Thursday, March 29, 2007

Mmm....

Mmm..
Tadi malam kurang tidur
Sekarang ngantuk banget
Belum sempat ke Aksara
Besok ada ujian makro,
belum belajar
Bab 1 tesis minggu depan
Bimbingan...

Mmm...
Tidur aja gitu?
di atas buku makro
atau nulis tesis
yang kian mirip karangan
alih-alih ilmiah

Mmm...
Enaknya ngapain ya?

Wednesday, March 28, 2007

Epistemic Culture

Mendadak malesku kumat, dan kalau udah kaya gini cara mengakali buku dengan bahasa yang rumit dan tingkat filosofi yang cukup dalam adalah dengan mencari tulisan-tulisan pendukung yang merujuk pada buku itu. Cara kerjanya mirip dengan uji konvergensi pada bilangan yang tidak terjelaskan pada suatu titik, meski kalau dalam ilmu sosial aku ngga begitu yakin kalau cara ini berhasil. Dosenku speechless saat aku minta rangkumannya aja. Lha artinya kan aku mahasiswa bimbingan yang baik, karena mau baca hasil pemikiran pembimbingku, huehehe. Just kidding, meski pemales tapi alter-ego perfeksionisku ngga mau diem, alhasil pertempuran antara si alter-ego pemales dengan perfeksionis sedikit dimenangkan oleh si perfeksionis, yang membuatku terjaga hingga jam 12 malem.

Ada banyak hal menarik dalam buku itu, terutama karena komunitas yang dibahas adalah High Energy Physics dan biologi molekuler. Kebayang kan, bagaimana keseharian orang-orang keren itu di lab. Sayang ngga ada tokoh semisal Penrose yang ruang kerjanya penuh mainan atau kaya Google guys, yaaa... itung-itung melihat dunia yang lebih serius. Cara kerja Knorr-Cetina ini mirip Barbour yang kerjaannya nangkring di lab. Hanya saja output keduanya cukup berbeda, kalau Barbour dalam Science in Action mencari black box dalam produksi pengetahuan, sedangkan Knorr-Cetina menyoroti masalah konstruksi dari atribut-atribut yang dikonstruksi oleh pengetahuan. Well, teoritis banget kan? Ngga heranlah, secara dosen pembimbingku suka banget ama filsafat. Bahkan judul tesisku pun turunan dari salah satu cabang filsafat yaitu epistomology.

Payahnya, aku paling ngga tahan kalau nulis harus merujuk pada referensi. Alasan yang sepenuhnya karena masalah kepraktisan. Kaya kalau nulis di blog gini kan enak, hasil pemikiran bisa ditulis dengan bebas, tapi kalau tulisan ilmiah, bentar-bentar harus nulis referensi rujukan biar keliatan ilmiah. Kan ide-ide yang ada di kepala jadi mogok keluar.

Mumpung kepikiran, alur besar tesisku mau aku arahkan ke komunitas organik, yaitu komunitas yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan memiliki kesadaran. Mirip dengan konsep autopeiesis sih, tapi belum tau juga bisa apa ngga. Entry pointnya dari energi, tapi tujuan akhirnya untuk membuat sebuah model yang mengakomodasi komunitas-komunitas organik. Kurang lebih seperti itulah.

Tuesday, March 27, 2007

Menjadi

"Mau jadi apa nanti?" tanyanya membuyarkan lamunan. Ah, ingin kujawab pertanyaan itu nanti saja, sebuah penundaan yang lagi dan lagi. Bukankah hidup adalah sebuah perjalanan yang diakhiri dengan sebuah pertemuan dengan Sang Maha? Lalu kenapa pertanyaan itu terucap tanpa henti. Kadang dengan penghakiman, kadang dengan nada yang menggantung, dan kadang dengan tatapan tak jelas. Sejak kapan masa depanku harus ditentukan sekarang, sudahkah waktu membisikan sebuah jawaban padanya yang tak kuketahui?

