Friday, November 25, 2005
Senyum
Langit masih gelap pikirku. Mata pun berat peninggalan mengerjakan tugas semalam. Namun jam dinding, seakan menatap tajam, menyuruhku untuk segera bergegas. Di luar rintik tampak menyium tanah. Menebarkan semerbak bau khas hujan. "Hei, ayo ambil handuk dan bangunkan segenap kesadaranmu" sebuah suara mengingatkanku. "Kau layak untuk tidak masuk. Sekali ini saja," timpal sebuah suara. Meski dengan ogah, aku berhasil memaksa diriku melakukan ritual berangkat kuliah.
Jalanan macet. Mobil tampak enggan untuk beranjak, hanya merayap pelan. Sambil mengawasi jam tangan, kucoba mencari sejengkal ruang. Untung saja masih ada celah untuk berjalan. Setiba di Salman, jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, mentari pun masih enggan menampakkan diri. Dengan semangat hanya setengah kulangkahkan kaki ke ruang kuliah.
Berjalan, sambil mencari bayangan-bayangan menyenangkan, akupun menyusuri setapak di depan gedung kayu. Tiba- tiba seseorang menyapa, dengan kedua tangan disatukan membentuk salam, dan sebuah senyum terulas di bibir. Ah, dunia ini masih hangat menyapa...
The One
(Diany, Bella Donna the Wedding Magazine)
Quotes yang aku ambil dari blog-nya yustika. Kata-kata itu masih ada kaitannya dengan percakapanku dengannya di Gramedia selasa lalu. Imaji akan 'the one'... Sebuah gambaran yang bermain-main di benak, tertawa, berlari-lari meninggalkan sebuah pertanyaan yang tak juga terjawab. Mungkinkah gambaran itu silih berganti, menyajikan rupa satu dengan yang lainnya, hingga ketika tiba saatnya imaji itu akan mewujud menjadi sosok yang utuh? Sebuah pilihan objektif berdasarkan sederet kriteria, atau kriteria menjadi tiada ketika menemukan orang yang mampu mengisi ketidakutuhan diri?
Masih meraba-raba, dan sempat juga terluka. Ternyata jatuh cinta tak hanya memberi satu warna. Mungkin memang belum saatnya, meski kini semua tampak berbeda. Memulai dari awal, belajar, dan mencoba menikmata semesta rasa.
Wednesday, November 23, 2005
Algoritma
Pagi-pagi cari koran, kalau beritanya menarik, baca, jika tidak, mulai menyalakan komputer. Kalau milih baca koran, akan terjadi iterasi yang berpatokan pada waktu dengan kriteria penghentian jika tidak ada lagi berita yang menarik atau waktunya lebih besar daripada setengah jam. Kalau pilihannya tidak, maka mulai memasang kriteria penghentian kerja berdasarkan waktu. Kalau mau 1 jam, pilih satu folder musik saja kemudian pasang di winamp. Selanjutnya mulai menyalin notasi-notasi yang ada di kertas kotretan dan buku teks ke LaTex. Jika penurunan rumusnya sudah rapih, dan tidak loncat-loncat, maka bisa langsung diketik. Tapi jika tidak, buka buku teks dan cari teorema, lemma, maupun definisi yang mampu menerangkan bolong-bolong pada pembuktian rumus. Pencarian informasi di buku juga ada metodenya, mulai, lihat index, kalau bukunya tidak memiliki indeks maka lihat di daftar isi. Nah, kalau musiknya sudah habis, ada dua pilihan, terus atau berhenti.
Huahaha... hasil keracunanku akan struktur.
Rubah
Maka Pangeran Kecil pun menjinakkan si Rubah. Dan ketika saatnya untuk pergi telah menjelang, inilah yang terjadi.
“Oh!”, isak si Rubah. “Aku akan menangis.”
“Ini salahmu sendiri,” kata Pangeran Kecil. “Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Tapi kau sendiri yang memintaku menjinakkanmu.”
“Aku tahu,” jawab si Rubah.
“Dan kau tidak memperoleh apa-apa dari semua yang terjadi ini!”
“Tidak, aku sudah memperoleh sesuatu darinya,” bantah si Rubah, “yaitu kenangan atas warna ladang jagung.”
(Rubah dan Pangeran Kecil, Exupery)
NB: ngga tau rasanya bakal sesedih ini, tampaknya aku harus belajar banyak dari si rubah...
