Tuesday, November 01, 2005

Choose Ur Own Reality!

di mata para pecinta
semua adalah cinta

Kaya candu. Hehe.. ngomongin yang satu ini pasti keinget ama Mbah Jenggot, hmm.. tapi aku akan mencoba menggunakan pendekatan berbeda. Kemudahan akses informasi membawa dampak yang beragam. Salah satunya adalah kemudahan memperoleh informasi yang sulit diperoleh di dunia nyata. Orang urakan yang mengakses situs serius, orang alim yang mengakses situs terlarang, dsb. Hal-hal yang umumnya masih jarang ditemui di toko buku, komunitas punk, disko maupun forum-forum ilmiah. Kemudahan ini juga berakibat pada adanya kecendrungan untuk memilih kenyataan berdasarkan keinginan, seperti morphin yang langsung menyerang pusat kesadaran, begitu pula dengan internet yang memungkinkan seseorang memperoleh langsung hal yang diinginkannya.

Dalam perbincangan dengan beberapa orang, hal ini juga tampak. Ada orang-orang yang hanya mempercayai informasi yang berasal dari koran/majalah A, ataupun hanya membaca buku-buku terbitan B, dan seterusnya. Kalau hanya masalah selera, tidak masalah. Namun masalah seleksi jenis bacaan, koran maupun sumber informasi sudah sampai pada masalah kebenaran sebuah fakta. Yang aku maksud dengan kebenaran sebuah fakta adalah, informasi dengan kategori berita/sejarah bisa berbeda bagi masing-masing komunitas.

Aku menyimpulkan gejala ini sebagai pemilahan terhadap informasi, atau lebih ekstrimnya pemilihan realitas. Di dunia jurnalistik, perbedaan ini tampak dalam jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Dalam kasus perang Irak misalnya, CNN menggunakan jurnalisme perang, sedangkan Al-Jazeera menggunakan jurnalisme damai. Yang satu menonjolkan kecanggihan peralatan, seperti smart bomb(it’s still a stupid bomb for me), tank-tank, kegagahan perwira dengan peralatan militer, sedangkan jurnalisme damai menonjolkan korban akibat perang, keluarga-keluarga yang kehilangan sanak saudara, dlsb.

Perbedaan ideologis jurnalistik ini merupakan bagian dari psycologhical war. Pemirsa, khususnya yang memiliki akses ke kedua sumber berita ini, tinggal memilih jenis berita seperti apa yang mereka inginkan. Keluaran(output) dari perang psikologis ini adalah opini publik, pro atau kontra terhadap perang Irak.

Selain perbedaan ideologis, ada satu hal lagi yang tidak terhindarkan dalam industri berita, yaitu proses narasi. Narasi yang meliputi proses editing, penentuan sudut, keterbatasan waktu, tak bisa tidak memisahkan fakta(kejadian yang terjadi sebenarnya, real space-time) dengan apa yang disaksikan pemirsa di layar TV atau pembaca di media cetak. Adanya ‘distorsi’ ini, sedikit banyak mempengaruhi persepsi pembaca akan suatu kejadian. Misalnya peliputan mengenai kenaikan harga BBM yang pada hari-hari pertama menempati headline, harus beralih karena tergusur masalah bom Bali II. Atau karena sempitnya ruang/waktu yang tersedia, sebuah berita hanya bisa menampilkan beberapa sudut(cover many sides).

Karena itu kredibilitas media menjadi hal yang penting, dan lagi-lagi terkait dengan masalah kapitalisme. Siapa pemegang kantor-kantor berita besar dunia? Atau kalau ngga mau jauh-jauh, lihat saja peta percaturan televisi-televisi swasta di Indonesia, mungkin cuma satu yang kepemilikannya berbeda dengan yang lain. Pemecahan pita mobius(pita yang hanya memiliki satu permukaan; terpusatnya sumber informasi di satu orang/kepentingan) itu hanya dapat dengan membuat budaya tandingan.