Dosen-dosen Lucu

Dan berakhirlah pengembaraanku dalam menentukan tema tesis. Proses tawar menawar berjalan alot, tapi kalau dihadapkan langsung oleh dua orang, kekuatan menjadi tak seimbang. Tentu saja, demokrasi tak bersembunyi, aku masih menjadi orang yang memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan pilihan. Meski alasan-alasan yang dikemukakan tak lagi mengikuti alur yang lazim. Hey, lazim kan hanya masalah kebiasaan, hingga ketika tema tesis dikaitkan dengan dunia khayalan pun semuanya masih dibatas kewajaran. Entah wajar menurut siapa. Pun, ketika aku disuruh memasuki nyata, dan mengakhiri dunia yang oleh dosenku dilabeli fantasi dengan mengambil tema energi. Apa hubungannya? Apa pula kaitannya dengan memilih pasangan hidup? Topik yang kemudian terkait dengan pemilihan tema tesisku, karena dosen-dosenku kemudian menyangkutpautkan dunia fantasiku dengan nikah, pasangan, dan hacker. Mulai dari profesi mapan hingga kesenanganku bermain dalam dunia imaji.

Well, lazim tak mengenal definisi baku. Seperti sepatu biru yang enggan untuk kuganti meski warnanya telah pudar dimakan waktu, meski telah ada yang baru.

Friday, March 23, 2007

Energi vs Open Source

Ternyata belum final. Haiya, jadi aku sekarang nasibnya persis kaya kucing Schrodinger. Penyebabnya gara-gara tesisku ngga ada kemajuan, akhirnya aku milih komunitas open source aja. Kemarin udah sempat oke, asal yang jadi fokus tetap komunitas epistemik, tapi sekarang diminta balik lagi ke energi. Ampe dosenku yang lain bilang, "welcome back."

Hmmm... ternyata dalam kondisi zombie ngga enak. Positif negatifnya. Kalau energi ada dosen lain yang mau ikut bantuin tesis, terlibat dalam proyek, negatifnya tema energi masih blank. Kalau open source, komunitasnya banyak beririsan dengan tempat melanglangku di dunia maya, udah dapet kontak, sejarah, dan ikut milisnya, negatifnya belum dapet restu dari pembimbing dan penelitian harus aku lakuin sendiri. So'? Sebenernya, aku cinta damai. Cuma kalau tema energi aku lakuin sendiri, aku ngga tertarik dan usaha yang harus aku keluarkan jauh lebih banyak dibandingkan kalau milih open source, apalagi fokus utamanya komunitas epistemik.

Jerit-jerit dulu ah, aaaarrrrrgggh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Wednesday, March 21, 2007

Going Open Source?

Am I going to open source? Pernah sih nyoba, cuma karena aku mikir ngga praktis, jadi aku beralih lagi ke kode tertutup. Hmm... tapi sekarang koq aku tertarik untuk ngotrak-ngatrik lagi ya? Gara-garanya pas aku nanya ke salah seorang narasumber tentang open source mengenai hambatan menyebarkan open source. Aku ditanya balik, aku sendiri udah menggunakan open source atau belum, dan malah dibilang kalau nulis tesis tentang open source pake Windows gak sah. Haiya, dan otomatis aku jadi tertantang. Jadi kayanya untuk beberapa saat mendatang, aku akan belajar dulu meingkatkan kemampuan teknisku, baru nyoba-nyoba.

Tuesday, March 20, 2007

Mathematician & Hacker

Salah satu bagian yang membuatku sedikit semangat ketika menjelajahi buku Makroekonomi adalah pernyataan penulis bahwa makro tidak seindah Mikro. Penulis kemudian menjelaskan maksud indah ini dengan menggambarkan logika di makroekonomi yang cenderung suka loncat-loncat. Sebuah ketidakindahan yang juga kualami ketika menyerahkan laporan yang dianggap kurang kritis gara-gara aku meminjam definisi kata inovasi demi sebuah patokan. Hal yang cukup membingungkan, karena selama belajar matematika, definisi menjadi sekadar landasan untuk mulai bermain menjelajahi berbagai teorema, dan kalaupun definisi yang digunakan kurang memadai, tinggal bikin definisi baru. Simple, logic, make sense, and beautifull.

