Jadi deh aku nanya2 tentang Gie dalam 'katakan saja', padahal kan udah diterangin di tulisanmu ini ;) Iyah yut, aku juga suka belajar dari pengalaman orang lain, alias baca catatan hariannya ataupun tentang biografinya. Cuma emang, salah satu interstku ini jarang kujalanin, karena kesulitan saat mencarinya. Atau memang kurang niat nyarinya kali ya...;) Btw, saya setuju dengan konsep melahap semua bacaan, karena itu akan membuat luas carapandang kita dan membuat kita lebih bijaksana. Tapi memang harus ada prioritasnya dan bentengnya kudu kuat, karena hidup di dunia cukup singkat dan penuh onak duri serta jebakan, dan mudah-mudahan ilmu yang kita pelajari selama di dunia ini menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahua'lam. Menjadi komentator memang lebih mudah dibandingkan menjadi praktek-tor (maaf, agak-agak maksa ;p).Wass.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...