Kehadiran budaya tandingan ini pada satu sisi dipandang positif(lihat tulisan sebelumnya), namun di sisi lain membawa kita pada jejaring simbol yang sedemikian memusingkan. Baudrillard mengungkapkan serbuan simbol ini sebagai: “terdapat semakin banyak informasi, dan semakin sedikit makna.” Gejala-gejala mabuk informasi ini diungkapkan dengan cukup gamblang oleh Naisbitt dalam buku High Tech High Touch. Manusia memang memperoleh akses yang memadai pada informasi, namun skpetis dalam waktu yang nyaris bersamaan. Keadaan ini meminjam istilah Baudrillard, adalah keadaan hyperreal.

Sudah mulai pusing? Ok, sekarang aku akan mencoba menariknya pada hal yang lebih filosofis(I’m really have to stop this kind of writing and going back to my finite differences reading :-( ). Apa yang membuat seseorang mengakses suatu informasi? Mengapa acara gosip laku(yang terakhir aku tahu jenis acara gosip sudah melewati angka 100)? Kenapa sampai muncul kisah Pandora*?

Dari beberapa literatur, aku memperoleh jawaban bahwa rasa ingin tahu merupakan fitrah manusia. Bahkan kisah nabi Adam pun terkait dengan hal ini. Pertanyaannya kemudian informasi seperti apakah yang mampu memberikan manfaat? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apakah informasi harus memberikan manfaat? Kalau dalam definisi Shannon-Weaver, informasi hanya dipandang sebagai kuantitas yang diukur oleh bit-bit, dan didefinisikan menggunakan ukuran peluang kehadiran simbol-simbol.

Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, informasi sangat kuantitatif-materialis. Nilai-nilai etis, manfaat sama sekali tidak masuk hitungan(mirip dengan pro-kontra wacana netralitas sains). Informasi bukan lagi berbicara mengenai manfaat, melainkan diatur mengenai orang-orang yang berada dibelakang teknologi informasi. Kalau dalam revolusi industri, kaum borjuis ditempati oleh para pemilik modal, maka era revolusi industri mengantarkan para teknokrat informasi sebagai penguasa. Meskipun dengan adanya budaya tandingan dan konsep kesetaraan dalam dunia maya, tiap orang memungkinkan untuk memilih kebenarannya sendiri.

Akhirnya semua kembali pada individunya sendiri. Realitas seperti apa yang ingin ia percayai**. Huahaha… jadi posmo begini. Merujuk kata-kata diawal tulisan, semua hal yang kita kodefikasi dalam kepala bergantung pada kacamata/paradigma yang kita gunakan. Di mata para pecinta semua tampak seperti cinta, dan di mata para pencari semuanya tampak sebagai lautan tanda-Nya***.

*) Kisah Pandora merupakan mitos Yunani yang berisi mengenai tokoh Pandora yang dititipi sebuah kotak dengan pesan jangan dibuka. Namun karena rasa ingin tahu yang amat sangat, Pandora membuka kotak itu dan keluarlah berbagai kejahatan di muka bumi. Hanya satu kebaikan dalam kotak tersebut yaitu: harapan. Mitos Yunani pada umumnya merupakan cerminan dari karakter-karakter manusia, seperti Narscissus, Oedipus, dll.

**) Contoh sederhananya tampak dalam proses filter yang dilakukan orangtua pada anaknya yang masih kecil. Orangtua melakukan pemilihan realitas dengan menghindari pertengkaran di depan anak, menyeleksi jenis tontonan/bacaan, mengenalkan anak-anak pada museum, kebun binatang, tempat-tempat bersejarah. Untuk tingkat lanjut, proses filter terinternalisasi dalam masing-masing individu dengan adanya hobi, komunitas, latar belakang budaya, agama ataupun ketertarikkan pada bidang tertentu.

Melihat kecendrungan media cetak sekarang, spesifikasi ini tampak dalam adanya suplemen-suplemen, dan majalah hobi. Di luar negeri(dari cerita teman), media cetak memang didominasi oleh majalah dengan spesifikasi tertentu.

***)Tetap ngga mau keluar dari ‘dunia kecil yuti’ yang damai:D.

1 comment:

Anonymous said...

Kalau nulisnya pakai tanda *, **, dan *** jangan di blog Ti. Orang agak sulit nyari maksud tanda bintangnya. Kamu kasih link ke file (.doc atau .pdf) mu aja.

-za,

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...