Tuesday, June 28, 2005
Perhatian!!!
Awalnya aku hanya berniat jalan-jalan plus lihat-lihat. Tapi entah kenapa, setiap kali berhadapan dengan buku, aku selalu gagal mempertahankan dompetku tetap utuh. Entah karena ada kata-kata diskon, atau suara-suara, "Kalau ngga sekarang, kapan lagi." Pertahanan runtuh, dan nyaris ngga bisa balik ke Bandung gara-gara uangnya udah abis di pameran. Kalau dikurangi ongkos karcis kereta dan biaya naik trans Jakarta, uangku tinggal lima ribu perak.
Parah banget, abis baru pertama kali ini aku ngeliat Mizan ngasih diskon sampai 60%, belum lagi KPG yang menjual buku dengan nominal sepuluh ribu rupiah. Kedua penerbit itu, dalam pengalamanku, termasuk kelompok yang paling kecil ngasih diskon. Di salah satu buku mengenai manusia, memperoleh hasil semaksimal mungkin dengan resiko yang kecil merupakan kecendrungan manusia. Gara-gara itu, iklan seneng mempermainkan kecendrungan-kecendrungan tersebut.
Iklan yang berisi kata-kata seperti: diskon 70%, hanya selama pameran berlangsung, beli 1 bawa pulang dua, umumnya memainkan kecendrungan manusia yang tidak mau rugi. Dan meski aku tahu konsep-konsep itu, tetap saja aku tidak bisa menahan keinginan untuk memiliki beberapa buku. Sekarang sudah lebih mending, karena selama 6 bulan kedepan aku menahan diriku dari buku-buku sosial, jadi pilihan berkurang. Tapi tetap saja, ada banyak buku yang mengarah pada sains yang bisa membuatku kantongku jebol berat.
Di stan Mizan, aku mencari Chaos for Beginner tapi ternyata tidak ada. Akhirnya aku malah beli buku Paradigma Holistik dengan diskon 50%. Memang sudah agak lama sih, cuma aku lagi tertarik dengan pemikiran Whitehead. Buku kedua yang berkaitan dengan sains kedua adalah: What is Philosophy? karangan Guattari dan Deleuze. Melihat pengarangnya aja aku udah ngebayangin pasti bahasannya rumit, tapi aku lagi senang mencari korelasi antara sains dan seni. Di salah satu artikel matematika karya Benno(kalau ngga salah), simfoninya Beethoven membentuk pola tertentu yang dikenali dalam konsep matematika. Hal ini mirip dengan perbandingan ... di arsitek yang menjelaskan bangunan-bangunan Yunani kuno.
Lucu kan, seni yang identik dengan subjektivitas dan otak kanan bisa sejalan dengan matematika yang acap dibilang objektif dan didominasi otak kanan. Belum lagi kenyataan matematikawan zaman baheula, rata-rata juga seorang filosof. Artinya, proses berpikir bukan merupakan suatu yang terpisah dari kedirian manusia itu sendiri. Ada sebuah kesatuan yang utuh, integral.
Friday, June 24, 2005
Keberanian untuk Berbagi
Bawa setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
(Yogyakarta, Kla Project)
Rasa itu masih sama. Kebahagiaan yang takkan usai lewat kata. Meski belum genap dua minggu lalu aku meninggalkan rumah, saat kembali selalu ada sensasi yang menyenangkan. Sulit membayangkan kehidupan tanpa orang-orang yang disebut keluarga, tempat dimana kau bisa menjadi sebagaimana adanya, dan mengeluarkan segala keluh kesah.
Aku selalu bertanya-tanya, apakah rasa sayang itu merugikan? Ketika jarak begitu jauh membentang, kau dihantui sebuah kerinduan yang hanya akan terbayar ketika kau berkumpul dengan orang-orang tersayang. Hatimu jadi begitu terikat, dan meski kau telah disibukkan oleh berbagai urusan tetap saja kau tak dapat membebaskan perasaanmu seutuhnya. Aku jadi teringat kisah Pangeran Kecil dengan bunga mawarnya. Bunga manja yang tidak tahan angin, dan senantiasa meminta perhatian lebih. Tapi ketika hatimu sudah terikat, masih bisakah kau berkata tidak? Bahkan ketika Pangeran Kecil menemukan sebuah taman mawar, ia tak tersentuh. Hatinya telah terikat, dan tampaknya begitulah mantera hati, sekali kau kena, tak ada cara untuk melepaskan diri.
Kau tak bisa lagi berkata, “Aku tak peduli.” Karena tanpa sadar kau telah menyerahkan sebagian hatimu pada orang lain. Bagian terpenting dari dirimu yang kini tak bisa lagi kau kendalikan sepenuhnya. Kau mungkin akan bertanya, “Kenapa ada orang yang mau memberikan hatinya?” Awalnya aku pun berpikir demikian. Namun aku kemudian menemukan jawabannya, bukankah kebahagian hanya bisa dirasakan oleh orang yang juga memiliki kemungkinan untuk merasa sedih.
Aku hanya bisa bilang tak ada yang bisa kau peroleh dengan cuma-cuma. Kau harus berani mengambil resiko agar bisa memperoleh sesuatu yang lebih. Kau mungkin takut mendengar hal ini, karena ada begitu banyak kemungkinan terluka: dikhianati, diabaikan, dilupakan. Tapi begitu kau memenuhi pikiranmu dengan hal-hal buruk, tanpa sadar kau juga telah meracuni hatimu sendiri. Aku tentu saja bukan ahli dalam hal ini. Ada begitu banyak kejadian yang selalu membuatku bertanya-tanya, benarkah cara pandangku selama ini? Namun ajaibnya setiap kali aku bertanya-tanya, senantiasa hadir orang-orang yang kembali mengingatkanku pada jalan semula.
Kau bisa bilang, prinsip hidupku aneh. Jangankan kau, akupun kadang berikir seperti itu. Tapi aku tak bisa mengambil resiko kehilangan kesenangan saat melihat orang lain gembira. Kau tentu heran, bagaimana mungkin kebahagiaan orang lain, menjadi milikmu juga? Baiklah, ada satu hal yang belum kuberitahukan padamu. Hati juga menganut hukum kekekalan. Setiap kali kau menyerahkan sebagian hatimu, ada perasaan yang akan mengisi kekosongan itu. Perasaan itu berasal dari hati orang lain yang kemudian menjadi bagian dari dirimu. Itulah mengapa setiap kali kau membantu orang lain, kau tak hanya menyenangkan orang yang kau tolong, tapi juga hatimu sendiri.
Aku tak bisa bilang aku selalu berhasil mempertahankan pikiran positif ini. Seperti yang kualami kemarin di bus Damri. Seorang ibu paruh baya berbalut kebaya dan kain duduk di belakangku. “Apa ini bus ke Leuwi Panjang, neng?” tanyanya dengan suara pelan. “Iya, bu,” jawabku. Tak lama kemudian ia mulai bercerita kalau ia membutuhkan biaya. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan karena bahasanya campur antara Indonesia-Sunda, dan meski sudah beberapa tahun tinggal di Bandung, aku tetap belum bisa bahasa daerah. Namun belakangan aku bisa menangkap maksud ibu itu, ketika ia mulai berkata akan berdoa untuk keselamatanku, kalau aku mau membantunya.
Klasik, pikirku dengan dongkol. Namun pikiran lain kemudian menyelinap masuk, “Bagaimana kalau ibu itu berkata yang sejujurnya? Lagipula uang yang aku gunakan untuk membeli buku lebih besar dibandingkan kalau aku mau memberikan sebagian kepada ibu-ibu itu. Apa salahnya memberikan sebagian?” Tapi bagaimana kalau ibu itu sudah biasa mengandalkan uangnya dengan cara ini. Kalau aku berikan sebagian uangku, artinya aku melestarikan kebiasaan untuk berbohong. Aku bergidik sendiri membayangkan hal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memberi.
Setelah ibu itu tidak kelihatan lagi, aku menyesali keputusanku. Aku tak punya hak untuk menghakimi seseorang, lagipula kalaupun seseorang memilih untuk berbohong bukankah itu artinya kehidupannya sudah sedemikian sulit sehingga harus menempuh cara itu? Membayangkan hal ini saja sudah membuat perasaanku tidak enak.
Tampaknya aku belum terlalu berhasil dalam berbagi. Kepalaku masih digelayuti ketakutan-ketakutan, bagaimana jika-bagaimana jika, padahal ketika ingin membantu seseorang bukankah yang dibutuhkan hanya sebuah keikhlasan?
Monday, June 20, 2005
Patah Hati
Belum juga kutemukan arti cinta
Mungkinkah ini anti-tesisnya?
Dunia jingga kini kelabu
Kehangatan hanya menyisakan beku
Gawat, mayday-mayday, SOS...
Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba gelisah ngga jelas, terus di kompie terdengar lagu-lagu dari kelompok Century of Love vol.2. Apa aku lagi patah hati ya? Gila, ngga jelas gini. Lagian bisa-bisanya patah hati, suka sama siapa juga ngga tau. Apa gara-gara nonton film tentang pangeran dengan kuda coklat ya? Hua.. kayanya aku benar-benar harus menyeleksi jenis tontonan biar pikiran masih bisa kukontrol.
Aku abis baca bagian depan buku Virus Akalbudi(terjemahannya ga asyik, judul aslinya Virus of the Mind). Pengarangnya mantan orang Microsoft, Richard Brodie. Beberapa tahun lalu, aku udah pernah diceritaian mengenai memetika yang menghubungkan ilmu fisika, psikologi dan biologi, tapi baru sekarang aku nemu bukunya. Sering banget kejadian seperti itu, tertarik pada sesuatu beberapa tahunan silam, tapi baru nemu jawabannya setelah udah nyaris lupa dengan masalahnya.
Lalu apa hubungannya meme dengan patah hati? Hehe.. yang aku tangkep, meme itu sepeti bagian non-pyshic dari gen. Kalau di bio ada gen yang mempengaruhi bawaan seseorang seperti: warna rambut, mata, tinggi badan, penyakit, agresivitas dll, kalau dalam mind ada yang disebut dengan meme. Dalam buku itu, disarankan untuk memahami meme agar kita tahu, hal-hal yang kita lakukan, ngga sepenuhnya bisa dikendalikan oleh diri sendiri.
Nah, sekarang aku akan menganalisis diriku sendiri. Ada perasaan aneh yang ngga bisa kudefinisikan, dan berkaitan dengan seseorang. Menurut orang-orang yang kutanyai itu ada hubungannya dengan cinta. Karena aku ngga tahu, aku ikuti saja pendapat orang-orang, bahwa aku memang sedang bermasalah dengan yang namanya virus merah jambu itu. Menurut buku terbitan KPG itu, ketika aku sudah menerima pendapat orang-orang maka aku sudah terpengaruh meme dari orang lain. Biar jelas, aku culik aja definisi meme yang ada di buku Brodie: Meme merupakan unsur utama informasi di dalam akal budi yang keberadaannya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme itu di dalam akalbudi orang lain.[Brodie, Virus Akal Budi, h.28]
Dari definisi itu, kondisiku memang belum tentu patah hati, karena itu hanya pendekatan orang-orang terhadap keadaan yang kuceritakan. Tapi masalahnya malah jadi lebih rumit, karena ketika aku bilang patah hati, artinya aku sudah main bahasa. Seperti ketika membangun sebuah basis dalam aljabar. Untuk menentukan anggota kelompoknya, masing-masing elemen diperiksa, apakah bebas linier dan membangun atau tidak. Kalau sudah memenuhi syarat, maka ia bisa menjadi anggota basis tertentu. Semuanya hanya masalah konsep yang dibangun. Dalam kasusku ada dua kemungkinan, terjadi galat akibat penafsiran seseorang akan ceritaku. Hal ini terjadi karena tiap orang memiliki latarbelakngnya masing-masing(dalam ilmu sosial, sulit untuk melakukan pengelompokkan karena sifat manusia sangat kompleks). Kemungkinan kedua, memang tak ada definisi baku mengenai patah hati. Dengan kata lain tak ada yang bisa memvalidasi, aku sedang patah hati atau ngga.
Menurut Whitehead, yang kata-katanya dikutip di bab pertama, “Tak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah separo kebenaran.” Rumus-rumus atau apapun yang ada sekarang merupakan pendekatan akan kebenaran, alias konsep-konsep yang dibangun. Setahuku pendekatan ini kental setelah adanya fisika modern, yang banyak menawarkan konsep ketidakpastian, pengaruh pengamat, dll. Gara-gara ini, mungkin pendekatannya jadi rada positivis. Selama sebuah konsep/formula berguna dan cocok untuk mengerjakan beberapa penyelesaian, maka konsep itu akan terus digunakan.
Dengan pendekatan positivis, setiap permasalahan harus dianalisis agar bisa dipecahkan dengan konsep yang cocok. Seperti ketika menerapkan metode numerik tertentu dalam masalah optimasi. Numeriknya saja sudah merupakan pendekatan dari solusi eksak, apalagi kalau salah mengenali permasalahan, errornya bisa semakin besar. Tapi kalau dalam hal-hal non-eksak, apakah mengenali permasalahan membantu banyak ya?
Misalnya aku tahu aku tengah patah hati, trus apa? Apalagi tak ada yang bisa menjamin aku memang benar-benar dalam kondisi itu. Misalkan aku terima meme dari orang-orang yang ada disekelilingku bahwa aku patah hati, maka lambat laun aku akan percaya bahwa aku memang sedang patah hati. Kemudian karena aku sudah menerima patah hati sebagai keadaan yang menimpa diriku, meski belum tentu benar, selanjutnya aku juga akan menerima meme-meme dari orang lain yang menyangkut: betapa menyedihkannya orang yang patah hati dsb-dsb.
Kalau kupikir-pikir, lebih baik aku biarkan perasaan aneh itu di dalam hati. Malah semakin tidak dipikirkan lebih cepat perasaan itu hilang. Seperti penularan virus flu, untuk menghindar dari penyakit itu yang harus dilakukan adalah memperkuat kekebalan tubuh. Begitu juga dengan virus akalbudi, cara menghindarinya adalah dengan memperkuat keyakinan diri sendiri, dan tidak termakan omongan orang.
Apakah meme pasti jelek? Ngga juga sih, pendapat orang pasti ada bagusnya juga. Tapi untuk masalah-masalah perasaan, kayanya emang rada berbahaya. Lagian karakternya mirip api yang semakin dikipas-kipas(baca: makin banyak orang tau), bakal makin berkobar, jadi kayanya mending diem-diem aja. Sekarang aja aku tulis karena ngga punya objek lain. Terpaksa aku sendiri yang jadi kelincinya(sambil berdoa semoga si kelinci ngga kenapa-napa setelah melakukan analisis terhadap dirinya sendiri).
Catatan kecil:
- Wacana meme masih terbilang baru bagiku, jadi aku ngga yakin penafsiranku atas apa yang kubaca sudah tepat atau belum. Beberapa analogi yang mungkin membantu: komputer analog dengan manusia, hardware dengan gen, dan software dengan meme. Dari penjelasan yang diberikan oleh Plotkin(seorang psikolog): meme merupakan cerminan pengetahuan yang tersimpan di dalam akalbudi kita. Aku mengartikan kata-kata tersebut sebagai sebuah naluri dasar. Dalam psikologi, naluri itu dibagi menjadi empat: figthing, fleeing, feeding, finding a mate. Keempat naluri itu ada kaitannya dengan meme, tapi aku tidak yakin bagaimana...(masih harus banyak baca lagi).
- Sebagaimana virus pada manusia, maupun komputer, virus akalbudi pun tidak dapat dikendalikan. Hinggap pada inang, kemudian menggunakan alat-alat pada tubuh inangnya untuk menduplikasi sifat-sifat si virus sehingga sifat si virus akan terdapat pada keturunan inang.
- Mengenai perilaku manusia, 88% dipengaruhi kondisi bawah sadar. Jadi meski setengah mati nyangkal bahwa aku dalam kondisi baik-baik aja, aku ngga tahu alam bawah sadarku sependapat atau ngga.
- Aku lagi mencoba memrogram diriku agar menjadi rada ilmiah. Makanya lagi senang membaca teks-teks yang ditulis oleh orang sains. Apa yang aku baca di buku Brodie, mengingatkan aku pada website edge.org. Salah satu alasannya adalah karena sama-sama diilhami oleh pandangan evolusionis.
Friday, June 17, 2005
Wartawan dan Ilmuwan
“Apa perbedaan antara wartawan dengan ilmuwan?”
“Ngga tahu,” jawab saya.
“Kalau wartawan tahu sedikit mengenai banyak hal, sedangkan ilmuwan tahu banyak tentang sedikit hal.”
Pertanyaan yang diajukan oleh narasumber ketika ada materi jurnalistik kembali terngiang-ngiang di kepala saya. Hmm... saya lebih condong ke tahu sedikit mengenai banyak hal. Abis, cepet bosen. Apalagi kalau harus mendalami sesuatu yang tidak menarik. Tapi pandangan itu sedikit berubah ketika saya membaca buku yang berjudul Virus... karangan orang Microsoft. Pertama kali melihat buku itu, saya langsung ilfeel(ilang feeling). Ya iyalah, ngeliat sampulnya aja males. Bayangkan! Sebuah buku dengan warna panas(baca: oranye) dan dihiasi huruf-huruf yang memenuhi seluruh sampul bagian depan. Memang ada kata-kata yang bilang: don’t judge book by it’s cover, tapi saya juga menganut buy book by it’s cover. Hanya karena tadi teman saya membawa-bawa buku itu, jadi saya mempunyai kesempatan untuk memberi kesan kedua.
