Tuesday, March 20, 2007

Mathematician & Hacker

Salah satu bagian yang membuatku sedikit semangat ketika menjelajahi buku Makroekonomi adalah pernyataan penulis bahwa makro tidak seindah Mikro. Penulis kemudian menjelaskan maksud indah ini dengan menggambarkan logika di makroekonomi yang cenderung suka loncat-loncat. Sebuah ketidakindahan yang juga kualami ketika menyerahkan laporan yang dianggap kurang kritis gara-gara aku meminjam definisi kata inovasi demi sebuah patokan. Hal yang cukup membingungkan, karena selama belajar matematika, definisi menjadi sekadar landasan untuk mulai bermain menjelajahi berbagai teorema, dan kalaupun definisi yang digunakan kurang memadai, tinggal bikin definisi baru. Simple, logic, make sense, and beautifull.

Dosenku hanya senyum-senyum saat aku bilang ilmu sosial itu belepotan. Alih-alih konvergen ke satu titik dengan menggunakan induksi, ilmu sosial lebih sering divergen. Bahkan tidak memberikan pemahaman yang jelas. Crowded, belepotan, dan otoriter. Yup, otoriter karena akhirnya memaksakan sebuah jawaban/pemahaman berdasarkan kekuasaan di luar diri pribadi, ngga seperti matematika dimana kebenaran bisa dibuktikan sendiri mengikuti logika. Ok, aku jadi sedikit dikotomis, memisahkan objektif dan subjektif, abis ilmu sosial itu rusuh banget. Serba saling nubruk dan membentuk sebuah pola bernama kekacauan. Aaargh!!!

Omong-omong tentang belepotan, aku cukup konsisten dengan ketidakkonsistenanku. Akhirnya, setelah satu semester kemarin aku udah lumayan fokus bahwa tesisku akan membahas energi, sekarang aku jatuh cinta ama komunitas open source. Lebih tepatnya ama kultur para hacker. Untukku pribadi, tema ini jauh lebih deket dengan keseharianku dibandingkan energi. Selain karena ada hubungan yang cukup erat antara matematika dengan pemrograman, dari beberapa literatur aku menemukan beberapa kesamaan antara matematikawan dengan hacker. Beberapa diantaranya adalah keindahan(keindahan sebuah formula ditentukan oleh kesederhanaannya), menentang otoritas luar selain kebenaran formula itu sendiri, terbuka, dan ‘sedikit’ narsis. Huehehe, khusus poin terakhir ngga ada di literatur, tapi aku menurut pengalaman dan pengamatan kayanya ngga begitu meleset.

Eh, daftar di atas bisa aku perpanjang lagi dengan ketrampilan di math dan hacking plus penyebaran informasi melalui komunitas, mitos seputar math dan hacking, seseorang dinilai berdasarkan produknya bukan dari latar belakang, serta pengembangan keduanya lebih banyak didorong oleh kesenangan/hobi. Beberapa poin tambahan di kultur hacker adalah adanya bentuk perlawanan terhadap dominasi otoritas, salah satu bentuk perlawanannya melalui gerakan open source.

Tinggal langkah akhir yang paling menentukan, meyakinkan pembimbingku bahwa interest pribadiku ini layak untuk dijadikan bahan tesis.

5 comments:

ikram said...

Sifat narsisistik sepertinya cuma bumbu... Ya supaya bangga saja gitu.

zen said...

kritikmu ttg ilmu sosial sudah diutarakan seabad silam. nyatanya, ilmu sosial masih hidup, makin kaya, makin subur, makin menggeliat. apa pun.

sila dijawab. dengan senang hati saya mendengarkannya.

Cheshire cat said...

Well, saya juga sekarang bergelut dengan ilmu sosial, meski masih sering terheran-heran, kenapa ilmu sosial senang menyulitkan diri sendiri, hehe. Tapi saya kira, itu bagian dengan menjadi manusia yang tidak dapat dibakukan dalam sebuah model, sekelas Kant, Habermas, atau Marx sekalipun

zen said...

Wah dengan senang hati saya membaca ilmu sosial versimu yang gak menyulit2kan. Aku tunggu....

Cheshire cat said...

Hmm... sayangnya ilmu sosial nyaris mustahil jika tidak rumit. Dunia tanpa perang, atau manusia adalah serigala bagi manusia lainnya? Hmm... tampaknya harus selalu berakhir rumit, makanya dosen sosialku selalu bilang aku hidup dalam dunia fantasi, karena menolak terlalu banyak kegelapan.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...