Tuesday, May 10, 2005

X; Figuran, Y, Z

Pada suatu hari, dua anak yang tidak mampu melihat diajak pergi ke kebun binatang. Di dekat gajah, sang pemandu memisahkan kedua anak tersebut. Anak pertama memegang belalai gajah, sedangkan yang satu lagi membelai kuping gajah. Setelah puas memegang bagian dari tubuh gajah, pemandu meminta kedua anak tersebut mendefinisikan bentuk gajah.

X : “Gajah itu bentuknya seperti tabung yang panjang.”

Y : “Kalau saya tadi memegang bagian yang tipis dan lebar. Tapi itu hanya bagian kecilnya saja.”

Z : “Bagaimana kamu bisa tahu itu hanya bagian kecilnya saja, bukankah dari tadi kamu hanya merasakan bagian tipis dan lebar saja?”, tanya pemandu pada anak kedua.

Y : “Betul. Hanya saja ibu guru pernah bercerita mengenai gajah. Dalam deskripsi bu guru, gajah itu memiliki belalai yang panjang seperti tabung, dengan kuping lebar seperti kipas. Keempat kaki yang kokoh, serta ekor kecil dan diujungnya berambut.”

Z : “Mana yang lebih kamu percayai, ibu guru atau tanganmu sendiri?”

Y : “Saya mempercayai keduanya. Namun ketika tangan saya hanya mengindera bagian yang lebar dan tipis, bukan berarti saya telah menerima kenyataan secara utuh. Kenyataan memiliki berbagai hijab, salah satunya adalah keterbatasan alat. Hal itu pulalah yang sedang saya alami, karena hanya diberi kesempatan meraba satu bagian. Sebelum saya sampai kepada bagian lain, Anda telah meminta saya untuk berhenti.”

Z : “Lalu darimana kamu tahu ibu gurumu tidak berbohong?”

Y : “Sama halnya dengan persepsi akan kenyataan, mempercayai juga memiliki beberapa pendekatan. Pertama karena zatnya itu sendiri, dan yang kedua karena pembawanya. Untuk kasus bu guru, saya percaya karena kualitas yang telah ditunjukkan beliau selama mendampingi saya.”

Z : “Kalau begitu kamu akan menerima kemungkinan bahwa suatu saat kamu akan salah hanya karena terlalu percaya pada orang?”

Y : “Itu pertanyaan yang terlalu jauh. Saya mengilustrasikannya seperti ini, ada dua orang yang ditanya mengenai warna sebuah pinsil. Satu menjawab biru, sementara yang satunya lagi menjawab hijau. Perbedaan ini bisa diakibatkan dua hal, pertama perbedaan latarbelakang yang menyebabkan perbedaan persepsi mengenai warna, dan yang kedua buta warna sekunder(masih bisa mengenali beberapa jenis warna). Untuk kasus gajah, saya memilih mengandalkan persepsi yang diberikan guru saya karena alasan yang telah disebutkan, namun selain itu saya akan meraba-raba lagi untuk meyakinkan gambaran mengenai seekor gajah.”

Z : “Artinya kamu masih akan mengandalkan panca indera? Lagipula darimana kamu tahu bahwa kamu tengah menyentuh seekor gajah, dan bukan badak atau binatang lainnya?”

Y : “Saya tidak akan memungkiri, bahwa pada akhirnya saya akan mencapai titik subjektivitas, yaitu memilih apa yang saya percayai.”

Z : “Parameter apa yang kamu gunakan untuk meyakini/melakukan sesuatu?”

Y : “Hmm.. cukup banyak. Pengalaman, nurani, kehendak, dan mungkin juga kebetulan.”

Z : “Maksud kamu, tidak ada sebuah parameter baku dalam menentukan apa yang kamu lakukan?”

Y : “Tepat sekali. Misalnya ketika Anda dihadapkan pada sebuah ujian, secara akal sehat tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan antisipasi. Namun seringkali kejadiannya tidak seperti itu. Bukannya melakukan persiapan, Anda malah memilih melakukan hal lain yang menurut Anda lebih menyenangkan.”