Bab pertama buku itu diawali oleh kata-kata dari Whitehead, seorang matematikawan. Nah, beliau juga yang quotes-nya menghiasi buku Purcell. Di buku Purcell, beliau bilang kalau menghapal gunanya untuk mempersingkat pengerjaan suatu masalah. Waktu awal kuliah, tulisan beliau saya tempel di dekat radio biar saya agak semangat menghapal. Entah kenapa saya rada-rada males sama yang namanya hapalan. Apalagi kalau ngga tahu asal muasalnya. Makanya cerita sejarah juga lebih banyak nempel alurnya, bukan tanggal dan tahunnya.
Dengan agak ge-er, saya merasa founding father-nya matematik juga alergi sama yang namanya hapalan, makanya sampai muncul kata-kata itu di buku Purcell. Hehe.. nyamain ketidaksukaan para tokoh itu kan keren juga. Dan buku Virus Akalbudi ternyata sedikit merubah paradigma jawaban teka-teki di awal. Ilmuwan ngga sepenuhnya tenggelam dalam dunia eksklusif mereka. Meski ngga bisa dipungkiri sains memang hanya dimengerti kalangan terbatas. Namun hal tersebut bukan berarti mereka tidak tahu kondisi di luar. Hal ini saya tangkap ketika pengarang buku oranye tersebut mengisahkan perbincangannya di kantin Microsoft.
Dari bagian yang saya baca sekilas, serta dari beberapa literatur lain, saya menangkap bahwa ilmuwan bukan hanya sebuah profesi melainkan juga sifat. Rasa ingin tahu, kejujuran, kreatif merupakan sifat-sifat yang saya temui pada beberapa ilmuwan yang saya baca. Rasa ingin tahu itulah yang menyebabkan pengetahuan ilmuwan pada umumnya tidak terbatas pada profesi mereka, melainkan juga menyangkut permasalahan yang ada di lingkungan. Kejujuran juga menjadi syarat mutlak bagi seorang ilmuwan untuk memperoleh hasil yang valid. Dan ketiga sifat tersebut juga saya temui di dunia pers. Rasa ingin tahu menjadi syarat mutlak agar berita yang disajikan menarik serta mendalam. Sedangkan kejujuran terkait erat dengan kredibilitas media dimata publik. Sifat-sifat yang terkait dengan profesi ilmuwan maupun jurnalis ternyata juga berpengaruh pada karakter orang-orang yang terlibat didalamnya.
Saya sering berpikir mungkin ngga sih, seorang memiliki karakter ganda. Misalnya seseorang berprofesi sebagai seorang wartawan/ilmuwan yang senantiasa mencari kebenaran untuk diungkap, tapi dalam kehidupan sehari-harinya, tukang bohong. Meski di sampul belakang buku Batas Nalar(BN), diungkapkan kecerdasan dan moral ngga ada kaitannya(lagi-lagi hasil membaca sekilas). Tapi seharusnya ada keunikan karakter yang dipengaruhi oleh profesi. Dari beberapa wartawan yang saya kenal, semuanya berpikiran terbuka dan senang berdiskusi.
Dalam skala makro hal ini saya bandingkan dengan tingkat pendidikan. Di beberapa negara yang tingkat pendidikannya sudah tinggi, banyak keputusan penting didasarkan pada referendum seluruh rakyat. Menurut saya, keadaan tersebut mengindikasikan rakyat dianggap cukup peduli, dan cerdas untuk menentukkan nasibnya sendiri yang berhubungan dengan permasalahan kebangsaan.
Apakah saya mengarah pada demokrasi ideal? Mungkin saja. Dalam pembahasan mengenai dunia pers yang saya baca di buku Pers Indonesia, demokrasi menjadi syarat mutlak untuk tercapainya kebebasan pers. Sains sendiri telah menjadi semacam daerah otonom karena label bebas nilai yang menghindarkannya dari tudingan aneh-aneh. Namun bagaimana jika demokrasi ideal yang analogikan dengan pasar ideal Smith, tidak mungkin tercapai, setidaknya untuk negara Indonesia saat ini? Harus ada interfensi-interfensi agar pengusaha-penguasa kecil mampu masuk ke pasar yang didominasi penguasa besar.
Lagipula negara-negara Eropa yang melakukan referendum, setahu saya kebanyakan menggunakan ideologi sosialis. Bahkan penolakan referendum di Perancis belum lama ini oleh beberapa analis yang saya temui, ditengarai disebabkan karena dalam pasal-pasal UE kental dengan nuansa kapitalisme. Hal ini bertentangan dengan keadaan Perancis saat ini, yang seingat saya menempati negara dengan pelayanan publik terbaik.
Saya lalu berpikir, tampaknya kecerdasan yang ditandai dengan tingkat pendidikan yang tinggi di suatu negara tidak mengarah pada kebebasan mutlak, melainkan pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan sebuah hipotesis baru: kepedulian pada sesama. Hal ini tampak dari pajak piramida terbalik yang digunakan di beberapa negara Eropa. Penghasilan yang melebihi 4000 Euro misalnya, akan dikenai pajak yang lebih tinggi. Dengan kebijakan tersebut, orang kaya mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Kalaupun saya menerima bahwa kecerdasan tidak ada kaitannya dengan moral sebagaimana yang tertera di buku BN, namun bagi saya kecerdasan sangat erat kaitannya dengan kemampuan mengendalikan diri dan berpikir panjang.
Pemahaman-pemahaman baru ini, memberi darah segar untuk benar-benar serius dan total di kuliah. Mungkin saya akan mulai berhenti mengkonsumsi buku-buku sosial untuk sementara, kalaupun berbau sosial tetap harus ada kaitannya dengan sains. Saya mau fokus untuk mengilmiahkan diri, setidaknya untuk 6 bulan kedepan. Mumpung sekarang lagi liburan, baca buku sains populer banyak-banyak, serta mencari lingkungan yang kondusif secara mental.
Karena lagi semangat mengilmiahkan diri pula, Selasa lalu waktu ke pameran Gramedia-Kompas di Sabuga saya sengaja melihat-lihat buku impor terbitan Wiley, McGraw yang membahas tentang math. Bukunya keren-keren banget, tapi pas melihat pengarangnya, “Lha, ini mah ada di perpus. Hanya saja yang di perpus versi bajakannya.” Enak ngeliatin buku import, desainnya keren trus kertasnya ngga putih-putih banget. Entah kenapa buku lokal senang menggunakan kertas putih yang menyebabkan mata cepat lelah. Apa udah terkena imbas iklan pemutih ya? Ngga muka, baju, kertas semuanya jadi korban iklan....
Catatan kecil: tadi liat buku CSD-nya Gie terbitan baru. Bentuknya jadi berubah banyak banget, lebih gede, bersampulkan Nicholas Saputra, dan yang paling mengejutkan adalah ada tulisan A Mild Present. Rokok sekarang mainannya citra. Ngga heran ada perusahaan rokok yang mau dukung film perjuangan karena dibintangi Nicholas. Kalo di barat ada Tom Cruise dan Julia Roberts yang bisa menarik penonton berduyun-duyun ke bioskop, di Indon ada Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Film/sinetron yang temanya perjuangan pun kini ngga lebih dari permainan simbolik. Di sinetron-sinetron, baju Che atau buku Tan dipake or dipegang ama remaja mentereng. Jadi teringat lagu di radio, ‘So what gitu loh’
Monday, June 13, 2005
Kepedulian Tanggung
Dipandanginya uang itu berkali-kali. Duaratus ribu rupiah, jumlah yang cukup banyak untuk profesinya sebagai pemulung. Namun ia berharap uangnya saat itu dua seperempat kali lebih banyak. Bukan untuk membayar SPP, karena mimpi itu terlampau muluk, bukan pula untuk mengobati penyakit muntaber, karena itu sudah sangat terlambat, melainkan untuk membawa jenazah bidadari kecilnya yang baru berusia 3 tahun ke tempat terakhir, dan meski itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk putrinya, tampaknya rintangan belum usai menggodanya.
Aku bisa saja menghiburmu dengan mengatakan masih banyak orang yang peduli pada sesama. Dalam kisah Supriono, ayah dari Khaerunisa, kepedulian itu tampak dari sumbangan yang berhasil dikumpulkan sebesar dua ratus ribu rupiah. Namun kepedulian itu tak cukup. Kau tahu apa artinya kejadian itu bagiku? .
Aku selalu berpikir, ketulusan hati adalah segala-galanya. Dimana ada niat baik, maka disana ada harapan. Namun kisah tragis Khaerunisa itu menghantamku pada sebuah kenyataan pahit. Sepotong kepedulian saja tak cukup. Ia membutuhkan sebuah perhatian utuh, serta penyelesaian yang mendasar. Suatu masalah tak bisa hanya dilihat sebagai bagian yang terpisah dari sebuah bangunan besar. Seperti ketika orang-orang memberi bantuan tanpa mengetahui pokok permasalahan, yang ada hanya solusi tanggung, dan nyatanya tak menolong banyak.
