Wednesday, February 28, 2007

Kucing Schrodinger

Inget kucing zombie yang satu ini? Yup, nasibnya hanya bisa dipastikan ketika kotak dibuka, sebelum itu peluang hidupnya hanya 50%. Nah, tema tesisku pun ngga beda jauh. Kalau diitung-itung udah beberapa kali ya aku gonta-ganti tema tesis? Hmm, coba aku urut: ekonomi syariah, peran televisi, pengaruh mitos pada pembelajaran matematika, difusi teknologi informasi, energi, dan yang paling mutakhir struktur masyarakat ilmiah. Si kucing sebenarnya bisa aja menentukan salah satu, tinggal keluar kotak, trus bilang, "Meow, tadi aku lagi tidur koq, ngga mati." Sayangnya, kucing kecil yang satu ini terlalu asyik tidur, sehingga ngga nyadar kalau topiknya udah ganti beberapa kali. Dan tiap kali disodorkan topik, ia langsung asyik bermain dengan topik barunya.

Tentu aja, si kucing ngga boleh terlalu asyik bermain, nanti dia ngga dapet ikan sebagai hadiah kelulusan. Tapi dasar si kucing kecil, selama ngga ada desakan untuk makan, ikan masih boleh kapan-kapan, yang penting sekarang mainan.

Dongeng

Bagi para pengkhayal, semuanya tampak seperti lautan cerita. Dan kini aku terdampar lagi pada seorang pendongeng yang menyajikan dunia dengan sudut pandang berbeda. Lebih mudah menerima sesuatu sebagai cerita, sekalipun ditunjang oleh buku-buku ilmiah. Mendengarkan berarti mengetahui, meski tak berarti memiliki satu penafsiran arti. Kubiarkan saja cerita-cerita itu membuat simpul-simpul dalam kepala, tanpa tahu apa akan berguna. Ini tentang dongeng bukan? Sebuah dimensi dimana semua nyata boleh dibolak-balikan sedemikian rupa, dan pendengarnya diajak takjub dengan warna-warna indah dalam gambaran surealis.

"To know the truth you must risk everything," begitu balasan bagi Neo dalam Animatrix ketika ia mempertanyakan kebenaran. Keluar dari negeri dongeng, berarti harus mau melihat realita. Meski kadang pahit, dan menyajikan tarian gerimis. Hidup yang disajikan dalam permainan ala Guido dalam Life is Beautiful kepada anaknya ketika berada dalam kamp Nazi, akhirnya harus berakhir mengenaskan ketika sebuah peluru menembus dada. Pun, bukan berarti segala keceriaan hidup yang disajikan kepada sang anak meredup sedemikian rupa. Tetap ada kenangan yang terus hidup meski akhir tak seindah kisah Cinderella.

Andai bisa kuakhiri kisah dengan kata-kata and their live happilly ever after mungkin aku akan memilihnya, tapi tak menceritakan dengan mengatakan hal yang tak benar adalah dua hal berbeda. Dan kubiarkan gerimis menemani langkahku ini.

Monday, February 26, 2007

Mencurigakan

Iya apa ngga ya? Hmm... this is very suspicious, dan aku belum tau bagaimana cara membuktikan kecurigaanku ini. Mungkin ngga ya dosenku ada yang nyasar ke blog ini? Semoga ngga, dan pembicaraan tadi yang rada nyambung dengan blog cuma kebetulan.

Semoga.. semoga... semoga...

