Tuesday, May 31, 2005
Bodoh
Menarik, sekaligus menyadarkan saya pada satu hal, Islam sebagai agama yang syumul’. Bukan sesuatu hal baru sebenarnya, bahkan nyaris semua materi yang berkaitan dengan Islam selalu menegaskan bahwa Islam adalah agama kaffah(melingkupi seluruh aspek kehidupan). Namun kadang penjelasan yang saya peroleh tidak cukup, atau lebih tepatnya saya sedang dalam kondisi meragukan segala sesuatu. Akibatnya, jalan kebenaran menggunakan logika yang disarankan oleh teman menjadi absurd, begitu pula beberapa buku yang saya pinjam baru-baru ini. Semuanya menawarkan alasan-alasan yang acapkali saya temui, namun sayangnya tidak memberi jawaban yang selama ini saya cari. Akhirnya saya menggunakan pendekatan sejarah dan tafsir. Ada yang berpendapat, Siroh merupakan salah satu kunci untuk memahami bagian-bagian praksis yang menimbulkan kontroversi. Mungkin benar juga, yang jelas membaca tafsir dan siroh membuat saya merasa nyaman.
“Sesungguhnya Kami telah memaparkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir dan dipikullah oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan amat bodoh, sehingga kesudahannya Allah menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 33:72-73)
Ayat 72 dari surat al-Ahzab termuat dalam buku Armstrong ketika membahas mengenai Perang Suci. Konteks ayat itu dalam tulisan Armstrong adalah mengenai kehendak bebas. Tuhan digambarkan tengah menawarkan kebebasan kepada semua makhluk-Nya, namun mereka menolak. Hanya manusia yang memiliki keberanian untuk menerimanya [Armstrong, Muhammad Sang Nabi, h.235]. Sedangkan dalam tafsir al-Mishbah, disebutkan: “Thabathaba’i menjawab bahwa kezaliman dan kebodohan walaupun keduanya merupakan sesuatu yang buruk dan mengundang kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya itu juga merupakan sebab yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat(beban Ilahiah) itu, karena sifat kezaliman dan kebodohan, hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat menyandang sifat adil dan ilmu.”[Quraish Shihab, Tafsir Mishbah Vol.11, h.334-335]. Quthub menyebutkan bahwa dengan adanya kelebihan dan kekurangan(zhaluman dan jahalun) manusia tersebut, kalau manusia berhasil memikulnya, maka sungguh manusia mencapai maqam yang mulia sebuah kedudukan yang sangat unik di antara makhluk-makhluk Allah.
Dari beberapa pendapat diatas, saya menarik kesimpulan bahwa manusia memang memiliki potensi untuk menerima amanah. Hanya saja potensi ini memiliki dua sisi, baik dan buruk. Keberadaan dua sisi ini pulalah yang menyebabkan manusia memerlukan petunjuk jalan yang akan mengembalikan mereka pada Sang Maha Absolut. Berbeda dengan langit, bumi dan gunung-gunung yang hanya bisa patuh(dalam tafsir al-Mishbah, maksud penolakan makhluk-makluk tersebut adalah karena ketiadaan potensi untuk menanggung amanah), manusia memiliki kehendak bebas, yang menyebabkan kemungkinan terjadinya banyak kesalahan.
Pertanyaannya kemudian, apakah manusia menyadari bahwa dirinya bodoh? Saya yakin tidak ada orang yang merasa dirinya bodoh. Meski Socrates pernah berkata, “Satu-satunya yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa,” bagi saya pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa beliau mengakui dirinya sebagai orang bodoh. Bahkan seseorang yang mengetahui keadaan dirinya, merupakan orang yang cerdas. Bukankah sebelum memahami hal-hal lain, seseorang seharusnya mengenal dirinya terlebih dahulu?
Mungkin pendekatannya kemudian harus dibalik, siapa saja yang merasa dirinya pintar sebenarnya adalah orang bodoh. Pertama, karena ia telah menutup dirinya dengan hijab kesombongan, dan kedua, karena ilmu manusia hanya seperti setetes air di lautan luas. Dengan pandangan mungkin kebodohan menjadi suatu hal yang sederhana, yaitu tertutupnya seseorang dari kebenaran. Ketika seseorang merasa dirinya sudah tidak bermasalah padahal keadaan sesungguhnya mengatakan sebaliknya. Saya jadi teringat obrolan dengan teh Meri(salah seorang akhwat yang saya kagumi) ketika menemani beliau mengunjungi daerah longsor.
“Sebenarnya banyak desa yang potensial dan bisa digarap. Hanya saja penduduk desanya hanya produktif di masa panen, sekitar setengah tahun. Sedangkan sisa setengah tahunnya mereka gunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Seharusnya mereka bisa mencari tanaman yang saling bergantian masa panennya.”
“Jadi, sebenarnya Indonesia ngga parah-parah amat ya teh?”(gara-gara kebanyakan mengikuti berita korupsi, politik dll, pandangan saya tentang Indonesia berputar-putar dimasalah seperti itu terus)
“Sebenarnya mampu bangkit, asal ada pembinaan pada pelosok-pelosok daerah yang menyimpan banyak potensi.”
Dalam artikel yang saya baca mengenai kemajuan negeri Cina, saya menemukan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa terletak pada karakter manusianya. Setelah kekacauan pasca Revolusi Kebudayaan, Cina sempat porak-poranda. Namun berkat revolusi di bidang pendidikan yang melibatkan 1,3 milyar manusia, Cina berhasil menjadi negara yang ditakuti, bahkan oleh negara sekaliber Amerika Serikat. Indonesia pun pernah terkena dampak yang cukup fatal dari bangkitnya Cina, yaitu gulung tikarnya industri tekstil akibat membanjirnya produk dari Cina. Namun pernah juga memperoleh sisi positif, yaitu ketika Cina menjamin akan mem-backing Indonesia pada krisis moneter tahun 1998.
Dari kasus di atas, saya melihat ada yang lebih parah dari kebodohan, yaitu orang-orang yang membiarkan kebodohan terus berlangsung. Kata-kata Ali bin Abi Thalib menjadi begitu relevan: “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang terorganisir.” Merujuk pada kata-kata Ali r.a, keadaan yang terjadi di Indonesia sekarang lebih banyak disebabkan oleh adanya orang-orang yang terus melanggengkan kebodohan. Entah dengan karena tidak memiliki kapabilitas yang cukup, atau memang berniat untuk terus melanggengkan kekuasaan yang mereka miliki dengan cara-cara pembodohan bangsa.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah tidak ada manusia cerdas(sebagai anti dari bodoh) yang baik, atau semuanya kalah melawan kecerdasan jahat yang terorganisir? Kalau manusia dipandang secara biner, bodoh-tidak bodoh(baca: cerdas), baik-tidak baik(jahat), maka masuk dalam kategori apakah Indonesia sekarang: cerdas-jahat, bodoh-baik, cerdas-baik, bodoh-jahat?
Monday, May 30, 2005
Puisi Ancur
Dunia dari balik jendela
Lalu kutahu jendela itu semu
Bukan kaca berlatar alam
Namun lukisan buatan tangan
Layar-layar penuh rekayasa
Hingga tak ada pedih disana
Sederhana
Simbol, Perempuan dan Budaya Pop
Kemarin saya membaca sebuah selebaran gelap mengenai Miss Universe dan Korupsi. Hal menarik dari tulisan orang iseng(beliau menyebut dirinya sebagai orang iseng) tersebut adalah pendekatan simbolik yang digunakannya. Dari tulisan yang saya baca sekilas tersebut, saya menilai orang tersebut melihat aksi anti-Miss Universe sebagai sesuatu yang absurd. Tapi kalau melihat realitas sekarang, saya memang melihat bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat simbol. Mulai dari urban-culture yang dominan dengan simbol-simbol baju, warna dan aksesoris, perayaan-perayaan, idol, serta simbol-simbol yang terkait dengan nilai, norma serta agama.