Dosenku hanya senyum-senyum saat aku bilang ilmu sosial itu belepotan. Alih-alih konvergen ke satu titik dengan menggunakan induksi, ilmu sosial lebih sering divergen. Bahkan tidak memberikan pemahaman yang jelas. Crowded, belepotan, dan otoriter. Yup, otoriter karena akhirnya memaksakan sebuah jawaban/pemahaman berdasarkan kekuasaan di luar diri pribadi, ngga seperti matematika dimana kebenaran bisa dibuktikan sendiri mengikuti logika. Ok, aku jadi sedikit dikotomis, memisahkan objektif dan subjektif, abis ilmu sosial itu rusuh banget. Serba saling nubruk dan membentuk sebuah pola bernama kekacauan. Aaargh!!!

Omong-omong tentang belepotan, aku cukup konsisten dengan ketidakkonsistenanku. Akhirnya, setelah satu semester kemarin aku udah lumayan fokus bahwa tesisku akan membahas energi, sekarang aku jatuh cinta ama komunitas open source. Lebih tepatnya ama kultur para hacker. Untukku pribadi, tema ini jauh lebih deket dengan keseharianku dibandingkan energi. Selain karena ada hubungan yang cukup erat antara matematika dengan pemrograman, dari beberapa literatur aku menemukan beberapa kesamaan antara matematikawan dengan hacker. Beberapa diantaranya adalah keindahan(keindahan sebuah formula ditentukan oleh kesederhanaannya), menentang otoritas luar selain kebenaran formula itu sendiri, terbuka, dan ‘sedikit’ narsis. Huehehe, khusus poin terakhir ngga ada di literatur, tapi aku menurut pengalaman dan pengamatan kayanya ngga begitu meleset.

Eh, daftar di atas bisa aku perpanjang lagi dengan ketrampilan di math dan hacking plus penyebaran informasi melalui komunitas, mitos seputar math dan hacking, seseorang dinilai berdasarkan produknya bukan dari latar belakang, serta pengembangan keduanya lebih banyak didorong oleh kesenangan/hobi. Beberapa poin tambahan di kultur hacker adalah adanya bentuk perlawanan terhadap dominasi otoritas, salah satu bentuk perlawanannya melalui gerakan open source.

Tinggal langkah akhir yang paling menentukan, meyakinkan pembimbingku bahwa interest pribadiku ini layak untuk dijadikan bahan tesis.

Thursday, March 15, 2007

Strategi Pengembangan IGOS untuk Mendukung Difusi Komunitas Epsitemik

Whoaaa... judulnya panjang banget, males banget ngga sih? Kalau boleh, mungkin aku akan pilih satu kata aja, tapi tulisan di jurnal-jurnal kayanya emang panjang-panjang ya? Hmm.. judul di atas, rencananya mau aku pake untuk paper di kuliah perencanaan pembangunan. Di kepala udah ada bayangan akhirnya kaya gimana, tapi karena masuk genre ilmiah, jadi aku harus nyari sumber-sumber untuk mendukung argumenku. Garis besarnya sih tentang gerakan open source di komunitas-komunitas yang memiliki filosofi untuk membagi ilmu. Nah, nilai-nilai dari komunitas ini kemudian distabilkan dalam bentuk software-software open source. Kata stabil disini maksudnya ada skript berupa nilai-nilai yang masuk dalam bentuk algoritma.

Karena ada relasi yang berbanding lurus, aksi yang muncul dari gerakan open source ini aku tarik untuk menjelaskan komunitas epsitemik. Seperti yang sudah pernah aku tulis di posting sebelumnya, komunitas epistemik ini secara definisi diartikan sebagai produsen bukan konsumen. Artinya gini, kalau aku nonton TV trus hanya menggunakan TV sebagai alat hiburan, maka aku adalah konsumen. Namun kalau TV bisa aku gunakan sebagai ide untuk membuat novel, aku udah berubah menjadi produsen.

