Epistemic community: network of profesionnals with recognize expertise and competence in a particular domain an authoritative claim to policy relevant knowledge within that domain or issue area(Haas, 1992)Karena aku merupakan salah satu bagian dari komunitas ini, jadi aku juga termasuk dari bagian yang terus belajar. Ada banyak teori yang terkait dengan konsep ini, aku mulai menyusurinya dari strukturasi Giddens, konsep autopoiesis, knowledge/power-nya Foucault, dan terakhir dengan teori jejaring aktor. Ada beberapa hal yang menyebabkan aku membutuhkan teori yang lumayan banyak. Teori Giddens misalnya, lumayan membantu untuk menjelaskan konflik antara kubu strukturalis-fungsionalis dengan kubu agent-based, tapi belum mampu menjelaskan relasi antar aktor-aktor yang terkait dalam komunitas epistemik, terutama pendekatan budayanya.
Epsitemic culture: culture of innovative knowledge production rather than knowledge consumption(Hans-Dieter Evers, 2003)
Pendekatan autopoiesis aku gunakan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Maturana dan Varela. Konsep ini menjelaskan self-organize yang dilakukan oleh sistem hidup untuk mempertahankan kehidupan mereka. Nah, aku mencoba mencari asumsi-asumsi yang digunakan dalam konsep ini dan mencari persamaannya dengan sistem sosial. Hal yang menjadi benang merah adalah informasi, karena dalam autopoiesis ini, salah satu 'ikatan' yang menyebabkan masing-masing komponen dalam sistem bisa mengatur diri mereka sendiri adalah karena ada aliran informasi. Dalam mengkaji epistemic communities, aliran informasi ini sangat dibutuhkan untuk memandang diri mereka sebagai bagian dari sistem yang lebih luas, dan kalau ada anggapan-anggapan tertentu atas komunitas ini, apakah anggapan tersebut benar atau hanya mitos belaka.
Drucker dan Porter secara tidak langsung mengemukakan pentingnya epistemic culture. Keduanya meyakini teknologi merupakan salah satu kunci unutk memajukan kesejahteraan sebuah bangsa melalui perkembangan industri. Sayangnya, di Indonesia teknologi lebih banyak digunakan sebagai barang yang konsumtif, dan tidak digunakan untuk menghasilkan keuntungan atau mensejahterakan kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang muncul dari fenomena ini adalah dimana posisi masyarakat ilmiah yang seharusnya mengawal teknologi ke arah sesuatu yang produktif?
Untuk mengkaji relasi pengetahuan(dan pemilik pengetahuan) dengan kekuasaan aku menggunakan konsep yang ditawarkan oleh Foucault. Tapi aku sendiri masih lumayan asing dengan pemikiran orang yang satu ini. Penyebabnya, ia termasuk pemikir yang senang dengan tema-tema abnormal dan cenderung membenarkan abnormalitas atas nama struktur.
Segala macam keruwetan itu kemudian coba aku tertibkan dengan teori jejaring aktor yang memungkinkan aku untuk membuat relasi antara artifak teknis dengan non-teknis. Kalau mungkin, sebagai penutup aku ingin menggunakan teori Galois dalam mencari 'klik' diantara epsitemic culture yang ada, tapi yang terakhir ini masih lihat-lihat aja.
No comments:
Post a Comment