Setelah bingung milih penelitian di mana akhirnya aku memutuskan untuk mengamati Simpang Dago. Jam setengah 7, aku sudah meluncur dari rumah, parkir di kampus, kemudian melangkah ke tempat pengamatan. Jalan dipadati mahasiswa yang bergegas, lengkap dengan atribut tas, sepatu kets, baju kaos. Aku sendiri melangkah dengan santai sambil asyik mengamati sekitar, aahhh, senangnya punya waktu untuk dihamburkan. Belum sampai di simpang, aku sudah bertemu 2 orang pengemis. Satu orang bapak dengan rambut yang semuanya telah memutih, dan perempuan paruh baya.
Di lampu merah aku sempat terdiam. Duduk di pembatas halaman dengan trotoar sambil mengamati sekliling. Alih-alih mendapatkan buruan, aku malah jadi perhatian. Agar tak bosan, aku mulai berjalan-jalan. Pandanganku bertumpu pada seorang Bapak yang membawa barang dagangan. Apa yang dilakukannya bagiku menarik, mengejar angkot yang berlari, sambil membawa roti ataupun donat. Setelah berkenalan, aku tahu bahwa beliau berjualan roti dengan sopir-sopir angkot itu sebagai pelanggan. Dengan telaten, plat mobil itu dicatatkannya di atas selembar kertas menggunakan bolpen hitam. Saat kulihat, catatannya sudah sampai kolom ketiga, dengan satu kolomnya berisi kira-kira 20 baris.
Kami sempat mengobrol cukup lama, sambil diperkenalkan ke pengamen yang biasa mengamen di simpang yang mulai berdatangan. Abah, begitulah ia biasa dipanggil oleh para pengamen yang rata-rata juga telah berkeluarga. Abah sendiri memiliki 5 orang anak, dua diantaranya telah meninggal karena penyakit. Dulu, sebelum ia berprofesi sebagai penjual roti, abah sempat juga membawa mobil, tapi semenjak tahun 1988 ia terkena penyakit yang menyebabkan ia tak lagi bisa menyetir mobil.
Abah kenal dengan berbagai macam orang. Penjaga parkir, orang yang biasa lalu lalang, pengamen jalanan, hingga sopir-sopir angkot. Dengan raut puas ia berujar, "Kalau ngga percaya, tanya aja ke sopir angkot pak Muri yang berjenggot." Penampilannya memang agak sangar, dengan baju hitam corak gaya tahun 70-an, celana hitam, topi, rambut keriting, dan jenggot yang memenuhi mukanya, awalnya aku sempat ragu. Namun setelah berbincang cukup lama, rasa takut itu berganti perasaan hangat.
Hmm... pagi yang indah
No comments:
Post a Comment