Apakah simbol merupakan suatu yang yang mutlak keberadaannya? Bagi saya jawabannya adalah ya. Merujuk pada kisah-kisah peperangan, ketika para pembawa panji mempertahankan apa yang telah diamanahkan kepada mereka sampai titik darah penghabisan. Bisa saja panji itu mereka letakkan, kemudian tangan mereka dengan leluasa menggunakan pedang untuk berjuang penuh. Tapi dalam sebuah masyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah simbol yang mempengaruhi perilaku/tindakan seseorang. Kasus lain, ketika dalam perang Uhud terdengar kabar mengenai kematian Rasulullah, para sahabat langsung kehilangan semangat untuk bertempur. Belakangan diketahui yang syahid adalah Mush’ab, dengan panji di dada. Kalau ditanya, untuk siapa seseorang berperang, pasti jawabannya mengharap keridhoan Allah semata. Namun tetap saja seseorang memerlukan sosok yang dapat dijadikan pemicu semangat/teladan, meski hanya sampai tingkat tertentu.
Itu pula yang terjadi dengan pengiriman Putri Indonesia ke ajang Kontes Ratu Sejagat di Bangkok. Ada permainan simbol, antara nilai-nilai yang acapkali disebut budaya Timur, norma agama, khususnya Islam, yang dibenturkan dengan realitas. Tak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia pun sudah ada yang berani memasang adegan berbaju minim. Apalagi tabloid-tabloid kuning yang terang-terangan menggunakan perempuan sebagai komoditas. Dengan kondisi seperti itu, ada yang berpendapat pelarangan Putri Indonesia hanya sebuah usaha sia-sia, bahkan munafik. Di dalam negeri sendiri, baju minim sudah menjadi hal yang bisa dengan mudah ditemui, kenapa ajang yang salah satu bagiannya menampilkan pakaian renang bisa ditentang sedemikian keras, serta memicu terjadinya aksi protes?
Dalam budaya massa, ada alat-alat perpanjangan tangan penguasa, salah satunya adalah idol. Artika yang mewakili YPI, selain membawa simbol-simbol Indonesia, juga menjadi sorotan publik. Karena sudah berbicara di wilayah publik inilah kehadiran wakil dari Indonesia menjadi bermasalah, khususnya jika ditilik dari pengaruhnya terhadap paradigma masyarakat Indonesia. Perubahan ini terjadi dalam meletakkan batasan terhadap keterbukaan, dan memancing terjadinya ajang-ajang sejenis. Meski para penyelenggara acara tersebut mengatakan bahwa yang ditekankan adalah 3B(brain, beauty, behaviour), namun tetap saja yang menjadi objeknya adalah perempuan. Berlenggak-lenggok di atas catwalk disaksikan ratusan hingga ribuan pasang mata, layaknya barang dagangan. Dengan menjamurnya ajang-ajang sejenis, perempuan akan terbiasa melihat dirinya sebagai objek, dan bukan subjek yang mampu mengatur kehidupannya sendiri.
Secara tidak sadar, perempuan-perempuan akan mempersepsikan dirinya sebagai objek pelengkap, masyarakat kelas dua. Bagaimana tidak, nyaris semua iklan yang berhubungan dengan penampilan perempuan(rambut, kulit putih, pembersih muka, sabun) menampilkan laki-laki sebagai fokus. Sebuah produk dinilai berhasil jika bisa merubah nasib perempuan yang tadinya tidak menarik perhatian lawan jenisnya menjadi incaran. Meski ada beberapa iklan produk laki-laki yang menggunakan formula serupa(karena sekarang banyak pria metroseksual), namun jumlahnya relatif lebih kecil. Tidak hanya iklan, reality show yang kini menjadi primadona di sejumlah televisi swasta, juga sering memasang perempuan sebagai objek, seperti Joe Millionere Indonesia(gila.. kenapa ada versi Indonesia segala sihL).
Keadaan ini seolah ingin membenarkan pendapat Aristoteles: “perempuan tidak hanya sebagai subordinat karena keharusan sosial, tetapi secara lahiriah dan biologis ia inferior, baik dalam kapasitas fisik maupun mental-dan dengan demikian dikehendaki oleh alam-untuk posisi yang patuh.”[Laela Ahmed, Women and Gender in Islam]. Lalu apa gunanya perjuangan Kartini untuk memperoleh pendidikan yang setara, kalau persepsi perempuan Indonesia masih sebagai objek pelengkap?
Apakah pendidikan merupakan hal yang positif? Saya yakin semua orang akan sepakat menjawab ya. Namun dalam realitas sehari-hari, siapa yang berperan sebagai guru, sosok yang digugu dan ditiru? Seseorang yang menjelaskan materi pelajaran di depan kelas formal, dan karena telah menjadi kesepakatan umum maka disebut guru, atau sinetron-sinetron remaja lengkap dengan aksesoris muda-nya? Melihat fenomena yang ada, saya berpendapat, sinetron lebih berperan dalam membentuk gaya hidup remaja dibandingkan sosok guru formal, bahkan kadang orangtua.
Kecendrungan ini bagi saya negatif. Tapi untuk para produsen, ataupun insan yang terkait dengan industri hiburan, saya yakin memiliki pandangan bertolak belakang. Industri hiburan telah menjadi industri besar yang akan menyilaukan siapa saja. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat mengikuti kontes-kontes populeritas, semacam Indonesian Idol, AFI, dll. Meski dalam daftar reality show saya, kontes-kontes bakat masil lebih positif dibandingkan kontes Joe Millionere, namun saya takut bahwa masyarakat, khususnya perempuan akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang ingin populer, dilihat orang, ingin dipuji dlsb. Tidak tulus, dan berujung pada kehilangan identitasnya sebagai seorang perempuan dengan segala keistimewaannya.
Dari fenomena yang ada, saya jadi bertanya-tanya, kenapa selalu perempuan? Kenapa perempuan yang selalu menjadi objek, apakah ada pengaruh dari cara pandang patriarkis, konstruksi sosial hingga pendidikan yang saya baca masih sering timpang, atau memang ada keunikkan dalam diri perempuan yang mengharuskan adanya perbedaan penyikapan?
Cinta
Angin melantunkan sebait nama
Alam merupa kanvas dengan seraut wajah
Dunia padu dalam satu warna
Jingga...
Coba bayangkan, dari beberapa blog yang tadi kusinggahi, semuanya mengangkat satu tema, cinta. Apa memang lagi musimnya ya? Parahnya lagi, sepertinya aku tertular deh, hehe.. Aku jadi membayangkan, seperti apa ya rasanya kalau sedang jatuh cinta? Kalau tanda-tandanya adalah merasa senang kalau bertemu, jadi salah tingkah, banyak yang bisa bikin aku kaya gitu. Apalagi kalau ngerasa berbuat salah ama seseorang, pasti jadi salah tingkah, atau kalau lagi bad mood tiba-tiba ada yang bikin ketawa, wah seneng banget. Temanku berkeras, perempuan dan laki-laki ngga bisa temenan. Tapi apa bedanya? Bukankah dalam pertemanan memang ada unsur-unsur perhatian, dan kehilangan ketika lama tak jumpa. Mungkin yang membatasi cara pandang ini adalah batasan yang dimiliki tiap-tiap individu. Lagian kalaupun hubungannya tidak bisa disebut persahabatan, ngga mungkin kan statusnya musuhan?
Aku juga sering mikir darimana datangnya cinta. Apakah karena intensnya pertemuan, perhatian yang berlebihan kemudian berlanjut menjadi ketergantungan, atau dari kagum yang kemudian berubah menjadi perasaan-perasaan aneh. Kalau menurut film-film, ada yang disebut dengan love at the first sight. Mungkin saja, karena hidup, mati dan jodoh merupakan tiga hal yang tidak bisa ditentukan, jadi aku percaya aja kalau cara kerjanya juga ajaib. Kalau begitu mungkin ngga ya, seseorang tidak pernah jatuh cinta? Abis, kalau melihat beberapa teman, tampaknya mereka lempeng banget. Tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti....(taulah maksudnya apa:D).
