“Apa perbedaan antara wartawan dengan ilmuwan?”
“Ngga tahu,” jawab saya.
“Kalau wartawan tahu sedikit mengenai banyak hal, sedangkan ilmuwan tahu banyak tentang sedikit hal.”
Pertanyaan yang diajukan oleh narasumber ketika ada materi jurnalistik kembali terngiang-ngiang di kepala saya. Hmm... saya lebih condong ke tahu sedikit mengenai banyak hal. Abis, cepet bosen. Apalagi kalau harus mendalami sesuatu yang tidak menarik. Tapi pandangan itu sedikit berubah ketika saya membaca buku yang berjudul Virus... karangan orang Microsoft. Pertama kali melihat buku itu, saya langsung ilfeel(ilang feeling). Ya iyalah, ngeliat sampulnya aja males. Bayangkan! Sebuah buku dengan warna panas(baca: oranye) dan dihiasi huruf-huruf yang memenuhi seluruh sampul bagian depan. Memang ada kata-kata yang bilang: don’t judge book by it’s cover, tapi saya juga menganut buy book by it’s cover. Hanya karena tadi teman saya membawa-bawa buku itu, jadi saya mempunyai kesempatan untuk memberi kesan kedua.
Bab pertama buku itu diawali oleh kata-kata dari Whitehead, seorang matematikawan. Nah, beliau juga yang quotes-nya menghiasi buku Purcell. Di buku Purcell, beliau bilang kalau menghapal gunanya untuk mempersingkat pengerjaan suatu masalah. Waktu awal kuliah, tulisan beliau saya tempel di dekat radio biar saya agak semangat menghapal. Entah kenapa saya rada-rada males sama yang namanya hapalan. Apalagi kalau ngga tahu asal muasalnya. Makanya cerita sejarah juga lebih banyak nempel alurnya, bukan tanggal dan tahunnya.
Dengan agak ge-er, saya merasa founding father-nya matematik juga alergi sama yang namanya hapalan, makanya sampai muncul kata-kata itu di buku Purcell. Hehe.. nyamain ketidaksukaan para tokoh itu kan keren juga. Dan buku Virus Akalbudi ternyata sedikit merubah paradigma jawaban teka-teki di awal. Ilmuwan ngga sepenuhnya tenggelam dalam dunia eksklusif mereka. Meski ngga bisa dipungkiri sains memang hanya dimengerti kalangan terbatas. Namun hal tersebut bukan berarti mereka tidak tahu kondisi di luar. Hal ini saya tangkap ketika pengarang buku oranye tersebut mengisahkan perbincangannya di kantin Microsoft.
Dari bagian yang saya baca sekilas, serta dari beberapa literatur lain, saya menangkap bahwa ilmuwan bukan hanya sebuah profesi melainkan juga sifat. Rasa ingin tahu, kejujuran, kreatif merupakan sifat-sifat yang saya temui pada beberapa ilmuwan yang saya baca. Rasa ingin tahu itulah yang menyebabkan pengetahuan ilmuwan pada umumnya tidak terbatas pada profesi mereka, melainkan juga menyangkut permasalahan yang ada di lingkungan. Kejujuran juga menjadi syarat mutlak bagi seorang ilmuwan untuk memperoleh hasil yang valid. Dan ketiga sifat tersebut juga saya temui di dunia pers. Rasa ingin tahu menjadi syarat mutlak agar berita yang disajikan menarik serta mendalam. Sedangkan kejujuran terkait erat dengan kredibilitas media dimata publik. Sifat-sifat yang terkait dengan profesi ilmuwan maupun jurnalis ternyata juga berpengaruh pada karakter orang-orang yang terlibat didalamnya.
Saya sering berpikir mungkin ngga sih, seorang memiliki karakter ganda. Misalnya seseorang berprofesi sebagai seorang wartawan/ilmuwan yang senantiasa mencari kebenaran untuk diungkap, tapi dalam kehidupan sehari-harinya, tukang bohong. Meski di sampul belakang buku Batas Nalar(BN), diungkapkan kecerdasan dan moral ngga ada kaitannya(lagi-lagi hasil membaca sekilas). Tapi seharusnya ada keunikan karakter yang dipengaruhi oleh profesi. Dari beberapa wartawan yang saya kenal, semuanya berpikiran terbuka dan senang berdiskusi.
Dalam skala makro hal ini saya bandingkan dengan tingkat pendidikan. Di beberapa negara yang tingkat pendidikannya sudah tinggi, banyak keputusan penting didasarkan pada referendum seluruh rakyat. Menurut saya, keadaan tersebut mengindikasikan rakyat dianggap cukup peduli, dan cerdas untuk menentukkan nasibnya sendiri yang berhubungan dengan permasalahan kebangsaan.
