Museum yang saya kunjungi diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929, bertepatan dengan Kongres Ilmu Pengetahuan se-Pasifik IV di Bandung. Gedung di jalan Diponegoro 57, Bandung tersebut terdiri dari laboratorium, perpustakaan dan Museum Geologi. Pada awal pembangunannya, peragaan yang disusun masih menyerupai ruang dokumentasi koleksi saja. Keadaaan itu berubah sekitar tahun 1990-an melalui rencana pengembangan. Tahun 1998, proyek renovasi dimulai dengan bantuan dari Jepang. Sekarang museum yang tampak sepi di hari kerja tersebut memiliki tidak kurang dari 250.000 koleksi batuan dan mineral, sekitar 60.000 koleksi fosil, dll. Museum ini juga memiliki fasilitas auditorium bagi pengunjung yang datang berombongan.(sumber: brosur Museum Geologi)
Minggu ujian berarti kegiatan relatif berkurang. Karena ujian tinggal satu, dan tugas-tugas udah beres, saya memutuskan untuk menjalankan agenda yang telah tertunda cukup lama, mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kota Bandung. Hari ini tujuan saya adalah museum Geologi. Selain karena letaknya yang dekat, museum Geologi adalah satu-satunya tempat yang saya ketahui. Jadi daripada memperpanjang rekor kesasar, saya memutuskan mengunjungi tempat tersebut. Ketika saya keluar rumah, udara mendung. Belum sampai perempatan pertama, rintik mulai menyapa. Namun karena tanggung dan memang sudah direncanakan dari kemarin, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan. Parahnya, meski sudah sering melewati jalan Diponegoro dan tahu letak pastinya, gerbang masuknya kelewatan, terpaksa saya harus memutar cukup jauh.
Di pos satpam gerbang masuk, tampak beberapa remaja dengan tas-tas besar sedang duduk santai. Dari raut wajah, tampaknya mereka baru melakukan kegiatan yang melelahkan. Tak lama setelah celingak-celinguk dekat pagar, karena tidak tahu harus memarkir motor dimana, pak satpam memberi tahu kalau saya harus ke belakang. Sambil berjalan pelan, saya mulai menyelidiki daerah baru itu. Kompleks yang dari luar tampak melebar ke samping, ternyata memiliki daerah belakang yang cukup luas. Dua buah bus pariwisata tampak sedang parkir di depan gedung kantor telekomunikasi, namun tak tampak motor satupun. Parkir motor saya temukan kemudian dekat sebuah ruangan bertuliskan perpustakaan. Dari balik jendela model Belanda, saya bisa melihat buku-buku tebal yang tampak sudah tua.
Ketika saya menanyakan cara masuk ke museum Geologi, pak satpam yang memberikan karcis parkir, mengatakan saya harus membeli karcis di loket yang terletak di dekat pintu masuk. Dengan perasaan senang, karena museum yang selalu tampak sepi itu buka, saya melangkahkan kaki ke depan. Beberapa tanda panah mengarahkan saya pada sebuah bangunan yang terpisah dari gedung utama. Bangunan itu berisi cinderamata berupa batu-batuan, dan juga makanan kecil. Di bagian yang bertuliskan loket tak ada orang. Namun dibagian belakang tampak beberapa orang berusia sekitar 25 tahunan sedang mengobrol. Setelah membeli tiket, saya menuju bangunan utama.
Di bagian penitipan tas, yang sekaligus berfungsi sebagai pemeriksaan karcis tampak tas banyak tas tergeletak di lantai. “Lagi ada kunjungan ya, Pak?” tanya saya pada penjaga karcis. “Ngga, kok. Sepi,” jawab orang yang melubangi karcis saya, sambil meletakkan tas saya di belakang rak. “Ooo.. terimakasih, Pak.” Benar saja, di bagian yang berjudul Geologi Indonesia tak ada orang. Setelah puas lihat kiri-kanan, sambil membaca beberapa bagian yang saya anggap menarik, saya sampai di ujung ruangan yang berisi keterangan mengenai gunung-gunung aktif di Indonesia. Di dekat maket yang terletak di tengah ruangan terdapat layar seukuran televisi 14 inchi sebanyak dua buah. Ketika saya sampai di ruangan itu, layarnya menampilakan gambar biru polos. Kemudian gambar biru tersebut berganti dengan gambar gunung Bromo, gunung Semeru kemudian kawah Bromo. Tak lama kemudian layarnya kembali biru. Saat itu saya berpikir, canggih juga kalau cara kerjanya dengan alat sensor yang mendeteksi kedatangan seseorang. Namun dugaan saya keliru, karena tak lama berselang layar itu kembali mengulang gambar Bromo, meski saya sudah pergi keluar.
Terakhir kali ke museum seingat saya adalah beberapa belas tahun yang lalu, sekitar kelas 1 SD. Ketika kembali ke museum seorang diri ada perasaan aneh. Perasaan itu menguat ketika saya memasuki bagian sejarah kehidupan. Dulu saya juga pernah melihat fosil-fosil makhluk purbakala, tapi waktu itu saya pergi dalam formasi full, ada ayah, ibu, serta kakak. Jadi meski kini saya sudah jauh lebih tua, tetap saja saya ketakutan melihat seekor Tyrannosaurus rex OSBORN. Hehe.. ternyata makhluk-makhluk itu tetap saja besar meski umur saya sudah bertambah sekitar 16 tahun, payahnya lagi saya sendirian(sebenarnya sengaja nyari waktu ditengah minggu biar sepi, tapi diruangan yang cukup menyeramkan itu, saya berharap setidaknya ada satu orang lain, ya... dua orang juga boleh deh:D).