Beberapa hipotesis(ngawur):
#1. Perasaan itu ada tapi ditahan dalam hati. Tidak dikeluarkan, apalagi ditulis(soalnya ilmu diikat dengan menuliskannya, kebayang kan kalau sampai ditulis, bekasnya bakal lebih dalem). Bagi tipe pertama, dari keluar kelihatan lempeng, tapi di dalamnya ada pertarungan batin. Mirip cerita Floria dengan Agustinus yang telah memilih jalan pengendalian diri.
#2. Perasaan itu terlihat untuk kalangan terbatas. Ini lanjutan hipotesis pertama. Jadi untuk orang-orang yang ngga begitu deket, dia memang tetap terlihat cool.
#3. Perasaan itu sama sekali ngga ada. Rada ajaib, meski di beberapa kisah yang mengaku sebagai cerita nyata, pernah aku temukan.
Aku jadi teringat posting dari milis mengenai jatuh cinta adalah masalah pilihan. Kalau baca tulisan itu, masuknya kategori ketiga, yaitu perasaan bisa dikendalikan oleh akal sehingga waktunya bisa ditentukan. Hmm... kebayangnya koq jadi mirip saklar lampu ya?
Friday, May 27, 2005
TA = Tugas Ariani
Kuterima baik burukmu
Dalam keadaan senang maupun sedih
Mood, tidak mood
Hingga... selesai
TA-ku sekarang kukasih kepanjangan juga, Tugas Ariani(sekalian biar beda ama tugas asyik-nya zaki:D). Abis aku ngga yakin bakal asyik terus, dan aku juga ngga boleh membiarkan diriku mapan dengan sesuatu yang asyik. Kaya kemarin pas mau uas, gila mood ancur berat. Ngeliat buku optimasi, tapi pikirannya melayang-layang entah kemana, jadi aja aku nge-sms temen. Trus dia bales: “bc diari, ngingetin lu ma tjuan jnka pnjg yg hrus lu cpai, n tnyta hrs lwti ini smua..” Kadang aku ngerasa, ada beberapa orang yang lebih memahami diriku dibandingkan aku sendiri. Mungkin mirip dengan ketika seseorang melihat perilaku individu. Dalam skala mikro, semuanya kacau, ngga teratur, berantakan, tapi ketika melihat dari skala makro, ternyata ada pola/hubungan yang bisa dipahami(ada fenomena serupa dalam sains tapi lupa). Nah, dalam diriku semuanya terlihat kacau, sedangkan orang dari luar bisa melihat bahwa sebenernya pangkal masalahnya sederhana.
Aku jadi teringat kata-kata: Seorang pelaut tangguh tidak dibentuk oleh laut yang tenang. Begitu juga kehidupan yang aku jalani. Kayanya untuk menjadi dewasa, aku harus mampu melewati hal-hal yang tidak aku sukai, atas dasar tanggungjawab dan komitmen. Meski aku lebih suka melihat segala sesuatu dengan pandangan menyenangkan, tapi harus kuakui dunia ngga akan selamanya tersenyum. Dan ketika itu terjadi, aku harus siap untuk berjuang.
Kemarin aku mencoba untuk belajar. Ternyata aku bisa juga duduk manis di depan meja selama beberapa jam untuk mantengin buku kuliah. Sebenernya bergantung pada bukunya juga, ada buku yang emang enak dibaca, dan ada yang bikin kerut-kerut karena kesel dan ngga ngerti. Purcell, Marsden, Strauss merupakan pengarang yang enak gaya neranginnya. Tapi ada buku yang ngeliatnya aja udah males. Ya.. font-nya kekecilanlah, tulisannya rapet-rapet, udah gitu ngga ada ilustrasi. Belum mulai baca aja, mood-nya udah ngilang entah kemana. Ada lagi yang bikin bete, satu mata kuliah tapi bukunya banyak. Kebayang kan, setiap buku punya ritmenya sendiri, ketika udah terbiasa, tau-tau pindah buku. Rusak deh alur yang udah dibangun, belum lagi kalau bukunya susah dicari. Hua.. bener-bener ngga enak, meski kadang ada manfaatnya juga punya referensi lebih dari satu. Kalau untuk membuktikan sebuah teorema ngga cocok, bisa cari pendekatan lain. Tapi tetep aja aku lebih memilih fokus ama satu buku.
Nah, sekarang aku lagi seneng baca Strauss. Sebenernya antara seneng beneran dan karena jatah satu bulan istirahat udah mau abis. Jadi terpacu untuk belajar yang rada beres. Hal yang aku sukai dari TA adalah, segala hal yang berkaitan dengan bahan bener2 harus dipahamin, udah gitu sistem belajarnya konsultasi. Beda banget sama kuliah, memahaminya sih mirip, tapi belum tentu apa yang ditangkep bener. Kalau konsultasi beda, setiap bagian dikaitkan dengan pelajaran-pelajaran di tingkat antah berantah, dan disusun untuk menjelaskan masalah yang aku ambil. Asyiknya lagi, dosenku baiiiiiiiiiiiiiiiiiiik banget. Ini jadi penyemangat juga, soalnya aku lebih ngga tahan ngeliatin orang kecewa daripada ngadepin nilai jelek. Trus aku lebih ngga suka lagi kalau ngecewain orang yang aku hormati. Jadi untuk alasan-alasan itu, ternyata pikiranku bisa juga dipaksa untuk menelan puluhan halaman buku. Eh, ngga kepaksa dink, karena menyelesaikan soal itu mirip dengan mengerjakan teka-teki, menarik.
Mau kukasih tau rahasia ngga? Deret Fourier tuh keren banget. Bisa dibolak-balik untuk menyelesaikan beberapa persamaan. Udah baca beberapa bab, dan Fourier kepake terus. Dengan keteraturannya, deret itu bisa membuat sebuah persamaan rumit menjadi indah. Hua..h TOP abis. O iya.. orang kan biasanya bikin jurnal penelitian, aku bikin cerita tentang TA-ku aja deh. Bagian resminya di buku tulis. Akhirnya aku punya buku tulis lagi semenjak terakhir kali ketika masih mengenakan seragam putih-abu2. Sejak kuliah, aku mengandalkan fotokopian, atau ngga kertas-kertas yang anehnya suka ngilang menjelang ujian. Nah, sekarang pas mau cerita tentang TA, koq malah lupa semua ya?
TA-ku tentang shock wave. Sekarang aku lagi baca tentang teori-teorinya, mulai dari gelombang, non-linier PDE, kesamaan fungsi u(x,t) dengan bentuk matrix, aljabar dengan terapan, konvergensi(analisis riil) dengan bebas linier dan masih banyak lagi. Ilmu-ilmu yang di bangku kuliah tampak ngga nyambung blas, sekarang mulai membentuk jalinan cerita. Apalagi kalau lagi bimbingan, banyak manggut-manggutnya, karena baru ngeh hubungan yang satu dengan yang lainnya. Tapi kalau ditanya udah nyampe bagian mana dari topik TA, aku juga ngga tau.
Kadang-kadang aku mikir, segala hal dalam hidup ini harus berawal dari skala makro. Pendekatan ini aku gunakan pada tingkat awal kuliah. Dulu, aku suka nangkring di perpus trus baca-baca buku math yang rada filosofis(buku What is Mathematic, Really? bagus banget buat awal) dan historis. Tapi ternyata hal itu ngga ngebantu banyak, skala makro tampak mandek ketika sudah dihadapkan langsung dengan epsilon, delta, gamma, integral dkk. Ada sih, yang berhasil menggunakan pandangan ini, tapi sayangnya tidak berhasil untukku. Belakangan aku malah lebih senang untuk langsung menyingsingkan lengan dan langsung nyebur ke masalah mikro. Kadang emang ada bagian ngga enak, salah satunya kalau lagi ngadepin bagian yang hiperabstrak, ngga ngerti baca apaan. Teks jadi seperti simbol-simbol aneh tanpa makna, atau kalau udah berhasil tapi hasilnya beda ama di kunci. Gemes banget, sensasi aneh yang udah lama ngga aku rasakan.