Monday, November 21, 2005
Kucing Schrodinger
“Kucing ini ditempatkan di boks tertutup bersama sebuah kapsul berisi racun sianida, dan sebuah pemicu yang aktif ketika satu isotop radioaktif menembakkan sebuah elektron. Peluangnya fifty-fifty. Apabila elektron mengenai tombol on, maka kapsul itu pecah, dan kucing mati. Kalau elektron tidak menyentuh pemicu itu, si kucing tetap hidup. Dalam waktu satu jam, baru akan ada pengamat yang membuka boks dan melihat hasilnya. Pertanyaannya, apa yang terjadi pada si kucing selama selama boks itu tidak dibuka?”(taken from Supernova, Dee, h.157)
Dalam versi yang lebih formal, elektron, sebelum fisikawan menentukan bagaimana menelilitinya, elektron itu bukan gelombang bukan pula partikel. Ia berada dalam keadaan setengah partikel-setengah gelombang. Kondisi antara. Hahaha, dasar pecinta relativitas! Semuanya dipandang sebagai keadaan eksperimental. Kehidupan yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman subjektif. Lucunya, meski matematika selalu dikelompokkan pada ilmu pasti, wacana yang keluar dari matematikawan lebih banyak yang bersifat informal. Masalah finite-infinite, limit, hampiran, peluang, persamaan-persamaan yang disusun untuk membuktikan teorema dan dipertahankan berdasarkan kegunaan dan keindahannya. Geometri euclid-non Euclid merupakan salah satu contoh menarik dimana ‘penemuan’ ruang melengkung tidak merubuhkan fondasi sebelumnya, melainkan memberikan sebuah dimensi baru.
Kayanya aku mulai keracunan buku matematika deh. Abis ternyata buku-bukunya asyik, dan karena gaya bekerja otakku yang divergen, aku ngga pernah puas baca dari satu buku. Alhasil bukannya maju, bahan-bahan yang kuperoleh malah makin melebar. Bener-bener menarik. Gimana ya meyakinkan orang bahwa sesuatu itu menarik. “Eh, lihat deh, menarik kan” atau “Masa kamu ngga percaya ini menarik. Lihat nih, dari kenyataan bahwa dia memenuhi fungsi Lipschitz, maka maka fungsi tersebut kontinu seragam.” Ok, deh, kayanya aku agak yakin, kalau aku gagal meyakinkan orang bahwa apa yang kukerjakan ini menarik. Menarik apa ngga hanya bisa dirasakan, sama kaya aku bilang kalo es krim itu enak. Kali aja, aku ngomongnya ke orang sakit flu yang mendengar kata es langsung bersin-bersin.
Lagi-lagi balik ke masalah relatif. Aku pikir pengetahuan akan perbedaan seperti ini bisa membuat seseorang semakin bijak. Dosen fisikaku pernah cerita, Fermi paling senang memberi soal terbuka yang jawabannya bisa beragam. Perbedaan itu suatu hal yang ngga terhindarkan, dan itulah yang membuat dunia ini warna-warni dan indah. Parahnya, ketika segala hal menjadi relatif, dimana letak kepastian? Apa jadinya hidup ketika segala sesuatu yang kita jalani, bisa berubah secara drastis tanpa ada indikasi terlebih dahulu?
Seperti ketika menunggu. Beralihnya detik dan menit menjadi suatu hal yang menyiksa karena diliputi ketidakpastian. Meski saat-saat menunggu bisa diisi dengan hal-hal kecil, seperti membaca, namun hal paling menyebalkan dari menunggu adalah berada dalam kondisi antara, tidak jelas. Menunggu dalam tahapan eksistensi sudah cukup parah, namun dalam tataran esensi dampaknya bahkan lebih besar. Untuk mengurangi dampak ini kondisi antaranya diperpendek saja.
It’s time to take a control of my life. Kayanya aku harus mulai menyusun langkah-langkah strategis satu tahun ke depan. Berhenti bermain-main, dan mulai agak serius seperti orang dewasa. Gara-gara kemarin abis baca buku Little Prince untuk yang kesekian kali, aku jadi mulai teracuni untuk membuat dikotomi antara anak-anak dengan orang dewasa. Abis... dari kacamata Little Prince kehidupan orang dewasa sangat membosankan, seperi menghitung jumlah bintang di langit(bagiku analog dengan orang-orang yang bahagia melihat jumlah uangnya di deposito), penjaga lampu dengan kerjaan yang monoton, bahkan orang dewasa tidak ‘mau’ mengerti gambar ular sawa memakan seekor gajah. Ugh...
Wah, aku jadi orang cupek deh. Sama seperti saat ada orang yang bilang, “Semua orang adalah pembohong.” Kalimat itu tidak bisa ditentukan nilai kebenarannya. Kalau kalimat itu bernilai benar, maka orang itu pembohong, dan kalau dia pembohong maka kalimatnya bernilai salah, kontradiksi. Senada, kalau aku bilang ada orang yang pikirannya cupek, karena dia keras kepala dalam berdiskusi. Pikiranku yang bilang dia cupek, sudah membuktikan kalau aku cupek juga.
