Friday, February 23, 2007

Unidentified Writings

Gw : "Jadi, setelah lo baca buku itu, menurut lo perang harus ada?"
Saya : "Mungkin tidak tepat seperti itu, tetapi konflik hadir untuk membuat kemajuan. Seperti saat kamu berkompetisi ikut UMPTN, atau memperoleh nilai A, padahal kamu tahu kalau nilai pada umumnya mengikuti distribusi normal."
Gw : "Tapi kan tiap manusia itu unik. Ok, UMPTN memang membuat pembedaan antara orang-orang yang diterima dengan yang tidak, namun itu tidak berarti yang tidak diterima kehidupannya berakhir begitu saja."
Saya : "Memang tidak, yang saya maksudkan wujud perang itu dalam skala kecil senantiasa hadir dalam kehidupan kita, dan itu bagian dari hidup. Bahkan kamu dengan melakukan segala sesuatu yang kamu anggap sebagai biasa alias taken for granted juga mengandung 'penindasan' buat orang lain. Seperti ketika kamu membeli barang dengan harga murah banget, dalam proses pembuatan barang itu faktor manusia yang diupah rendah."
Gw : "Gw ngga pernah minta!!!"
Saya : "Saya tahu. Tapi kita ini makhluk sosial yang hidup dengan lingkungan, instistusi, dan budaya yang membentuk identitas kita. Memang, kamu ngga bisa diidentifikasi dengan penegasian, semisal kamu bukan Otong, kucing, ataupun pohon, dan kamu juga ngga bisa diidentifikasi dengan menyebutkan siapa nama, orangtua, suku atau keterikatan kamu dengan apapun. Tapi begitulah orang lain memandang kamu."
Gw : "Gila, sejak kapan lo jadi seorang strukturalis. Tunduk pada suatu kesepakatan, atas nama kebersamaan. Kemana jati diri lo?"
Saya : "Saya tidak menolak jatidiri, bagi saya semua orang tetap unik."
Gw : "Trus..."
Saya : "Ngga ada terus."
Gw : "Udah, gitu aja. Lo nyerah atas nama sosial dan kebersamaan?"
Saya : "Trus kamu maunya bagaimana?"
Gw : "Biarkan saja semua berbeda. Dirayakan saja. Toh, dunia ini cukup luas untuk menerima segala perbedaan."
Saya : "Ok, tapi itu arinya kamu ngga konsisten. Di bagian awal kamu tidak menyukai adanya perang sebagai praksis konflik yang destruktif, tapi sekarang kamu bilang kalau perbedaan itu dirayakan saja. Artinya, kamu membenarkan ada manusia yang menjadi pahlawan dan ada yang menjadi korban."
Gw : "Ugh..."
Saya : "Itu gunanya standar. Tapi tetap harus reflektif."
Gw : "Aaargh! Gw jadi strukturalis dong."
Saya : "Ikuti saja kata hatimu. Jangan termakan label. Hihi, dasar manusia postmo, senengnya mainan label."
Gw : "Eh, malah kaya balik ke zaman pra-modern ya?"
Saya : "Yup. Ada pemetaan non-linier antara yang ditanda dengan penanda, dan kadang-kadang tak pernah menyadarinya, hanya karena terdengar keren."
Gw : "Make-up banget dong."
Saya : "Dunia pencitraan."

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...