“Apakah kebenaran menjadi lebih benar kalau aku salah?” tanyanya dengan pandangan menggugat.
“Tidak, tentu tidak. Kebenaran hadir sebagaimana adanya, ia tak perlu pembanding untuk menyatakan hakekat dirinya, hanya saja…”
“Hanya saja apa? Teruskan,” desaknya.
“Aku tidak yakin kau akan senang mendengar ini. Hanya saja kebenaran sangat sulit ditemukan. Kadang manusia mencari kebenaran dengan menolak kesalahan, meski negasi A tidak akan pernah menjelaskan bagaimana hakikat A, setidaknya ia mencoba mendekati. Hal ini sangat rumit, aku tak yakin kau akan mengerti…”
“Maksudmu seperti ketika aku bertanya seperti apa rupa Tom Crusie, kau mulai menyebutkan nama-nama orang yang aku kenal sebagai pembanding?”
“Tepat sekali. Aku mencoba membawa gambaran akan dirinya pada sesuatu yang telah ada dalam pikiranmu, meski aku bisa yakin kau takkan bisa membayangkannya secara tepat. Hal ini mirip dengan konsep numerik, yang menghampiri solusi eksak dengan pendekatan hingga error tertentu. Kian canggih perkembangan teknologi, solusi yang dihasilkannya semakin akurat. Meski secara teori, numerik bukanlah keadaan yang sebenarnya.”
“Jadi ketika seseorang melakukan perbandingan, hal itu disebabkan karena ia kesulitan untuk menjelaskan keadaan yang sesungguhnya?”
“Jawabannya bisa berbeda untuk tiap orang.
“Itu tidak adil. Bagaimana bisa kau mencampuradukkan konsep kebenaran dengan perasaan nyaman?”
“Karena itu, aku dari awal sudah memperingatkan, setiap jawaban memiliki tuannya masing-masing. Aku tidak bisa menjamin penjelasanku akan dapat kau terima atau tidak. Hmm.. kasus diatas hanya ilustrasi yang banyak kutemui, tapi ada juga orang yang tetap merasa sedih kalau ia mendapat jelek meski seisi kelas mengalami hal serupa. Baiklah, kucoba mencari pendekatan lain…”
“Tunggu, kau bilang pendekatan…” [Jeda sejenak] “Ah, aku mengerti. Dari tadi kau mencoba memberi pendekatan dengan hal-hal yang aku pahami, aku tidak mungkin memperoleh kebenaran itu sendiri!”
“Kurang lebih seperti itu, satu-satunya cara agar kau mampu mendekati apa yang kusampaikan adalah dengan ilustrasi. Tapi kau baru akan benar-benar paham ketika kau mengalaminya sendiri, seperti yang baru saja kau rasakan.”
“Aha… jadi dari tadi kau mencoba menggiringku pada keadaan ini.”
“Tak ada jaminan berhasil memang. Tapi pemahaman yang datang dari dalam dirimu sendiri akan jauh lebih bermakna daripada jika aku memberikan definisi-definisi asing. Aku bisa saja memberikan jawaban, tapi setiap kali kau membutuhkannya, kau akan tetap dihantui perasaan menggantung. Berbeda kalau kau menemukannya sendiri, setiap saat dibutuhkan kau bisa menyusurinya kembali.”
“Kalau begitu, kau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menggali terowongannya masing-masing?”
“Aku yakin seperti itu, tapi ada orang yang kehilangan sekopnya. Sehingga ia membutuhkan bantuan orang lain untuk meminjami sekop atau membantu menggali. Keadaan ini bisa dipicu oleh banyak hal, seperti lingkungan yang buruk, desakan ekonomi, meski itu bukan pembenaran untuk menekan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam diri manusia.”
“Gara-gara itu ada metode-metode artificial?”
“Bagiku ya. Karena kalau mengikuti ilustrasi yang tadi, sekop itu bisa langsung dibeli bahkan kau bisa menggantinya dengan alat-alat berat, tanpa harus mencari relasi ataupun melakukan usaha-usaha rumit. Sederhana, efisien tapi juga harus memiliki dana lebih. Begitu pula metode yang dikenal dengan nama ‘how to’, bagi sebagian orang yang super sibuk, metode ini bisa berhasil, karena ia tidak memiliki waktu luang untuk mencari sendiri jawaban atas hidupnya. Namun kalau cara ini berlebihan, seperti ketika kau membeli alat berat yang ternyata menghancurkan terowongan yang tengah kau gali, jawaban yang kau dapat dari metode-metode tersebut bisa bersifat temporal atau bahkan berdampak destruktif padamu.”
“Apakah kau memiliki saran untukku?”
“Aku pikir setiap orang ada memiliki jalannya masing-masing, aku takkan mungkin menjawabnya untukmu. Kau bisa bertanya pada dirimu, orang-orang yang kau anggap paling memahami dirimu, kerabat, bahkan pada seorang psikolog. Namun jauh diatas semua itu, kau bisa meminta kepada Pemilik alam semesta untuk memberikan jawabannya kepadamu, tentu saja disertai ikhtiar.”
“Semudah itu?”
“Bagiku tidak, karena dari kisah-kisah manusia di masa lampau sudah banyak kaum yang tersesat. Tentu saja, kau tidak mungkin membayangkan jawaban itu akan kau peroleh sertamerta, kau harus berusaha untuk mencapainya.”
“Jadi sebelum memperoleh jawaban, lagi-lagi aku harus belajar?”
“Ya, termasuk belajar untuk bersabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam dirimu sendiri. Kemudian kau juga harus mampu untuk tenang dan memikirkan segala hal yang kau peroleh. Pengetahuan yang kau miliki takkan berguna kalau hanya kau gunakan untuk memenui hasrat rasa ingin tahumu. Kau harus merubahnya agar ia menjadi sesuatu yang lebih, dan mampu mengantarkanmu pada kesadaran yang lebih tinggi.”
“Manusia paripurna?”
“Menuju manusia paripurna, aku lebih suka menyebutnya demikian. Karena bagiku manusia tidak memiliki otoritas untuk menyebut seseorang paripurna, manusia pilihan dlsb, manusia hanya bisa berusaha.”
No comments:
Post a Comment