Kepedulian ternyata tak sederhana. Ia takkan pernah cukup kalau hanya untuk membeli sebuah rasa nyaman karena telah mengeluarkan sebagian harta kepada kaum papa ketika melewati pojokan jalan. Pernahkah kau merasa senang ketika memberi sebagian rizkimu kepada peminta-minta? Meski kau tahu bahwa memberi sedekah kepada orang yang masih sehat dan mampu bekerja, merupakan tindakan destruktif, tetap saja ada saat-saat dimana dorongan untuk memberi tak bisa kau hindari. Keinginan itu muncul begitu saja, tanpa ada rumusan bakunya. Ketika kau melihat kondisi seseorang dalam keadaan yang membuatmu iba, tiba-tiba ada dorongan untuk merogoh saku celana dan memberikan apa yang kau punya.
Perasaan itu kemudian menjadi bermasalah. Dengan terus memberi, bukankah itu sama artinya dengan mengakui profesi dan keberadaan mereka, serupa dengan kepedulian tanggung dalam kisah Supriono? Membantu menyambung hidup, namun tak mendidik mereka menjadi pribadi seutuhnya. Aku bukannya menutup mata terhadap kondisi yang ada di Indon. Angka PHK yang membengkak, biaya pendidikan tinggi, lapangan pekerjaan minim, kesehatan masyarakat rendah, kondisi sanitasi buruk dan masih banyak hal menyedihkan lainnya. Namun itu bukan pembenaran untuk menyerah pada keadaan.
Dari kisah rakyat di negara lain, terutama yang mampu bangkit dari keterpurukkan, rakyat bersatu untuk bangkit dari krisis. Susah senang ditanggung oleh seluruh rakyat didasari kesadaran dan cita-cita untuk bangkit. Kepedulian pada negara benar-benar diresapi. Hal yang sangat bertolakbelakang dengan kondisi di sini. Kalaupun ada orang-orang yang peduli, maka bentuknya masih serba tanggung. Pemberantasan korupsi yang hanya menyentuh kelas teri, pendidikan yang masih harus bersaing perhatian dengan dana pilkada yang menyita ratusan juta rupiah, dan solusi-solusi yang seolah hanya untuk membayar rasa nyaman akan sebuah kata peduli.
Agar teriakan rakyat berhenti
Agar dunia internasional berbaik hati
pada negara berlabel demokrasi
Agar tak ada lagi anarki
Apakah itu arti peduli?
NB: Hua..ah mengerikan. Kenapa aku jadi sinis seperti ini?
Mengintip Kehidupan lewat Buku
Tak ada yang salah dari buku itu. Ceritanya disajikan dengan tutur yang mengalir lancar, font-nya enak dibaca, serta kertas yang tidak terlalu putih, hanya saja... membacanya membuat perasaan saya kacau balau. Perasaan yang timbul ketika membaca buku itulah yang membuat saya agak berat membalik halaman demi halaman. Untuk dapat melanjutkan ke lembar selanjutnya, saya membutuhkan jeda. Rehat untuk segala perasaan yang berkecamuk, dan lebih tepatnya mempersiapkan diri untuk menghadapi bagian-bagian yang tidak mengenakan.
Saya jadi teringat pengalaman menanti ulangtahun saat masih kecil. Seminggu menjelang hari H, saya biasa diliputi rasa penasaran. Gagal mengorek keterangan dari ibu, saya mulai mereka-reka tempat yang kira-kira digunakan oleh ibu untuk menyembunyikan hadiah. Meski sudah membongkar setengah isi rumah, pencarian saya selalu berakhir dengan kegagalan. Ketika membaca buku cerita, rasa penasaran itu bisa langsung diakhiri dengan melompati beberapa halaman hingga sampai pada bagian akhir. Saya tahu ini akan menghancurkan kejutan-kejutan yang ada di tengah cerita, tapi saya terpaksa menggunakan cara ini ketika membaca buku itu.
Curang, mungkin, pengecut, bisa jadi, tapi saya tidak bisa menemukan cara lain untuk menghadapi bagian-bagian yang ada di tengah cerita. Saya merasa perlu mempersiapkan emosi saya sebelum benar-benar dihadapkan pada realitas teks yang menyedihkan. Meski sama-sama mengangkat seseorang yang meninggal, penuturan Mitch Albom kali ini agak berbeda. Dalam Selasa Bersama Morrie, cerita disajikan menggunakan satu sudut, sedangkan pada bukunya kali ini, The Five People You Meet in Heaven, alurnya maju-mundur, serta melibatkan banyak sudut. Bagaimana keputusan satu orang mempengaruhi kehidupan orang lain seluruhnya. Dan alam baka yang digambarkan oleh Albom, bukan berkisah mengenai surga sebagaimana sering digambarkan seperti taman firdaus, melainkan tempat dimana kau akan bertemu lima orang yang membuat kehidupanmu sepenuhnya berbeda.
Dari awal kisah, saya sudah menaruh perhatian pada satu sosok, Marguerite. Kehadirannya dalam kehidupan Eddie, sang tokoh utama telah menyerap seluruh perhatian saya. Penantiannya akan kepulangan Eddie dari medan perang di Filipina, kesediannya untuk menikahi Eddie meski kakinya tak sempurna lagi akibat terkena tembakan, serta kesabarannya mendampingi pria itu hingga akhir hayatnya. Ketertarikkan saya pada perempuan itu pula, yang menjadikan buku itu kian sulit untuk saya habiskan dalam waktu singkat. Terutama ketika sampai pada bagian yang khusus membahas mengenai Marguerite.
Maju-mundur, maju-mundur. Melompati beberapa halaman, kemudian mundur sedikit demi sedikit, hingga sampai pada bagian terburuk. Oke, cara yang aneh, tapi tak ada aturan baku dalam membaca sebuah cerita bukan? Apalagi pada bagian persembahan disebutkan bahwa buku ini terinspirasi oleh kisah nyata. Jadi meski berlabel fiksi, tetap saja kejadian-kejadian yang ada dalam cerita itu pernah terjadi diluar sana, somewhere, someplace...
Sedikit potongan dari buku itu: bahwa setiap kehidupan mempengaruhi kehidupan berikutnya, dan kehidupan berikutnya itu mempengaruhi kehidupan berikutnya lagi, dan bahwa dunia ini penuh dengan kisah-kisah kehidupan, dan semua kisah kehidupan itu adalah satu[Mitch Albom, The Five People You Meet in Heaven, h.202].
Friday, June 10, 2005
Musik dan Universalitas
Dangdut is the music of my country
My country.. oh my country…
(Project Pop)
Musik merupakan salah satu unsur yang bisa membangun mood saya. Meski kadang pengaruhnya bisa juga terjadi sebaliknya. Apalagi karena hanya bergantung pada radio, lagu-lagu yang saya terdengar benar-benar dipengaruhi kebaikan hati pemancar untuk berbicara dan memasang iklan seminim mungkin, sambil berdoa selera saya bukan minoritas. Keadaan sedikit lebih baik kalau sedang menyalakan kompie, meski ada beberapa lagu kebangsaan yang sudah sampai taraf jenuh, tetap saja saya putar. Ternyata meski kuping sudah bosan, lagu-lagu tersebut masih berfungsi baik pada mood dan ide-ide.
Kenapa musik bisa begitu kuat pengaruhnya? Musik merupakan salah satu bagian dari budaya yang paling tua usianya. Manusia zaman pra-sejarah memiliki musik ritmik, manusia modern dari yang hidup di pinggir kali hingga gedung opera mengenal musik, dan uniknya hampir semua kebudayaan memiliki lagu pengantar anak-anak tidur. Sedemikian universalnya musik hingga janin pun sudah mulai diperkenalkan dengan musik.
Namun musik seperti apa yang bisa disebut universal? Apakah tiap musik dapat diterima oleh semua kuping, atau sebagaimana unsur-unsur dari budaya lainnya, musik juga memiliki identitasnya sendiri sehingga penyebarannya terkait erat dengan kultur masyarakat di daerah lain? Seperti kutipan lagu Project Pop diatas, dangdut dinyatakan sebagai musik negara ini. Meski kemasannya humor, pernyataan tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata. Penyebaran dangdut belakangan ini melonjak drastis, terutama jika dilihat dari tingkat penerimaannya di masyarakat.
Era 80-an, dangdut memang sudah dikenal luas. Namun penyebarannya masih sebatas strata ekonomi tertentu. Tahun 1990-an, masih sedikit tayangan televisi yang mau menyajikan acara-acara dangdut. Pada saat itu, stigma dangdut masih terbatas kalangan menengah kebawah. Tapi belakangan ini, stigma itu runtuh. Televisi dengan segmen menengah ke atas, sudah mau menayangkan dangdut, bahkan menayangkannya dengan porsi yang cukup besar. Penyanyi pop yang dulunya dianggap mewakili strata tertentu pun kini sudah ada yang beralih pada jalur ini. Puncaknya, munculah lagu Dangdut is the music of my country yang mengukuhkan kehadiran dangdut di belantara musik tanah air.