Begitu pula dengan filosofi open source dalam pemahamanku. Open source memungkinkan penggunanya untuk memodifikasi software sesuai spesifikasi yang dia butuhkan. Kalau dalam mainan, aku kebayangnya Lego, dan boneka. Lego memungkinkan seseorang untuk berkreasi membentuk segala sesuatu yang diinginkannya, sedangkan boneka udah ngga bisa diapa-apain lagi(padahal aku masih tidur sama boneka yang kumiliki dari umur 5tahun). Makin lama, bentuk personalisasi kian fluks, artinya kalau Lego masih membatasi penggunanya dengan materi 3 dimensi berupa balok-balok yang bisa disambung, di era informasi pembatasan itu menjadi kian fluks, salah satunya ya si software. Tapi tingkat abstraksi juga memiliki berbagai konsekuensi. Misalnya si Yuti yang gaptek ini, mungkin akan lebih memilih yang user friendly, dibandingkan harus ngotak-atik bahasa planet.

Nah, dengan gerakan IGOS yang aku asumsikan merupakan gerakan berbasis komunitas ini, aku ingin membuat strategi, gimana caranya agar si Yuti-Yuti yang pemales ini bisa sedikit produktif dan mau menggunakan otaknya. Dengan adanya gerakan berbasis komunitas, si Yuti-Yuti pemales diharapkan jadi semangat untuk belajar, karena diasumsikan semua orang sebenarnya senang belajar, cuma energi yang dibutuhkan kalau bertindak sendiri jauh lebih besar dibandingkan kalau bekerja bareng-bareng. Jadi sebenarnya sih, judul di atas bisa diganti: strategi agar Yuti-Yuti pemales menjadi Rajin. Huehehehe

Wednesday, March 14, 2007

4 Paper + Tesis

Whoaaa, dengan standar 1 paper serius 20 referensi dan paper becanda 10 referensi, plus tesis kebayang bahan bacaanku banyak banget. Kalaupun aku sinergikan semua bahannya, bacaanku bisa lumayan berkurang, tinggal dibedaan aja pendekatannya menurut mata kuliah, tapi aku lagi bosen ngomongin energi. Jadi aku mau beralih ngomongin ICT aja, yang jadi masalah adalah kuliah manajemen sumber daya alam, ngga gitu nyambung dengan ICT. Kalaupun mau maksa, benang merah dari kelima-limanya adalah di system thingking, yang aku abstraksikan ke model relasi antar aktor. Hmmph, tadi malem udah mulai baca-baca, dan rencananya untuk kuliah perencanaan dan inovasi aku mau ngambil IGOS aja. Untuk kuliah Hukum dan Manajemen SDA, rencananya aku mau ngambil salah satu kasus lingkungan. Mungkin energi masih cukup relevan. Segi hukumnya mungkin di masalah pembebasan lahan, dan angka maksimal 10% untuk campuran selain BBM, tapi masih belum kugarap secara serius. Nah, kalau SDA-nya mau aku lihat dari sisi efisiensi manusia memanfaatkan energi.

Ngomong-ngomong tentang energi, waktu pemodelan di math dulu, aku memodelkan bakteri MEOR. Jadi ceritanya, si bakteri imut ini bisa mengubah 'kekentalan' minyak yang terselip di batu-batu tambang. Aku lupa angka-angka perbandingan persisnya berapa, yang jelas kalau minyak diantara batu-batu bisa diangkat, potensi untuk menghidupkan tambang-tambang yang udah ditinggalkan cukup besar.

Kalau pemodelan aku lumayan terapan, nah, di TA aku masuk kelompok murni banget. Ngomonginnya teorema plus lemma-lemma yang bawa gerombolan limit dan integral. Lucunya, salah satu penerapannya adalah tentang penelahaan energi. Soalnya aku ngomongin masalah entropi, dan kekekalan. Jadi udah jauh-jauh pindah pergi ke studi pembangunan(eh, deket ding, gedungnya pas di belakang math), tetep aja ketemu si energi.

Hasil ngubek-ngubek mbah Goo, aku ketemu artikel menarik tentang Foucault dari kacamata matematikawan. Hwaa..., dasar matematikawan, contoh-contoh dalam buku Foucault diterjemahkan dalam bilangan. Bweh...

