Saturday, October 29, 2005

Iqra!!

Kemarin aku dapat pinjaman buku Filosofi Naif karangan Pak Onno, trus setibanya di rumah aku sambung dengan membaca Technology for Learning and Culture in APEC Region to 2010, dan pas baca koran hari Sabtu(29/10), aku dapat beberapa literatur lagi mengenai informasi. Huahaha… kebanyakan informasi nih, makanya sebelum semuanya membentuk benang kusut, dan pikiranku loncat-loncat ke pemikiran Capra dalam Hidden Connection, N-Ach(salah satu parameter keberhasilan pembangunan yang diindikasikan oleh tingkat pendidikan), Management Knowledge dan berbagai hal lain lagi, kayanya lebih baik aku tulis dulu, baru sambung ke informasi lainnya.

Pulang bukannya mengistirahatkan pikiran, malah makin menggila seperti ini. Aku jadi mikir, aku ini senang dengan struktur atau ngga ya? Dari beberapa buku yang aku baca, aku menemukan sebuah pola yang sama. Hal menarik yang aku peroleh dari buku pak Onno adalah adanya semangat untuk mengandalkan pengetahuan berbasis komunitas, dimana masing-masing orang memiliki satu suara. Apa yang disampaikan dalam buku tersebut, mirip dengan yang aku tangkap dari Capra dengan kehadiran NGO-NGO yang cukup besar. Keberadaan NGO maupun milis-milis(yang membentuk komunitas maya), diyakini sebagai sebuah usaha untuk ‘melawan’ kekuasaan sentral, seperti pemerintah maupun negara adidaya.

Ilustrasinya aku ambil dari bidang ekonomi saja. Selama ini sistem ekonomi yang digunakan selalu menggunakan mekanisme pasar yang berorientasi pada profit. Padahal dari sejarahnya mekanisme pasar ini mengalami perubahan dari pasar idealnya Smith ke Keynes yang melibatkan campur tangan pemerintah sampai tahap tertentu. Meskipun mekanisme ini pada awalnya hanya dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan perdagangan, namun pengaruhnya secara tidak langsung mempengaruhi sosio-kultural masyarakat(sebagaimana dalam hierarki Maslow, dimana kebutuhan fisik menempati tingkat pertama).

Padahal selain cara pandang kapitalis di atas yang mendominasi para ekonom Amerika, ada pemikiran-pemikiran marjinal yang tidak sepakat dengan kapitalisme. Salah satunya keluar dari pemenang Nobel ekonomi dari Amerika(tapi aku lupa nama dan tahunnya :-( ). Keberadaan pemikir-pemikir marjinal inilah yang oleh Capra merupakan jawaban bagi dominasi yang dilakukan lembaga-lembaga bank dunia dibawah kontrol negara adidaya. Analog dengan kehadiran milis-milis berbasis komunitas yang mempermudah dan mempercepat terjadinya proses transfer ilmu dan menggantikan peranan penguasa dengan orang pintar.

Hmm… kayanya alur berpikirku agak lompat-lompat(as usual). Beberapa hal yang aku tangkap dari pemikiran pak Onno maupun Capra, yaitu: kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi/kekuasaan, kemudahan akses informasi, perlunya kajian inter-disiplin dan pengetahuan berbasis komunitas. Hal ini aku tangkap mungkin terwujud dengan adanya management knowledge yang baik.

Salah satu contoh management knowledge yang baik aku peroleh dari jurnal APEC. Pada akhir tahun 1998, Canada telah menghubungkan 16.500 sekolah dan 3.400 perpustakaan, kemudian menyediakan satu komputer on-line di tiap kelas pada akhir tahun 2000. Usaha ini sejalan dengan prinsip management knowledge yang terbagi menjadi: tacit(implicit knowledge), explicit knowledge, dan potential knowledge. Tacit yang aku pahami lebih mengarah pada proses pengalaman, seperti ‘aha experience’ yang kita alami ketika melakukan diskusi ataupun sedang ditutor. Sedangkan explicit knowledge adalah segala hal yang berasal dari informasi yang diberikan(seperti: transfer guru ke murid, dosen ke mahasiswa, buku ke pembaca, web ke pengguna dll). Potential knowledge merupkan pengetahuan tingkat lanjut yang bagiku berarti dapat berguna bagi orang lain(pemahamanku tentang yang satu ini masih minim banget).

Kebutuhan akan adanya diversifikasi informasi memang bisa terjawab dengan kehadiran dunia maya, sebagaimana yang banyak disinggung dalam Filosofi Naif. Namun satu hal yang masih mengganjal dalam benakku adalah masih rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang dengan sendirinya melakukan seleksi alam terhadap para pengguna internet dan situs-situs yang dikunjungi. Contoh sederhana di warnet(yang didominasi oleh SMA-mahasiswa), bisa dipastikan salah satu window yang terbuka adalah Friendster, bukan situs-situs seperti MIT, Kurzweil, Scientist, dll.

Semangat one man one vote yang mungkin terwujud via dunia maya memang ideal. Apalagi hal ini mampu mengurangi galat akibat adanya orang-orang munafik(tidak amanah, khianat, dan ingkar) yang mengikrarkan diri sebagai perwakilan rakyat. Namun tetap saja ada tugas besar agar keadaan ideal itu bisa terwujud, yaitu: pencerdasan tiap manusia Indonesia(contoh penyangkalnya tinggal ambil sembarang elemen warga Indonesia, tunjukkan elemen tersebut belum bersekolah, dan dengan mudah hal tersebut terbukti. Hehehe, still try to make math down to earth).

Di Finlandia, pendidikan sepenuhnya gratis. Di Indonesia, pendidikan masih diletakkan dalam kacamata ekonomi dengan orientasi profit. Bisa dibayangkan mahalnya pendidikan, uang untuk membeli baju, sepatu seragam dan buku-buku teks yang acap berganti sesuai KBK. Belum ditambah keberatan dari orangtua yang mengandalkan anak-anaknya untuk turut mencari nafkah.

Hal mencerahkan aku dapatkan dari pengetahuan berbasis komunitas, yang implementasinya aku temukan di sekolah-sekolah alternatif. Keberadaan rumah singgah dengan pendidikan alternatif cukup mencerahkan. Beberapa kisah yang aku baca mampu menghantarkan anak-anak itu memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tak jarang mereka menjadi pengajar disana dengan semangat memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak yang mengalami nasib serupa.

Pengetahuan eksplisit yang kita peroleh dari bangku formal memang berharga, apalagi dalam tataran struktur legal formal. Namun pendidikan bagiku tidak hanya berbicara mengenai ijazah yang berguna untuk melamar pekerjaan, lebih dari itu, untuk pembentukan karakter. Bagaimana seseorang memandang dirinya, orang lain, dan kehidupan ini. Bagiku itulah yang disebut pengetahuan: kekuatan untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.

Mengutip kata-kata favorit dalam buku pak Onno: “Knowledge is power. Share it and it will multiply.”

1 comment:

Anonymous said...

....Contoh sederhana di warnet(yang didominasi oleh SMA-mahasiswa), bisa dipastikan salah satu window yang terbuka adalah Friendster, bukan situs-situs seperti MIT, Kurzweil, Scientist, dll.....

Hmm ini jadi masalah budaya juga sih Ti. Tapi kadang kupikir, ini jadi semacam proses juga. Sisi positif friendster, paling tidak telah membuat orang-orang tersebut tertarik untuk menggunakan Internet. Nanti lama-lama diarahkan untuk mulai membuka situs-situs pendidikan.

Ya gak?
-za,

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...