Tadi pagi saya mencoba mengingat-ingat potongan Siroh yang pernah saya dapatkan di SMA. Karena tidak yakin, saya buka-buka lagi buku Siroh Nabawiyah dan Muhammad Sang Nabi-nya Karen Armstrong. Meski yang terakhir seringkali disebut sebagai orientalis, namun saya menemukan sebuah kemiripan antar keduanya. Buku pertama menceritakan detil dengan pendekatan orang yang berada di dalam sistem Islam, sedangkan buku kedua lebih memposisikan diri sebagai pengamat. Siroh Nabawiyah, mengikutsertakan banyak hadits serta ayat-ayat untuk memvalidasi kisah-kisah yang ada. Menyatukan kepingan-kepingan cerita menjadi sebuah sejarah yang utuh, sedangkan buku Karen Armstrong berangkat dari fenomena yang ada sekarang, terutama dari cara pandang Barat melihat Islam. Meski demikian keduanya memiliki benang merah yang sama, yaitu kecintaan terhadap Rasulullah.
Menarik, sekaligus menyadarkan saya pada satu hal, Islam sebagai agama yang syumul’. Bukan sesuatu hal baru sebenarnya, bahkan nyaris semua materi yang berkaitan dengan Islam selalu menegaskan bahwa Islam adalah agama kaffah(melingkupi seluruh aspek kehidupan). Namun kadang penjelasan yang saya peroleh tidak cukup, atau lebih tepatnya saya sedang dalam kondisi meragukan segala sesuatu. Akibatnya, jalan kebenaran menggunakan logika yang disarankan oleh teman menjadi absurd, begitu pula beberapa buku yang saya pinjam baru-baru ini. Semuanya menawarkan alasan-alasan yang acapkali saya temui, namun sayangnya tidak memberi jawaban yang selama ini saya cari. Akhirnya saya menggunakan pendekatan sejarah dan tafsir. Ada yang berpendapat, Siroh merupakan salah satu kunci untuk memahami bagian-bagian praksis yang menimbulkan kontroversi. Mungkin benar juga, yang jelas membaca tafsir dan siroh membuat saya merasa nyaman.
“Sesungguhnya Kami telah memaparkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir dan dipikullah oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan amat bodoh, sehingga kesudahannya Allah menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 33:72-73)
Ayat 72 dari surat al-Ahzab termuat dalam buku Armstrong ketika membahas mengenai Perang Suci. Konteks ayat itu dalam tulisan Armstrong adalah mengenai kehendak bebas. Tuhan digambarkan tengah menawarkan kebebasan kepada semua makhluk-Nya, namun mereka menolak. Hanya manusia yang memiliki keberanian untuk menerimanya [Armstrong, Muhammad Sang Nabi, h.235]. Sedangkan dalam tafsir al-Mishbah, disebutkan: “Thabathaba’i menjawab bahwa kezaliman dan kebodohan walaupun keduanya merupakan sesuatu yang buruk dan mengundang kecaman terhadap pelakunya, tetapi keduanya itu juga merupakan sebab yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat(beban Ilahiah) itu, karena sifat kezaliman dan kebodohan, hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat menyandang sifat adil dan ilmu.”[Quraish Shihab, Tafsir Mishbah Vol.11, h.334-335]. Quthub menyebutkan bahwa dengan adanya kelebihan dan kekurangan(zhaluman dan jahalun) manusia tersebut, kalau manusia berhasil memikulnya, maka sungguh manusia mencapai maqam yang mulia sebuah kedudukan yang sangat unik di antara makhluk-makhluk Allah.
Dari beberapa pendapat diatas, saya menarik kesimpulan bahwa manusia memang memiliki potensi untuk menerima amanah. Hanya saja potensi ini memiliki dua sisi, baik dan buruk. Keberadaan dua sisi ini pulalah yang menyebabkan manusia memerlukan petunjuk jalan yang akan mengembalikan mereka pada Sang Maha Absolut. Berbeda dengan langit, bumi dan gunung-gunung yang hanya bisa patuh(dalam tafsir al-Mishbah, maksud penolakan makhluk-makluk tersebut adalah karena ketiadaan potensi untuk menanggung amanah), manusia memiliki kehendak bebas, yang menyebabkan kemungkinan terjadinya banyak kesalahan.