Friday, February 23, 2007

Unidentified Writings

Gw : "Jadi, setelah lo baca buku itu, menurut lo perang harus ada?"
Saya : "Mungkin tidak tepat seperti itu, tetapi konflik hadir untuk membuat kemajuan. Seperti saat kamu berkompetisi ikut UMPTN, atau memperoleh nilai A, padahal kamu tahu kalau nilai pada umumnya mengikuti distribusi normal."
Gw : "Tapi kan tiap manusia itu unik. Ok, UMPTN memang membuat pembedaan antara orang-orang yang diterima dengan yang tidak, namun itu tidak berarti yang tidak diterima kehidupannya berakhir begitu saja."
Saya : "Memang tidak, yang saya maksudkan wujud perang itu dalam skala kecil senantiasa hadir dalam kehidupan kita, dan itu bagian dari hidup. Bahkan kamu dengan melakukan segala sesuatu yang kamu anggap sebagai biasa alias taken for granted juga mengandung 'penindasan' buat orang lain. Seperti ketika kamu membeli barang dengan harga murah banget, dalam proses pembuatan barang itu faktor manusia yang diupah rendah."
Gw : "Gw ngga pernah minta!!!"
Saya : "Saya tahu. Tapi kita ini makhluk sosial yang hidup dengan lingkungan, instistusi, dan budaya yang membentuk identitas kita. Memang, kamu ngga bisa diidentifikasi dengan penegasian, semisal kamu bukan Otong, kucing, ataupun pohon, dan kamu juga ngga bisa diidentifikasi dengan menyebutkan siapa nama, orangtua, suku atau keterikatan kamu dengan apapun. Tapi begitulah orang lain memandang kamu."
Gw : "Gila, sejak kapan lo jadi seorang strukturalis. Tunduk pada suatu kesepakatan, atas nama kebersamaan. Kemana jati diri lo?"
Saya : "Saya tidak menolak jatidiri, bagi saya semua orang tetap unik."
Gw : "Trus..."
Saya : "Ngga ada terus."
Gw : "Udah, gitu aja. Lo nyerah atas nama sosial dan kebersamaan?"
Saya : "Trus kamu maunya bagaimana?"
Gw : "Biarkan saja semua berbeda. Dirayakan saja. Toh, dunia ini cukup luas untuk menerima segala perbedaan."
Saya : "Ok, tapi itu arinya kamu ngga konsisten. Di bagian awal kamu tidak menyukai adanya perang sebagai praksis konflik yang destruktif, tapi sekarang kamu bilang kalau perbedaan itu dirayakan saja. Artinya, kamu membenarkan ada manusia yang menjadi pahlawan dan ada yang menjadi korban."
Gw : "Ugh..."
Saya : "Itu gunanya standar. Tapi tetap harus reflektif."
Gw : "Aaargh! Gw jadi strukturalis dong."
Saya : "Ikuti saja kata hatimu. Jangan termakan label. Hihi, dasar manusia postmo, senengnya mainan label."
Gw : "Eh, malah kaya balik ke zaman pra-modern ya?"
Saya : "Yup. Ada pemetaan non-linier antara yang ditanda dengan penanda, dan kadang-kadang tak pernah menyadarinya, hanya karena terdengar keren."
Gw : "Make-up banget dong."
Saya : "Dunia pencitraan."

Thursday, February 22, 2007

Membaca

Baru dapat pinjaman buku, judulnya Ten Questions: A Sociological Perspective. Baca bagian awal pasca introduction, aku terkantuk-kantuk. Akhirnya aku melakukan cara lama, langsung baca bagian kesimpulan, dan dari bab belakang baru ke depan. Gaya ini biasanya aku pakai kalau lagi banyak banget bahan bacaan, dan juga kalau bosen. Berlaku juga kalau di toko buku lagi baca buku novel, karena memang sekadar pengen tau ceritanya doang, jadi spoiler deh.

Udah ah, mau pulang. Rencananya mau namatin beberapa bab dulu, salah satunya adalah mengenai: mengapa ada kejahatan di dunia ini(judulnya semacam itu deh).

Dilema

Dosen A : desa mandiri energi, graf
Dosen B : bioenergi, etnografi
Me : desa mandiri energi, etnografi

Dosen A : pembimbing
Dosen B : penelitian
Me : maunya bimbingan dan penelitian bisa sejalan

Aaaargh, hipiiii, atau ngalir aja? Hehe, kemarin sih masih sibuk dengan yang pertama, tapi sekarang dibawa asyik aja, toh, penelitian memang harus jalan, dan jika menggunakan teori graf ngga memungkinkan, maka pendekatan itu akan gugur dengan sendirinya. Sebenarnya, aku tertarik juga dengan teori graf, tapi karena mau ditarik dari teori jejaring aktor, hasilnya malah jadi terkesan maksa. Kalaupun mau dipaksa, teori graf yang sudah berkembang landasannya statistik, dan bukan kombinatorik sesuatu yang sudah disepakati akan dihindari.

