Easy Money
Desakan ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan merupakan jawaban yang seringkali terlontar dari mulut pengamen di simpang Dago ketika ditanya alasan mereka mengamen. Namun jika memang tak ada pilihan, mengapa tak semua orang dengan kondisi tak memiliki ijazah, dan kecakapan khusus memilih jalan sebagai sumber mata pencaharian?
Mengamen lumayan menguntungkan. Itulah gambaran yang saya tangkap ketika mewawancarai beberapa orang pengamen di simpang Dago, terutama jika dibandingkan profesi-profesi lain yang memungkinkan, seperti penjual susu, atau roti dengan sistem bagi hasil dengan pemilik. Hasil dari pekerjaan tersebut, umumnya sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan mengamen. Ada juga yang lebih memilih mengamen karena memang senang bernyanyi, dan suasana kebersamaan yang terjalin di antara mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Adin, ”Saya mah asal ada uang untuk rokok dan kopi udah cukup.”
Berbekal suara dan alat musik, pengamen di simpang Dago dapat memperoleh 20-30 ribu per hari. Angka yang cukup menggiurkan dan menjadikan profesi pengamen cukup menjanjikan. Hal ini tercermin dari cerita Dani mengenai pasangan mahasiswa yang kini sudah tak lagi melanjutkan studi mereka akibat tak ada biaya, dan akhirnya berprofesi sebagai pengamen.
Jumlah penghasilan ini bergantung pada berbagai hal, diantaranya adalah alat musik, kelompok/perorangan dan lama mengamen. Menurut Obi, dibanding gitar, biola lebih menguntungkan. Begitupula kalau mengamen sendirian, ”Waktu dulu rame-rame, 2 gitar trus sekelompok sampai 5 orang, kalau sekarang Obi lebih memilih sedikitan. Buat apa cape-cape tapi dapetnya sedikit.”
Siapa cepat dia dapat merupakan etika yang berlaku diantara mereka dalam beroperasi mengejar target berupa angkot-angkot yang berhenti. Selama 1,5 menit lampu merah itulah para pengamen memainkan alat musiknya dan mengais rejeki dari para penumpang angkot. Kadang gelas bekas air mineral yang mereka sodorkan sama sekali tak berisi, kadang ada orang yang memberi seribu rupiah. Jika memperoleh seribu, biasanya mereka memamerkan hasil itu kepada teman-temannya dengan wajah sumringah.
Pengeluaran mereka cukup beragam. Dede dan Guntur masih bisa menabung dengan mengikuti arisan di Tubagus, Dani tiap hari memberi neneknya 5 ribu tapi mengaku sulit menabung karena biasa habis untuk membiayai keluarga, ada juga yang menabung untuk mencari kerja. Sehari-hari mereka biasa menggunakan uang untuk membeli kopi dan rokok. Sementara untuk makan siang ada beberapa pilihan dari masakan Padang yang seharga Rp 3000an, mie goreng Rp 2000, atau mie ayam Rp.2500. Selain makanan, yang terpenting adalah minum, apalagi bagi yang mengamen dengan bernyanyi, sehari bisa habis 6 gelas air mineral seharga 500, atau beli air bungkus dari warung masakan Padang.
Pandangan mereka atas profesi mereka sebagai pengamen, tampak dari petikan-petikan berikut,
Dani : ”Saya mah mau berubah. Semua yang disini juga gitu.”
Dede : ”Pengamen korban perasaan. Kalau ada pencurian suka jadi tertuduh.”
Adin : ”Kalau punya istri, saya pasti kerja. Ngamen mah untuk menghibur. Iseng.”
Obi : ”Daripada nganggur abis (selesai) sekolah. Dulu sih belum sesering sekarang.”
Bagi sebagian dari mereka, pengamen bukan sumber penghasilan satu-satunya. Dede, Acil, dan Agus misalnya, selain menjadi pengamen juga kerap dipanggil untuk mengisi acara di mall ataupun kegiatan lainnya. Format acaranya juga beragam, seperti undangan bagi Dede hari Selasa(13/02) di Plaza Dago yang bentuknya akustik. Untuk acara seperti itu, Dede diundang berempat dengan busana yang telah disediakan. Lain lagi Acil dan Agus yang kerap dipanggil dalam format band. Menurut Agus, selain dia tidak ada anggota band lainnya yang menjadi pengamen.
No comments:
Post a Comment