Sebenarnya aku beruntung karena bisa bertemu orang-orang yang benar-benar menyukai apa yang mereka lakukan. Awalnya rada tidak terbayang membicarakan integral Lebesgue serupa dengan membicarakan Harry Potter. Tapi lagi-lagi semuanya masalah konsep. Logika disusun berdasarkan konsep-konsep, sehingga kalau ada sesuatu yang janggal, kejanggalan itu tidak berarti karena ketidaksesuaian dengan keadaan riil, melainkan dari susunan logika yang dibangun. Dalam kasus Harry Potter misalnya, menjadi janggal ketika permainan Quiditch terdiri dari dua atau lebih golden snitch.
Bagiku, dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, manusia tetap membutuhkan sebuah pegangan. Pedoman yang mampu membuat seseorang tetap waras dan menjaga agar segala sesuatunya tidak menjadi chaos dan berujung pada catastrophe(dalam konteks sosial; bukan dalam sejarah semesta). Hmm... kayanya aku keracunan filsafat, bukan matematika. Harus kembali ke jalan yang benar nih...
NB: masih mencari cara agar ‘the story of small things’(partisi dari integral) tidak membangkitkan sense filosofisku ;( Ada yang lucu, dalam pembuktian yang tengah aku garap, berulang kali partisi-partisinya harus dibuktikan konvergen, padahal pola berpikirku divergen banget. Apa gara-gara ini ya, TA-ku ngga beres-beres? ;p
Wednesday, November 16, 2005
Meta-Matematika
Aaargh! Waktu bangun tadi pagi kata pertama yang melintas di kepala adalah uniform convergence. Gawat, aku udah keracunan rumus-rumus nih, masa sampai bangun tidur otaknya masih mikirin persamaan-persamaan lucu? Mungkin karena sebelum tidur aku sibuk ngotak-ngatik lemma yang pembuktiannya masih bolong-bolong dan tidur dalam kondisi masih penasaran. Asyik juga kali ya, kalau aku bisa mengatur alam bawah sadarku untuk mengerjakan persamaan-persamaan rumit. Tau-tau bangun dalam keadaan segar, dan langsung cerdas. Hehehe...
Kayanya ada deh cara untuk memprogram alam bawah sadar, tapi caranya dilakukan dalam keadaan sadar. Jadi mengerjakan TA dalam keadaan tidur kayanya belum mungkin. Ntar aku cari lagi referensi tentang pikiran, beberapa hal yang aku tahu adalah lagu berpengaruh terhadap denyut jantung dan penerimaan informasi. Trus dari Marketing in Venus, aku menemukan informasi menarik, 80% reponden sebuah penelitian yang dilakukan sebuah merk HP, denyut jantungnya meningkat ketika mendengar suara sms masuk. Huahaha... kayanya aku juga termasuk yang 80% itu deh.
TA..TA... ada yang bilang kalau kebohongan yang diucapkan berulang kali bisa jadi kebenaran. Aku juga sekarang lagi melakukan hal itu, menyebut TA banyak-banyak agar bisa cepet beres. Udah lumayan berhasil, bahkan menjajah dunia mimpi segala, tapi dalam keadaan sadar malah pikiranku jalan kemana-mana. Salah satu caraku menganalisis apa yang sedang kupikirkan tanpa sadar adalah dengan mengingat-ingat apa yang aku impikan semalam, dan TA ternyata sudah masuk daftar prioritas. Jadi sekarang saatnya untuk ngomongin TA (lagi).
Hmm... sekarang enaknya dilihat dari sisi mana ya? Kayanya melihat hubungannya dengan realitas fisik lumayan menarik. Karena TA-ku menggunakan pendekatan numerik untuk membuktikan persamaan diferensial, maka ada pertanyaan-pertanyaan menarik yang muncul. Apakah pendekatan yang aku gunakan sudah memadai untuk menjelaskan kondisi fisik? Sejauh apa kestabilan pendekatan yang aku gunakan berlaku? Syarat-syarat apa saja yang menjamin kestabilan tersebut? Apakah solusi yang aku peroleh tunggal?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu aku memiliki sebuah teorema yang berisi persamaan-persamaan diferensial. Nah, yang harus aku lakukan adalah melakukan diskretisasi, kemudian menurunkan estimasi untuk skema beda hingga. Caranya adalah dengan memartisi integral menjadi bagian-bagian kecil yang ukurannya mendekati nol(aku termasuk tipe yang ngga bisa pisah dengan penggambaran fisik), kemudian secara induktif akan dibuktikan bahwa tiap partisinya memenuhi kondisi-kondisi yang ada dipersamaan diferensialnya.
