Monday, May 30, 2005

Simbol, Perempuan dan Budaya Pop

Kemarin saya membaca sebuah selebaran gelap mengenai Miss Universe dan Korupsi. Hal menarik dari tulisan orang iseng(beliau menyebut dirinya sebagai orang iseng) tersebut adalah pendekatan simbolik yang digunakannya. Dari tulisan yang saya baca sekilas tersebut, saya menilai orang tersebut melihat aksi anti-Miss Universe sebagai sesuatu yang absurd. Tapi kalau melihat realitas sekarang, saya memang melihat bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat simbol. Mulai dari urban-culture yang dominan dengan simbol-simbol baju, warna dan aksesoris, perayaan-perayaan, idol, serta simbol-simbol yang terkait dengan nilai, norma serta agama.

Apakah simbol merupakan suatu yang yang mutlak keberadaannya? Bagi saya jawabannya adalah ya. Merujuk pada kisah-kisah peperangan, ketika para pembawa panji mempertahankan apa yang telah diamanahkan kepada mereka sampai titik darah penghabisan. Bisa saja panji itu mereka letakkan, kemudian tangan mereka dengan leluasa menggunakan pedang untuk berjuang penuh. Tapi dalam sebuah masyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah simbol yang mempengaruhi perilaku/tindakan seseorang. Kasus lain, ketika dalam perang Uhud terdengar kabar mengenai kematian Rasulullah, para sahabat langsung kehilangan semangat untuk bertempur. Belakangan diketahui yang syahid adalah Mush’ab, dengan panji di dada. Kalau ditanya, untuk siapa seseorang berperang, pasti jawabannya mengharap keridhoan Allah semata. Namun tetap saja seseorang memerlukan sosok yang dapat dijadikan pemicu semangat/teladan, meski hanya sampai tingkat tertentu.

Itu pula yang terjadi dengan pengiriman Putri Indonesia ke ajang Kontes Ratu Sejagat di Bangkok. Ada permainan simbol, antara nilai-nilai yang acapkali disebut budaya Timur, norma agama, khususnya Islam, yang dibenturkan dengan realitas. Tak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia pun sudah ada yang berani memasang adegan berbaju minim. Apalagi tabloid-tabloid kuning yang terang-terangan menggunakan perempuan sebagai komoditas. Dengan kondisi seperti itu, ada yang berpendapat pelarangan Putri Indonesia hanya sebuah usaha sia-sia, bahkan munafik. Di dalam negeri sendiri, baju minim sudah menjadi hal yang bisa dengan mudah ditemui, kenapa ajang yang salah satu bagiannya menampilkan pakaian renang bisa ditentang sedemikian keras, serta memicu terjadinya aksi protes?

Dalam budaya massa, ada alat-alat perpanjangan tangan penguasa, salah satunya adalah idol. Artika yang mewakili YPI, selain membawa simbol-simbol Indonesia, juga menjadi sorotan publik. Karena sudah berbicara di wilayah publik inilah kehadiran wakil dari Indonesia menjadi bermasalah, khususnya jika ditilik dari pengaruhnya terhadap paradigma masyarakat Indonesia. Perubahan ini terjadi dalam meletakkan batasan terhadap keterbukaan, dan memancing terjadinya ajang-ajang sejenis. Meski para penyelenggara acara tersebut mengatakan bahwa yang ditekankan adalah 3B(brain, beauty, behaviour), namun tetap saja yang menjadi objeknya adalah perempuan. Berlenggak-lenggok di atas catwalk disaksikan ratusan hingga ribuan pasang mata, layaknya barang dagangan. Dengan menjamurnya ajang-ajang sejenis, perempuan akan terbiasa melihat dirinya sebagai objek, dan bukan subjek yang mampu mengatur kehidupannya sendiri.

Secara tidak sadar, perempuan-perempuan akan mempersepsikan dirinya sebagai objek pelengkap, masyarakat kelas dua. Bagaimana tidak, nyaris semua iklan yang berhubungan dengan penampilan perempuan(rambut, kulit putih, pembersih muka, sabun) menampilkan laki-laki sebagai fokus. Sebuah produk dinilai berhasil jika bisa merubah nasib perempuan yang tadinya tidak menarik perhatian lawan jenisnya menjadi incaran. Meski ada beberapa iklan produk laki-laki yang menggunakan formula serupa(karena sekarang banyak pria metroseksual), namun jumlahnya relatif lebih kecil. Tidak hanya iklan, reality show yang kini menjadi primadona di sejumlah televisi swasta, juga sering memasang perempuan sebagai objek, seperti Joe Millionere Indonesia(gila.. kenapa ada versi Indonesia segala sihL).