Hmm...., aku ngga suka aja kalau math dijadikan alat legitimasi sebuah teori. Bisa aja hasilnya cukup 'manis' jika didukung dengan seperangkat postulat yang cukup rigid, tapi tetap aja ketika dihadapkan pada subjek sosial hasilnya bisa terkesan sebagai pembenaran. Lebih parah lagi kalau math sampai menjadi mitos, sehingga ketika seseorang melihat pembuktian rumit, tanggapannya langsung iya-iya atau menolak tanpa mengerti landasan berpikirnya. Kekurangannya ngga berhenti sampai disini, teori jejaring aktor menurut pemahamanku didesain sebagai penolakan atas pandangan adanya sebuah grand-theory. Alhasil, teori ini, sifatnya lumayan lokal. Nah, kalau aku mau bikin bentuk formalnya, takutnya aku melakukan sesuatu yang dari mula dihindari oleh para pencetusnya.

Untuk menghindari hal itu, aku bisa aja membuat definisi-definisi yang membatasi penggunaan bentuk formalnya, tapi bagiku rasanya tetap aja absurd. So, what should I do?

Wednesday, February 21, 2007

Yummy

Kemarin aku mengobrol ama dua dosenku, dan dapat cerita cukup banyak dari berbagai buku(plus ditawarkan mau meminjam atau tidak). Ckakaka... lagi disiplin berbahasa nih, jadi aku usahakan tidak menggunakan akhiran -in, hal yang sering banget aku lakukan kalau sedang berkomunikasi secara verbal. Yaa... untuk awalan cukup tidak menggunakan -in dulu, kalau masalah banget, nih, ngga dkk nanti aja, soalnya kalau terlalu resmi, nuansanya juga mati, dan ngga enak aja kalau itu sampai terjadi.

Akhirnya jadi juga nyulik Science in Action. Dapetnya juga lucu, rada muter-muter dulu. Hari senin ceritanya mau minejm, tapi karena ngga ada di kampus, jadi mau dibawakan pada hari selasa. Nah, karena buku itu termasuk buku pegangan jadi rencananya mau dikopi dulu. Tenyata mas Ocha, yang biasa mengkopikan buku ngga keliatan batang idungnya. Alhasil, kata dosenku aku minjemnya nanti aja. Trus sorenya, aku ngomongin masalah bioenergi ama dua dosenku itu. Entah gimana ceritanya, akhirnya malah liat-liatan buku, plus aku dikasih liat gambar komik yang ada di buku Science in Action. Selesai ngobrol antah berantah yang menghabiskan waktu 1,5jam(hehe, masih jadi orang modern yang inget waktu) akhirnya aku pulang dengan membawa buku itu, dan baru hari ini mau ngopi buku yang asli.

"Lho, ngapain minjem buku ini kalau besok mau ngopi yang asli?," tanyaku.
"Buat dibaca-baca nanti malem, lumayanlah dapat introduction," jawab dosenku.
Dalem hati langsung mikir,"emang aku tampang mania buku banget ya?"

Hmm... bukunya ternyata lumayan asyik juga untuk dilahap. Ceritanya tentang membuka black box. Salah satu contoh yang dipakai adalah masalah Watson-Crick, tapi mungkin yang lebih populer adalah kasus tata surya Ptolemy-Coppernicus. Buku ini disajikan dengan gaya cerita detektif. Buat aku yang dari kecil biasa melalap buku-buku petualangan, buku ini asyik, apalagi sempet dapat dongeng dari dosen-dosenku sebagai intro. Ngga tanggung-tanggung, ada sekitar 8 buku yang kemarin dikasih lihat, mulai dari trilogi Latour, sampai asal muasal STS(Science and Technology Studies) dan kritik terhadap SCOT(Social Construction of Technology).

Tuesday, February 20, 2007

Mahasiswa Salon

Salah satu blog yang menjadi favoritku belakangan ini adalah blognya mas Roby, dan membaca postingan yang berjudul 'Kartini dan Mahasiswa Salon' aku merasa tulisan ini gw banget. Alasan pindah dari fisika ke sosiologi, dan merasa apa yang dicapainya ada faktor keberuntungan, lengkap dengan anggapan bahwa prestasinya ngga ada yang spesial. Ok, mungkin aja beliau hanya rendah hati(pernah diwawancara CNN gitu lho), but anyway, aku ngga mau membahas benar apa ngga rendah hatinya itu, aku mau membahas mahasiswa salonnya itu.