Sebagai contoh, aku harus membuktikan solusi hukum kekekalanku terbatas di lapangan real. Untuk menunjukkan hal ini secara numerik, aku menggunakan skema beda hingga Lax-Friedrichs yang memenuhi kondisi entropi diskrit dan konvergen. Syarat yang harus dipenuhi dalam pembuktian ini adalah skema numerikku harus memuat persamaan diferensialnya, keadaan ini dikenal dengan kondisi CFL(Courant Friedrichs Lewy). Selanjutnya, aku analisis sebuah partisi, dan buktikan bahwa partisi yang aku amati terbatas, kemudian secara induktif aku tunjukkan bahwa partisi yang lain juga terbatas.
Terlihat sederhana di awal, tapi ketika sudah masuk lebih dalam ternyata ada banyak teorema yang harus aku gunakan. Sekarang aja aku udah ngabisin 8 halaman kertas A4 penuh dengan notasi matematik, minim bahasa tingkat tinggi, dan pembuktiannya belum beres, kurang dua lemma lagi. Karena sekarang aku lagi dalam rangka intermezo, maka aku akan mencoba melihatnya dari tingkat yang lebih tinggi.
Keuntungan dalam melihat sesuatu dari tingkat lebih tinggi adalah kita dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh, holistik. Seperti daun yang sering disatukan dengan anggrek dalam rangkaian bunga(ngga tau nama daunnya, yang jelas warnanya ijo, gepeng, dan membentuk perulangan pola; salut buat yang bisa tahu daun yang aku maksud ;( ). Jika dilihat dari tingkat satu misalnya, daun itu terlihat jelek, dan tidak teratur. Tapi ketika dilihat dari tingkat 10, daun itu menjadi indah karena hubungannya dengan yang lain. Contoh lain adalah lagu, dimana tiap partitur memiliki keunikkan dan menjadi indah jika dikaitkan dengan yang lainnya. Begitu pula dengan TA-ku, aku selalu berusaha melihatnya dari tingkat yang lebih tinggi, ngga asyik kalau hanya berkutat dengan teorema kekonvergenan seragam, teorema nilai rata-rata, ketidaksamaan segitiga, dan hal-hal teknis tanpa tahu gambaran utuh tentang apa yang aku lakukan.
Bagiku segala hal di dunia ini berkaitan dengan sebuah pemaknaan(hierarki tertinggi pengetahuan: wisdom). Jadi aku masih mencari hal-hal menarik dari apa yang tengah kukerjakan. Arti menarik menjadi cukup relatif, karena segala hal memiliki dimensinya sendiri. Dosenku pernah bilang aljabar dan demokrasi sama-sama abstrak, bahkan bagi dosenku aljabar lebih real dibandingkan demokrasi. Namun umumnya orang-orang lebih fasih berbicara mengenai demokrasi, dibandingkan aljabar. Karena itu sekarang aku tidak terlalu menuntut sebuah gambaran yang jelas fisisnya tapi setidaknya aku memperoleh sebuah pengertian tentang mengenai apa yang aku kerjakan.
Hmm... masih punya pertanyaan besar dalam memodelkan persamaan diferensial dengan syarat nilai batas dengan masalah ketakterhinggaan. Tapi belum punya banyak bekal untuk ngomongin ini, kutunda dulu deh...
Wednesday, November 09, 2005
TA
Di mbah Goo. Search: shock wave+lax friedrichs+pdf. Dapat beberapa artikel menarik. Sambil dibaca sekilas kayanya lumayan rame. Tapi setelah tiga empat kali baca beberapa bahan yang lumayan ngga nyambung langsung dengan bahan TA, aku mencoba cara lain. Pilih bahan yang formatnya presentasi. Harusnya dengan cara ini bisa lebih mudah, dan jauh lebih cepat. Ternyata hasilnya sama aja, mana bahan presentasinya ada yang sampai 64 slide, gila berapa lama tuh presentasinya ;(
Di rumah udah sempat latihan presentasi. Karena berkaitan dengan gelombang, ibuku bisa sedikit menjelaskan masalah diskontinuitas. Tapi melangkah pada masalah-masalah teknis dan analitis, penonton hanya terpaku diam. Mana di awal presentasi aku mulai ketawa mendengar suaraku sendiri. Oh, no... GAWAT. Trus karena ngga ada pointer supaya gaya, aku ganti aja dengan menggunakan senter. Hua..ha..ha... presentasi yang makin kacau. Masalahnya menjelaskan masalah-masalah analitis ternyata rumit. Hukum kekekalan misalnya, benar-benar didefinisikan dalam bentuk persamaan. Kan ngga lucu kalau aku bacain persamaannya satu per satu.
Ulasan yang aku peroleh dari percobaan presentasiku adalah alurnya lumayan dipahami(hmm.. tapi kayanya itu hanya karena pada bagian akhir aku menyebutkan tahap pengerjaan). Uaghhh.. masih harus mencari cara penyampaian yang lebih baik, dan terutama cerita yang mudah dipahami. Kata dosenku target penontonnya mahasiswa tingkat 3. Gimana ya?
