Sunday, July 25, 2004

Menjadi Dewasa(1)

Tahun ajaran baru artinya, adik-adik baru. Bakal ada tambahan satu angkatan lagi yang manggil dengan teh, kakak atau mba. Makin dewasa? Kayanya ngga juga, yang pasti sih makin tua. Tapi biasanya kehadiran adik-adik baru artinya turun angkatan. Soalnya kalau mereka nebak biasanya selisih satu taun, jadi bakal dikira anak 2003 nih. Malah ada adik angkatan yang sampai setaun baru nyadar kalau saya angkatan 2001, padahal tiap hari ketemu. Mungkin karena masih gaya yang masih rada asal dan main ama anak 2002. He..he.. jadi kesimpulannya bukan makin tua, tapi kebalikannya.

Lalu apa hubungannya dengan makin dewasa? Seharusnya sih udah punya banyak tanggungjawab. Kalau dulu masih bisa ngandalin orang, sekarang seharusnya udah bisa mulai diandalin. Seharusnya dengan predikat dewasa, seseorang dituntut untuk lebih berkomitmen dan bertanggungjawab. Kalau waktu kecil mecahin gelas yang panik adalah ortu karena takut sang anak kena pecahan gelas, kalau udah gede kita yang dituntut untuk lebih berhati-hati dan menyelesaikan persoalan.

Kemarin ikut acara wisudaan KM3. Wah, kakak-kakak udah akan memasuki fase baru, memasuki gerbang kehidupan yang sebenarnya. Ada beberapa orang yang mengibaratkan masa-masa kuliah sebagai sebuah tempat inkubasi. Ada juga yang yang bilang seperti sebuah simulasi kehidupan. Tapi saat kita selesai kuliahlah kehidupan yang sebenarnya akan dimulai. Saat kita udah harus dengan tegas menentukan langkah yang kita ambil. Dulu waktu saya menceritakan ketakutan menjadi gede, guru SMA menenangkan dengan mengisahkan anak-anak di Amrik yang sudah mulai dilepas umur 18 tahun. Umurlah yang menentukan kematangan seseorang, dan siap atau tidak siap, ia harus mulai terjun ke dunia yang keras. Makanya, kata guru saya lagi, umur 17-18 merupakan saat yang labil di Amrik. Ada yang ketakutan sampai ngeboat, ada juga yang mulai mencari kerja, macem-macem reaksi deh…

Saya sendiri tampaknya masih harus menjawab tantangan besar ini dengan serius. Ada sebuah daerah aman yang saya namakan rumah kaca. Rumah itu senantiasa memberikan perlindungan dan kasih sayang. Didalamnya ada orang-orang dengan pemikiran sama, ada orang-orang yang peduli dan untuk lepas dari rumah kaca itu rasanya sangat sulit. Salah satu rumah kaca itu adalah IC, walaupun setiap tahun langganan mau keluar dari sekolah--sampai waktu ketemu guru di ITB waktu ngedampingin adik-adik ikut lomba, saya diledekin-- tapi IC merupakan sebuah tempat dimana semuanya nyaris terpredikisi. Mungkin mirip dengan gambaran sosialis utopisnya Simon(seorang pengusaha yang menyediakan perumahan, pendidikan dan toko2 bagi karyawannya, cerdiknya para karyawannya digaji dengan kupon sehingga selain kebutuhan hidup tercukupi, semangat kerja terjaga, barang2 produksi pun langsung memiliki konsumen).

Ada kenyamanan didalamnya. Jaring-jaring kemapanan yang membuat saya merubah segala cara pandang saya didalamnya. Sebelum lulus lulus aja ada berbagai macem pesan yang sampai saat ini masih melekat dengan jelas, “Yut, kamu jangan terlalu gampang percaya ama orang”, “Jangan lupain apalannya”(wah kalau yang ini sih agak berat) atau “Kalau kamu lagi bingung, berpikirlah untuk apa kamu ngelakuin itu semua.” Pesan-pesan sederhana yang jika tiba-tiba melintas dalam pikiran bisa membuat saya senyum-senyum sendiri.

Menginjak tahun ketiga kuliah rumah kaca itu menjadi sebuah wilayah yang tidak jelas. Tidak ada suatu tempat yang benar-benar lekat. Anak-anak IC masih menjadi rumah paling ideal, sampai orang kadang bingung mendefinisikan hubungan yang ada diantara kami. Tapi kalau dari mulai jam 5 pagi ampe jam 8 malem barengan terus, apa ngga jadi kaya saudara. Dengan adanya orang-orang yang selalu ada, tengah malam sekalipun, bagaimana ketergantungan itu tidak tercipta? Dan sekali lagi, bagaimana cara kami menjadi dewasa?

1 comment:

Unik apipku said...

postingan yg bagus..

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...