Teoritis. Itulah yang kira-kira didefinisikan sebagai mahasiswa salon. Aku kurang lebih begitu juga, kemampuan teknisku parah banget, dan lebih senang berkhayal. Mungkin karena itu, di matematika, aku lebih senang konsep yang sedikit ngawang dan abstrak, daripada yang kaku semisal statistik. Aku ngga bilang statistik jelek, bahkan ada persamaan di analisis yang sama persis dengan statistik hanya dengan penafsiran/implementasi yang berbeda, ini hanya masalah cocok-cocokan. Bagiku sedikit kasar memasukan apa yang ada di dunia real dengan konsep yang ada di alam ideal, dan pandangan ini membuat otakku rada lemot untuk menerima konsep-konsep yang udah baku. Sampai sekarang aku masih mencoba perbaikan 'kesalahan' ini, tapi rada-rada permanen error, jadi penolakan di otakku masih kuat banget.

Hmmm... kesamaan lain adalah daripada pintar aku lebih merasa beruntung. Beruntung dapet pembimbing yang baaiiiiikkkk banget waktu S1, trus sekarang dapet pembimbing yang terbuka untuk diskusi(istilah keren untuk ejek-ejekan terus kalau ketemu), dan keberuntungan citra. Kalau aku mikirnya, citra(image) aku salah banget, tapi bermain dengan citra asyik juga, sambil mencari aproksimasi mana yang benar. Setidaknya dengan galat yang sangat kecilah sehingga limit delta dari pemetaannya menuju nol.

Hei, koq aku malah ngebayangin kurva Cartesian, plus si epsilon delta, huahaha, dasar gila. Kegilaan lain adalah waktu presentasi di kelas, aku malah pakai analogi Giant dalam cerita Doraemon. Alhasil, sekelas ketawa semua. Huhu, gaya presentasiku lebih mirip hiburan dengan kecepatan yang cukup tinggi, ampe ngga ada komanya. Gara-garanya segala sesuatu yang berbuat teknis bagiku ngga menarik. Cayo yut, ini masalah paradigma dan penolakan alam bawah sadar, jadi aku harus banyak belajar.

Monday, February 19, 2007

Pengamen di Simpang Jalan (2)

Easy Money

Desakan ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan merupakan jawaban yang seringkali terlontar dari mulut pengamen di simpang Dago ketika ditanya alasan mereka mengamen. Namun jika memang tak ada pilihan, mengapa tak semua orang dengan kondisi tak memiliki ijazah, dan kecakapan khusus memilih jalan sebagai sumber mata pencaharian?

Mengamen lumayan menguntungkan. Itulah gambaran yang saya tangkap ketika mewawancarai beberapa orang pengamen di simpang Dago, terutama jika dibandingkan profesi-profesi lain yang memungkinkan, seperti penjual susu, atau roti dengan sistem bagi hasil dengan pemilik. Hasil dari pekerjaan tersebut, umumnya sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan mengamen. Ada juga yang lebih memilih mengamen karena memang senang bernyanyi, dan suasana kebersamaan yang terjalin di antara mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Adin, ”Saya mah asal ada uang untuk rokok dan kopi udah cukup.”

Berbekal suara dan alat musik, pengamen di simpang Dago dapat memperoleh 20-30 ribu per hari. Angka yang cukup menggiurkan dan menjadikan profesi pengamen cukup menjanjikan. Hal ini tercermin dari cerita Dani mengenai pasangan mahasiswa yang kini sudah tak lagi melanjutkan studi mereka akibat tak ada biaya, dan akhirnya berprofesi sebagai pengamen.

Jumlah penghasilan ini bergantung pada berbagai hal, diantaranya adalah alat musik, kelompok/perorangan dan lama mengamen. Menurut Obi, dibanding gitar, biola lebih menguntungkan. Begitupula kalau mengamen sendirian, ”Waktu dulu rame-rame, 2 gitar trus sekelompok sampai 5 orang, kalau sekarang Obi lebih memilih sedikitan. Buat apa cape-cape tapi dapetnya sedikit.”