Kelinci percobaan pertama blog aja deh. Latar belakang dari TA adalah merekonstruksi masalah analitis melalui pendekatan numerik. Umumnya, numerik hanya digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah-masalah analitis. Nah, yang sedang aku coba kerjakan adalah melakukan analisis numerik untuk membuktikan eksistensi solusi entropi. Solusi entropi ini adalah solusi yang memenuhi kondisi entropi dan memiliki korespondensi dengan realitas fisik dalam permasalahan shock wave.
Wah udah mulai lumayan ribet. Shock wave sendiri didefinisikan sebagai solusi diskontinu dari hukum kekekalan, atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai sebuah fungsi yang memenuhi kondisi lompatan Rankine-Hugoniot dan persamaan hukum kekekalan. Kondisi lompatan Rankine-Hugoniot ini diperoleh dari persamaan hukum kekekalan yang dikalikan dengan fungsi tes terhadap ruang-waktu, atau dikenal dengan solusi lemah hukum kekekalan.
Sebelum melangkah pada pembuktian metode numerik melalui beda-hingga, daerah beda-hingga yang dipilih harus memenuhi syarat kondisi CFL(Courant Friedrichs Lewy) yaitu skema numeriknya memuat persamaan diferensial. Kemudian, selanjutnya harus dilakukan berbagai macam uji, seperti masalah keberhinggaan, konvergensi, stabilitas dkk. Hmm... still a lot of work to do..
Tuesday, November 08, 2005
Jendela yang Terbuka
Ini pengalaman yang pertama kalinya, dan yang terpikir di kepalaku bagaimana jika aku menaruh amplop saja di depan kamarku. Ide yang mungkin merupakan gabungan rasa kasihan, marah pada sistem ataupun sebuah usaha penyelamatan diri yang naif. Karena kejadian yang baru ketahuan Sabtu(05/11) lalu itu pulalah, beberapa kali aku berusaha menghindari koran, dan berita, karena malas dihadapkan pada kondisi masyarakat yang kian memprihatinkan.
Sebelum krisis ekonomi pasca kenaikan BBM, semuanya tampak masih bisa ditangani. Aku tahu hidup susah ada diluar sana, tapi mungkin belum sampai pada tingkat akut. Ingin rasanya berbuat sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Akhirnya aku memilih untuk menenggelamkan diri pada hal-hal yang sepenuhnya abstrak dan mungkin juga ideal, yaitu konsep-konsep sains.
Kadang aku berpikir untuk menutup mata saja terhadap segala hal yang ada di luar sana, tapi selalu gagal. Ah, koq jadi gelap gini...
Bapak tua yang menjual sapu...
Maling yang membongkar celengan dan mengambil tiga ribu rupiah...
Mystery
--Heisenberg, uncertainty paper, 1927 (AIP.org)
Gödel's second incompleteness theorem states that if number theory is consistent, then a proof of this fact does not exist using the methods of first-order predicate calculus. Stated more colloquially, any formal system that is interesting enough to formulate its own consistency can prove its own consistency iff it is inconsistent.(mathworld.wolfram)
Dark matter refers to hypothetical matter particles, of unknown composition, that do not emit or reflect enough electromagnetic radiation to be detected directly, but whose presence can be inferred from gravitational effects on visible matter such as stars and galaxies.(wikipedia)
Monday, November 07, 2005
Dongeng Semesta
Apa yang membedakan sebuah dongeng dengan sejarah? Bukankah keduanya diceritakan turun temurun dan memiliki kemungkinan distorsi yang sama besarnya? Bahkan terkadang dongeng bisa jauh lebih akurat dibandingkan sejarah(baik sains maupun sosial). Ngga percaya? Oke, cari dua anak kemudian tanya tentang cerita Cinderella, aku (lumayan) yakin garis besarnya sama. Kemudian bandingkan dengan pertanyaan mengenai fisika klasik Newton, atau kalau mau yang lebih kontroversial, mengenai evolusi Darwinian, rasanya distorsi untuk jawaban bagi pertanyaan kedua akan lebih besar.
Hehehe… aku tahu ngga boleh sembarang bikin pembuktian seperti diatas, banyak celah-celah yang bisa diserang. Namun melihat perkembangan saintis kelas tinggi, kebanyakan teori-teori memang disusun berdasarkan positivisme logis dan estetika. Teori superstring misalnya, disebut-sebut to good to be false, dan salah satu landasan dari teori tersebut adalah konsep supersimetri. Hal senada aku temukan dalam sebuah tulisan tentang alasan Coperniccus merombak tatanan tata surya Ptolemi yang rumit, alasannya estetika. Tentu saja, estetika yang dimaksud oleh orang-orang hebat itu memiliki dimensi keindahan tersendiri(yang mungkin tetap tampak mengerikan bagi orang awam sepertiku ;p).
