Sunday, January 30, 2005

Kepada Seorang Kawan (2)

[Episode: Rasa]

Kawan,
Pernahkah kau mendengar apa arti seorang sahabat? Ah, pertanyaan bodoh. Aku yakin kau sudah mendengar puluhan definisi mengenai persahabatan, dan kau pun telah melewati fase teori, kau telah menjadi sahabatku yang terbaik. Mungkin satu tambahan definisi lagi takkan berguna, tapi aku tergoda untuk mengatakannya padamu, karena kau tahu, itulah yang kurasakan terhadapmu. Seorang sahabat adalah satu jiwa dalam dua tubuh, begitu kata Aristoteles. Sekarang aku tahu kenapa—meskipun kau begitu jauh, dan sudah cukup lama pula kita tidak bertemu—kau senantiasa terasa begitu dekat.

Kawan,
Ingatkah kau saat kau menanyakan legenda pribadiku? Masih belum pasti, jawabku saat itu. Sampai saat ini akupun belum menemukannya, meski sudah mulai ada titik terang, dan bagiku kaulah salah satu pembawa titik terang itu. Lewat kisah-kisahmu aku mulai mencari jalan cerita yang akan kurangkai untuk membentuk sejarahku sendiri.

Kawan,
Kemarin aku menyusuri jalan-jalan kota Bandung. Kerlap-kerlip lampu begitu banyak, begitu pula dengan orang yang lalu-lalang, kota tampak begitu hidup, lengkap dengan para remaja yang sedang menggalang dana dengan berjualan bunga mawar, ataupun memberikan stiker kepada mobil yang melaju perlahan. Tak ketinggalan perkumpulan motor lengkap dengan atribut kelompoknya masing-masing, menghiasi jalan Dago yang tampak agak lengang karena disapa hujan pelan. Tapi ditengah hiruk pikuk kota di malam hari, aku malah merasa asing. Tiba-tiba aku malah teringat saat-saat kemping, dimana dunia seolah beranjak menutup mata. Ditemani kobaran api unggun, dan teman-teman yang merapat melawan udara malam, aku menikmati keriangan. Bintang-bintang di langit tampak begitu dekat. Belum lagi pohon-pohon besar dengan usia puluhan tahun yang seolah menemani kami dengan hymne alam. Betapa hangat dan bersahabat.

Kawan,
Tampaknya itu yang ingin kucapai. Aku ingin dekat dengan deru kehidupan yang tersebar dalam nafas semesta raya, meski aku belum tahu bentuk nyatanya seperti apa. Seperti tadi dalam acara Surat untuk Sahabat(tiba-tiba aku jadi teringat padamu), ada kisah mengenai anak-anak Rimba yang terancam kehidupannya karena hutan tempat mereka tinggal mulai dijamah para pemakan kayu. Orang-orang tamak yang merusak hutan untuk keuntungan sesaat. Aku pun jadi teringat orang-orang Badui, masyarakat yang hidup di tanah ulayat dan memiliki cara hidup mereka sendiri. Tampaknya mereka nyaman dengan pola bersahabat dengan alam, dan meskipun adakalanya mereka naik mobil, tapi mereka masih tetap mengandalkan tapak kaki mereka sebagai transportasi terbaik. Aku ingin merasakan segala, tapi aku ingin apa yang kurasakan dapat berguna bagi sesama umat manusia.

Kawan,
Aku ingat ketika kau bercerita mengenai kepedihanmu atas apa yang terjadi di tanah rencong. Ratusan ribu korban meninggal dunia, belum lagi ditambah tantangan masa depan. Trauma yang membayangi setiap langkah, belum lagi bangunan-bangungan penunjang yang seharusnya mampu menghantrakan mereka menyongsong hari esok yang lebih cerah. Ah, ada begitu banyak duka, mulai dari yang menghiasi segmen berita hingga yang harus tertelan oleh tanah merah karena tak ada biaya untuk bertahan.

Kawan,
Kalau kau sudah menemukan legenda pribadimu, aku baru melihat jalannya secara samar-samar. Aku ingin semua orang bahagia… termasuk aku dan kau, dan meskipun untuk mencapai ujungnya aku harus melewati banyak rintangan. Tampaknya aku akan menikmatinya.