Lain dangdut, lain musik klasik. Dari dulu hingga saat ini, penikmat lagu klasik masih merupakan golongan minoritas. Selain karena konsep full orkestra memakan biaya besar, musik klasik juga masih dianggap asing. Meski demikian dalam studi perkembangan otak, musik klasik dinilai paling kompeten untuk merangsang kecerdasan anak.
Saya sendiri lebih memilih lagu-lagu pop, meski sama-sama instrumen. Musik yang keluar dari piano Richard Claydermen ataupun saksofon Kenny G bagi saya lebih sederhana dan tidak mengganggu aktivitas menggali ide, dibandingkan Beethoven, Mozart dkk. Kalaupun saya ingin mendengar instrumen yang lebih lengkap, saya memilih Kitaro ataupun Yanni.
Apakah kecendrungan ini dipengaruhi ke-Timuran saya? Mungkin saja, tapi hal ini tidak terjadi kalau saya mendengar lagu-lagu pop Barat. Lagu pop dengan cepat bisa saya ikuti serta nikmati. Bukan hanya lagu pop Barat, lagu-lagu anime yang tidak saya pahami artinya, langsung akrab begitu saya mendengarnya. Penyebaran lagu-lagu dengan bahasa yang tidak umum belakangan ini sering saya temui. Dipelopori oleh lagu-lagu anime beberapa tahun lampau, kini sukses serupa diikuti oleh soundtrack lagu dorama, serial
Keadaan diatas mengindikasikan suatu lagu bisa dengan mudah diterima jika disajikan secara terus menerus, sehingga menjadi familiar. Apakah musik klasik juga bisa diterima secara luas jika diperdengarkan secara terus menerus, atau lagu klasik memang memerlukan konsentrasi khusus yang disebabkan oleh susunan not-nya yang rumit?
Kebenaran
“Apakah kebenaran menjadi lebih benar kalau aku salah?” tanyanya dengan pandangan menggugat.
“Tidak, tentu tidak. Kebenaran hadir sebagaimana adanya, ia tak perlu pembanding untuk menyatakan hakekat dirinya, hanya saja…”
“Hanya saja apa? Teruskan,” desaknya.
“Aku tidak yakin kau akan senang mendengar ini. Hanya saja kebenaran sangat sulit ditemukan. Kadang manusia mencari kebenaran dengan menolak kesalahan, meski negasi A tidak akan pernah menjelaskan bagaimana hakikat A, setidaknya ia mencoba mendekati. Hal ini sangat rumit, aku tak yakin kau akan mengerti…”
“Maksudmu seperti ketika aku bertanya seperti apa rupa Tom Crusie, kau mulai menyebutkan nama-nama orang yang aku kenal sebagai pembanding?”
“Tepat sekali. Aku mencoba membawa gambaran akan dirinya pada sesuatu yang telah ada dalam pikiranmu, meski aku bisa yakin kau takkan bisa membayangkannya secara tepat. Hal ini mirip dengan konsep numerik, yang menghampiri solusi eksak dengan pendekatan hingga error tertentu. Kian canggih perkembangan teknologi, solusi yang dihasilkannya semakin akurat. Meski secara teori, numerik bukanlah keadaan yang sebenarnya.”
“Jadi ketika seseorang melakukan perbandingan, hal itu disebabkan karena ia kesulitan untuk menjelaskan keadaan yang sesungguhnya?”
“Jawabannya bisa berbeda untuk tiap orang.
“Itu tidak adil. Bagaimana bisa kau mencampuradukkan konsep kebenaran dengan perasaan nyaman?”
“Karena itu, aku dari awal sudah memperingatkan, setiap jawaban memiliki tuannya masing-masing. Aku tidak bisa menjamin penjelasanku akan dapat kau terima atau tidak. Hmm.. kasus diatas hanya ilustrasi yang banyak kutemui, tapi ada juga orang yang tetap merasa sedih kalau ia mendapat jelek meski seisi kelas mengalami hal serupa. Baiklah, kucoba mencari pendekatan lain…”
“Tunggu, kau bilang pendekatan…” [Jeda sejenak] “Ah, aku mengerti. Dari tadi kau mencoba memberi pendekatan dengan hal-hal yang aku pahami, aku tidak mungkin memperoleh kebenaran itu sendiri!”
“Kurang lebih seperti itu, satu-satunya cara agar kau mampu mendekati apa yang kusampaikan adalah dengan ilustrasi. Tapi kau baru akan benar-benar paham ketika kau mengalaminya sendiri, seperti yang baru saja kau rasakan.”
“Aha… jadi dari tadi kau mencoba menggiringku pada keadaan ini.”
“Tak ada jaminan berhasil memang. Tapi pemahaman yang datang dari dalam dirimu sendiri akan jauh lebih bermakna daripada jika aku memberikan definisi-definisi asing. Aku bisa saja memberikan jawaban, tapi setiap kali kau membutuhkannya, kau akan tetap dihantui perasaan menggantung. Berbeda kalau kau menemukannya sendiri, setiap saat dibutuhkan kau bisa menyusurinya kembali.”
“Kalau begitu, kau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menggali terowongannya masing-masing?”
“Aku yakin seperti itu, tapi ada orang yang kehilangan sekopnya. Sehingga ia membutuhkan bantuan orang lain untuk meminjami sekop atau membantu menggali. Keadaan ini bisa dipicu oleh banyak hal, seperti lingkungan yang buruk, desakan ekonomi, meski itu bukan pembenaran untuk menekan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam diri manusia.”
“Gara-gara itu ada metode-metode artificial?”
“Bagiku ya. Karena kalau mengikuti ilustrasi yang tadi, sekop itu bisa langsung dibeli bahkan kau bisa menggantinya dengan alat-alat berat, tanpa harus mencari relasi ataupun melakukan usaha-usaha rumit. Sederhana, efisien tapi juga harus memiliki dana lebih. Begitu pula metode yang dikenal dengan nama ‘how to’, bagi sebagian orang yang super sibuk, metode ini bisa berhasil, karena ia tidak memiliki waktu luang untuk mencari sendiri jawaban atas hidupnya. Namun kalau cara ini berlebihan, seperti ketika kau membeli alat berat yang ternyata menghancurkan terowongan yang tengah kau gali, jawaban yang kau dapat dari metode-metode tersebut bisa bersifat temporal atau bahkan berdampak destruktif padamu.”
“Apakah kau memiliki saran untukku?”
“Aku pikir setiap orang ada memiliki jalannya masing-masing, aku takkan mungkin menjawabnya untukmu. Kau bisa bertanya pada dirimu, orang-orang yang kau anggap paling memahami dirimu, kerabat, bahkan pada seorang psikolog. Namun jauh diatas semua itu, kau bisa meminta kepada Pemilik alam semesta untuk memberikan jawabannya kepadamu, tentu saja disertai ikhtiar.”
“Semudah itu?”
“Bagiku tidak, karena dari kisah-kisah manusia di masa lampau sudah banyak kaum yang tersesat. Tentu saja, kau tidak mungkin membayangkan jawaban itu akan kau peroleh sertamerta, kau harus berusaha untuk mencapainya.”
“Jadi sebelum memperoleh jawaban, lagi-lagi aku harus belajar?”
“Ya, termasuk belajar untuk bersabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam dirimu sendiri. Kemudian kau juga harus mampu untuk tenang dan memikirkan segala hal yang kau peroleh. Pengetahuan yang kau miliki takkan berguna kalau hanya kau gunakan untuk memenui hasrat rasa ingin tahumu. Kau harus merubahnya agar ia menjadi sesuatu yang lebih, dan mampu mengantarkanmu pada kesadaran yang lebih tinggi.”
“Manusia paripurna?”
“Menuju manusia paripurna, aku lebih suka menyebutnya demikian. Karena bagiku manusia tidak memiliki otoritas untuk menyebut seseorang paripurna, manusia pilihan dlsb, manusia hanya bisa berusaha.”
Thursday, June 09, 2005
Busung Lapar, Kalpataru, dan Pangeran Mahkota
Ketiga topik diatas saya peroleh ketika membaca Kompas hari ini(09/06). Ketiganya mempunyai sudut yang berbeda. Rakyat terkena busung lapar karena minimnya pemahaman akan kesehatan serta kondisi ekonomi yang memaksa mereka makan seadanya. Ironisnya, di rubrik opini ada kutipan pernyataan dari Menko Kesra yang menyatakan busung lapar hanyalah sebuah kecelakaan. Pernyataan tersebut cukup ajaib bagi saya, busung lapar bukanlah suatu penyakit atau keadaan yang datang secara tiba-tiba. Bagaimana mungkin rakyat mampu berharap pada pemimpin-pemimpin terhormat, kalau yang diharapkan mampu membuat perubahan hanya menyatakan sebuah kultur sebagai kecelakaan, seolah terjadi secara tiba-tiba? Sangat absurd, sekaligus terdengar lepas tangan.