Monday, March 12, 2007

Weekend

Weekend kemarin aku menyelesaikan dua laporan. Fyuh, ternyata aku koq sedikit menikmatinya, terutama untuk tugas inovasi, soalnya jadi bisa nulis yang aneh-aneh. Hehehe, jadinya laporan kelompoknya gw banget deh. Tapi namanya tugas kelompok, tentu aja temen-temen yang lain juga menyumbang bagian, cuma karena aku bagian finishing touch-nya jadi lagi-lagi aku jadiin eksperimen. Ada si hiper-graflah, ada tentang kekuasaan, hahaha, kayanya kalau di tulisan, pendekatan konflik jadi salah satu favoritku, sekadar biar rame aja. Kan, kalau nulis cerita juga harus ada bagian anti-klimaksnya, nah kalau di laporan, harus yang sedikit canggihlah, jadi make-upnya sedikit ilmiah.

Ngomong-ngomong tentang fiksi-nonfiksi, tadi pagi aku membereskan tumpukan buku yang menghiasi meja belajarku. Ada cukup banyak buku, meski kayanya tidak melebihi rekor 32 yang sebelumnya. Ternyata saat aku mau memasukannya ke rak buku, rakku udah kepenuhan. Haa... koq bisa ya, perasaan aku mulai pusing kebanyakan baca buku(ampe-ampe dosenku nyuruh aku main billiard aja, haiya), tapi mungkin karena aku senantiasa mencoba mengimbangi buku serius dengan fiksi, alhasil tiap kali ada tugas baca, pelampiasanku ke buku fiksi juga jadi meningkat. Untung aja fungsinya masih perkalian, bukan pangkat, ngga kebayang kalo pertumbuhan buku-bukuku membentuk kurva eksponensial(eh, kalo bukunya doang sih asyik, nah ini ruang di depan kamarku makin sempit).

Ternyata jadi orang rajin lumayan asyik juga, meski laporan yang satu lagi setelah ngerti jadi ngga menarik, karena pekerjaannya teknis banget. Ya, bikin grafiklah, masukin angka ke programlah, padahal di kepalaku segalanya udah jadi. Aaargh! Akhirnya aku belajar juga kerjaan-kerjaan teknis yang time-consuming, yaa... gimana ya, nyadar sih kalau itu sebuah keharusan, tapi koq ngga semenarik konsep ya?

Friday, March 09, 2007

Belajar Ngomong

Aku ingat waktu persiapan seminar S1 dulu, ada bimbingan khusus untuk cara presentasi. Sebelumnya malah aku pernah memenuhi satu papan tulis dengan rumus-rumus, dan setelah selesai, pembimbingku komentar, "Lho Yut, itu apa?" Gara-garanya, aku asyik aja ama papan tulis, tanpa mengatakan sepatah katapun. Sesi belajar presentasi pun begitu, saking groginya waktu udah dipasang timer, aku masih mencoba menghindar dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tapi dosenku terlalu cerdas sih, jadi cara itu gagal, hehe.

Nah, kemarin dosen S2-ku komentarnya ngga jauh beda,"tulisan dan gaya bicara kamu jauh beda ya?" Yaaa... komentar klasik itu udah beberapa kali aku denger. Abisnya kalau nulis kan bisa diedit, dan kalau ngomong rasanya semua ide mau keluar jadi aja belepotan ngga karuan. Trus beliau bilang, kalau ngomong juga bisa diedit, makanya ngomongnya pelan-pelan. Whoaa, kalau terlalu banyak teori malah idenya mogok ngga mau keluar. Tapi kian tua, kayanya emang semakin harus bisa ngomong, terutama kalau punya banyak ide.

Mungkin karena aku lebih senang menjadi pendengar, makanya ngomong bagiku ngga menarik. Bisa juga karena ngomong bagiku ngga demokratis, karena memaksakan orang mendengar opini kita padahal belum tentu mereka tertarik. Penjelasan paling sederhana ya, karena ngga biasa ngomong aja. Kan segala ketrampilan merupakan hasil tempaan, dan aku belum terbiasa. Kalaupun menjelaskan sesuatu aku lebih suka menggunakan tangan, ataupun ekspresi, lupa kalau manusia punya bahasa yang terstruktur.

