Sunday, July 25, 2004

Menjadi Dewasa(2)

 
Apakah dewasa berarti siap menantang dunia dalam kesendirian atau berani bertanggungjawab atas semua tindakan yang diambil? Saya lebih memilih pilihan kedua. Dalam perspektif dunia-akhirat, tanggungjawab adalah sebuah keniscayaan. Meski hidup di dunia adalah semacam sebuah pilihan bebas, dimana tipu menipu, memperdayai terjadi. Namun jika seseorang dewasa dalam kehidupan antar manusia dan spiritual, seharusnya ia juga mempertimbangkan Sang Maha Melihat.

Jadi bagaimana dengan menjadi dewasa? Apakah semua orang siap dengan transformasi, padahal setiap perubahan pasti membutuhkan energi yang lebih besar? Mungkin dewasa juga lekat dengan perubahan, yaitu bagaimana kedewasaan kita dituntut menerima perubahan ke arah yang lebih baik. Wu..ih berat juga ya… Ketika saya bertanya kepada seorang pengemis yang biasa nangkring di daerah dekat kampus, dia bilang sudah puas dengan kehidupannya. Atau ketika saya bertanya pada pedagang yang biasa berjualan di ITB, apakah dia sudah memanfaatkan waktu penundaan, jawabannya adalah tidak. Mengatakan bahwa kekurangan mereka adalah akibat ulah mereka sendiri, tentu akan terasa konyol. Bukan membela atau membiarkan sebuah kemapanan akan kemalasan, namun struktur yang ada dari dulu memang sudah salah. Hmm.. tampaknya masing-masing orang memiliki rumah kacanya sendiri.

Ada yang bilang mental kita masih mental bangsa terjajah. Maksudnya, bentuk perubahan paling bisa terjadi jika ada seorang pemimpin(bisa digantikan dengan kata provokator, pembaharu dll.). Akibatnya untuk merubah suatu hal kita masih sangat tergantung dengan tokoh karismatik(bisa artis, negarawan atau siapapun yang lekat dengan sosok idol). Dalam situasi ini penokohan jadi sangat sentral. Jadi inget sejarah waktu ada pengelompokkan masa sebelum 1908(atau 1928 ya, lupa euy..) dan sesudahnya. Kalau yang sebelumnya masih bersifat kedaerahan dan jika ada kematian seorang pemimpin maka perjuangan akan padam. Pasca 1908(/1928), perjuangan sudah bersifat nasional, dan sudah ada regenarasi pemimpin. Kalau ngeliat keadaan kayanya malah ngga ada corak lagi. Ngga ada lagi musuh bersama yang kasat mata. Mental atau kesadaran hanya berada di wilayah personal, meski pada tahun-tahun tertentu terjadi juga ledakan pergerakan akibat kondisi ekonomi yang melarat.

Apakah pergerakan hanya akan terjadi jika keadaan itu menyangkut keadaan diri sendiri? Atau ini peranan penggeraknya. Di buku Tipping Point ada tuh penjelasan-penjelasan bagaimana suatu yang kecil bisa menjadi besar. Seperti kebangkitan merk Hush Puppies yang dulu nyaris mati, atau yang lebih nyambung dengan pergerakan bagaimana Paul Reverre berhasil menyebarkan rencana penyerangan Inggris dalam sehari, ditengah malam buta pula. Berkat jasa Reverrelah balatentara Inggris mengalami kekalahan yang memalukan pada tanggal 19 April 1775. Peristiwa ini sekaligus menjadi pemicu terjadinya Revolusi Amerika.

Di Indonesia pergerakan yang berhasil mengakibatkan pergantian pimpinan(terlepas dari isu kudeta, sukarela dll) terjadi dua kali keduanya melibatkan mahasiswa dan banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan fisik merupakan motivasi nomor satu. Artinya jika harga melambung tinggi, masyarakat kontan akan menjerit. Jika keadaan ini diartikan sebagai suatu kondisi di titik nol(nothing to lose) maka rasanya tak ada keadaan yang akan lebih buruk lagi. Kesadaran titik nol inilah yang menyebabkan mereka mau bergerak. Kehadiran sosok Reverre sebagai seorang penghubung tampaknya wajib ada untuk menggerakan sekian ribu massa dan membenarkan aksi yang dapat dipersepsi negatif. Dalam era informasi media tampaknya menjadi penghubung terbaik. Masalahnya tinggal pada sebagaimana sebuah keyakinan itu diusung dan dirangkai menjadi sebuah berita yang dapat meyakinkan pemirsa untuk mendukung perjuangan tersebut.

Dalam sebuah studi pengaruh media khususnya acara TV tertentu, pernah dibandingkan dengan perkembangan pemirsa. Acara Sesame Street yang pernah booming di awal 90-an dibandingkan dengan Blue’s Clues. Hasilnya acara Blue’s Clues dapat merangsang anak-anak untuk lebih kreatif. Ya..h gitulah kira-kira;p Bagaimana dengan tayangan berita? Saya sendiri memilih liputan6, terutama setelah kasus STPDN. Sebelumnya, di masa Orba lipatan6 juga pernah menayangkan tayangan kontroversial tentang kasus cabut gigi. Jika sebuah tayangan sudah memperoleh kepercayaan yang tinggi, otomatis tingkat kepercayaan pemirsa terhadap validitas acara tersebut juga tinggi. Dari sanalah, media bisa berperan sebagai pilar keempat demokrasi, asal menjunjung tinggi kaidah2 jurnalisme aja.