Z : “Apakah akal sehat itu sesuai dengan fitrah?”

Y : “Apakah Anda mengaitkan pertanyaan ini dengan jawaban saya sebelumnya?”

Z : “Ya.”

Y : “Sebelum obrolan kita kian tak terarah, apa yang sebenarnya Anda maksudkan dengan fitrah?”

Z : “Manusia di titik nol, ketika manusia benar-benar membuka dirinya untuk mencari.”

Y : “Mencari kebenaran maksud Anda?”

Z : “Hmm.. secara luas mungkin arahnya kesana, tapi maksud saya apakah ada sesuatu dalam diri setiap manusia yang mengarah pada satu titik?”

Y : “Tuhan maksud Anda?”

Z : “Salah satunya. Salah lainnya adalah masalah tindakan.”

Y: “Maksud Anda, kebenaran universal yang akan diamini oleh setiap manusia dan mempengaruhi motif seseorang dalam melakukan suatu tindakan?”

Z : “Tepat sekali.”

Y : “Ada banyak contoh dimana ada kebenaran-kebenaran yang diamini secara universal. Misalnya perdamaian, keadilan, hak-hak untuk memperoleh pendidikan dan lain-lain. Nilai-nilai ini akan disepakati oleh semua orang, namun pada kenyataannya, perang tetap berkobar dimana-mana, keadilan masih sering menjadi milik penguasa semata, pendidikan lagi-lagi hanya menjadi wilayah kajian elit tertentu. Ada banyak hal yang disepakati secara makro, namun praksisnya tidak pernah terlaksana. Hal ini, menurut saya, disebabkan bahwa manusia tak selamanya berada dalam kondisi setimbang. Ketimpangan menyebabkan mereka lupa untuk melihat sisi lain dari kehidupan mereka. Misalnya seperti ini, dengan arus globalisasi, barang-barang Amerika dapat menyerbu pasar Indonesia. Alasan yang dikemukakan tentu saja baik, agar konsumen dapat memutuskan mana barang yang baik, sehingga terjadilah persaingan harga dan peningkatan mutu. Namun kenyataannya barang-barang Indonesia, seperti udang, tidak bisa masuk ke pasar Amerika dengan berbagai alasan. Hal ini mengilustrasikan bahwa dibalik nilai-nilai kebenaran yang dipaparkan, tetap saja ada permainan kekuasaan dan ‘manipulasi persepsi’ mengenai kesetaraan dan keadilan. Hal-hal yang tidak tampak inilah yang tidak terhindarkan.”

Z : “Bagaimana untuk individu?”

Y : “Begitu pula dengan individu. Kecendrungan untuk memiliki kecendrungan merupakan bagian dari manusia. Dalam kajian media, ada yang disebut dengan human-interest yang meliputi 3 hal(sensor euy, malu nyebutnya). Ketiga hal inilah yang menarik minat masyarakat untuk mengkonsumsi sebuah media.”

Z : “Apakah kecendrungan ini berkaitan dengan baik atau buruk?”

Y : “Saya yakin bahwa manusia itu memiliki petanda-petanda dalam dirinya untuk mencapai keselamatan. Kata-kata ‘Di mata pecinta yang ada hanyalah wajah Sang Kekasih,’ bagi saya bermakna hanya ada satu kebenaran.”

Z : “Wah, kamu terlalu menyufi. Saya tidak mengerti.”