Apakah negara tidak memiliki kewajiban terhadap warganya? Lagipula apa yang dimaksud dengan negara yang sesungguhnya? Sebuah teritori yang terikat oleh pemimpin, hukum dan mata uang yang sama. Kemudian dilengkapi oleh pertahanan keamanan dan instrumen-instrumen kenegaraan lainnya. Tanggungjawab negara pada rakyat, rakyat pada negara? Entahlah, ilmu saya sangat minim mengenai hal itu. Mungkin hubungan keduanya tidak pernah pasti, dan karena itu muncullah individu-individu yang peduli pada lingkungan, bukan atas nama nasionalisme tapi hanya karena kegelisahannya melihat kondisi yang ada.
Salah satunya adalah Katrina, yang Senin(06/06) memperoleh piala Kalpataru dari presiden SBY. Perempuan berusia 63 tahun merupakan satu dari sedikit orang yang memperjuangkan apa yang dicita-citakannya. Meski wajahnya sudah dipenuhi kerut, namun semangatnya untuk menanan pohon cendana di daerahnya yang gersang tak dapat dibendung. Sekitar 500 pohon telah ditanamnya, motivasinya sederhana, agar mempunyai warisan untuk anak cucunya. Tanpa penyuluhan dari dinas pertanian maupun bantuan dana, ibu beranak
Lain lagi kisah Putra Mahkota Jepang yang merasa hidup di sangkar emas. Pun demikian dengan Putri Masako yang sempat memperoleh gelar dari Harvard dan
Apa jadinya kalau para lakon dalam kisah tersebut bertukar tempat? Mungkin lebih tepat kalau mereka bisa saling berbagi. Bukankah kelebihan takkan pernah menjadi utuh sebelum ada kekurangan. Begitupula dengan kecerdasan yang baru bisa terbukti ketika dihadapkan pada kondisi pelik. Layaknya bagian-bagian yang saling mencari untuk menggenapi satu sama lain. Mungkin kita harus berhenti melihat orang lain, dan mulai melakukan perubahan itu dari diri sendiri. Seperti Katrina yang mampu membagi mimpinya kepada orang lain dengan cara sederhana, yaitu harapan dan keberanian untuk mewujudkan.
Apakah Anda tertarik mengikuti jejaknya?
Tuesday, June 07, 2005
Ilmuwan
Tulisan ini saya peroleh ketika membaca editorial mengenai rekonstruksi wajah Tutankhamun. Seorang ilmuwan tidak boleh samapi terpengaruh oleh objek yang diamatinya, ia hanya boleh memaparkan segala hal sesuai yang ditemukannya. Begitu pula dengan wartawan, saya pikir, ia harus menjaga agar beritanya tetap objektif. Namun mungkinkah seseorang senantiasa dapat berada berjarak dengan segala hal yang dilakukannya? Pada liputan Aceh beberapa bulan silam, ada pergeseran. Salah seorang peliput, menampakan emosinya, hidungnya sedikit merah, matanya pun tak kuasa untuk menyembunyikan air mata. Pemirsa dapat langsung melihat bahwa wartawan juga manusia, yang sama terguncangnya melihat peristiwa yang memakan ribuan korban, dan batasan antara pembawa berita dengan pemirsa runtuh.
Saya lalu membayangkan kata-kata tersebut pada para ilmuwan evolusionis, bahkan pada diri Darwin sendiri. Rasa sayang atau kecendrungan tergadaikan atas nama ilmu pengetahuan. Tapi apa mungkin ilmu pengetahuan bisa sampai pada taraf menyibak dirinya sendiri dan hadir sebagai pintu menuju kebenaran? Saya sendiri berpendapat, sebelum sebuah teori tersebut hadir disertai argumen-argumen ilmiah, ada narasi-narasi terlebih dahulu. Narasi inilah yang akan mengarahkan hasil ilmuwan tersebut.
Dalam matematika, hal ini menjadi sederhana, karena sejauh yang saya tangkap, matematika adalah sebuah dunia yang benar-benar dibangun. Contohnya ketika Euclid mengenalkan geometri pada bidang datar, yang kemudian dikenal dengan geometri Euclididean. Geometri tersebut mampu menjelaskan bentuk-bentuk pada bidang datar, namun ketika dihadapkan pada bidang lengkungan(seperti bentuk alam semesta Einstein, not so sure actually) diperlukan sebuah formula geometri baru, yang diberi nama geometri non-euclidean. Keduanya masih digunakan sampai sekarang(setidaknya masih saya pelajari) dan keberadaan satu sama lain saling mendukung.
Sebuah formula akan tetap digunakan selama ia mampu menjelaskan materi secara konsisten. Dan uniknya bangunan matematika itu termasuk sesuatu yang dapat dilihat secara alamiah. Misalnya logika matematika, mulai dari induksi, silogisme dan berbagai turunan lainnya yang seringkali digunakan dalam mengambil kesimpulan dalam kehidupan sehari-hari. Meski dalam ilmu sosial, tidak selamanya akan memberikan kesimpulan yang sama, apalagi kalau menghadapi sebuah sistem yang kompleks(non-linier).
Menariknya, konsep-konsep yang ada dalam matematika biasanya tidak ditemukan satu kali. Di tingkat kedua, saat saya secara resmi masuk ke jurusan, ada beberapa mata kuliah yang tampak saling tidak berkaitan. Satu bagian berbicara mengenai aljabar, lengkap dengan sifat-sifatnya yang berbicara di ruang berdimensi-n(terhingga), kediagonalan, kebebaslinieran, basis, membangun, nilai eigen, vektor eigen yang berkorespondensi dll. Bagian lain bercerita mengenai fungsi-fungsi dan deret yang menuju tak hingga. Untuk memeriksa deret tersebut berguna atau tidak, diperiksa kekonvergenannya. Pada akhir kisah, bagian-bagian yang tampak tidak nyambung tersebut mulai terlihat saling terkait. Matriks ternyata punya hubungan kekerabatan dengan fungsi, masing-masing sifat hadir dengan caranya sendiri pada dua bagian tersebut.
Mirip dengan kisah telenovela, Mariana ternyata anak kandung dari keluarga besar Maccilas. Setelah beratus-ratus episode hubungan tersebut mulai tersibak, terutama karena Jose, pasangan sang gadis terus mempertahankan hubungannya dengan Mariana meski mendapat tantangan dari berbagai pihak. Kisah itu akhirnya berakhir dengan terungkapnya latarbelakang Mariana yang sebenarnya dan ibu tiri jahat berakhir di rumah sakit jiwa. Nah, dalam hubungan kekerabatan matematika, kisah yang berakhir bahagia juga bisa ditemui kalau saya mau berusaha untuk menghubungkan segala hal yang saya peroleh menjadi sebuah bangunan utuh, mirip keluarga yang bahagia.
Karena saya senang mengkhayal alangkah sayangnya kalau epsilon, deret sin, deret cos, full Fourier series, serta belakangan ditambah kehadiran tokoh baru Gibbs, saya biarkan menjadi makhluk-makhluk tanpa kisah. Hmm… kalau udah benar-benar paham, saya akan membuat math versi populernya. Kayanya kegiatan nulis di media harus mulai diarahkan ke bidang yang saya garap: math. Mungkin dengan mengintegrasikan kedua hal ini saya bisa lebih maju.
Pay It Forward!
Menonton Pay It Forward, pikiran-pikiran itu mereda. Saya menemukan keindahan sendiri dan kejutan-kejutan atas segala hal yang saya alami. Saya merasakan kehangatan, keriangan, serta kejutan dari keluarga serta teman-teman yang saya miliki. Meski tiap hari saya tak bisa menatap kambing gunung, ataupun padang luas, saya tetap merasa terkejut dengan indahnya udara pagi. Saya jadi teringat perkataan seorang teman, "manusia memang sangat sulit bersyukur." Dan mungkin hal itulah yang membuat manusia senantiasa menginginkan lebih, bahkan ketika sebenarnya hidupnya sudah berkecukupan.