Kerjaan yang masih aku tunda adalah membuat program. Karena baru mau mulai keahlianku masih minim banget, jadi setiap kali ngeliatin si Maple atau Matlab, rasanya gimana gitu. Tapi ini tinggal masalah waktu, bentar lagi aku bakal lebih setia ama program daripada ama Word(hua..ha.. mungkin ngga ya?). Kalau dari kompie-ku sekarang, urutan pertama ditempati oleh Winamp, disusul berturut-turut Word, Spider Solitaire, Adobe, Maple, dan Power Point. Matlab kayanya dibuka kurang dari 5 kali. Hehe.. nginstallnya aja baru-baru ini.
Monday, May 23, 2005
Tukang Dongeng
Pernahkah kau mendengar dongeng tentang ksatria dan seorang putri? Kalaupun belum, setidaknya kau tentu pernah mendengar kisah mengenai Cinderella. Kisah seorang putri baik hati yang tertindas, kemudian karena bantuan ibu peri, ia bisa bertemu pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Kau tahu kenapa kisah dongeng Cinderella menjadi cerita klasik? Kalau kuberitahu, mungkin kau akan menganggap ini sebuah dongeng baru lagi, karena kau tahu, rahasia keabadian sebuah dongeng adalah ketika kau membiarkan pikiranmu melayang-layang, berimajinasi lepas, dan membiarkan segala kemustahilan yang ada membuatmu menyunggingkan seulas senyum. Kau tidak perlu menjadi seorang ahli untuk melakukan itu, kau cukup membiarkan pikiranmu terbuka.
Hal itu pulalah yang terjadi ketika seseorang menceritakan sebuah kisah padaku. Mungkin sekarang kau tengah menebak-nebak kisah apa yang akan kusampaikan dari puluhan dongeng Hans Christian Andersen ataupun Disney, tapi kali ini aku terpaksa mengecewakanmu, karena kisah ini tidak bercerita mengenai sepasang anak yang menemukan rumah terbuat dari kue ataupun seorang putri yang terperangkap bersama sosok buruk rupa, namun kisah ini dimulai dengan sebuah teori, teori fisika.
Kau mungkin akan menganggap cerita ini membosankan. Awalnya aku juga menduga kisah ini akan membosankan. Namun ajaibnya, ketika pendongeng itu mulai mengisahkan cerita mengenai hukum Newton dan Kuantum, aku mulai larut dalam antusiasmenya. Wajahnya tampak seperti pendongeng yang mengisi masa kecilku. Raut berubah-ubah sesuai dengan alur cerita yang dibawakan, ditambah kedua tangannya yang terkadang ikut bergoyang-goyang tanpa sadar. Kau mungkin heran, mana ada dongeng seperti itu?
Mungkin kau betul, mungkin memang tak ada dongeng seperti itu. Tapi kau mungkin akan percaya jika aku katakan hal ini. Ia berkata teori Newton yang aku peroleh selama ini sebenarnya hanya sebuah pendekatan, serta tidak merefleksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Hal ini terungkap ketika ditemukannya fisika modern, terutama mengenai kuantum yang mampu menjelaskan aksi-reaksi.
Nah, sekarang kau kaget bukan? Mana yang kau percayai, ilmu yang telah kau pelajari selama bertahun-tahun dan masih diajarkan sampai sekarang, atau sebuah cerita yang disampaikan oleh orang yang baru pertama kali kau temui. Tentu saja, ketika ia menyampaikan cerita itu pada beberapa orang yang mendengarkannya dengan terkagum-kagum, ia tidak mengaku bahwa ia seorang pendongeng. Kau mungkin bisa menduga-duga sebabnya. Aku sendiri berpikir jika seseorang mengakui dirinya sebagai pendongeng, maka tak akan ada yang mempercayainya. Tidak percaya? Sungguh aku tidak mengada-ada, coba saja kau tonton sebuah dongeng klasik, pasti kata-kata pembukanya dimulai dengan pada suatu waktu, disebuah kota dan seterusnya. Tak ada yang suka mengacaukan kejutan-kejutan di tengah cerita yang mungkin kau anggap tidak masuk akal. Karena itu aku paham ketika orang yang menceritakan kisah itu tak mau mengakui identitas aslinya.
Sayangnya, kisah dongeng itu tidak berakhir sampai disana. Aku menemukan kemiripin kisahnya ketika membaca sedikit mengenai teori kuantum. Mirip.. meski tentu saja, dengan ilmuku yang sangat sedikit dan ketidaktekunanku memahami sebuah teks, aku bisa berkata bahwa bisa saja kemiripan itu dipengaruhi pikiranku yang sudah terpengaruh kisah sang pendongeng. Tapi tetap saja kemiripan itu tak bisa kuenyahkan dengan mudah. Pikiran bahwa selama ini Newton diajarkan pada murid-murid SMP dengan alasan lebih sederhana dibandingkan teori kuantum, dan cukup memadai hingga akurasi tertentu meski bukan refleksi dari keadaan sesungguhnya cukup mengganggu. Bukan dalam artian bahwa aku menolak untuk belajar berbagai teori sebagai sebuah pembelajaran, namun lebih karena ternyata apa yang aku dapatkan di bangku sekolah tak lebih dari sebuah dongeng yang kebenarannya masih bisa digugat.
Misalnya untuk menghitung massa sebuah benda, aku menggunakan suatu formulasi yang telah ditetapkan. Dan ketika aku dikonfrontasi dengan sebuah ‘kebenaran’ baru, aku tidak tahu dasar yang harus aku pakai. Persis seperti kuliah analisis riil, ketika kami harus mulai mengkonstruksi barisan bilangan dari angka nol dan satu. Lalu mana yang bisa kusebut sebagai dongeng, dan mana yang riil? Apakah kau bisa membantu, atau jangan-jangan kau menganggapku sebagai seorang pendongeng juga?!
NB: Untuk orang-orang yang suka menceritakan hal-hal sophisticated, koq mirip dongeng ya?Ternyata batasan antara dongeng dengan fakta yang disampaikan kepada seseorang berbeda maqom(intelektual, ideologi, dll) sangat tipis. Malah bisa terjadi doktrinasi berkedok ilmiah, hanya karena lawan bicaranya kalah argumen(ketimpangan ilmu).
Friday, May 20, 2005
Sekuler
Apakah Saya Sekuler?
Secara pribadi, saya akan menjawab tidak. Yah, setidaknya dari pemahaman yang saya miliki. Namun belakangan ini pertanyaan itu kerap menghantui saya. Alasannya sederhana, saya memandang ibadah mahdhoh sebagai urusan privat. Di sisi lain, saya berkeyakinan agama/petunjuk jalan sebagai sesuatu yang integral, jadi pertanyaannya bagaimana mungkin saya bisa memisahkan ibadah mahdoh dengan ibadah ghairu mahdhoh kalau keduanya merupakan satu kesatuan?
Sudut #1:Privat vs Publik. Saya berpandangan segala hal yang berbau pencarian, pencerahan, kesadaran, kearifan berasal dari dalam individu dan tentu saja atas seizin-Nya. Karena pandangan seperti itu, sangat sulit untuk mencapai sebuah kemurnian hubungan dengan Sang Khalik kalau ada pihak-pihak lain yang turut terlibat. Bukankah ketika berbicara dalam wilayah personal, semuanya kembali pada masalah niat dan keikhlasan? Hanya saja, kalau saya masih mau menggunakan pandangan bahwa jalan hidup merupakan sesuatu yang integral maka saya harus mengembalikan semuanya sebagai wilayah yang bisa diusik, pun jika awalnya hanya karena sebuah keterpaksaan.
