Dan berakhirlah pengembaraanku dalam menentukan tema tesis. Proses tawar menawar berjalan alot, tapi kalau dihadapkan langsung oleh dua orang, kekuatan menjadi tak seimbang. Tentu saja, demokrasi tak bersembunyi, aku masih menjadi orang yang memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan pilihan. Meski alasan-alasan yang dikemukakan tak lagi mengikuti alur yang lazim. Hey, lazim kan hanya masalah kebiasaan, hingga ketika tema tesis dikaitkan dengan dunia khayalan pun semuanya masih dibatas kewajaran. Entah wajar menurut siapa. Pun, ketika aku disuruh memasuki nyata, dan mengakhiri dunia yang oleh dosenku dilabeli fantasi dengan mengambil tema energi. Apa hubungannya? Apa pula kaitannya dengan memilih pasangan hidup? Topik yang kemudian terkait dengan pemilihan tema tesisku, karena dosen-dosenku kemudian menyangkutpautkan dunia fantasiku dengan nikah, pasangan, dan hacker. Mulai dari profesi mapan hingga kesenanganku bermain dalam dunia imaji.
Well, lazim tak mengenal definisi baku. Seperti sepatu biru yang enggan untuk kuganti meski warnanya telah pudar dimakan waktu, meski telah ada yang baru.
No comments:
Post a Comment