NB: Home sweet home... Glad to be home again
Wednesday, June 01, 2005
Ke Museum Geologi
Museum yang saya kunjungi diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929, bertepatan dengan Kongres Ilmu Pengetahuan se-Pasifik IV di Bandung. Gedung di jalan Diponegoro 57, Bandung tersebut terdiri dari laboratorium, perpustakaan dan Museum Geologi. Pada awal pembangunannya, peragaan yang disusun masih menyerupai ruang dokumentasi koleksi saja. Keadaaan itu berubah sekitar tahun 1990-an melalui rencana pengembangan. Tahun 1998, proyek renovasi dimulai dengan bantuan dari Jepang. Sekarang museum yang tampak sepi di hari kerja tersebut memiliki tidak kurang dari 250.000 koleksi batuan dan mineral, sekitar 60.000 koleksi fosil, dll. Museum ini juga memiliki fasilitas auditorium bagi pengunjung yang datang berombongan.(sumber: brosur Museum Geologi)
Minggu ujian berarti kegiatan relatif berkurang. Karena ujian tinggal satu, dan tugas-tugas udah beres, saya memutuskan untuk menjalankan agenda yang telah tertunda cukup lama, mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kota Bandung. Hari ini tujuan saya adalah museum Geologi. Selain karena letaknya yang dekat, museum Geologi adalah satu-satunya tempat yang saya ketahui. Jadi daripada memperpanjang rekor kesasar, saya memutuskan mengunjungi tempat tersebut. Ketika saya keluar rumah, udara mendung. Belum sampai perempatan pertama, rintik mulai menyapa. Namun karena tanggung dan memang sudah direncanakan dari kemarin, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan. Parahnya, meski sudah sering melewati jalan Diponegoro dan tahu letak pastinya, gerbang masuknya kelewatan, terpaksa saya harus memutar cukup jauh.
Di pos satpam gerbang masuk, tampak beberapa remaja dengan tas-tas besar sedang duduk santai. Dari raut wajah, tampaknya mereka baru melakukan kegiatan yang melelahkan. Tak lama setelah celingak-celinguk dekat pagar, karena tidak tahu harus memarkir motor dimana, pak satpam memberi tahu kalau saya harus ke belakang. Sambil berjalan pelan, saya mulai menyelidiki daerah baru itu. Kompleks yang dari luar tampak melebar ke samping, ternyata memiliki daerah belakang yang cukup luas. Dua buah bus pariwisata tampak sedang parkir di depan gedung kantor telekomunikasi, namun tak tampak motor satupun. Parkir motor saya temukan kemudian dekat sebuah ruangan bertuliskan perpustakaan. Dari balik jendela model Belanda, saya bisa melihat buku-buku tebal yang tampak sudah tua.
Ketika saya menanyakan cara masuk ke museum Geologi, pak satpam yang memberikan karcis parkir, mengatakan saya harus membeli karcis di loket yang terletak di dekat pintu masuk. Dengan perasaan senang, karena museum yang selalu tampak sepi itu buka, saya melangkahkan kaki ke depan. Beberapa tanda panah mengarahkan saya pada sebuah bangunan yang terpisah dari gedung utama. Bangunan itu berisi cinderamata berupa batu-batuan, dan juga makanan kecil. Di bagian yang bertuliskan loket tak ada orang. Namun dibagian belakang tampak beberapa orang berusia sekitar 25 tahunan sedang mengobrol. Setelah membeli tiket, saya menuju bangunan utama.
Di bagian penitipan tas, yang sekaligus berfungsi sebagai pemeriksaan karcis tampak tas banyak tas tergeletak di lantai. “Lagi ada kunjungan ya, Pak?” tanya saya pada penjaga karcis. “Ngga, kok. Sepi,” jawab orang yang melubangi karcis saya, sambil meletakkan tas saya di belakang rak. “Ooo.. terimakasih, Pak.” Benar saja, di bagian yang berjudul Geologi Indonesia tak ada orang. Setelah puas lihat kiri-kanan, sambil membaca beberapa bagian yang saya anggap menarik, saya sampai di ujung ruangan yang berisi keterangan mengenai gunung-gunung aktif di Indonesia. Di dekat maket yang terletak di tengah ruangan terdapat layar seukuran televisi 14 inchi sebanyak dua buah. Ketika saya sampai di ruangan itu, layarnya menampilakan gambar biru polos. Kemudian gambar biru tersebut berganti dengan gambar gunung Bromo, gunung Semeru kemudian kawah Bromo. Tak lama kemudian layarnya kembali biru. Saat itu saya berpikir, canggih juga kalau cara kerjanya dengan alat sensor yang mendeteksi kedatangan seseorang. Namun dugaan saya keliru, karena tak lama berselang layar itu kembali mengulang gambar Bromo, meski saya sudah pergi keluar.
Terakhir kali ke museum seingat saya adalah beberapa belas tahun yang lalu, sekitar kelas 1 SD. Ketika kembali ke museum seorang diri ada perasaan aneh. Perasaan itu menguat ketika saya memasuki bagian sejarah kehidupan. Dulu saya juga pernah melihat fosil-fosil makhluk purbakala, tapi waktu itu saya pergi dalam formasi full, ada ayah, ibu, serta kakak. Jadi meski kini saya sudah jauh lebih tua, tetap saja saya ketakutan melihat seekor Tyrannosaurus rex OSBORN. Hehe.. ternyata makhluk-makhluk itu tetap saja besar meski umur saya sudah bertambah sekitar 16 tahun, payahnya lagi saya sendirian(sebenarnya sengaja nyari waktu ditengah minggu biar sepi, tapi diruangan yang cukup menyeramkan itu, saya berharap setidaknya ada satu orang lain, ya... dua orang juga boleh deh:D).
Entah kenapa melihat sesuatu yang asalnya hidup(atau patung) dalam keadaan diam membuat perasaan saya tidak nyaman. Akhirnya karena merasa sudah terlanjur sampai sana, dan sayang kalau melewatkan bagian terbaik, saya mencari akal untuk mendekati tempat-tempat yang menyeramkan itu. Sambil membaca keterangan-keterangan di dinding, dengan terus mengalihkan pandangan dari Tyrannosaurus, gajah purba, dan makhluk-makhluk yang seolah menatap saya itu, saya berhasil mendekati posisi mahkluk besar tersebut. Tapi saya belum siap untuk benar-benar dekat, jadi saya berencana memasuki ruangan lain terlebih dulu. Baru melongokkan kepala, tampak tengkorak-tengkorak. Hua..ha.. ngga jadi deh. Untung masih ada satu ruangan(Masa Kenozoikum) lagi di dekat sana yang isinya batu. Meski didalamnya ada juga beberapa bekas fosil, namun bentuknya tidak sejelas tengkorak dan makhluk-makhluk lainnya. Setelah berhasil memenangkan sisi rasional, akhirnya saya kembali ke ruangan Dunia Fosil yang berisi tengkorak-tengkorak kera, orangutan dan konstruksi wajah Homo/Pithecantropus(?) Erectus. Tengkorak-tengkorak disusun mengikuti skema evolusi. Di dinding juga terdapat tokoh-tokoh evolusionis, seperti Darwin, Dubois dan Fr...(as usual, I’m forget). Saya sendiri tidak sepakat dengan asal mula manusia dari monyet, tapi memikirkan bagaimana kehidupan pemilik replika tengkorak-tengkorak ini di masa lampau sangat menarik.
Akhirnya sampai di bagian klimaks, menatap Tyrannosaurus raksasa pemakan daging yang dalam keterangan ditulis sebagai makhluk ganas. Di dekat makhluk besar itu, ada teori mengenai kepunahan massal. Saya mengagumi keberadaan makhluk-makhluk raksasa itu dan betapa menakjubkannya alam ini. Rahasia masa lalu yang sampai kini masih membuat ratusan mungkin ribuan ilmuwan asyik dalam penggalian, dan perjalanan. Mengkonstruksi jalinan masa lalu dalam teori-teori. Seperti menyusun kepingan puzzle menjadi sebuah gambar utuh.
Perjalanan selanjutnya ke bagian geologi untuk kehidupan manusia. Di bagian yang terletak di lantai dua itu, terdapat tata cara kehidupan manusia purba, serta bagaimana mereka memanfaatkan mineral. Saat menaiki tangga, tampak sebuah monumen untuk mengenang jasa-jasa Arie Frederick Lasut. Beliau merupakan tokoh yang menyelamatkan dokumentasi-dokumentasi geologi dan pertambangan. Ketika sampai di lantai dua, saya langsung bisa melihat sebuah televisi sedang memutar rekaman mengenai perjalanan para ahli ke gua-gua. Meski rekaman itu dilengkapi seorang narator, namun suaranya kalah oleh lagu One Fine Day-nya Mariah Carey yang disusul How Deep is Your Love. Entah untuk mengikuti perkembangan zaman atau apa, namun bagi saya lagu itu terasa asing di tengah benda-benda yang berasal dari ribuan hingga jutaan tahun lampau. Perasaan asing serupa saya temui ketika melihat lemari berjudul: Mineral dalam kehidupan modern. Dalam lemari kaca tersebut tampak bedak Marcks, pepsodent, lipstik, lampu Philips dll. Barang-barang yang tampak kontras dengan ruangan disebelahnya yang berisi batu-batu dengan beraneka bentuk.
Saya mencoba membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka miliki dengan batu-batu beraneka bentuk tersebut. Namun mereka mungkin juga akan bertanya-tanya tentang benda-benda modern yang ada sekarang. Seperti ketika Xixo menemukan botol kaca dalam film The Gods Must Be Crazy. Botol itu malah membuat pertikaian dalam suku yang tadinya adem ayem. Tampaknya masing-masing masa memiliki kehidupannya sendiri, lengkap dengan kebahagian dan problematikanya.