Sebagai sesuatu yang syumul/menyeluruh, agama menuntun manusia pada kebenaran. Artinya, tanpa agama manusia hidup dalam kondisi yang tidak utuh, pincang. Kemarin saya memperoleh cerita tentang keadaan di Eropa yang sampai pada suatu titik, dimana tingkat sakit jiwanya meningkat tajam, meski secara materi mereka berkecukupan. Hal serupa saya peroleh ketika membaca buku High Tech High Touch, masyarakat beralih dari satu tren ke tren untuk memenuhi kekosongan yang ada dalam diri mereka. Tak sedikit yang beralih kepada hal-hal spiritual dan nilai-nilai tradisi yang telah mereka tinggalkan. Adanya ketimpangan ini, dengan hipotesis awal bahwa manusia memang pada hakekatnya membutuhkan keseimbangan ruh dan jiwa, bisa diperkirakan akan terjadi. Hal ini pula yang kemudian membuat saya berpikir ulang mengenai hubungan antara ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh di tataran publik.
Ditilik dari konstruksi sosial. Disadari ataupun tidak, khususnya dalam konteks ketimuran, agama selalu ditempatkan dalam wilayah sakral, dogmatis dan kebenarannya bersifat absolut. Dengan keadaan seperti itu, kesadaran seseorang dikendalikan oleh kontrol sosial. Nilai-nilai yang menyatakan sesuatu benar/salah, baik/benar lebih berperan dalam keputusan seseorang mengambil tindakan dibandingkan kesadaran yang berasal dari pencarian individu akan hakekat dirinya. Hal ini saya pandang mirip dengan kondisi budaya massa, dimana massa digiring oleh sebuah kepentingan dengan manipulasi persepsi lewat iklan, perayaan, idol dlsb.
Kalau ditanya apakah saya sepakat atau tidak, jawabannya tergantung. Dilihat dari kondisi masyarakat saat ini, saya memandang budaya tandingan lebih diperlukan. Saya tak memungkiri bahwa budaya tandingan memiliki kelemahan, yaitu lagi-lagi bisa menyebabkan manusia teralienasi dari dirinya, tapi anggap saja ini seperti Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan(P3K) yang berfungsi untuk menghambat dampak yang lebih parah lagi.
Hal ini kemudian saya coba tarik dalam mengkaji budaya tandingan. Meski ada teman yang tidak setuju dengan pendekatan ini, namun saya mencoba menghampirinya dengan pembuktian terbalik. Artinya, selama individu-individu yang tergabung mengikuti budaya tandingan ini tidak teralienasi dengan dirinya sendiri, maka budaya tandingan ini telah berhasil mengajak seseorang pada kebaikan. Parameternya bagi saya sederhana, konsistensi, perilaku dan pengaruhnya bagi alam semesta(rahmatan ‘lil alamin). Tentu saja, setelah tahap massa diperlukan tahap lanjutan, yaitu pembersihan diri. Yang dilakukan dengan de-konstruksi, yaitu pembersihan dari segala hal yang berbau ikut-ikutan, ingin memperoleh kedudukan, aktualisasi diri kemudian mere-konstruksi posisi kita sebagai abd’ sekaligus khalifah.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, keberhasilan metode ini ditandai dengan tidak terasingnya seseorang dengan dirinya sendiri. Karena itu keberhasilan metode ini berbeda untuk tiap-tiap individu, ada yang cocok dan ada juga yang menyebabkan seseorang terasing. Hanya saja ketika metode ini dimasukkan dalam pembahasan mengenai gerakan, maka yang keluar adalah pembahasan mengenai efektivitas dan efisiensi. Harap dicatat, efektivitas dan efisiensi disini tidak menggunakan paradigma positivis, melainkan menyangkut aspek-aspek yang menyeluruh. Sehingga meski ada beberapa kekurangan, yang diperhitungkan adalah memperoleh kebaikan sebanyak mungkin dengan kesalahan seminimalnya.
Sudut #2: Universalitas. Melihat fenomena di gerakan kemahasiswaan, massa pada umumnya memiliki kecendrungan terhadap ideologi tertentu. Tapi ini masih bisa diperdebatkan karena saya hanya mengamatinya sepintas lalu, tanpa ada penelitian lebih lanjut. Dari fenomena ini saya berpikir, apakah masalah sosial-kemasyarakatan memang tidak menarik, dan keterlibatan massa dengan kecendrungan ideologi tertentu pada gerakan kemahasiswaan disebabkan adanya sebuah cita-cita yang melampai gerakan yang ada, atau memang sistem SKS yang ada sekarang membuat semua gerakan kemahasiswaan melempem?
Kalau dibandingkan dengan keadaan pada awal tahun 1980-an, pasca pemberlakuan NKK/BKK, aktivitas kemahasiswaan beralih dari kampus ke masjid-masjid, LSM serta banyak pula yang mengikuti program beasiswa ke LN yang era itu cukup gencar dibuka. Sedangkan sekarang, menurut pengamatan saya, yang cukup lantang bersuara adalah mahasiswa-mahasiswa dari kemahasiswaan terpusat, serta beberapa elemen ekstra kampus yang umurnya relatif muda.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemberantasan korupsi, peradilan yang transparan, pemenuhan janji-janji yang dilontarkan semasa kampanye, pendidikan untuk semua(khususnya tingkat SD dan SMP), merupakan suatu hal yang disepakati oleh semua orang atau hanya segelinitir saja? Kalau memang disepakati secara universal, mengapa pergerakan kini hanya memunculkan satu wajah? Atau wajah-wajah lain yang biasanya suka menjadi oposan di wilayah kemahasiswaan sebenarnya memiliki kepentingan-kepentingan lain dibalik protesnya terhadap sebuah kebijakan?
Dalam kerangka universalitas, saya beranggapan bahwa manusia pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang disepakati secara mutlak. Dengan bahasa apapun nilai-nilai itu diungkapkan bagi saya tidak masalah. Namun kemudian ada pertanyaan lagi yang memenuhi benak saya, apakah dengan universalitas tersebut seseorang bisa mencapai kesejatiannya? Lalu apa yang disebut dengan universal itu, ketundukkan pada Sang Maha Absolut lengkap dengan tata cara untuk mencapai-Nya, ataukah universal adalah sebuah nilai-nilai yang sebatas bersifat duniawi, sehingga untuk mencapai keselamatan dunia-akhirat diperlukan petunjuk yang akan menggenapi pencarian manusia akan kebenaran?
Setelah mblunder kemana-mana, saya masih tetap belum menemukan jawaban, apakah karakter seseorang bisa dibentuk jika dilakukan sebuah cara-cara artificial tertentu dalam skala mikro? Atau sebagaimana yang saya pahami selama ini, manusia itu unik, masing-masing individu memiliki caranya sendiri untuk mencapai-Nya.Monday, May 16, 2005
Hujan, Kesasar, dan Basah
Bisa kau bayangkan, dalam kondisi cukup basah ditambah suasana lengang, aku masih harus mencari alamat kos-an teman. Tentu saja, aku tidak sekadar mereka-reka jalan, alamat lengkap disertai beberapa petunjuk sudah kudapatkan. Tapi dalam kondisi hujan, segala hal yang seharusnya sederhana bisa menjadi rumit. Seperti biasa, aku mencari orang untuk ditanyai. Untuk yang satu ini aku sudah lumayan ahli. Bayangkan saja setiap kali aku bepergian, hasilnya selalu sama, kesasar. Ada pepatah yang mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan” bagiku kata-kata itu juga bisa berakibat sebaliknya. Gara-gara bertanya pada orang yang salah, aku malah jadi kesasar lebih jauh. Hal ini sudah pernah kualami, dan kali ini kejadian itu pun berulang.
