Whoaaa... judulnya panjang banget, males banget ngga sih? Kalau boleh, mungkin aku akan pilih satu kata aja, tapi tulisan di jurnal-jurnal kayanya emang panjang-panjang ya? Hmm.. judul di atas, rencananya mau aku pake untuk paper di kuliah perencanaan pembangunan. Di kepala udah ada bayangan akhirnya kaya gimana, tapi karena masuk genre ilmiah, jadi aku harus nyari sumber-sumber untuk mendukung argumenku. Garis besarnya sih tentang gerakan open source di komunitas-komunitas yang memiliki filosofi untuk membagi ilmu. Nah, nilai-nilai dari komunitas ini kemudian distabilkan dalam bentuk software-software open source. Kata stabil disini maksudnya ada skript berupa nilai-nilai yang masuk dalam bentuk algoritma.
Karena ada relasi yang berbanding lurus, aksi yang muncul dari gerakan open source ini aku tarik untuk menjelaskan komunitas epsitemik. Seperti yang sudah pernah aku tulis di posting sebelumnya, komunitas epistemik ini secara definisi diartikan sebagai produsen bukan konsumen. Artinya gini, kalau aku nonton TV trus hanya menggunakan TV sebagai alat hiburan, maka aku adalah konsumen. Namun kalau TV bisa aku gunakan sebagai ide untuk membuat novel, aku udah berubah menjadi produsen.
Begitu pula dengan filosofi open source dalam pemahamanku. Open source memungkinkan penggunanya untuk memodifikasi software sesuai spesifikasi yang dia butuhkan. Kalau dalam mainan, aku kebayangnya Lego, dan boneka. Lego memungkinkan seseorang untuk berkreasi membentuk segala sesuatu yang diinginkannya, sedangkan boneka udah ngga bisa diapa-apain lagi(padahal aku masih tidur sama boneka yang kumiliki dari umur 5tahun). Makin lama, bentuk personalisasi kian fluks, artinya kalau Lego masih membatasi penggunanya dengan materi 3 dimensi berupa balok-balok yang bisa disambung, di era informasi pembatasan itu menjadi kian fluks, salah satunya ya si software. Tapi tingkat abstraksi juga memiliki berbagai konsekuensi. Misalnya si Yuti yang gaptek ini, mungkin akan lebih memilih yang user friendly, dibandingkan harus ngotak-atik bahasa planet.
Nah, dengan gerakan IGOS yang aku asumsikan merupakan gerakan berbasis komunitas ini, aku ingin membuat strategi, gimana caranya agar si Yuti-Yuti yang pemales ini bisa sedikit produktif dan mau menggunakan otaknya. Dengan adanya gerakan berbasis komunitas, si Yuti-Yuti pemales diharapkan jadi semangat untuk belajar, karena diasumsikan semua orang sebenarnya senang belajar, cuma energi yang dibutuhkan kalau bertindak sendiri jauh lebih besar dibandingkan kalau bekerja bareng-bareng. Jadi sebenarnya sih, judul di atas bisa diganti: strategi agar Yuti-Yuti pemales menjadi Rajin. Huehehehe
3 comments:
only one word u need be focus or what is the most u interested on
Unfortunately, unfocus is my middle name. hehe, just kidding. Thanks for your comment, I realize that unfocus and very easy to like something are my weaknesses
intinya fokus ...
sejatinya,
kita gak punya cukup umur utk
melakukan semua ...
gak punya cukup umur, utk melakukan hal yang keliru ...
jadi tetapkan pilihan, dan fokus ...
gitu x ya?
:)
dei
----
Post a Comment