Entah kenapa melihat sesuatu yang asalnya hidup(atau patung) dalam keadaan diam membuat perasaan saya tidak nyaman. Akhirnya karena merasa sudah terlanjur sampai sana, dan sayang kalau melewatkan bagian terbaik, saya mencari akal untuk mendekati tempat-tempat yang menyeramkan itu. Sambil membaca keterangan-keterangan di dinding, dengan terus mengalihkan pandangan dari Tyrannosaurus, gajah purba, dan makhluk-makhluk yang seolah menatap saya itu, saya berhasil mendekati posisi mahkluk besar tersebut. Tapi saya belum siap untuk benar-benar dekat, jadi saya berencana memasuki ruangan lain terlebih dulu. Baru melongokkan kepala, tampak tengkorak-tengkorak. Hua..ha.. ngga jadi deh. Untung masih ada satu ruangan(Masa Kenozoikum) lagi di dekat sana yang isinya batu. Meski didalamnya ada juga beberapa bekas fosil, namun bentuknya tidak sejelas tengkorak dan makhluk-makhluk lainnya. Setelah berhasil memenangkan sisi rasional, akhirnya saya kembali ke ruangan Dunia Fosil yang berisi tengkorak-tengkorak kera, orangutan dan konstruksi wajah Homo/Pithecantropus(?) Erectus. Tengkorak-tengkorak disusun mengikuti skema evolusi. Di dinding juga terdapat tokoh-tokoh evolusionis, seperti Darwin, Dubois dan Fr...(as usual, I’m forget). Saya sendiri tidak sepakat dengan asal mula manusia dari monyet, tapi memikirkan bagaimana kehidupan pemilik replika tengkorak-tengkorak ini di masa lampau sangat menarik.
Akhirnya sampai di bagian klimaks, menatap Tyrannosaurus raksasa pemakan daging yang dalam keterangan ditulis sebagai makhluk ganas. Di dekat makhluk besar itu, ada teori mengenai kepunahan massal. Saya mengagumi keberadaan makhluk-makhluk raksasa itu dan betapa menakjubkannya alam ini. Rahasia masa lalu yang sampai kini masih membuat ratusan mungkin ribuan ilmuwan asyik dalam penggalian, dan perjalanan. Mengkonstruksi jalinan masa lalu dalam teori-teori. Seperti menyusun kepingan puzzle menjadi sebuah gambar utuh.
Perjalanan selanjutnya ke bagian geologi untuk kehidupan manusia. Di bagian yang terletak di lantai dua itu, terdapat tata cara kehidupan manusia purba, serta bagaimana mereka memanfaatkan mineral. Saat menaiki tangga, tampak sebuah monumen untuk mengenang jasa-jasa Arie Frederick Lasut. Beliau merupakan tokoh yang menyelamatkan dokumentasi-dokumentasi geologi dan pertambangan. Ketika sampai di lantai dua, saya langsung bisa melihat sebuah televisi sedang memutar rekaman mengenai perjalanan para ahli ke gua-gua. Meski rekaman itu dilengkapi seorang narator, namun suaranya kalah oleh lagu One Fine Day-nya Mariah Carey yang disusul How Deep is Your Love. Entah untuk mengikuti perkembangan zaman atau apa, namun bagi saya lagu itu terasa asing di tengah benda-benda yang berasal dari ribuan hingga jutaan tahun lampau. Perasaan asing serupa saya temui ketika melihat lemari berjudul: Mineral dalam kehidupan modern. Dalam lemari kaca tersebut tampak bedak Marcks, pepsodent, lipstik, lampu Philips dll. Barang-barang yang tampak kontras dengan ruangan disebelahnya yang berisi batu-batu dengan beraneka bentuk.
Saya mencoba membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka miliki dengan batu-batu beraneka bentuk tersebut. Namun mereka mungkin juga akan bertanya-tanya tentang benda-benda modern yang ada sekarang. Seperti ketika Xixo menemukan botol kaca dalam film The Gods Must Be Crazy. Botol itu malah membuat pertikaian dalam suku yang tadinya adem ayem. Tampaknya masing-masing masa memiliki kehidupannya sendiri, lengkap dengan kebahagian dan problematikanya.
Selasa, 31 Mei 2005
6 comments:
Kagum deh, orang Indo banyak yg tidak menghargai peninggalan sejarah. Jadi jarang yg suka berkunjung ke Museum sukanya pada ke Mall. Padahal banyak manfaat yg bisa di dapet yah.
Museum yg umum ajah jarang dateng apalagi Museum Geologi...saya termasuk yg suka ke Museum.
Banyak pelajaran ke Museum kalau ada kunjungan khusus dari sekolah2...kalau di LN, keluarga2 kecil senangnya jalan2 ke MUseum...beda banget yah.
Salam kenal, sudi mampir?
waaaaaaa..... ikut dongg!
Ass. iya nih, yuti jalan-jalan gak ngajak-ngajak. Boleh tuh yut.. ;P Wass.
Parahnya, meski sudah sering melewati jalan Diponegoro dan tahu letak pastinya, gerbang masuknya kelewatan, terpaksa saya harus memutar cukup jauh.
Yuti...ti....
Baru di Diponegoro aja udah kelewatan. Kebanyakan baca buku kali ya.... :P
Kan grung..grung... naik motor Ki. Jadi pas sampai di depan gedungnya langsung, gebangnya udah kelewatan:D
Whaaa... seru yaaa....
Post a Comment