Keadaan ini seolah ingin membenarkan pendapat Aristoteles: “perempuan tidak hanya sebagai subordinat karena keharusan sosial, tetapi secara lahiriah dan biologis ia inferior, baik dalam kapasitas fisik maupun mental-dan dengan demikian dikehendaki oleh alam-untuk posisi yang patuh.”[Laela Ahmed, Women and Gender in Islam]. Lalu apa gunanya perjuangan Kartini untuk memperoleh pendidikan yang setara, kalau persepsi perempuan Indonesia masih sebagai objek pelengkap?

Apakah pendidikan merupakan hal yang positif? Saya yakin semua orang akan sepakat menjawab ya. Namun dalam realitas sehari-hari, siapa yang berperan sebagai guru, sosok yang digugu dan ditiru? Seseorang yang menjelaskan materi pelajaran di depan kelas formal, dan karena telah menjadi kesepakatan umum maka disebut guru, atau sinetron-sinetron remaja lengkap dengan aksesoris muda-nya? Melihat fenomena yang ada, saya berpendapat, sinetron lebih berperan dalam membentuk gaya hidup remaja dibandingkan sosok guru formal, bahkan kadang orangtua.

Kecendrungan ini bagi saya negatif. Tapi untuk para produsen, ataupun insan yang terkait dengan industri hiburan, saya yakin memiliki pandangan bertolak belakang. Industri hiburan telah menjadi industri besar yang akan menyilaukan siapa saja. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat mengikuti kontes-kontes populeritas, semacam Indonesian Idol, AFI, dll. Meski dalam daftar reality show saya, kontes-kontes bakat masil lebih positif dibandingkan kontes Joe Millionere, namun saya takut bahwa masyarakat, khususnya perempuan akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang ingin populer, dilihat orang, ingin dipuji dlsb. Tidak tulus, dan berujung pada kehilangan identitasnya sebagai seorang perempuan dengan segala keistimewaannya.

Dari fenomena yang ada, saya jadi bertanya-tanya, kenapa selalu perempuan? Kenapa perempuan yang selalu menjadi objek, apakah ada pengaruh dari cara pandang patriarkis, konstruksi sosial hingga pendidikan yang saya baca masih sering timpang, atau memang ada keunikkan dalam diri perempuan yang mengharuskan adanya perbedaan penyikapan?

7 comments:

Anonymous said...

karena Ia telah menjadikan perempuan itu indah...

-fadil-

ikram said...

"....Kenapa perempuan yang selalu menjadi objek, apakah ada pengaruh dari cara pandang patriarkis, konstruksi sosial hingga pendidikan yang saya baca masih sering timpang..."

Sekali ini yang harus dipersalahkan (kalau mau) adalah Artika Sari Dewi-nya sendiri. Kan orangnya pintar, kenapa mau jadi objek?

Mungkin dia pikir dia jadi subjek :)

Btw, ada dimana selebarannya Yut, pengen baca. Gua pengen jadi komentator selebaran gelap aja ah.

Cheshire cat said...

Gw baca di bekas deket gedung TPB, Kram. Judulnya kalau ngga salah, Miss Universe dan Korupsi.

Cheshire cat said...

O iya tambahan... masa kalau mau mempersalahkan Artika-nya. Nggalah, dia mau ikut kan karena konstruksi sosial juga. Lihat aja ketua yayasan YPI, laki-laki, trus yang mensponsori Miss Universe, Donald Trump. Perempuan memang menjadi objek eksploitasi yang enak karena dalam buku Mars dan Venus juga sering dibilang, perempuan senang diperhatikan dan menjadi pusat perhatian. Hal itulah yang diekspoitasi dan dijadikan komoditas.

Anonymous said...

yaah... puteri indonesia kan juga kudunya mikir...apalagi pak wardiman itu lho!! :( trus sedih deh pas tau tahapan seleksinya...

yang jelas kita punya pr besar untuk 'mencerdaskan' perempuan.. cerdas sebenar kata siti ;p

-mita-

Anonymous said...

Hehe.. kan Putri Indonesianya udah memenuihi kualifikasi 3B. Pasti udah pinterlah. Di salah satu tabloid hiburan saya baca, Artika malah sudah mempersiapkan diri menuju kontes ini, dengan rajin ke spa, mengurus diri, belajar yang banyak dll. Artinya, dia emang secara sukarela pergi ke ajang MU. Gila?! ya ngga jugalah, nyaris mimpi semua gadis jadi putri cantik. Trus masa mau disalahin juga? Kalau masih mau main slah-salahan, kayanya gara2 konstruk sosial.

-yuti-

Anonymous said...

yuti saya ikutan yak,
bagi saya satu perempuan cerdas dalam hidup saya udah cukup. untuk tiap satu posisi uniq dalam cerita hidup saya. sejauh ini di mata saya, perempuan sudah cerdas kok._>

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...