Faktor estetika itu juga aku temukan dalam Matematika terbitan Life melalui bangunan-bangunan Yunani yang memenuhi perbandingan emas, maupun musik, lukisan, dalam tulisan Benno. Hmm.. karena itu untuk sementara aku ikut pendapat Chomsky yang menyatakan ada sejenis tata bahasa universal yang tertanam dalam otak kita(bertentangan dengan prinsip tabula rasa-nya Locke). Pendapat yang mirip juga pernah aku baca dari Aquinas yang bilang, Tuhan senang dengan segala sesuatu yang proporsinya tepat.
Apakah estetika suatu hal yang objektif? Ting.. tong.. ini baru pertanyaan besar. Selfish gene-nya Dawkins versus antichaos-nya Kauffman, kedua-duanya disajikan logika yang cukup ketat meski masih memberikan celah-celah untuk diserang. Simulasi komputasi golongan Santa Fe yang masih dipertanyakan korespondensinya dengan dunia nyata, dan berbagai macam model lainnya yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam semesta. Keindahan persamaan, ekstase informasi, namun bagaimana hubungannya dengan dunia nyata?
Aku jadi lumayan mengerti kenapa ada orang-orang yang menolak kemapanan seperti Chomsky ataupun Feyerabend. Meskipun kedua tokoh tersebut dalam buku The End of Science digambarkan secara paradoksal. Chomsky misalnya, menyatakan “apa pun posisi kemapanan, saya menentangnya(h.200)”, padahal Chomsky merupakan pakar linguistik yang mau tak mau berkaitan dengan struktur. Analog dengan golongan Non-Blok dalam dikotomi Barat dan Timur. Dalam pandangan biner, non-blok mungkin berarti tidak termasuk sistem, namun dalam konstalasi politik, kelompok non-blok merupakan salah satu golongan, seperti halnya Barat dan Timur.
Parah… baca buku itu pikiranku lebih banyak mengawang kemana-mana. Alam semesta yang jamak atau tunggal, keberadaan makhluk berkesadaran selain manusia, evolusi. Bagiku evolusi tidak sekadar berbicara mengenai rantai yang hilang, namun juga pembentukan alam semesta ini serta perkembangan alam semesta yang dipercepat.
Fiu..h dongeng yang satu ini sangat tidak mudah dicerna, namun memiliki pengaruh yang sama dengan dongeng klasik: very amazing. Menakjubkan mengetahui manusia benar-benar makhluk kecil yang tidak ada apa-apanya di tengah jagat galaksi. ‘Kemarin’ ikut diskusi tentang kosmologi, dan dikasih liat gambar galaksi Bima Sakti ditengah galaksi-galaksi lain. Benar-benar ngga memiliki posisi istimewa.
Udah ah, daripada diprotes orang karena menganggap sains yang dibahas secara serius sebagai dongeng, aku beralih ke Little Prince aja. Kadang orang dewasa ngga asyik karena sering menyebut planet dengan angka, padahal banyak banyak hal lebih bermakna lain yang bisa disebutkan. Mungkin begitu pula dengan dongeng sains yang disampaikan oleh Horgan, orang dewasa masih tetap senang dengan angka-angka dan persamaan yang canggih, tapi sekarang mereka menulisnya dengan mengingat masa kecil mereka, karena itu mereka mulai menulis kisah-kisah tanpa persamaan.
NB: sekadar corat-coret iseng untuk mengisi liburan, ditulis dari sudut pandang orang awam(status mahasiswa matematika-nya sedang off ;p)
Tuesday, November 01, 2005
Kepada Seorang Kawan
bahkan Tuhan pun mau memaafkan
mengapa kita tidak?
Andai aku bisa meyakinkan dirimu untukmemaafkanku. Alasan demi alasan yang kuharap mampumeluluhkan hatimu. Ramadhan yang mendekati usai,ditambah kata-kata yang mengawali surat ini. Namunsetelah segalanya kukemukakan kepadamu, kau masihtetap berhak untuk tidak memaafkan khilafku.Kecewamu akan polahku, kata-kataku yang seringkali tak berkenan, maupun ucapan-ucapan tentangmu yangterlontar tanpa sengaja.
Kau benar ketika berkata, aku tidak tahu bagaimanarasanya. Aku memang tidak tahu. Aku tidak tahuketika polahku, ucapku menancapkan paku-paku dikayu hatimu. Dan meski aku berusaha sekuat tenagauntuk mencabutnya, bekas itu masih ada. Andai mantera waktu itu ada, aku akan membalikan waktu untuk menebus segala kesalahan yang telah kuperbuat. Namun dengan segala lemahku yang bisa kulakukan hanya mengucap maaf.
