Tuesday, March 27, 2007
Menjadi
"Mau jadi apa nanti?" tanyanya membuyarkan lamunan. Ah, ingin kujawab pertanyaan itu nanti saja, sebuah penundaan yang lagi dan lagi. Bukankah hidup adalah sebuah perjalanan yang diakhiri dengan sebuah pertemuan dengan Sang Maha? Lalu kenapa pertanyaan itu terucap tanpa henti. Kadang dengan penghakiman, kadang dengan nada yang menggantung, dan kadang dengan tatapan tak jelas. Sejak kapan masa depanku harus ditentukan sekarang, sudahkah waktu membisikan sebuah jawaban padanya yang tak kuketahui?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...
7 comments:
Wah ti,
baru kali ini aku ndak setuju denganmu. Menurutku, tujuan hidup bisa menggerakkan kita untuk 'berbuat' lebih terarah, lebih yakin bhw yang kita lakukan ini memang bener2 yang mesti dikerjakan. So, lebih enak/bagus kalo ditetapin dari sekarang.
Btw, alasan maju terus tesis karena ada dosen yg mau bantuin, kayanya pas banget deh... :) sesuai wacana energi di kelas (ini encouraging lho, ti..)
Mau jadi apa nanti? Wah itu pertanyaan yang sulit atau tidak mungkin untuk dijawab. Karena pada dasarnya hidup, mati, jodoh, rezeki adalah rahasia Ilahi.
Coba bayangkan setelah lulus bekerja dimana ? Siapa yang bisa jawab. Apakah kalau sudah bekerja di suatu tempat, tidak mungkin pindah kerja di tempat lain. Memang kemudian karier kita kan mengikuti dimana kita bekerja yang kemudian mungkin akan menentukan mau jadi apa nanti.
Kalau orang2 terdekatmu ada yang bertanya-tanya seperti itu, mungkin mereka mempunyai harapan yang baik untukmu, dengan keseriusan, pikiran2mu dan semua tingkah polahmu.
Semoga Sang Maha memberimu hidup yang terbaik, yang memberi manfaat bagi bangsamu yang masih banyak membutuhkan perbaikan.
Sahabatmu selalu
Hehe, akhirnya ada juga kesamaan mba Elvy ama si babeh. Babeh komennya sama persis kaya gitu, makanya aku dibilang bakal susah hidup mapan, kalau belum menentukan tujuan.
Jadi win-win solution aja deh, antara do my best dan menyerahkan semuanya pada yang Maha Kuasa.
Baca postinganmu ini saya jadi ingat Ahmad Wahib. Penulis catatan harian yang tekun dan pemikir yang sendiri ini pernah menulis begini dalam salah satu catatan hariannya:
"Tidak ada yang namanya Wahib. Aku bukan Wahib. Aku adalah Me-Wahib!"
Ya, Menjadi. To be. Erich From pernah memberi kita dua pilihan: to be or to have?
Saya pilih yang pertama.
Salam kenal
pejalanjauh.blogspot.com
Salam kenal juga zen. Hmm.. aku juga selalu mikir hidup adalah menjadi. Parahnya, tugas kuliahku juga selalu menjadi, makanya dosenku suka geleng-geleng kepalaku melihat minatku yang terus berubah. Well, akhirnya proses perjalanan itu berhenti pada deadline pengumpulan tugas, atau kalau dalam kehidupan, saat manusia berhenti bernafas.
[Well, akhirnya proses perjalanan itu berhenti pada deadline pengumpulan tugas, atau kalau dalam kehidupan, saat manusia berhenti bernafas.]
Hmmm... perbandingan yang menarik. Tapi masak sih perbandingannya gitu? Bukannya gak sebanding tuh? Hehehe...
Salam
Hehe, emang ngga sebanding, tapi menurutku nilai yang kita anut pasti memiliki practice, caraku menyikapi hidup merupakan perwujudan dari caraku me-Yuti:)
Post a Comment