Siapa cepat dia dapat merupakan etika yang berlaku diantara mereka dalam beroperasi mengejar target berupa angkot-angkot yang berhenti. Selama 1,5 menit lampu merah itulah para pengamen memainkan alat musiknya dan mengais rejeki dari para penumpang angkot. Kadang gelas bekas air mineral yang mereka sodorkan sama sekali tak berisi, kadang ada orang yang memberi seribu rupiah. Jika memperoleh seribu, biasanya mereka memamerkan hasil itu kepada teman-temannya dengan wajah sumringah.

Pengeluaran mereka cukup beragam. Dede dan Guntur masih bisa menabung dengan mengikuti arisan di Tubagus, Dani tiap hari memberi neneknya 5 ribu tapi mengaku sulit menabung karena biasa habis untuk membiayai keluarga, ada juga yang menabung untuk mencari kerja. Sehari-hari mereka biasa menggunakan uang untuk membeli kopi dan rokok. Sementara untuk makan siang ada beberapa pilihan dari masakan Padang yang seharga Rp 3000an, mie goreng Rp 2000, atau mie ayam Rp.2500. Selain makanan, yang terpenting adalah minum, apalagi bagi yang mengamen dengan bernyanyi, sehari bisa habis 6 gelas air mineral seharga 500, atau beli air bungkus dari warung masakan Padang.

Pandangan mereka atas profesi mereka sebagai pengamen, tampak dari petikan-petikan berikut,
Dani : ”Saya mah mau berubah. Semua yang disini juga gitu.”
Dede : ”Pengamen korban perasaan. Kalau ada pencurian suka jadi tertuduh.”
Adin : ”Kalau punya istri, saya pasti kerja. Ngamen mah untuk menghibur. Iseng.”
Obi : ”Daripada nganggur abis (selesai) sekolah. Dulu sih belum sesering sekarang.”

Bagi sebagian dari mereka, pengamen bukan sumber penghasilan satu-satunya. Dede, Acil, dan Agus misalnya, selain menjadi pengamen juga kerap dipanggil untuk mengisi acara di mall ataupun kegiatan lainnya. Format acaranya juga beragam, seperti undangan bagi Dede hari Selasa(13/02) di Plaza Dago yang bentuknya akustik. Untuk acara seperti itu, Dede diundang berempat dengan busana yang telah disediakan. Lain lagi Acil dan Agus yang kerap dipanggil dalam format band. Menurut Agus, selain dia tidak ada anggota band lainnya yang menjadi pengamen.

Friday, February 16, 2007

Pengamen di Simpang Jalan

“Kopi, teh,” sapa Dani membuyarkan lamunan saya. Dengan menggelengkan kepala saya menepis tawaran Dani tersebut. Suasana pagi dengan mobil yang lalu lalang memang membuat saya sedikit mengantuk, hal yang juga dirasakan Dani, “Biasa teh, untuk ngusir ngantuk,” ujarnya sambil menyesap kopi hitam. Kopi dan pagi menjadi dua hal yang tak terpisahkan dari kehidupan pengamen di simpang. Berbekal uang seribu yang dikumpulkan bersama-sama, mereka biasa membagi segelas kopi untuk dua hingga empat orang. Tak jarang, kopi itu juga ditemani roti isi untuk mengganjal perut yang sebelumnya memang belum diisi.

Jalanan sudah tampak padat. Berbagai jenis mobil lalu lalang melewati perempatan simpang, begitu pula angkutan kota yang tampak dipadati penumpang. Pukul tujuh, lalu lintas memang cukup ramai, begitu pula trotoar yang dipenuhi orang bergegas. Keriuhan suasana pagi itu juga terasa di pinggir jalan, ada yang tengah sarapan, ada yang tengah beroperasi mencari seratus dua ratus rupiah di angkot, ada pula yang tengah latihan lagu baru. Ya, kehidupan pengamen di simpang Dago akan dimulai.