Y : “Hmm... saya akan merujuk pada kisah Adam yang memakan buah terlarang. Ada yang mengaitkan peristiwa tersebut sebagai simbol bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, namun ada juga yang mengartikannya sebagai perwujudan kemanusiaan seorang manusia, yang berbeda dengan malaikat. Yang menarik dari kisah Adam bagi saya bukan ketika ia tergoda untuk memakan buah terlarang itu melainkan karena ia kemudian merasa malu dan ketakutan. Rasa bersalah menderanya, hingga ia cepat-cepat meminta ampun kepada Sang Maha Pengampun. Bagi saya, kisah tersebut menjelaskan dua hal, yaitu kecendrungan manusia untuk berkecendrungan(baca:tidak pernah puas), dan yang kedua adalah ada semacam alarm dalam diri manusia yang mengingatkan ia jika berbuat salah. Ada yang menyebut alarm tersebut dengan fitrah, namun saya lebih senang menyebutnya nurani. Kedua hal tersebut, tidak bertentangan melainkan saling melengkapi. Yang pertama mengarahkan manusia pada perubahan, baik positif maupun negatif, dan kecendrungan kedua, agar manusia tidak salah langkah.”

Z : “Apa gunanya alarm, kalau tidak dapat mencegah sesuatu terjadi?”

Y : “Alarm itu tidak hanya berbunyi setelah kejadian, melainkan juga sebelumnya. Hanya saja cara kerjanya tergantung pada masing-masing individu. Ada orang-orang yang mengasah nurani, sehingga baru kilasan pikiran saja alarm tersebut berbunyi. Namun ada juga orang-orang yang sudah kebal meski telah sampai tahap melakukan keburukan.”

Z : “Bagaimana dengan pencuri?”

Y : “Saya melihat kejahatan disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor keadaan dan yang kedua, kebiasaan. Faktor pertama, mereka menekan suara-suara kecil dalam diri mereka untuk alasan yang lebih besar. Kasus ini bagi saya terjadi pada kondisi abnormal, yaitu ada tekanan, misal kemiskinan, kebodohan. Untuk kasus yang kedua, mencuri sudah menjadi kebiasaan, sehingga diri mereka kian kebal terhadap nurani. Kelompok kedua menurut saya cocok dengan gambaran orang-orang yang telah dikunci hatinya. Dikunci ini bukan disebabkan kebencian Sang Maha Kasih, melainkan merupakan pilihan sadar individu itu sendiri.”

Z : “Jadi kamu tidak percaya ada orang jahat?”

Y : “Secara alamiah tidak, namun secara konstruksi artificial, saya percaya ada.”

Z : “Bagaimana dengan teori sosial yang menyatakan untuk membuat sebuah negara bersatu, diperlukan musuh bersama?”

Y : “Memang ada beberapa teori sosial yang menyatakan bahwa untuk mencapai sebuah kondisi ideal diperlukan sebuah paksaan. Sama halnya dengan teori punish-reward atau dalam agama ada yang disebut dengan pahala-dosa. Saya memandang konsep ini untuk menjaga manusia tetap pada kemanusiaannya. Misalnya ketika Anda sedang melintasi perempatan. Anda ingin semuanya lancar dan cepat. Untuk mencapai tujuan ini, Anda akan mendahului mobil di depan Anda dengan mencari cara agar bisa lewat secepatnya. Pikiran ini, tentu saja, dimiliki oleh semua pengguna jalan. Meski tujuannya sama, dan tidak ada maksud untuk mendzolimi pengguna jalan yang lain, namun karena ketiadaan peraturan lalu lintas menjadi kacau. Begitu pula dengan adanya peraturan-peraturan yang menyertai perjalanan hidup manusia, peraturan tersebut bukan untuk membatasi langkah manusia melainkan untuk menunjukkan manusia pada kesejatiannya.”

Z : “Nah kan, mulai mengawang-ngawang lagi.”

Y : “Maksudnya, peraturan tersebut untuk mengembalikan manusia pada jalan yang benar, dan dengan cara sederhana. Seperti ketika Anda hendak mencontek karya orang lain. Bisa saja Anda merasa tenang karena merasa tidak ada yang tahu, namun karena Anda meyakini adanya pahala-dosa, maka Anda urung melakukannya. Alasannya sederhana, Anda tidak mau dosa. Padahal selain akibat vertikal, mencontek juga bisa berpengaruh buruk bagi Anda pribadi, yaitu kemalasan berpikir, mudah menyerah dan tidak menghargai keringat orang lain.”

