Apakah Saya Sekuler?
Secara pribadi, saya akan menjawab tidak. Yah, setidaknya dari pemahaman yang saya miliki. Namun belakangan ini pertanyaan itu kerap menghantui saya. Alasannya sederhana, saya memandang ibadah mahdhoh sebagai urusan privat. Di sisi lain, saya berkeyakinan agama/petunjuk jalan sebagai sesuatu yang integral, jadi pertanyaannya bagaimana mungkin saya bisa memisahkan ibadah mahdoh dengan ibadah ghairu mahdhoh kalau keduanya merupakan satu kesatuan?
Sudut #1:Privat vs Publik. Saya berpandangan segala hal yang berbau pencarian, pencerahan, kesadaran, kearifan berasal dari dalam individu dan tentu saja atas seizin-Nya. Karena pandangan seperti itu, sangat sulit untuk mencapai sebuah kemurnian hubungan dengan Sang Khalik kalau ada pihak-pihak lain yang turut terlibat. Bukankah ketika berbicara dalam wilayah personal, semuanya kembali pada masalah niat dan keikhlasan? Hanya saja, kalau saya masih mau menggunakan pandangan bahwa jalan hidup merupakan sesuatu yang integral maka saya harus mengembalikan semuanya sebagai wilayah yang bisa diusik, pun jika awalnya hanya karena sebuah keterpaksaan.
Sebagai sesuatu yang syumul/menyeluruh, agama menuntun manusia pada kebenaran. Artinya, tanpa agama manusia hidup dalam kondisi yang tidak utuh, pincang. Kemarin saya memperoleh cerita tentang keadaan di Eropa yang sampai pada suatu titik, dimana tingkat sakit jiwanya meningkat tajam, meski secara materi mereka berkecukupan. Hal serupa saya peroleh ketika membaca buku High Tech High Touch, masyarakat beralih dari satu tren ke tren untuk memenuhi kekosongan yang ada dalam diri mereka. Tak sedikit yang beralih kepada hal-hal spiritual dan nilai-nilai tradisi yang telah mereka tinggalkan. Adanya ketimpangan ini, dengan hipotesis awal bahwa manusia memang pada hakekatnya membutuhkan keseimbangan ruh dan jiwa, bisa diperkirakan akan terjadi. Hal ini pula yang kemudian membuat saya berpikir ulang mengenai hubungan antara ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhoh di tataran publik.
Ditilik dari konstruksi sosial. Disadari ataupun tidak, khususnya dalam konteks ketimuran, agama selalu ditempatkan dalam wilayah sakral, dogmatis dan kebenarannya bersifat absolut. Dengan keadaan seperti itu, kesadaran seseorang dikendalikan oleh kontrol sosial. Nilai-nilai yang menyatakan sesuatu benar/salah, baik/benar lebih berperan dalam keputusan seseorang mengambil tindakan dibandingkan kesadaran yang berasal dari pencarian individu akan hakekat dirinya. Hal ini saya pandang mirip dengan kondisi budaya massa, dimana massa digiring oleh sebuah kepentingan dengan manipulasi persepsi lewat iklan, perayaan, idol dlsb.
Kalau ditanya apakah saya sepakat atau tidak, jawabannya tergantung. Dilihat dari kondisi masyarakat saat ini, saya memandang budaya tandingan lebih diperlukan. Saya tak memungkiri bahwa budaya tandingan memiliki kelemahan, yaitu lagi-lagi bisa menyebabkan manusia teralienasi dari dirinya, tapi anggap saja ini seperti Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan(P3K) yang berfungsi untuk menghambat dampak yang lebih parah lagi.