Selasa, 31 Mei 2005Harapan, Kesadaran, dan Cita-cita
Kotak itu aneh. Keindahan dan keburukkan pada saat yang bersamaan. Kegelapan sekaligus cahaya, baik dan buruk. Hal-hal bertentangan yang dapat dirasakan hanya dengan mendekati kotak itu. Pandora teringat pesan untuk tidak membuka kotak itu. Ia biasa untuk patuh, tapi untuk kali ini semacam ada kekuatan lain diluar dirinya yang menyuruhnya untuk membuka kotak. Perasaan tidak tertahan, yang ia sendiri heran dari mana datangnya. Dengan perlahan disentuhnya kotak itu. Perasaan bersalah menjalar keseluruh tubuhnya, disaat yang sama ia juga merasakan gairah yang tak tertahankan. Perlahan namun pasti dibukanya tutup kotak itu. Dari balik tutup melesatlah cahaya-cahaya dengan berbagai bentuk yang belum pernah disaksikan Pandora. Keindahan, yang herannya malah membuat Pandora merinding karena takut. Perasaan itu sedikit teredam setelah kemunculan cahaya terakhir, kalau masih bisa disebut demikian, karena meski ia juga berpendar, sinarnya temaram.
Apa yang telah kulakukan, pikir Pandora takut. Cahaya-cahaya itu melesat kesegala penjuru bumi seperti kembang api. Sejak saat itu kehidupan manusia tidak pernah sama lagi. Keindahan cahaya yang mereka lihat membuat manusia seolah bangun dari sebuah tidur panjang. Kehidupan yang bagai lukisan, dari satu frasa ke frasa yang terjadi secara berulang-ulang, terus-menerus seolah tak ada ujung. Cahaya itu menyadarkan mereka akan sesuatu yang lebih, tentang persaingan, emosi dan juga keinginan-keinginan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Iri, marah, obsesi, membuat tatanan hidup mereka menjadi dinamis sekaligus kacau. Pandora hanya bisa berharap pada cahaya yang terakhir, yang ia sebut sebagai cahaya harapan. Bentuknya memang tak seindah cahaya-cahaya lain, namun dengan bentuknya itu ia berharap manusia dapat menemukan kesejatian dibalik penampilan fisik.
Saya sering bertanya-tanya kenapa dongeng Yunani tersebut hanya menyisakan satu buah kebaikan, yaitu harapan. Belakangan saya mengartikan segala hal yang disebut kejahatan dalam kisah Pandora tak sepenuhnya buruk, hanya salah penggunaan saja. Emosi yang hadir dalam kemarahan, atau ambisi jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bisa membuahkan hasil yang menakjubkan, melebihi segala hal yang dilakukan dalam kerangka rutinitas. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk unik, karena melakukan segala sesuatunya dalam koridor kesadaran, dan alasan itu yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban atas segala hal yang dilakukannya.
Saya sering berpikir-pikir, apa harapan saya yang terbesar? Pertanyaan yang belakangan ini mulai saya pikirkan dengan baik-baik, karena berapa tahun belakangan ini saya membiarkan hidup mengalir bagaikan air. Tanpa tahu hendak mengarah kemana, ataupun melalui apa saja. Dengan konsep menerima segala hal, dan berpikiran positif, saya pikir tak ada salahnya. Apalagi dengan cara itu, saya tidak akan tertimpa apa yang namanya stress, frustasi, atau hal-hal yang disebabkan kecewa akibat target yang tidak tercapai. Pandangan itu saya dasari dari prinsip kemerdekaan tertinggi, saat saya bisa bebas dari segala keinginan. Tapi kemudiaan, di penghujung tingkat 4 yang normalnya menjadi akhir dari status saya sebagai mahasiswa, saya mulai mempertimbangkan kembali jalan hidup yang hendak saya pilih. Saya susuri lagi jalan kenangan sampai menemukan sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan cita-cita.
Dalam jalan kenangan itu, saya terakhir memiliki cita-cita ketika duduk di bangku SMP. Saya tidak yakin apa yang menyebabkan cita-cita terputus begitu saja. Saya seringkali mencari jawaban pada orang-orang yang dekat saya. Ketika saya bertanya pada ibu apa cita-cita beliau, jawabannya dari dulu masih sama, “Menjadi pemenang Nobel.” Karena sosok ibu merupakan orang yang paling dekat dengan kehidupan saya, maka waktu kecil saya juga bercita-cita menjadi pemenang Nobel. Perlahan, cita-cita itu bergeser kesana kemari sesuai tren. Tapi seingat saya, tak pernah ada profesi spesifik. Hanya sebuah keberhasilan tanpa profesi tertentu ataupun keadaan sehari-hari ketika besar nanti. Salah satu yang paling sering terlontar adalah menjadi seorang peneliti yang bisa keliling dunia. Mungkin ini juga terpengaruh oleh ibu saya, yang meski jalurnya sudah jauh dari peneliti, namun keingintahuannya masih sangat besar. Dan karena telah menyandang predikat ibu, kecintaannya pada ilmu pengetahuan disalurkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk membaca.
Ketika, zaman-zaman SD-SMP, ibu membeli beberapa jenis ensiklopedi. Bahkan ada beberapa buku terbitan Life yang tertera tahun 1982, bahkan sebelum saya lahir(dan kakak baru lahir). Ketika saya tanya, apakah ibu sudah sempat membaca semuanya, ibu saya menjawab belum, maksud belinya juga agar dibaca oleh anak-anak, ya salah satunya saya ini:D. Meski begitu, baru belakangan saja saya membuka koleksi ensiklopedi, sebelumnya saya tenggelam dalam kisah-kisah Enid Blyton mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Elizabeth Jadi Pengawas, Malory Towers, St. Claire, Sirkus Pak Galiano, Noddy, hingga buku saku. Cerita-cerita itu mengajarkan saya banyak hal, tentang kejujuran, keadilan, saling menghormati serta juga hidup penuh petualangan.
Karena dibesarkan dengan kisah-kisah seperti itu, cita-cita saya juga berada dalam kondisi ideal seperti negara-negara Eropa. Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang peneliti di universitas(namun bukan menjadi dosen). Hidup tenang, dengan jam kerja yang masih memungkinkan untuk mengurusi segala urusan keluarga dan waktu luang di akhir minggu. Namun bayangan tersebut seolah menemukan titik baliknya ketika SMP. Berita-berita mengenai kondisi dalam negeri seolah menghantam saya ke dalam jurang. Kondisi ideal yang saya bayangkan terasa sangat egois. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan apa yang saya inginkan, sementara banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan sebagaimana yang saya miliki. Keadaan ini berlanjut hingga saya masuk SMA. Berbagai pemikiran mendera kepala saya. Ditambah keadaan yang cukup memadai untuk membaca dua koran per hari, saya berubah menjadi sosok yang gelisah.
Seingat saya saat itulah saya kehilangan cita-cita sebagai seorang peneliti. Bahkan jalur IPA yang sudah saya yakini sejak lama, tiba-tiba goyah menjadi jurusan komunikasi massa, ataupun FISIP. Meski pada akhirnya saya memilih jalur IPA sebagaimana yang telah saya bayangkan sejak kecil, namun saya tidak tahu apakah saya masih orang yang sama seperti dulu. Bahkan kini saya mulai berpikir apakah saya masih dalam keadaan sadar atau tidak. Membiarkan hidup dikendalikan oleh segala hal yang berasal dari luar. Meski dengan keyakinan adanya petunjuk, saya merasa tak ada salahnya juga hidup dalam keadaan seperti itu, memiliki fungsi sosial, mengikuti sebuah jalur formal, serta senantiasa berpikiran positif.
Tapi sekarang, saya memilih untuk merebut kembali kesadaran saya, dan saya harap saya bisa menemukan diri saya kembali. Baru-baru ini saya kembali memiliki cita-cita: menjadi penulis cerita anak-anak. Saya terinspirasi oleh kisah-kisah Enid Blyton yang mengajarkan kerja keras kejujuran serta pantang menyerah lewat tokoh-tokoh George, Dick, Julian, Anne serta Timmy. Belakangan ini saya kembali membaca buku cerita, salah satunya karangan Kate de Castillo yang baru saya sadari untuk anak-anak ketika pada halaman terakhir ada formulir untuk mengikuti Gramedia Junior. Bersih dari kisah cinta muda-mudi, ataupun prasangka, paling-paling sedikit kenakalan dan ide cerdas yang cukup merepotkan, seperti sebuah tanah liat yang belum dibentuk. Sekadar buat penyemangat, Lewis Caroll seorang matematikawan, juga menjadi penulis anak-anak Alice in Wonderland.
NB: kepada Sang Maha yang memberikan keluarga dengan kasih tanpa batas dan syarat, semoga Kau berkenan melimpahi mereka dengan kasih-Mu, sebagaimana yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini.
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...