He..he.. makin ngga jelas arah tulisannya kemana. Kembali ke perubahan dan kedewasaan, apakah perubahan yang dimanifestasikan dalam pembangunan lima tahun selama ini sudah mengarah pada manusia paripurna, yang memiliki tanggungjawab? Bagi saya jawabannya adalah tidak, karena kesadaran mayarakat belum merata. Belum ada yang bercita-cita menjadi anak jalanan, sementara cita-cita seperti dokter, presiden kerap kita dengar. Jika jalan hidup adalah sebuah pilihan, biarlah ia terbuka dengan selebar-lebarnya, untuk semua umat manusia.

1 comment:

salim said...

Ini adalah blogspot yang paling melelahkan yang pernah saya temui :) Tapi sekaligus paling kaya !

Saya sependapat bahwa kedewasaan adalah keberanian untuk bertanggung jawab. Yang saya sering masalahkan adalah, darimana seharusnya tanggung jawab itu bermula. Saya tidak akan mempermasalahkan masa lalu. Yang saya gelisahkan adalah masa depan. Titik berangkatnya adalah sekarang ! Mengapa ?

Umur 20, konon, bagi orang Jepang adalah gerbang kedewasaan. Mereka punya ritual khusus untuk itu. Pergi ke kuil, untuk kemudian membuat janji tertentu, bukan bagi siapa-siapa, melainkan bagi diri pribadinya. Apa yang hendak ia capai, apa ideal-idealnya paling tidak untuk masa beberapa tahun ke depan. Dulu saya bertanya : apa mereka telah yakin akan menjadi apa nantinya sekian tahun ke depan ? Sebab kalau tidak, tentu capaian-capaian yang mereka janjikan terlaksana akan menjadi absurd. Mana mungkin kita membuat pentahapan, kalau kita belum tahu kemana akan menuju ?

Tetapi, lama kelamaan saya paham. Ini bagaikan jalan lurus yang tidak kelihatan ujungnya. Sejauh mana kita mampu melihat ujung jalan yang lurus tersebut, kesanalah kita berikrar untuk mencapainya dengan sekuat tenaga. Mungkin akan ada yang bertanya, apakah kehidupan se'linear' itu ? Bukankah kadang kita harus melewati tikungan-tikungan tajam kehidupan yang nyaris membuat kita tersingkir ? Jawabannya adalah, hmm terpaksa mengeluarkan jurus integral, bukankah lingkaran yang selengkung itu dapat dipandang sebagai himpunan garis-garis lurus yang tak terhingga banyaknya ?

Masalah baru muncul. Bagaimana kita bisa melihat ujung (segmen) jalan yang lurus tadi ? Huff, ini memang rumit. Kita harus membagi lengkungan kehidupan yang ruwet ini ke dalam tahapan-tahapan yang, mestinya, semakin pendek akan semakin lurus. Bagaimana membaginya ya ? Padahal harus melihat keseluruhan lika-liku perjalanan kehidupan untuk bisa membaginya dengan benar.

Beruntunglah manusia (waduh, maaf banget kalau ada yang menganggap ini lompatan), meski tidak diperlihatkan seluruhnya, Ia begitu bermurah hati membiarkan kita mengintip rencana-Nya. Saya merenung, menimbang, dan kemudian (mencoba) menafsir, surah Al-Fatihah ayat ke-7 "ihdina ash-shirat al-mustaqim" mungkin menyiratkan kesediaannya untuk berbagi rencana dengan kita. Kita mohon agar Ia sudi memberi sedikit "hints", sepotong gambaran samar tentang misi kita di dunia fana ini, sehingga kita bisa menahapkan perjalanan kembali pada-Nya menjadi segmen-segmen lurus yang lebih jelas. Contohnya, ketika kita benar-benar terdorong untuk lulus dengan nilai yang bagus, bukankah itu juga semacam petunjuk yang mengarahkan kita menuju jalan yang lurus (atau bisa juga meluruskan jalan).

Sebenarnya, saya ingin membawa uraian panjang tapi nggak lebar ini ke satu titik. Memang tanggung jawab kita adalah khalifah yang mengurus bumi ini. Namun, adalah TANGGUNG JAWAB KITA UNTUK PEDULI TERHADAP DIRI PRIBADI KITA SENDIRI. Dalam artian, KITA HARUS TAHU APA YANG KITA MAU (ingat iklan sprite, inspiratif lho). Adalah tanggung jawab kita UNTUK MEMILIH DAN KONSISTEN PADA PILIHAN KITA. Kata K' Al, semua orang itu punya arete-nya masing-masing (ini sih ngutip Plato). Semua orang punya PERAN PRIBADI YANG HARUS DIMAINKAN SENDIRI.

Dengan menyadari peran itulah, bibit mangga tumbuh menjadi pohon mangga yang menaungi suplir ibu saya (apa coba ?!). Suplir tahu kalau ia hanya mampu menjadi suplir, bukan jadi mangga. Saatnya Yuti betul-betul serius mencari tahu,mau jadi apa sih, paling tidak 5 tahun ke depan......

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...