Ajaibnya, aku tidak bisa merasa kesal. Bagaimana mungkin aku bisa merasa kesal pada orang yang tengah berpayung di tengah hujan, dan rela menunda kepulangannya beberapa detik hingga menit lebih lama hanya untuk melayani pertanyaanku. Coba kau bayangkan situasinya: jalanan sepi, di kios dekat jalan tampak orang-orang tengah berteduh. Dari kejauhan tampak seorang bapak memegang payung dengan langkah tergesa-gesa, mungkin ingin segera mengganti pakaiannya yang tampak menggelap karena basah atau bertemu keluarganya, aku tidak tahu. Namun tiba-tiba langkahnya melambat, kemudian berhenti. Seulas senyum tampak menghiasi wajahnya ketika aku bertanya padanya.
Celanaku masih tetap basah, dan meskipun petunjuk yang diberikan mengantarkanku pada daerah yang aku ketahui belakangan menjauhi target, aku merasa senang. Aneh, mungkin itu yang ada dalam benakmu, tapi entah kenapa rasanya perjalananku di tengah hujan tak sia-sia. Dan cerita ini tak berakhir disana, ketika aku sudah menyerah dan hendak beranjak pulang, sambil mengirimkan sms pada temanku bahwa misi mencari rumahnya gagal, aku menemukan alamat yang kucari-cari.
Ketika kau ikhlas, hijab akan tersingkap...
Thursday, May 12, 2005
Dialog
Kluk..kluk..kluk..
Gw : “Yut..yut.. lo liat ngga?”
Saya : “Liat apaan?”[sambil mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dipegang]
Gw : “Ada keledai lewat.”
Saya : “Aduh, apaan sih, orang lagi enak-enak baca.”
Gw : “Ye, lagian lo baca mulu sih. Lo inget ngga percakapan kita di awal semester?”
Saya : “Hmm.. yang mana?”[dengan ekspresi agak aneh]
Gw : “Alaaa..h lo ‘tu ngga cocok pura-pura. Dari muka lo aja udah keliatan tampang bersalah.”
Saya : “He..he.. gagal ya? Abis kesepakatan kita waktu itu ajaib banget sih. Udah tau kita sama-sama ngga bisa lepas dari buku-buku umum. Kalau hanya boleh mengkonsumsi satu buku per bulan, mana tahan. Setidaknya ada kemajuan dari semester lalu, dana subsidi buat buku kuliahnya ngga dipake buat beli buku umum.”
Gw : “Kalau untuk hal itu memang ada kemajuan. Tapi tetep aja komitmen ‘lo terhadap kuliah dipertanyakan. Sampai-sampai ada keledai lewat, apa itu ngga keterlaluan?”
Saya : “Lah, kenapa kamu menyalahkan saya, bukankah kamu juga turut berkontribusi terhadap apa yang tengah kita hadapi sekarang?”
Gw : “Iya sih, tapi ngga boleh kaya gini terus nih.”
Saya : “Ada saran?”
Gw : “Ngga tau, abis setiap kesungguhan di awal semester selalu berakhir dengan kekacauan. Kayanya kata-kata udah ngga mempan. Masa pake sanksi segala sih? Gimana kalau setiap ujian ditargetin nilainya, trus kalau dibawah target dihukum ngga boleh beli buku non-kuliah?”
Saya : “Hua..ha..ha.. ngga tega sama diri kamu sendiri ya?”
Gw : “Iya, sengaja pake kata beli, biar masih boleh minjem.”
Saya : “Aduh, kasian banget sih kita, sampai mau mencurangi diri sendiri. Padahal ini kan demi kebaikan kita juga.”
Gw : “Iya..ya.. kita ini makhluk-makhluk menyedihkan. Kalau gitu sanksinya apa dong?”
Saya : “Ngga boleh nge-net H+3 setelah hasil ujiannya dibagi?”
Gw : “Tapi ngaruh ngga sih? Sebenarnya waktu belajar di rumah kan banyak. Ngga ngaruh di kampus ngapain aja.”
Saya : “Bukan masalah waktu, dari dulu juga kamu udah tau masalahnya bukan itu. Tapi dengan sanksi yang agak nyebelin, siapa tahu kita bisa lebih serius. Setidaknya kalau cara manusia berkesadarannya gagal, cara terpaksa masih berguna.”
Gw : “Ok, deh. Kita coba untuk saat-saat terakhir.”
Saya : “Sepakat ya?”
Gw : “Mmm.. kalau ngga tahan gimana?”[dengan tampang menyedihkan]
Saya : “Yah.. yang boleh dibuka yahoo mailnya doang. YM, blog, Goo, dkk terlarang.”
Gw : “Ok, sepakat.”Behind The Scene
Jarum jam menunjukkan pukul 11.10 WIB. Dengan langkah kecil-kecil aku menuju gerbang depan Ganesha. Siang itu aku mendapat tugas untuk mencari berita dari kuliah jurnalisme sains dan teknologi. Sambil melangkahkan kaki, aku sibuk mereka-reka berita apa yang enak untuk diangkat. Ada tiga pilihan yang tampaknya cukup memadai untuk tugas selama 1 jam, pertama menyusun berita mengenai penjualan Boul, yang artinya aku harus ke gerbang depan. Pilihan kedua, reportase pembangunan Campus Center dengan mewawancarai pak Sumiardi di LPKM dan opsi terakhir adalah wawancara ke kantin Gedung Bengkok yang relatif baru. Dengan alasan jarak, aku memilih yang pertama.
Dalam kepala sudah ada beberapa pertanyaan. Rata-rata per harinya terjual berapa eksemplar, atau biasanya menjaga standnya dari jam berapa saja? Bagaimana cara menarik pembeli, namun pertanyaan-pertanyaan yang kususun dalam perjalanan ke gerbang dari GKU Lama sia-sia belaka. Sesampainya di gerbang hanya ada satu buah stand. Ada dua pilihan, mewawancarai stand, yang ternyata tempat pendaftaran T-Fest, atau dengan gaya cuek balik kemudian melangkah menuju LPKM.
Belum sempat mengambil keputusan, tiba-tiba ada yang menegur, “Ada yang bisa saya bantu? Mau daftar ya?” He..he.. , pasti tampang bingungku kebaca banget. Kepalang tanggung aku iyakan saja tawaran simpatik tersebut. “Ngga, tadi saya dapat tugas kuliah untuk mencari berita. Trus saya mau menulis tentang stand ini. Boleh kan?” “O iya silahkan. Ngga bayar kan?” tanya mahasiswa yang tadi menegur saya sambil becanda. Sambil cengar-cengir, mulailah wawancara singkat, lengkap dengan backing vokal dibelakang. Dapet pinjeman poster juga lagi... Dalam waktu kurang dari 15 menit, aku sudah dapet hard news(5W+1H). Sipirili...
Aku jadi ingat pengalaman awal wawancara. Saat itu aku kebagian mewawancarai calon ketua OSIS. Minim pengalaman, belum punya gambaran mengenai orang yang akan diwawancara, ditambah orang yang aku wawancarai sedikit pendiam. Bisa dibayangkan seperti apa? Di ruang perpustakaan yang relatif sepi, duduk berhadap-hadapan dengan grogi dan sunyi. Hu..ah... horor amat. Pengalaman awal lainnya adalah mewawancarai guru, dengan bekal tampang melas isi wawancaranya didominasi kata-kata, “Ayo dong, ceritanya diperpanjang.” Meski yang diwawancarai protes, “Pertanyaannya yang jelas dong.” Tetap saja cerita mengalir dari beliau. Yah.. namanya juga masih amatir berat, meski caranya ngga mutu tapi hasilnya lumayan.
To learn and to be...
Tuesday, May 10, 2005
X; Figuran, Y, Z
Pada suatu hari, dua anak yang tidak mampu melihat diajak pergi ke kebun binatang. Di dekat gajah, sang pemandu memisahkan kedua anak tersebut. Anak pertama memegang belalai gajah, sedangkan yang satu lagi membelai kuping gajah. Setelah puas memegang bagian dari tubuh gajah, pemandu meminta kedua anak tersebut mendefinisikan bentuk gajah.