Wednesday, March 07, 2007

Epistemic Community

Epistemic community: network of profesionnals with recognize expertise and competence in a particular domain an authoritative claim to policy relevant knowledge within that domain or issue area(Haas, 1992)

Epsitemic culture: culture of innovative knowledge production rather than knowledge consumption(Hans-Dieter Evers, 2003)

Karena aku merupakan salah satu bagian dari komunitas ini, jadi aku juga termasuk dari bagian yang terus belajar. Ada banyak teori yang terkait dengan konsep ini, aku mulai menyusurinya dari strukturasi Giddens, konsep autopoiesis, knowledge/power-nya Foucault, dan terakhir dengan teori jejaring aktor. Ada beberapa hal yang menyebabkan aku membutuhkan teori yang lumayan banyak. Teori Giddens misalnya, lumayan membantu untuk menjelaskan konflik antara kubu strukturalis-fungsionalis dengan kubu agent-based, tapi belum mampu menjelaskan relasi antar aktor-aktor yang terkait dalam komunitas epistemik, terutama pendekatan budayanya.

Pendekatan autopoiesis aku gunakan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Maturana dan Varela. Konsep ini menjelaskan self-organize yang dilakukan oleh sistem hidup untuk mempertahankan kehidupan mereka. Nah, aku mencoba mencari asumsi-asumsi yang digunakan dalam konsep ini dan mencari persamaannya dengan sistem sosial. Hal yang menjadi benang merah adalah informasi, karena dalam autopoiesis ini, salah satu 'ikatan' yang menyebabkan masing-masing komponen dalam sistem bisa mengatur diri mereka sendiri adalah karena ada aliran informasi. Dalam mengkaji epistemic communities, aliran informasi ini sangat dibutuhkan untuk memandang diri mereka sebagai bagian dari sistem yang lebih luas, dan kalau ada anggapan-anggapan tertentu atas komunitas ini, apakah anggapan tersebut benar atau hanya mitos belaka.

Drucker dan Porter secara tidak langsung mengemukakan pentingnya epistemic culture. Keduanya meyakini teknologi merupakan salah satu kunci unutk memajukan kesejahteraan sebuah bangsa melalui perkembangan industri. Sayangnya, di Indonesia teknologi lebih banyak digunakan sebagai barang yang konsumtif, dan tidak digunakan untuk menghasilkan keuntungan atau mensejahterakan kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang muncul dari fenomena ini adalah dimana posisi masyarakat ilmiah yang seharusnya mengawal teknologi ke arah sesuatu yang produktif?

Untuk mengkaji relasi pengetahuan(dan pemilik pengetahuan) dengan kekuasaan aku menggunakan konsep yang ditawarkan oleh Foucault. Tapi aku sendiri masih lumayan asing dengan pemikiran orang yang satu ini. Penyebabnya, ia termasuk pemikir yang senang dengan tema-tema abnormal dan cenderung membenarkan abnormalitas atas nama struktur.

Segala macam keruwetan itu kemudian coba aku tertibkan dengan teori jejaring aktor yang memungkinkan aku untuk membuat relasi antara artifak teknis dengan non-teknis. Kalau mungkin, sebagai penutup aku ingin menggunakan teori Galois dalam mencari 'klik' diantara epsitemic culture yang ada, tapi yang terakhir ini masih lihat-lihat aja.

Tuesday, March 06, 2007

Kucing Garong

Note: semua cerita dalam tulisan ini adalah fiksi. Kalau ada kemiripan, semuanya adalah kebetulan belaka, dan kalau masih merasa ada tokoh yang mirip, artinya itu kege-eran.

Kisah kucing kecil masih berlanjut. Setelah bosen tidur-tiduran di kotak yang terhubung dengan mekanisme kuantum, si kucing mulai mencari mainan baru. Kali ini ia bertemu dengan kucing garong. Kucing itu berwarna hitam putih, dengan sebelah mata ditutup kain hitam layaknya kapten Hook. Kucing kecil ini terheran-heran, koq ada ya kucing seperti itu? Tampak keren, tapi setelah si kucing kecil mendekat ternyata kucing garong itu tidak segarang penampilan luarnya, bahkan terkesan kesepian.

Kucing kecil berpikir mungkin apa yang ditampilkan di luar hanya make-up untuk menutupi apa yang ada didalamnya. Tapi kian dekat, kucing ini malah makin bingung, karena perilakunya mirip kotak kuantum tempat kucing kecil biasa bermain. Kadang bilang A, tapi ngga sampai seminggu kemudian, kata-katanya bisa berubah begitu saja dengan kesungguhan yang sama. Tentu saja, jika ini kisah kucing kecil, maka tak ada yang heran, tapi ini kisah si kucing garong yang ditakuti kucing-kucing sekompleks. Bagaimana jika keputusannya membuat kucing-kucing di bawah pimpinannya bimbang?

