Tak ada yang salah dari buku itu. Ceritanya disajikan dengan tutur yang mengalir lancar, font-nya enak dibaca, serta kertas yang tidak terlalu putih, hanya saja... membacanya membuat perasaan saya kacau balau. Perasaan yang timbul ketika membaca buku itulah yang membuat saya agak berat membalik halaman demi halaman. Untuk dapat melanjutkan ke lembar selanjutnya, saya membutuhkan jeda. Rehat untuk segala perasaan yang berkecamuk, dan lebih tepatnya mempersiapkan diri untuk menghadapi bagian-bagian yang tidak mengenakan.
Saya jadi teringat pengalaman menanti ulangtahun saat masih kecil. Seminggu menjelang hari H, saya biasa diliputi rasa penasaran. Gagal mengorek keterangan dari ibu, saya mulai mereka-reka tempat yang kira-kira digunakan oleh ibu untuk menyembunyikan hadiah. Meski sudah membongkar setengah isi rumah, pencarian saya selalu berakhir dengan kegagalan. Ketika membaca buku cerita, rasa penasaran itu bisa langsung diakhiri dengan melompati beberapa halaman hingga sampai pada bagian akhir. Saya tahu ini akan menghancurkan kejutan-kejutan yang ada di tengah cerita, tapi saya terpaksa menggunakan cara ini ketika membaca buku itu.
Curang, mungkin, pengecut, bisa jadi, tapi saya tidak bisa menemukan cara lain untuk menghadapi bagian-bagian yang ada di tengah cerita. Saya merasa perlu mempersiapkan emosi saya sebelum benar-benar dihadapkan pada realitas teks yang menyedihkan. Meski sama-sama mengangkat seseorang yang meninggal, penuturan Mitch Albom kali ini agak berbeda. Dalam Selasa Bersama Morrie, cerita disajikan menggunakan satu sudut, sedangkan pada bukunya kali ini, The Five People You Meet in Heaven, alurnya maju-mundur, serta melibatkan banyak sudut. Bagaimana keputusan satu orang mempengaruhi kehidupan orang lain seluruhnya. Dan alam baka yang digambarkan oleh Albom, bukan berkisah mengenai surga sebagaimana sering digambarkan seperti taman firdaus, melainkan tempat dimana kau akan bertemu lima orang yang membuat kehidupanmu sepenuhnya berbeda.
Dari awal kisah, saya sudah menaruh perhatian pada satu sosok, Marguerite. Kehadirannya dalam kehidupan Eddie, sang tokoh utama telah menyerap seluruh perhatian saya. Penantiannya akan kepulangan Eddie dari medan perang di Filipina, kesediannya untuk menikahi Eddie meski kakinya tak sempurna lagi akibat terkena tembakan, serta kesabarannya mendampingi pria itu hingga akhir hayatnya. Ketertarikkan saya pada perempuan itu pula, yang menjadikan buku itu kian sulit untuk saya habiskan dalam waktu singkat. Terutama ketika sampai pada bagian yang khusus membahas mengenai Marguerite.
Maju-mundur, maju-mundur. Melompati beberapa halaman, kemudian mundur sedikit demi sedikit, hingga sampai pada bagian terburuk. Oke, cara yang aneh, tapi tak ada aturan baku dalam membaca sebuah cerita bukan? Apalagi pada bagian persembahan disebutkan bahwa buku ini terinspirasi oleh kisah nyata. Jadi meski berlabel fiksi, tetap saja kejadian-kejadian yang ada dalam cerita itu pernah terjadi diluar sana, somewhere, someplace...
Sedikit potongan dari buku itu: bahwa setiap kehidupan mempengaruhi kehidupan berikutnya, dan kehidupan berikutnya itu mempengaruhi kehidupan berikutnya lagi, dan bahwa dunia ini penuh dengan kisah-kisah kehidupan, dan semua kisah kehidupan itu adalah satu[Mitch Albom, The Five People You Meet in Heaven, h.202].
No comments:
Post a Comment