X : “Gajah itu bentuknya seperti tabung yang panjang.”
Y : “Kalau saya tadi memegang bagian yang tipis dan lebar. Tapi itu hanya bagian kecilnya saja.”
Z : “Bagaimana kamu bisa tahu itu hanya bagian kecilnya saja, bukankah dari tadi kamu hanya merasakan bagian tipis dan lebar saja?”, tanya pemandu pada anak kedua.
Y : “Betul. Hanya saja ibu guru pernah bercerita mengenai gajah. Dalam deskripsi bu guru, gajah itu memiliki belalai yang panjang seperti tabung, dengan kuping lebar seperti kipas. Keempat kaki yang kokoh, serta ekor kecil dan diujungnya berambut.”
Z : “Mana yang lebih kamu percayai, ibu guru atau tanganmu sendiri?”
Y : “Saya mempercayai keduanya. Namun ketika tangan saya hanya mengindera bagian yang lebar dan tipis, bukan berarti saya telah menerima kenyataan secara utuh. Kenyataan memiliki berbagai hijab, salah satunya adalah keterbatasan alat. Hal itu pulalah yang sedang saya alami, karena hanya diberi kesempatan meraba satu bagian. Sebelum saya sampai kepada bagian lain, Anda telah meminta saya untuk berhenti.”
Z : “Lalu darimana kamu tahu ibu gurumu tidak berbohong?”
Y : “Sama halnya dengan persepsi akan kenyataan, mempercayai juga memiliki beberapa pendekatan. Pertama karena zatnya itu sendiri, dan yang kedua karena pembawanya. Untuk kasus bu guru, saya percaya karena kualitas yang telah ditunjukkan beliau selama mendampingi saya.”
Z : “Kalau begitu kamu akan menerima kemungkinan bahwa suatu saat kamu akan salah hanya karena terlalu percaya pada orang?”
Y : “Itu pertanyaan yang terlalu jauh. Saya mengilustrasikannya seperti ini, ada dua orang yang ditanya mengenai warna sebuah pinsil. Satu menjawab biru, sementara yang satunya lagi menjawab hijau. Perbedaan ini bisa diakibatkan dua hal, pertama perbedaan latarbelakang yang menyebabkan perbedaan persepsi mengenai warna, dan yang kedua buta warna sekunder(masih bisa mengenali beberapa jenis warna). Untuk kasus gajah, saya memilih mengandalkan persepsi yang diberikan guru saya karena alasan yang telah disebutkan, namun selain itu saya akan meraba-raba lagi untuk meyakinkan gambaran mengenai seekor gajah.”
Z : “Artinya kamu masih akan mengandalkan panca indera? Lagipula darimana kamu tahu bahwa kamu tengah menyentuh seekor gajah, dan bukan badak atau binatang lainnya?”
Y : “Saya tidak akan memungkiri, bahwa pada akhirnya saya akan mencapai titik subjektivitas, yaitu memilih apa yang saya percayai.”
Z : “Parameter apa yang kamu gunakan untuk meyakini/melakukan sesuatu?”
Y : “Hmm.. cukup banyak. Pengalaman, nurani, kehendak, dan mungkin juga kebetulan.”
Z : “Maksud kamu, tidak ada sebuah parameter baku dalam menentukan apa yang kamu lakukan?”
Y : “Tepat sekali. Misalnya ketika Anda dihadapkan pada sebuah ujian, secara akal sehat tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan antisipasi. Namun seringkali kejadiannya tidak seperti itu. Bukannya melakukan persiapan, Anda malah memilih melakukan hal lain yang menurut Anda lebih menyenangkan.”
Z : “Apakah akal sehat itu sesuai dengan fitrah?”
Y : “Apakah Anda mengaitkan pertanyaan ini dengan jawaban saya sebelumnya?”
Z : “Ya.”
Y : “Sebelum obrolan kita kian tak terarah, apa yang sebenarnya Anda maksudkan dengan fitrah?”
Z : “Manusia di titik nol, ketika manusia benar-benar membuka dirinya untuk mencari.”
Y : “Mencari kebenaran maksud Anda?”
Z : “Hmm.. secara luas mungkin arahnya kesana, tapi maksud saya apakah ada sesuatu dalam diri setiap manusia yang mengarah pada satu titik?”
Y : “Tuhan maksud Anda?”
Z : “Salah satunya. Salah lainnya adalah masalah tindakan.”
Y: “Maksud Anda, kebenaran universal yang akan diamini oleh setiap manusia dan mempengaruhi motif seseorang dalam melakukan suatu tindakan?”
Z : “Tepat sekali.”
Y : “Ada banyak contoh dimana ada kebenaran-kebenaran yang diamini secara universal. Misalnya perdamaian, keadilan, hak-hak untuk memperoleh pendidikan dan lain-lain. Nilai-nilai ini akan disepakati oleh semua orang, namun pada kenyataannya, perang tetap berkobar dimana-mana, keadilan masih sering menjadi milik penguasa semata, pendidikan lagi-lagi hanya menjadi wilayah kajian elit tertentu. Ada banyak hal yang disepakati secara makro, namun praksisnya tidak pernah terlaksana. Hal ini, menurut saya, disebabkan bahwa manusia tak selamanya berada dalam kondisi setimbang. Ketimpangan menyebabkan mereka lupa untuk melihat sisi lain dari kehidupan mereka. Misalnya seperti ini, dengan arus globalisasi, barang-barang Amerika dapat menyerbu pasar Indonesia. Alasan yang dikemukakan tentu saja baik, agar konsumen dapat memutuskan mana barang yang baik, sehingga terjadilah persaingan harga dan peningkatan mutu. Namun kenyataannya barang-barang Indonesia, seperti udang, tidak bisa masuk ke pasar Amerika dengan berbagai alasan. Hal ini mengilustrasikan bahwa dibalik nilai-nilai kebenaran yang dipaparkan, tetap saja ada permainan kekuasaan dan ‘manipulasi persepsi’ mengenai kesetaraan dan keadilan. Hal-hal yang tidak tampak inilah yang tidak terhindarkan.”
Z : “Bagaimana untuk individu?”
Y : “Begitu pula dengan individu. Kecendrungan untuk memiliki kecendrungan merupakan bagian dari manusia. Dalam kajian media, ada yang disebut dengan human-interest yang meliputi 3 hal(sensor euy, malu nyebutnya). Ketiga hal inilah yang menarik minat masyarakat untuk mengkonsumsi sebuah media.”
Z : “Apakah kecendrungan ini berkaitan dengan baik atau buruk?”
Y : “Saya yakin bahwa manusia itu memiliki petanda-petanda dalam dirinya untuk mencapai keselamatan. Kata-kata ‘Di mata pecinta yang ada hanyalah wajah Sang Kekasih,’ bagi saya bermakna hanya ada satu kebenaran.”
Z : “Wah, kamu terlalu menyufi. Saya tidak mengerti.”
Y : “Hmm... saya akan merujuk pada kisah Adam yang memakan buah terlarang. Ada yang mengaitkan peristiwa tersebut sebagai simbol bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, namun ada juga yang mengartikannya sebagai perwujudan kemanusiaan seorang manusia, yang berbeda dengan malaikat. Yang menarik dari kisah Adam bagi saya bukan ketika ia tergoda untuk memakan buah terlarang itu melainkan karena ia kemudian merasa malu dan ketakutan. Rasa bersalah menderanya, hingga ia cepat-cepat meminta ampun kepada Sang Maha Pengampun. Bagi saya, kisah tersebut menjelaskan dua hal, yaitu kecendrungan manusia untuk berkecendrungan(baca:tidak pernah puas), dan yang kedua adalah ada semacam alarm dalam diri manusia yang mengingatkan ia jika berbuat salah. Ada yang menyebut alarm tersebut dengan fitrah, namun saya lebih senang menyebutnya nurani. Kedua hal tersebut, tidak bertentangan melainkan saling melengkapi. Yang pertama mengarahkan manusia pada perubahan, baik positif maupun negatif, dan kecendrungan kedua, agar manusia tidak salah langkah.”