Hal ini kemudian saya coba tarik dalam mengkaji budaya tandingan. Meski ada teman yang tidak setuju dengan pendekatan ini, namun saya mencoba menghampirinya dengan pembuktian terbalik. Artinya, selama individu-individu yang tergabung mengikuti budaya tandingan ini tidak teralienasi dengan dirinya sendiri, maka budaya tandingan ini telah berhasil mengajak seseorang pada kebaikan. Parameternya bagi saya sederhana, konsistensi, perilaku dan pengaruhnya bagi alam semesta(rahmatan ‘lil alamin). Tentu saja, setelah tahap massa diperlukan tahap lanjutan, yaitu pembersihan diri. Yang dilakukan dengan de-konstruksi, yaitu pembersihan dari segala hal yang berbau ikut-ikutan, ingin memperoleh kedudukan, aktualisasi diri kemudian mere-konstruksi posisi kita sebagai abd’ sekaligus khalifah.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, keberhasilan metode ini ditandai dengan tidak terasingnya seseorang dengan dirinya sendiri. Karena itu keberhasilan metode ini berbeda untuk tiap-tiap individu, ada yang cocok dan ada juga yang menyebabkan seseorang terasing. Hanya saja ketika metode ini dimasukkan dalam pembahasan mengenai gerakan, maka yang keluar adalah pembahasan mengenai efektivitas dan efisiensi. Harap dicatat, efektivitas dan efisiensi disini tidak menggunakan paradigma positivis, melainkan menyangkut aspek-aspek yang menyeluruh. Sehingga meski ada beberapa kekurangan, yang diperhitungkan adalah memperoleh kebaikan sebanyak mungkin dengan kesalahan seminimalnya.
Sudut #2: Universalitas. Melihat fenomena di gerakan kemahasiswaan, massa pada umumnya memiliki kecendrungan terhadap ideologi tertentu. Tapi ini masih bisa diperdebatkan karena saya hanya mengamatinya sepintas lalu, tanpa ada penelitian lebih lanjut. Dari fenomena ini saya berpikir, apakah masalah sosial-kemasyarakatan memang tidak menarik, dan keterlibatan massa dengan kecendrungan ideologi tertentu pada gerakan kemahasiswaan disebabkan adanya sebuah cita-cita yang melampai gerakan yang ada, atau memang sistem SKS yang ada sekarang membuat semua gerakan kemahasiswaan melempem?
Kalau dibandingkan dengan keadaan pada awal tahun 1980-an, pasca pemberlakuan NKK/BKK, aktivitas kemahasiswaan beralih dari kampus ke masjid-masjid, LSM serta banyak pula yang mengikuti program beasiswa ke LN yang era itu cukup gencar dibuka. Sedangkan sekarang, menurut pengamatan saya, yang cukup lantang bersuara adalah mahasiswa-mahasiswa dari kemahasiswaan terpusat, serta beberapa elemen ekstra kampus yang umurnya relatif muda.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemberantasan korupsi, peradilan yang transparan, pemenuhan janji-janji yang dilontarkan semasa kampanye, pendidikan untuk semua(khususnya tingkat SD dan SMP), merupakan suatu hal yang disepakati oleh semua orang atau hanya segelinitir saja? Kalau memang disepakati secara universal, mengapa pergerakan kini hanya memunculkan satu wajah? Atau wajah-wajah lain yang biasanya suka menjadi oposan di wilayah kemahasiswaan sebenarnya memiliki kepentingan-kepentingan lain dibalik protesnya terhadap sebuah kebijakan?
Dalam kerangka universalitas, saya beranggapan bahwa manusia pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang disepakati secara mutlak. Dengan bahasa apapun nilai-nilai itu diungkapkan bagi saya tidak masalah. Namun kemudian ada pertanyaan lagi yang memenuhi benak saya, apakah dengan universalitas tersebut seseorang bisa mencapai kesejatiannya? Lalu apa yang disebut dengan universal itu, ketundukkan pada Sang Maha Absolut lengkap dengan tata cara untuk mencapai-Nya, ataukah universal adalah sebuah nilai-nilai yang sebatas bersifat duniawi, sehingga untuk mencapai keselamatan dunia-akhirat diperlukan petunjuk yang akan menggenapi pencarian manusia akan kebenaran?
Setelah mblunder kemana-mana, saya masih tetap belum menemukan jawaban, apakah karakter seseorang bisa dibentuk jika dilakukan sebuah cara-cara artificial tertentu dalam skala mikro? Atau sebagaimana yang saya pahami selama ini, manusia itu unik, masing-masing individu memiliki caranya sendiri untuk mencapai-Nya.
3 comments:
Kerangka mereka itu (orang barat dan sekuler) adalah materialisme. Kalau kerangka itu belum hilang/diganti/dienyahkan, akibatnya begini...
Hmm.. mungkin saya agak terpengaruh masa kecil tinggal di daerah muslim minoritas, jadi pandangannya masih agak tercampur aduk:D
Sama. Kadang suka mikir seperti kamu Ti. "Apakah saya sekuler?", tentu tidak adalah jawaban yang segera keluar.
Baca detailnya nanti ya.........
Post a Comment