Thursday, March 01, 2007

Legenda Pribadi

Aku udah harus mulai menulis tesis, tapi gara-gara kemarin baru ganti tesis(lagi), otakku masih rada blank dengan tema baru ini. Gambaran besarnya sih udah dapet, ngga jauh-jauh dari bahan bacaanku, dan minatku mengamati manusia, tapi dari segi standar ilmiah, bahan bacaanku masih kurang banget. Kalau judulnya fiksi, bisa aja aku ngarang cukup panjang, masalahnya tesis adalah paduan antara kreativitas dan metode ilmiah. Alhasil, aku harus banyak baca sumber-sumber lain.

O iya, aku sedikit mengalami shock culture di ilmu sosial. Di matematika segalanya bisa dikembalikan pada definisi dan asumsi yang digunakan, sedangkan di ilmu sosial untuk mencari definisi dari satu kata aja ribetnya minta ampun. Biasanya kalau udah kaya gitu pendekatannya jadi filosofis deh, ya mulai dari melihat sisi epistemologisnyalah, ontologisnyalah, dll. Nah, begitu pula ketika mau menulis tentang komunitas ilmuwan. Pertama, ilmuwan itu apa sih? Makhluk botak berkacamata tebal, yang mengeluarkan teori-teori yang tidak dipahami orang awam, atau sebenarnya ilmuwan itu profesi juga, sama kaya tukang sapu jalanan. Jadi kalau ada orang yang bingung ngeliatin integral, sama aja dengan orang ngga ngerti seninya menyapu jalan yang bersih gimana. Kedua, kenapa ilmuwan menjadi isue yang penting, apa nilai penting ilmuwan dibanding profesi lain. Apakah karena mereka minoritas, dan memiliki akses tertentu ke sumber pengetahuan dan berimplikasi pada kekuasaan? Atau sebenarnya ilmuwan di Indonesia itu serba memprihatinkan. Sebagai orang yang well educated, mereka diharapkan untuk membuat perubahan, tapi dari segi dana riset mereka ngga didukung. Ketiga, mereka penting ngga sih? Ok, gelar Ph.D, bisa ngomong merujuk pada beragam buku, teori-teorinya canggih, tapi selanjutnya apa?

Aku termasuk orang yang senang belajar. Bagiku, pengetahuan itu menarik, dan gara-gara itu gayaku mempelajari sesuatu divergen banget(udah gitu dapet dosen yang divergen juga lagi, dan operasi pengalian divergen x divergen = konvergen ngga berlaku, hiksss). Gaya ini aku temui juga dibeberapa ilmuwan, terutama yang murni, dari biografi-biografi yang aku baca. Jadi mempelajari relasi, dan karakter komunitas ilmuwan bagiku menarik banget, karena jadi lebih bisa mengenali diriku sendiri dan jadinya personal banget. Tapi bagi orang yang beda gaya, bagiku juga ngga masalah. Toh, tiap orang memiliki peran masing-masing dalam kehidupan ini jadi bagi yang ngga suka baca buku beratus-ratus halaman, just relax and find what is your mission in this world.

Relativist banget ya? Kayanya aku sedikit terpengaruh ama buku strukturalisnya Charon deh. Di buku itu kebebasan seseorang ngga ada, bahkan individu ngga ada yang ada hanyalah komunitas. Dosenku cerita, beliau pernah sampai ada di fase itu. Hii..., serem juga, trus waktu aku tanya dimanakah posisi Tuhan dalam sosiologi, lagi-lagi dilihatnya hanya sebagai 'implikasi' struktur sosial. Haiya, jadi kaya dualitas gelombang-partikel deh, kalau ada adzan bisa jadi gelombang, tapi kalau lagi meneliti jadi partikel.

Yang paling aman, memang dualitas dulu, sebelum dapat pegangan yang kuat, aku diskritkan aja kedua bagian ini.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...