Dan aku mulai takut terbawa cinta, menghirup rindu yang sesakkan dada. Lagu Ruang Rindu milik Letto tersebut dilantunkan Obi untuk memikat penumpang angkot. Dengan gaya yang sudah terlatih, Obi kemudian menyodorkan gelas plastik ke penumpang. Perkenalan Obi dengan dunia pengamen dimulai semenjak ia duduk di kelas 1 SMA. Saat itu, ia mengamen belum sesering sekarang, hanya usai sekolah. Awal mula ketertarikannya untuk terjun pengamen adalah karena ia melihat profesi mengamen enak dan karena ada teman yang mengajak. Meski demikian, saat pertama kali mengamen di dekat Sumur Bandung, ia merasa malu. Perasaan itulah yang mendorong, pria tamatan SMA ini pindah tempat mengamen, yaitu agar ia tak perlu berpapasan dengan tetangga-tetangganya. Saat ini yang tahu statusnya sebagai pengamen baru mama, begitu ia memanggil ibunya, ”papa pergi pagi, taunya Obi pergi main.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Dani ketika menceritakan pengalaman pertamanya mengamen pada tahun 1998. ”Awalnya grogi, tapi setelah satu dua kali jadi terbiasa. Dulu sih belum sesering sekarang, cuma untuk nyari ongkos aja.” Sebelum moneter tahun 1998, Dani bekerja kontrak di bidang pengiriman di Pulo Gadung. Namun sejak moneter, banyak pegawai yang dirumahkan, sejak itu pekerjaan jadi tinggal seminggu sekali. Daripada mengontrak rumah di Jakarta, dani lebih memilih ke Jakarta seminggu sekali, dengan ongkos hasil mengamen, lama kelamaan pekerjaan itu ditinggalkannya dan sepenuhnya menjadi pengamen di simpang.

Cerita tak berbeda jauh, muncul dari mulut Acil. Pria berusia 20 tahun lulusan SMP ini sudah 7 bulan menganggur. Sebelumnya ia sempat bekerja kontrak selama 2 tahun. Kini sambil menunggu panggilan, ia mengamen. Berbeda dengan pengamen lainnya di simpang yang memiliki alat musik sendiri, Acil biasa mengandalkan pinjaman gitar dari teman. Akibatnya, penghasilannya tak menentu, bahkan ia mengaku pernah dua hari hanya makan pohon kersen dan minum. Ketika ditanyakan mengenai pengaruh kenaikan BBM, ia menjawab, ”Sekarang yang ngasih makin dikit. Ngasihnya juga sayang, keliatan dari mukanya.” Saat ditanya mengapa ia memilih menjadi pengamen, ia menjawab segan untuk pulang ke orangtuanya di Cirebon. ”Tanggung aku sudah memasukan 6 lamaran. Nanti kalau dipanggil lewat telepon penjaga warung, aku ngga tau.”

Feri, pengamen dengan rambut bercat pirang berusia juga pernah kerja kontrak. Ia mengaku pernah menjadi koki di restoran Padang, ikut konveksi, pasang pipa AC, tapi sekarang kontrak-kontrak tersebut sudah habis hingga ia kembali ke jalan. ”Kalau mau kerja harus pake uang. Sekarang mah ada uang, pasti kerja,” ujarnya menceritakan bagaimana segala sesuatu bergantung pada uang.

Pada umumnya para pengamen di simpang Dago bagian jalan Dipati Ukur(mangkal di depan Circle K) sudah berkeluarga, berbeda dengan pengamen di jalan Dago yang didominasi anak-anak. Status ini membuat mereka bekerja tak hanya untuk kesenangan semata, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ”kalau punya anak 5, ngga bisa nabung teh,” ujar Dani yang tinggal bersama nenek dan keluarganya.

Thursday, February 15, 2007

Neverland

Ada terlalu banyak hal yang ingin kutulis, dan jadinya malah ngga nulis. Huehehe, kaya presentesi motede Analytical Hierarchy Process hari selasa lalu, kelompokku malah bikin bagaimana mengambil sebuah keputusan, yang memiliki hasil akhir ngga ada satu keputusan yang diambil berdasarkan pilihan yang ada. Hmm... apa ya? Hasil pengamatan di jalan harus aku bikin laporannya, dan udah sekali revisi. Hitung-hitung aku belajar nulis lagi, soalnya dosennya perfeksionis banget, dan aku jadi tertantang untuk memberikan yang terbaik. Di kepala udah ada ide, tapi pas mau ditulis rasanya belum sreg aja. Mungkin aku harus nunggu nanti malem, saat ide-ide biasanya bermunculan.