Apakah saya mengarah pada demokrasi ideal? Mungkin saja. Dalam pembahasan mengenai dunia pers yang saya baca di buku Pers Indonesia, demokrasi menjadi syarat mutlak untuk tercapainya kebebasan pers. Sains sendiri telah menjadi semacam daerah otonom karena label bebas nilai yang menghindarkannya dari tudingan aneh-aneh. Namun bagaimana jika demokrasi ideal yang analogikan dengan pasar ideal Smith, tidak mungkin tercapai, setidaknya untuk negara Indonesia saat ini? Harus ada interfensi-interfensi agar pengusaha-penguasa kecil mampu masuk ke pasar yang didominasi penguasa besar.
Lagipula negara-negara Eropa yang melakukan referendum, setahu saya kebanyakan menggunakan ideologi sosialis. Bahkan penolakan referendum di Perancis belum lama ini oleh beberapa analis yang saya temui, ditengarai disebabkan karena dalam pasal-pasal UE kental dengan nuansa kapitalisme. Hal ini bertentangan dengan keadaan Perancis saat ini, yang seingat saya menempati negara dengan pelayanan publik terbaik.
Saya lalu berpikir, tampaknya kecerdasan yang ditandai dengan tingkat pendidikan yang tinggi di suatu negara tidak mengarah pada kebebasan mutlak, melainkan pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan sebuah hipotesis baru: kepedulian pada sesama. Hal ini tampak dari pajak piramida terbalik yang digunakan di beberapa negara Eropa. Penghasilan yang melebihi 4000 Euro misalnya, akan dikenai pajak yang lebih tinggi. Dengan kebijakan tersebut, orang kaya mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Kalaupun saya menerima bahwa kecerdasan tidak ada kaitannya dengan moral sebagaimana yang tertera di buku BN, namun bagi saya kecerdasan sangat erat kaitannya dengan kemampuan mengendalikan diri dan berpikir panjang.
Pemahaman-pemahaman baru ini, memberi darah segar untuk benar-benar serius dan total di kuliah. Mungkin saya akan mulai berhenti mengkonsumsi buku-buku sosial untuk sementara, kalaupun berbau sosial tetap harus ada kaitannya dengan sains. Saya mau fokus untuk mengilmiahkan diri, setidaknya untuk 6 bulan kedepan. Mumpung sekarang lagi liburan, baca buku sains populer banyak-banyak, serta mencari lingkungan yang kondusif secara mental.
Karena lagi semangat mengilmiahkan diri pula, Selasa lalu waktu ke pameran Gramedia-Kompas di Sabuga saya sengaja melihat-lihat buku impor terbitan Wiley, McGraw yang membahas tentang math. Bukunya keren-keren banget, tapi pas melihat pengarangnya, “Lha, ini mah ada di perpus. Hanya saja yang di perpus versi bajakannya.” Enak ngeliatin buku import, desainnya keren trus kertasnya ngga putih-putih banget. Entah kenapa buku lokal senang menggunakan kertas putih yang menyebabkan mata cepat lelah. Apa udah terkena imbas iklan pemutih ya? Ngga muka, baju, kertas semuanya jadi korban iklan....
Catatan kecil: tadi liat buku CSD-nya Gie terbitan baru. Bentuknya jadi berubah banyak banget, lebih gede, bersampulkan Nicholas Saputra, dan yang paling mengejutkan adalah ada tulisan A Mild Present. Rokok sekarang mainannya citra. Ngga heran ada perusahaan rokok yang mau dukung film perjuangan karena dibintangi Nicholas. Kalo di barat ada Tom Cruise dan Julia Roberts yang bisa menarik penonton berduyun-duyun ke bioskop, di Indon ada Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Film/sinetron yang temanya perjuangan pun kini ngga lebih dari permainan simbolik. Di sinetron-sinetron, baju Che atau buku Tan dipake or dipegang ama remaja mentereng. Jadi teringat lagu di radio, ‘So what gitu loh’
3 comments:
Wartawan DAN Ilmuwan. Wartawan ATAU Ilmuwan. (Perhatikan huruf yang tercetak besar).
Hayo,.....akan tiba saatnya memilih.
haha... sama kaya' aku, pas liat cover orange itu. ngeliat huruf kaku dan imbauan jangan baca, seakan disuruh untuk tidak membacanya secara nyata. boleh jadi maksud hati buku ini mengimbau agar tidak membaca dengan maksud penasaran, tapi malah aku sama sekali tidak penasaran dibuatnya.
tentang wartawan dan ilmuan, menurutku gak perlu dibedain :D daripada sudah2 mikir..
Kayanya sampai detik aku ngetik ini, aku juga belum mau membedakan ilmuwan dan wartawan. Terutama karena ada kesamaan sifat, tapi kalo udah lulus, baru deh judulnya jadi wartawan atau ilmuwan.Hehe...
Post a Comment