Z : “Kalau begitu, kamu cenderung beranggapan bahwa manusia cenderung anrkhis, jika tidak disertai peraturan?”

Y : “Kurang lebih seperti itu. Namun bukan dalam kacamata manusia cenderung pada pertikaian, melainkan lebih karena kekurangan informasi menyebabkan manusia tersesat.”

Z : “Bukankah kamu termasuk yang pro: kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain?”

Y : “Betul, dan karena alasan itulah saya membutuhkan kejelasan akan hak orang lain.”

Z : “Tidak bisakah kamu membatasinya dengan becermin pada dirimu sendiri?”

Y : “Wah, saya meyakini bahwa manusia hanya pada sampai kebenaran subjektif. Karena itu untuk tataran muamalah diperlukan batasan-batasan tertulis yang disepakati bersama. Sedangkan untuk hal-hal yang arahnya vertikal, saya meyakini hanya karena kasih dari Sang Maha Kasih-lah, manusia mampu mencintai-Nya, dengan cara misterius dan personal. Bagi saya tak semua hal bisa diterima secara mutlak, seperti ketika melihat lukisan abstrak. Yang tampak di mata saya adalah warna-warna tanpa makna, namun bagi para seniman, lukisan abstrak menyimpan emosi yang mendalam.”

Z : “Ya, saya sepakat. Seperti ‘aha experience’ yang cara kerjanya acak namun masuk akal.”

Y : “Tepat sekali. Pengalaman ‘aha experience’ berbeda bagi tiap individu. Kisah Newton dengan pohon apelnya menjadi begitu terkenal, bahkan bagi sebagian orang melebihi konsep Newtonnya sendiri. Pencerahan, atau pengalaman menjadi tahu setelah melewati proses perenungan tidak terjadi sertamerta, bagi seorang Newton, apel yang jatuh berarti gravitasi. Tapi bagi orang yang kebetulan lewat bisa jadi apel itu berarti lain, makanan misalnya. Perbedaan historis menyebabkan setiap kejadian memiliki arti yang berbeda pula bagi tiap individu, dan disanalah letak providentia Dei(penyelenggaraan Tuhan) atas doa dan harapan hamba-Nya yang sejalan dengan sunatullah yang telah ditetapkan-Nya.”

Z : “Apakah manusia cenderung untuk beragama?”

Y : “Saya tidak tahu. Tapi menurut saya manusia memiliki kecendrungan untuk bergantung pada sesuatu, itulah yang saya artikan sebagai illah dalam syahadat ilallah.”

Z : “Maksud kamu, seorang materialis pun pada dasarnya memiliki ketergantungan terhadap sesuatu?”

Y : “Jelas. Bahkan kepercayaan mereka terhadap materialisme sangat terlihat pada struktur kaku pengaturan masyarakat. Hal ini disebabkan mereka tidak mempercayai adanya sebuah kontrol diluar negara yang mengarah pada kebaikan.”

Z : “Baiklah, terimakasih atas bincang-bincangnya. Tampaknya X sudah bosan menunggu kita.”

Y : “Ya. Btw, apakah Anda mempercayai apa yang saya katakan?”

Z : “Saya tidak tahu. Mungkin saja apa yang kamu katakan mempengaruhi pikiran bawah sadar saya, atau merubah cara pandang yang selama ini saya gunakan, meski saya pribadi merasa apa yang kamu katakan tidak mempengaruhi saya.”

Y : “Kalau begitu kita sama. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu terjawab manakala tidak ditanyakan. Dan sekali pertanyaan itu sampai pada seseorang tidak ada jalan untuk kembali. Mungkin Anda teringat kisah Socrates yang dihukum mati karena pertanyaan-pertanyaannya yang meresahkan banyak orang. Bukan pemasungan berpikir yang membuat seseorang resah, melainkan kebebasan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Manusia memiliki musuh, dan musuh terbesarnya itu berasal dari dalam dirinya sendiri.”

1 comment:

za said...

TA...TA...tulis TA....tulis TA....

:P

Baca...baca...baca....baca buku MATH.

:P

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...