Aku tahu tiap tahun aku mengucapkan kata-kata inipadamu. Rutinitas tahunan yang mungkin telahmenjadi bagian dari hidupmu, jua hidupku. Tapi meski terdengar sangat klise dan berorde massa(akutahu kau tak suka segala hal yang berbau massa),aku akan terus melakukannya. Tak mudah melakukanhal ini, apalagi dihadapkan pada realitas bahwa oksigen kebencian dan curiga telah begitu meracuniparu-paru kehidupan kita. Meski demikian aku masih tetap berharap suatu saat semuanya akan menjadi lebih baik.
Kawan, apakah satu maafku akan membawa sebuah kebaikan? Hanya kau yang bisa menjawabnya. Ah,bukan, pintaku sama sekali tak ada kaitannya dengan kebaikan, maafmulah yang mampu meredakan ketegangan yang ada. Bahkan kalau kau masih bersikeras untuk menolak permohonanku, aku hanya menduga kau tak melihat perbaikan akan sikapku.
Cukup sulit untuk berubah secara tiba-tiba. Aku memerlukan proses agar lebih menjaga lidahku, sikapku agar tak lagi melukai hatimu. Bahkan, aku tidak bisa memberikan kata-kata, Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak memiliki pengetahuan akan hari esok, aku hanya bisa berdoadan berusaha agar aku bisa menjadi lebih baik darihari ke hari. Sungguh aku hanya seorang manusiayang lemah.Tak ada kebahagian selain ikhlasmu akan khilafku. Hanya kepada Sang Maha Pemberi Ampun kupintakan balasan yang terbaik untukmu.
Salam sayang selalu,
Kawanmu
NB: Taqabalallahu minna wa minkum, shiyaman wa shiyamakum..
Met mudik, hati-hati di jalan
Choose Ur Own Reality!
semua adalah cinta
Kaya candu. Hehe.. ngomongin yang satu ini pasti keinget ama Mbah Jenggot, hmm.. tapi aku akan mencoba menggunakan pendekatan berbeda. Kemudahan akses informasi membawa dampak yang beragam. Salah satunya adalah kemudahan memperoleh informasi yang sulit diperoleh di dunia nyata. Orang urakan yang mengakses situs serius, orang alim yang mengakses situs terlarang, dsb. Hal-hal yang umumnya masih jarang ditemui di toko buku, komunitas punk, disko maupun forum-forum ilmiah. Kemudahan ini juga berakibat pada adanya kecendrungan untuk memilih kenyataan berdasarkan keinginan, seperti morphin yang langsung menyerang pusat kesadaran, begitu pula dengan internet yang memungkinkan seseorang memperoleh langsung hal yang diinginkannya.
Dalam perbincangan dengan beberapa orang, hal ini juga tampak. Ada orang-orang yang hanya mempercayai informasi yang berasal dari koran/majalah A, ataupun hanya membaca buku-buku terbitan B, dan seterusnya. Kalau hanya masalah selera, tidak masalah. Namun masalah seleksi jenis bacaan, koran maupun sumber informasi sudah sampai pada masalah kebenaran sebuah fakta. Yang aku maksud dengan kebenaran sebuah fakta adalah, informasi dengan kategori berita/sejarah bisa berbeda bagi masing-masing komunitas.
Aku menyimpulkan gejala ini sebagai pemilahan terhadap informasi, atau lebih ekstrimnya pemilihan realitas. Di dunia jurnalistik, perbedaan ini tampak dalam jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Dalam kasus perang Irak misalnya, CNN menggunakan jurnalisme perang, sedangkan Al-Jazeera menggunakan jurnalisme damai. Yang satu menonjolkan kecanggihan peralatan, seperti smart bomb(it’s still a stupid bomb for me), tank-tank, kegagahan perwira dengan peralatan militer, sedangkan jurnalisme damai menonjolkan korban akibat perang, keluarga-keluarga yang kehilangan sanak saudara, dlsb.
Perbedaan ideologis jurnalistik ini merupakan bagian dari psycologhical war. Pemirsa, khususnya yang memiliki akses ke kedua sumber berita ini, tinggal memilih jenis berita seperti apa yang mereka inginkan. Keluaran(output) dari perang psikologis ini adalah opini publik, pro atau kontra terhadap perang Irak.
Selain perbedaan ideologis, ada satu hal lagi yang tidak terhindarkan dalam industri berita, yaitu proses narasi. Narasi yang meliputi proses editing, penentuan sudut, keterbatasan waktu, tak bisa tidak memisahkan fakta(kejadian yang terjadi sebenarnya, real space-time) dengan apa yang disaksikan pemirsa di layar TV atau pembaca di media cetak. Adanya ‘distorsi’ ini, sedikit banyak mempengaruhi persepsi pembaca akan suatu kejadian. Misalnya peliputan mengenai kenaikan harga BBM yang pada hari-hari pertama menempati headline, harus beralih karena tergusur masalah bom Bali II. Atau karena sempitnya ruang/waktu yang tersedia, sebuah berita hanya bisa menampilkan beberapa sudut(cover many sides).
