Monday, June 13, 2005

Kepedulian Tanggung

Dipandanginya uang itu berkali-kali. Duaratus ribu rupiah, jumlah yang cukup banyak untuk profesinya sebagai pemulung. Namun ia berharap uangnya saat itu dua seperempat kali lebih banyak. Bukan untuk membayar SPP, karena mimpi itu terlampau muluk, bukan pula untuk mengobati penyakit muntaber, karena itu sudah sangat terlambat, melainkan untuk membawa jenazah bidadari kecilnya yang baru berusia 3 tahun ke tempat terakhir, dan meski itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk putrinya, tampaknya rintangan belum usai menggodanya.

Aku bisa saja menghiburmu dengan mengatakan masih banyak orang yang peduli pada sesama. Dalam kisah Supriono, ayah dari Khaerunisa, kepedulian itu tampak dari sumbangan yang berhasil dikumpulkan sebesar dua ratus ribu rupiah. Namun kepedulian itu tak cukup. Kau tahu apa artinya kejadian itu bagiku? .

Aku selalu berpikir, ketulusan hati adalah segala-galanya. Dimana ada niat baik, maka disana ada harapan. Namun kisah tragis Khaerunisa itu menghantamku pada sebuah kenyataan pahit. Sepotong kepedulian saja tak cukup. Ia membutuhkan sebuah perhatian utuh, serta penyelesaian yang mendasar. Suatu masalah tak bisa hanya dilihat sebagai bagian yang terpisah dari sebuah bangunan besar. Seperti ketika orang-orang memberi bantuan tanpa mengetahui pokok permasalahan, yang ada hanya solusi tanggung, dan nyatanya tak menolong banyak.

Kepedulian ternyata tak sederhana. Ia takkan pernah cukup kalau hanya untuk membeli sebuah rasa nyaman karena telah mengeluarkan sebagian harta kepada kaum papa ketika melewati pojokan jalan. Pernahkah kau merasa senang ketika memberi sebagian rizkimu kepada peminta-minta? Meski kau tahu bahwa memberi sedekah kepada orang yang masih sehat dan mampu bekerja, merupakan tindakan destruktif, tetap saja ada saat-saat dimana dorongan untuk memberi tak bisa kau hindari. Keinginan itu muncul begitu saja, tanpa ada rumusan bakunya. Ketika kau melihat kondisi seseorang dalam keadaan yang membuatmu iba, tiba-tiba ada dorongan untuk merogoh saku celana dan memberikan apa yang kau punya.

Perasaan itu kemudian menjadi bermasalah. Dengan terus memberi, bukankah itu sama artinya dengan mengakui profesi dan keberadaan mereka, serupa dengan kepedulian tanggung dalam kisah Supriono? Membantu menyambung hidup, namun tak mendidik mereka menjadi pribadi seutuhnya. Aku bukannya menutup mata terhadap kondisi yang ada di Indon. Angka PHK yang membengkak, biaya pendidikan tinggi, lapangan pekerjaan minim, kesehatan masyarakat rendah, kondisi sanitasi buruk dan masih banyak hal menyedihkan lainnya. Namun itu bukan pembenaran untuk menyerah pada keadaan.

Dari kisah rakyat di negara lain, terutama yang mampu bangkit dari keterpurukkan, rakyat bersatu untuk bangkit dari krisis. Susah senang ditanggung oleh seluruh rakyat didasari kesadaran dan cita-cita untuk bangkit. Kepedulian pada negara benar-benar diresapi. Hal yang sangat bertolakbelakang dengan kondisi di sini. Kalaupun ada orang-orang yang peduli, maka bentuknya masih serba tanggung. Pemberantasan korupsi yang hanya menyentuh kelas teri, pendidikan yang masih harus bersaing perhatian dengan dana pilkada yang menyita ratusan juta rupiah, dan solusi-solusi yang seolah hanya untuk membayar rasa nyaman akan sebuah kata peduli.

Agar teriakan rakyat berhenti
Agar dunia internasional berbaik hati
pada negara berlabel demokrasi
Agar tak ada lagi anarki
Apakah itu arti peduli?

NB: Hua..ah mengerikan. Kenapa aku jadi sinis seperti ini?

2 comments:

Anonymous said...

dlm menghadapi anak jalanan

terpikir...

'kamu, kalau benar2 ingin sekolah, ikut lah ke rumahku, bpk sekolahkan kamu...bagaimana?'

cuma tepikir lagi..
'daku juga belum punya rumah...'

makanya, daku agak2 kurang sreg, tapi cuma agak... sewaktu teman menggagas untuk buat badan buat ngurus hal2 yang buat diurus itu...

selama ini, daku coba menerapkan kepudalian yang tidak tanggung itu,
dan hanya orang sekitar...
family, teman dan sejenisnya...

kalau bawa orang berobat, ya obatin ampe sembuh atau kita nyerah..
dst...

memang, seharusnya peduli itu jangan tanggung2...

karena kalau enggak, kadang kepedulian kita jadi seperti

tetesan2 kecil tak beraturan di kegersangan, tetesan itu tidak cukup untuk buat benih tumbuh...


dei

Anonymous said...

ketika ada orang tua yang ditanya,
kenapa engkau menanam ...

padahal ketika buahnya tumbuhpun mungkin
engkau telah mati ...

jawab orang tua itu (yang tentunya lebih bijak dari saya) ...

aku sangat boleh jadi tidak akan menikmati buahnya, tapi anak cucu kita akan sangat mungkin dapat menikmati hasil-nya nanti ...
...
..
.

Tak ada kata tanggung ... dalam berbuat kebaikan.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...