Aku lagi seneng kuliah, senengnya karena nyerempet-nyerempet filsafat. Dan semakin dilihat-lihat, matematika dekat sekali kaitannya dengan filsafat, atau setidaknya seni. Dan dosenku bisa menebak dengan tepat siapa tokoh matematika favoritku, yaitu Godel. Hihi, mungkin keliatan dari gaya berpikirku yang rada terpengaruh ama postmo. Hal yang bikin sedikit serem adalah ekspektasi yang tinggi. Huaa... jadi harus bener-bener berusaha biar ngga ngecewain orang. Buatku, ngga ngecewain orang merupakan etika tersendiri, jadi kalau harapannya besar, yaaa... sebisa mungkin aku harus mengejar harapan itu.

Mengenai tesis, aku rada bimbang. Kalau pakai etno, aku udah kebayang ujung tesisku akan seperti apa, tapi kalau pakai graf, hmm.. akan sedikit rumit. Kata dosenku, biar aku puas bermain, soalnya kalau mainan yang lain udah mentok, sedangkan kalau graf masih mainan baru, jadi kalau aku bosen yang diganti bajunya aja, bukan grafnya. Huhu, ini mah ada mimpi pribadi yang dicoba ditularkan ke aku. Yaa..., just wait and see-lah, biar sejalan ama penelitian bio energi aja, jadi ada arah yang jelas.

Thursday, February 08, 2007

Bete

"Liat tuh, Yuti bete karena saya cuekin."

Dan terjadilah Perang Dingin, sampai-sampai aku males nyariin cv-nya yang versi softcopy.

Wednesday, February 07, 2007

Abah

Setelah bingung milih penelitian di mana akhirnya aku memutuskan untuk mengamati Simpang Dago. Jam setengah 7, aku sudah meluncur dari rumah, parkir di kampus, kemudian melangkah ke tempat pengamatan. Jalan dipadati mahasiswa yang bergegas, lengkap dengan atribut tas, sepatu kets, baju kaos. Aku sendiri melangkah dengan santai sambil asyik mengamati sekitar, aahhh, senangnya punya waktu untuk dihamburkan. Belum sampai di simpang, aku sudah bertemu 2 orang pengemis. Satu orang bapak dengan rambut yang semuanya telah memutih, dan perempuan paruh baya.

Di lampu merah aku sempat terdiam. Duduk di pembatas halaman dengan trotoar sambil mengamati sekliling. Alih-alih mendapatkan buruan, aku malah jadi perhatian. Agar tak bosan, aku mulai berjalan-jalan. Pandanganku bertumpu pada seorang Bapak yang membawa barang dagangan. Apa yang dilakukannya bagiku menarik, mengejar angkot yang berlari, sambil membawa roti ataupun donat. Setelah berkenalan, aku tahu bahwa beliau berjualan roti dengan sopir-sopir angkot itu sebagai pelanggan. Dengan telaten, plat mobil itu dicatatkannya di atas selembar kertas menggunakan bolpen hitam. Saat kulihat, catatannya sudah sampai kolom ketiga, dengan satu kolomnya berisi kira-kira 20 baris.

Kami sempat mengobrol cukup lama, sambil diperkenalkan ke pengamen yang biasa mengamen di simpang yang mulai berdatangan. Abah, begitulah ia biasa dipanggil oleh para pengamen yang rata-rata juga telah berkeluarga. Abah sendiri memiliki 5 orang anak, dua diantaranya telah meninggal karena penyakit. Dulu, sebelum ia berprofesi sebagai penjual roti, abah sempat juga membawa mobil, tapi semenjak tahun 1988 ia terkena penyakit yang menyebabkan ia tak lagi bisa menyetir mobil.

Abah kenal dengan berbagai macam orang. Penjaga parkir, orang yang biasa lalu lalang, pengamen jalanan, hingga sopir-sopir angkot. Dengan raut puas ia berujar, "Kalau ngga percaya, tanya aja ke sopir angkot pak Muri yang berjenggot." Penampilannya memang agak sangar, dengan baju hitam corak gaya tahun 70-an, celana hitam, topi, rambut keriting, dan jenggot yang memenuhi mukanya, awalnya aku sempat ragu. Namun setelah berbincang cukup lama, rasa takut itu berganti perasaan hangat.

Hmm... pagi yang indah

Tuesday, February 06, 2007

Bermimpi atau Mati!