Karena itu kredibilitas media menjadi hal yang penting, dan lagi-lagi terkait dengan masalah kapitalisme. Siapa pemegang kantor-kantor berita besar dunia? Atau kalau ngga mau jauh-jauh, lihat saja peta percaturan televisi-televisi swasta di Indonesia, mungkin cuma satu yang kepemilikannya berbeda dengan yang lain. Pemecahan pita mobius(pita yang hanya memiliki satu permukaan; terpusatnya sumber informasi di satu orang/kepentingan) itu hanya dapat dengan membuat budaya tandingan.
Kehadiran budaya tandingan ini pada satu sisi dipandang positif(lihat tulisan sebelumnya), namun di sisi lain membawa kita pada jejaring simbol yang sedemikian memusingkan. Baudrillard mengungkapkan serbuan simbol ini sebagai: “terdapat semakin banyak informasi, dan semakin sedikit makna.” Gejala-gejala mabuk informasi ini diungkapkan dengan cukup gamblang oleh Naisbitt dalam buku High Tech High Touch. Manusia memang memperoleh akses yang memadai pada informasi, namun skpetis dalam waktu yang nyaris bersamaan. Keadaan ini meminjam istilah Baudrillard, adalah keadaan hyperreal.
Sudah mulai pusing? Ok, sekarang aku akan mencoba menariknya pada hal yang lebih filosofis(I’m really have to stop this kind of writing and going back to my finite differences reading :-( ). Apa yang membuat seseorang mengakses suatu informasi? Mengapa acara gosip laku(yang terakhir aku tahu jenis acara gosip sudah melewati angka 100)? Kenapa sampai muncul kisah Pandora*?
Dari beberapa literatur, aku memperoleh jawaban bahwa rasa ingin tahu merupakan fitrah manusia. Bahkan kisah nabi Adam pun terkait dengan hal ini. Pertanyaannya kemudian informasi seperti apakah yang mampu memberikan manfaat? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apakah informasi harus memberikan manfaat? Kalau dalam definisi Shannon-Weaver, informasi hanya dipandang sebagai kuantitas yang diukur oleh bit-bit, dan didefinisikan menggunakan ukuran peluang kehadiran simbol-simbol.
Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, informasi sangat kuantitatif-materialis. Nilai-nilai etis, manfaat sama sekali tidak masuk hitungan(mirip dengan pro-kontra wacana netralitas sains). Informasi bukan lagi berbicara mengenai manfaat, melainkan diatur mengenai orang-orang yang berada dibelakang teknologi informasi. Kalau dalam revolusi industri, kaum borjuis ditempati oleh para pemilik modal, maka era revolusi industri mengantarkan para teknokrat informasi sebagai penguasa. Meskipun dengan adanya budaya tandingan dan konsep kesetaraan dalam dunia maya, tiap orang memungkinkan untuk memilih kebenarannya sendiri.
Akhirnya semua kembali pada individunya sendiri. Realitas seperti apa yang ingin ia percayai**. Huahaha… jadi posmo begini. Merujuk kata-kata diawal tulisan, semua hal yang kita kodefikasi dalam kepala bergantung pada kacamata/paradigma yang kita gunakan. Di mata para pecinta semua tampak seperti cinta, dan di mata para pencari semuanya tampak sebagai lautan tanda-Nya***.
*) Kisah Pandora merupakan mitos Yunani yang berisi mengenai tokoh Pandora yang dititipi sebuah kotak dengan pesan jangan dibuka. Namun karena rasa ingin tahu yang amat sangat, Pandora membuka kotak itu dan keluarlah berbagai kejahatan di muka bumi. Hanya satu kebaikan dalam kotak tersebut yaitu: harapan. Mitos Yunani pada umumnya merupakan cerminan dari karakter-karakter manusia, seperti Narscissus, Oedipus, dll.
**) Contoh sederhananya tampak dalam proses filter yang dilakukan orangtua pada anaknya yang masih kecil. Orangtua melakukan pemilihan realitas dengan menghindari pertengkaran di depan anak, menyeleksi jenis tontonan/bacaan, mengenalkan anak-anak pada museum, kebun binatang, tempat-tempat bersejarah. Untuk tingkat lanjut, proses filter terinternalisasi dalam masing-masing individu dengan adanya hobi, komunitas, latar belakang budaya, agama ataupun ketertarikkan pada bidang tertentu.
Melihat kecendrungan media cetak sekarang, spesifikasi ini tampak dalam adanya suplemen-suplemen, dan majalah hobi. Di luar negeri(dari cerita teman), media cetak memang didominasi oleh majalah dengan spesifikasi tertentu.
***)Tetap ngga mau keluar dari ‘dunia kecil yuti’ yang damai:D.
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...