Z : “Apa gunanya alarm, kalau tidak dapat mencegah sesuatu terjadi?”
Y : “Alarm itu tidak hanya berbunyi setelah kejadian, melainkan juga sebelumnya. Hanya saja cara kerjanya tergantung pada masing-masing individu. Ada orang-orang yang mengasah nurani, sehingga baru kilasan pikiran saja alarm tersebut berbunyi. Namun ada juga orang-orang yang sudah kebal meski telah sampai tahap melakukan keburukan.”
Z : “Bagaimana dengan pencuri?”
Y : “Saya melihat kejahatan disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor keadaan dan yang kedua, kebiasaan. Faktor pertama, mereka menekan suara-suara kecil dalam diri mereka untuk alasan yang lebih besar. Kasus ini bagi saya terjadi pada kondisi abnormal, yaitu ada tekanan, misal kemiskinan, kebodohan. Untuk kasus yang kedua, mencuri sudah menjadi kebiasaan, sehingga diri mereka kian kebal terhadap nurani. Kelompok kedua menurut saya cocok dengan gambaran orang-orang yang telah dikunci hatinya. Dikunci ini bukan disebabkan kebencian Sang Maha Kasih, melainkan merupakan pilihan sadar individu itu sendiri.”
Z : “Jadi kamu tidak percaya ada orang jahat?”
Y : “Secara alamiah tidak, namun secara konstruksi artificial, saya percaya ada.”
Z : “Bagaimana dengan teori sosial yang menyatakan untuk membuat sebuah negara bersatu, diperlukan musuh bersama?”
Y : “Memang ada beberapa teori sosial yang menyatakan bahwa untuk mencapai sebuah kondisi ideal diperlukan sebuah paksaan. Sama halnya dengan teori punish-reward atau dalam agama ada yang disebut dengan pahala-dosa. Saya memandang konsep ini untuk menjaga manusia tetap pada kemanusiaannya. Misalnya ketika Anda sedang melintasi perempatan. Anda ingin semuanya lancar dan cepat. Untuk mencapai tujuan ini, Anda akan mendahului mobil di depan Anda dengan mencari cara agar bisa lewat secepatnya. Pikiran ini, tentu saja, dimiliki oleh semua pengguna jalan. Meski tujuannya sama, dan tidak ada maksud untuk mendzolimi pengguna jalan yang lain, namun karena ketiadaan peraturan lalu lintas menjadi kacau. Begitu pula dengan adanya peraturan-peraturan yang menyertai perjalanan hidup manusia, peraturan tersebut bukan untuk membatasi langkah manusia melainkan untuk menunjukkan manusia pada kesejatiannya.”
Z : “Nah kan, mulai mengawang-ngawang lagi.”
Y : “Maksudnya, peraturan tersebut untuk mengembalikan manusia pada jalan yang benar, dan dengan cara sederhana. Seperti ketika Anda hendak mencontek karya orang lain. Bisa saja Anda merasa tenang karena merasa tidak ada yang tahu, namun karena Anda meyakini adanya pahala-dosa, maka Anda urung melakukannya. Alasannya sederhana, Anda tidak mau dosa. Padahal selain akibat vertikal, mencontek juga bisa berpengaruh buruk bagi Anda pribadi, yaitu kemalasan berpikir, mudah menyerah dan tidak menghargai keringat orang lain.”
Z : “Kalau begitu, kamu cenderung beranggapan bahwa manusia cenderung anrkhis, jika tidak disertai peraturan?”
Y : “Kurang lebih seperti itu. Namun bukan dalam kacamata manusia cenderung pada pertikaian, melainkan lebih karena kekurangan informasi menyebabkan manusia tersesat.”
Z : “Bukankah kamu termasuk yang pro: kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain?”
Y : “Betul, dan karena alasan itulah saya membutuhkan kejelasan akan hak orang lain.”
Z : “Tidak bisakah kamu membatasinya dengan becermin pada dirimu sendiri?”
Y : “Wah, saya meyakini bahwa manusia hanya pada sampai kebenaran subjektif. Karena itu untuk tataran muamalah diperlukan batasan-batasan tertulis yang disepakati bersama. Sedangkan untuk hal-hal yang arahnya vertikal, saya meyakini hanya karena kasih dari Sang Maha Kasih-lah, manusia mampu mencintai-Nya, dengan cara misterius dan personal. Bagi saya tak semua hal bisa diterima secara mutlak, seperti ketika melihat lukisan abstrak. Yang tampak di mata saya adalah warna-warna tanpa makna, namun bagi para seniman, lukisan abstrak menyimpan emosi yang mendalam.”
Z : “Ya, saya sepakat. Seperti ‘aha experience’ yang cara kerjanya acak namun masuk akal.”
Y : “Tepat sekali. Pengalaman ‘aha experience’ berbeda bagi tiap individu. Kisah Newton dengan pohon apelnya menjadi begitu terkenal, bahkan bagi sebagian orang melebihi konsep Newtonnya sendiri. Pencerahan, atau pengalaman menjadi tahu setelah melewati proses perenungan tidak terjadi sertamerta, bagi seorang Newton, apel yang jatuh berarti gravitasi. Tapi bagi orang yang kebetulan lewat bisa jadi apel itu berarti lain, makanan misalnya. Perbedaan historis menyebabkan setiap kejadian memiliki arti yang berbeda pula bagi tiap individu, dan disanalah letak providentia Dei(penyelenggaraan Tuhan) atas doa dan harapan hamba-Nya yang sejalan dengan sunatullah yang telah ditetapkan-Nya.”
Z : “Apakah manusia cenderung untuk beragama?”
Y : “Saya tidak tahu. Tapi menurut saya manusia memiliki kecendrungan untuk bergantung pada sesuatu, itulah yang saya artikan sebagai illah dalam syahadat ilallah.”
Z : “Maksud kamu, seorang materialis pun pada dasarnya memiliki ketergantungan terhadap sesuatu?”
Y : “Jelas. Bahkan kepercayaan mereka terhadap materialisme sangat terlihat pada struktur kaku pengaturan masyarakat. Hal ini disebabkan mereka tidak mempercayai adanya sebuah kontrol diluar negara yang mengarah pada kebaikan.”
Z : “Baiklah, terimakasih atas bincang-bincangnya. Tampaknya X sudah bosan menunggu kita.”
Y : “Ya. Btw, apakah Anda mempercayai apa yang saya katakan?”
Z : “Saya tidak tahu. Mungkin saja apa yang kamu katakan mempengaruhi pikiran bawah sadar saya, atau merubah cara pandang yang selama ini saya gunakan, meski saya pribadi merasa apa yang kamu katakan tidak mempengaruhi saya.”
Y : “Kalau begitu kita sama. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu terjawab manakala tidak ditanyakan. Dan sekali pertanyaan itu sampai pada seseorang tidak ada jalan untuk kembali. Mungkin Anda teringat kisah Socrates yang dihukum mati karena pertanyaan-pertanyaannya yang meresahkan banyak orang. Bukan pemasungan berpikir yang membuat seseorang resah, melainkan kebebasan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Manusia memiliki musuh, dan musuh terbesarnya itu berasal dari dalam dirinya sendiri.”
Friday, May 06, 2005
Bahagia
Ada yang salah... aku tak tahu apa. Apa lagi-lagi aku sudah terjebak dalam sebuah ritme tanpa pemaknaan. Dunia yang tampak begitu monoton. Kehidupan yang tampak itu-itu saja. Entahlah...
Tuesday, May 03, 2005
Seneng...
Monday, May 02, 2005
Ngga Mood
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...