Tadinya mau nulis dengan gaya sinis, setelah membaca salah satu komen yang singgah di kotak inbox-ku, tapi akhirnya kubiarkan saja apa yang ada dalam kepala mengalir, tanpa tahu akan berakhir dan diberi label apa.

Siapa bilang aku hanya membaca teori tanpa turun ke lapangan? Lebih jauh lagi, tiap orang pasti membentengi dirinya dengan sebuah ideologi yang takkan henti diguncang, digugat dan dipertanyakan, karena itu seorang yang dilabeli pembawa perubahan pun takkan luput dari nilai-nilai yang dianut, dan menjadikannya tak pernah lepas dari caci maki dari lawan dan segala sanjung puja dari kawan. Aku sendiri pernah guncang ketika terjun langsung mempertanyakan mengapa ada anak yang lebih memilih jalanan dibanding bangku sekolahan, atau dipandang sinis oleh orang yang dipandang sebagai ‘pelindung’ ruas jalan karena mengharapkan ada perubahan dengan survey yang dilabeli sebuah penelitian. Di lain waktu terhenyak pada seseorang yang meminta-minta karena ia telah puas dengan kondisi dirinya, tanpa berusaha mencari kerja.

Memberi atau tidak memang merupakan solusi atau bahkan menimbulkan masalah yang tak berujung. Karena setelah mengenal uang, sekolah menjadi pilihan kesekian, atau telah merasa bisa hidup berbekal derma orang lain tanpa merasa salah. Kemiskinan juga telah merenggut pohon-pohon dari tempatnya, entah itu kemiskinan hati ataupun perayaan hasrat, dimana tak pernah ada kata cukup. Koran-koran tak berhenti menyuarakan perubahan, para pelaku kebijakan membuat keputusan-keputusan yang aku tak tahu baik atau tidak, mahasiswa dengan turun ke jalan turut menyuarakan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran. Aku? Setidaknya dua dari tiga sudah pernah aku geluti, dan jujur, bukan masa-masa yang cerah. Diskusi yang berujung pada beragam kesimpulan, aksi lewat tulisan karena dulu aku lebih banyak bergerak di dunia pers kampus, kegiatan sosial yang diiringi tangis haru orang yang menerima bantuan memang memberi sedikit melegakan hati, “Kau sudah sedikit berguna.” Namun selanjutnya apa?

Perlahan aku sadar, tak semuanya bisa dilakukan sendiri. Seiring dengan bertambahnya umur, aku kian mengerti bahwa suatu saat aku harus memilih sebuah peran yang menjadikanku berguna. Peran yang sesuai dengan mimpi dan kemampuan. Bukan menjadi segala, bukan pula meruntuhkan mimpi yang telah ada, namun menyadari bahwa manusia menjadi istimewa karena bersama. Adanya pembagian peran, dan juga menyadari kelemahan diri yang hanya bisa diatasi dengan kehadiran orang lain.

Aku pernah sinis, memandang dunia dengan pesimis dan amarah. Namun aku jadi lelah dan gelisah, pun aku tak dapat berbuat apa-apa dengan segala yang kuketahui itu. Pernah juga menenggelamkan diri pada fiksi ringan maupun komik sebagai katarsis, tapi akhirnya aku kembali, dan kuharap kali ini aku lebih kuat.

Anyway, apa yang membuatku kuat adalah kehadiran orang-orang menakjubkan yang ada di sekelilingku. Aku benar-benar merasa sebagai orang biasa di tengah-tengah orang-orang luar biasa. Orang-orang yang tak henti mengajariku cara bermimpi, peduli, penuh dengan kasih sayang, dan juga mengajariku untuk kuat. Yup, segala sesuatu memang tak terjadi begitu saja, dan semua merupakan wujud kasih-Nya. Terimakasih ya Rahman.

Friday, February 02, 2007

Konspirasi

Kayanya aku mulai terpengaruh teori-teori di kelas, dan akibatnya aku jadi sedikit bingung dengan diriku sendiri. Memang ada yang bilang, kebingungan adalah salah satu tahap dalam belajar, tapi bingung terus menerus, dan ngga tau mana yang mau diikuti, itu berbahaya. Mungkin, gara-gara itu saat ini aku mau sendiri dulu, sekadar untuk mendefinisikan siapa aku. Semoga saja pergulatan ini tak mengarah pada sesuatu yang baik, meski aku sendiri tak tahu.

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...