Pertanyaannya kemudian, apakah manusia menyadari bahwa dirinya bodoh? Saya yakin tidak ada orang yang merasa dirinya bodoh. Meski Socrates pernah berkata, “Satu-satunya yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa,” bagi saya pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa beliau mengakui dirinya sebagai orang bodoh. Bahkan seseorang yang mengetahui keadaan dirinya, merupakan orang yang cerdas. Bukankah sebelum memahami hal-hal lain, seseorang seharusnya mengenal dirinya terlebih dahulu?
Mungkin pendekatannya kemudian harus dibalik, siapa saja yang merasa dirinya pintar sebenarnya adalah orang bodoh. Pertama, karena ia telah menutup dirinya dengan hijab kesombongan, dan kedua, karena ilmu manusia hanya seperti setetes air di lautan luas. Dengan pandangan mungkin kebodohan menjadi suatu hal yang sederhana, yaitu tertutupnya seseorang dari kebenaran. Ketika seseorang merasa dirinya sudah tidak bermasalah padahal keadaan sesungguhnya mengatakan sebaliknya. Saya jadi teringat obrolan dengan teh Meri(salah seorang akhwat yang saya kagumi) ketika menemani beliau mengunjungi daerah longsor.
“Sebenarnya banyak desa yang potensial dan bisa digarap. Hanya saja penduduk desanya hanya produktif di masa panen, sekitar setengah tahun. Sedangkan sisa setengah tahunnya mereka gunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Seharusnya mereka bisa mencari tanaman yang saling bergantian masa panennya.”
“Jadi, sebenarnya Indonesia ngga parah-parah amat ya teh?”(gara-gara kebanyakan mengikuti berita korupsi, politik dll, pandangan saya tentang Indonesia berputar-putar dimasalah seperti itu terus)
“Sebenarnya mampu bangkit, asal ada pembinaan pada pelosok-pelosok daerah yang menyimpan banyak potensi.”
Dalam artikel yang saya baca mengenai kemajuan negeri Cina, saya menemukan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa terletak pada karakter manusianya. Setelah kekacauan pasca Revolusi Kebudayaan, Cina sempat porak-poranda. Namun berkat revolusi di bidang pendidikan yang melibatkan 1,3 milyar manusia, Cina berhasil menjadi negara yang ditakuti, bahkan oleh negara sekaliber Amerika Serikat. Indonesia pun pernah terkena dampak yang cukup fatal dari bangkitnya Cina, yaitu gulung tikarnya industri tekstil akibat membanjirnya produk dari Cina. Namun pernah juga memperoleh sisi positif, yaitu ketika Cina menjamin akan mem-backing Indonesia pada krisis moneter tahun 1998.
Dari kasus di atas, saya melihat ada yang lebih parah dari kebodohan, yaitu orang-orang yang membiarkan kebodohan terus berlangsung. Kata-kata Ali bin Abi Thalib menjadi begitu relevan: “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang terorganisir.” Merujuk pada kata-kata Ali r.a, keadaan yang terjadi di Indonesia sekarang lebih banyak disebabkan oleh adanya orang-orang yang terus melanggengkan kebodohan. Entah dengan karena tidak memiliki kapabilitas yang cukup, atau memang berniat untuk terus melanggengkan kekuasaan yang mereka miliki dengan cara-cara pembodohan bangsa.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah tidak ada manusia cerdas(sebagai anti dari bodoh) yang baik, atau semuanya kalah melawan kecerdasan jahat yang terorganisir? Kalau manusia dipandang secara biner, bodoh-tidak bodoh(baca: cerdas), baik-tidak baik(jahat), maka masuk dalam kategori apakah Indonesia sekarang: cerdas-jahat, bodoh-baik, cerdas-baik, bodoh-jahat?
No comments:
Post a Comment