Kawan,
"Aku sedang jatuh cinta.
Rasanya sakit sekali.
Tapi aku ingin merasakan sakit selamanya."
(potongan kata-kata dari Lover Concerto yang kubaca di Openmind Magazine).
Kau jangan berpikir yang tidak-tidak, aku hanya teringat kisah tentang sahabat yang menghentikan pedangnya ketika seorang musuh yang sudah terdesak meludah ke muka sahabat tersebut. Ia tak mau kesucian niatnya dalam menegakkan kalimat Sang Maha Kasih ternoda oleh kebencian terhadap seorang manusia. Kuharap aku bisa menjaga kelurusan niat itu, dan kuharap Sang Maha senantiasa menjagamu jua.

Ahad, 30 Januari 2005. 10.40

Friday, January 28, 2005

Tentang Blog

Sumber: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005010602351018
'Blog', Sarana Informasi Alternatif

Sesaat setelah bencana gempa dan gelombang pasang melanda kawasan Asia, informasi mengenai kejadian tersebut telah bermunculan di berbagai weblog atau lebih populer disebut blog. Sebagai situs pribadi yang gampang di-update secara kontinu, blog memang bisa berfungsi sebagai sarana informasi alternatif untuk mencari data korban dan informasi berguna lainnya.

Sejak munculnya istilah weblog oleh Jorn Barger di tahun 1997, blog telah berkembang dari sekadar catatan pribadi. Komunitas pembuat blog lalu bermunculan di berbagai negara, termasuk di Tanah Air. Untuk setiap kejadian penting di dunia, mulai pemilihan presiden Amerika sampai perang Irak, bisa dipastikan kalau informasinya muncul di dalam blog.

Terkait bencana tsunami, blog tersebut kebanyakan memang dibuat untuk mengekspresikan kesedihan para pembuatnya (atau istilahnya blogger) karena banyaknya korban. Blogspot.com sebagai penyedia blog misalnya sampai membangun situs beralamatkan tsunamihelp.blogspot.com yang berisikan data orang yang masih hilang, pencarian korban, saluran donasi hingga cara memberi bantuan bagi korban tsunami.

Namun, para bloggers Indonesia pun tidak tinggal diam. Beberapa di antaranya menyusun blog untuk liputan tsunami. Selain memuat catatan pribadi tentang bencana di Aceh, mereka juga mencantumkan link ke sejumlah situs informasi resmi maupun situs penampung donasi.

Tetapi, pengamat multimedia Roy Suryo menyarankan pengakses internet untuk lebih percaya kepada situs-situs resmi daripada weblog. Alasannya, nilai pertanggungjawaban dari pembuat blog masih terbatas dan sumber penulisannya tidak bisa ditentukan. "Blog itu satu tren saja. Jadi, seperti agenda yang bisa ditulisi macam-macam. Saya melihat blog sendiri kebanyakan masih berupa katarsis atau tempat curahan emosi," ungkap dosen UGM ini kepada Media kemarin.(War/B-1)

Buku

Salah satu benda yang paling aku sukain adalah buku. Liburan kemaren rencananya mau bikin cabang blog yang isinya pendapatku tentang buku-buku yang udah aku baca atau yang menghiasi rak bukuku, tapi kayanya rencana itu belum kesampaian. Lagian aku juga belum tau gimana cara bikin klasifikasi di blog, jadi masih ketunda terus deh. Tapi dalam bayangan, ada beberapa kategori yang bisa mendeskripsikan buku-buku. Pertama, kategori sastra, yang masuk golongan ini buku-buku terbitan Jalasutra. Belakangan ini buku-bukuku emang ngarah ke penerbit ini. Soalnya aku lagi seneng ngamatin kajian budaya(CS). Jenis kedua adalah sains dan agama, tapi yang masuk kategori ini masih sedikit banget, paling juga Juru Bicara Tuhan, Membaca Pikiran Tuhan. Ada satu lagi, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu, tapi aku anggep tukeran ama Siroh Nabawiyah.

Spiritual: yah.. karena aku yang bikin klasifikasi, buku-buku seperti Sang Alkemis, Misteri Soliter, Sang Iblis dan Nona Pryn, Di tepi Sungai Piedra, aku masukin kategori ini. Eh, aku termasuk kategori fanatik ngga ya? Setiap kali penerbit Alvabet(kecuali untuk Sang Iblis dan Nona Pryn yang diterbitin Jendela) ngeluarin karangan Paolo Coelho, aku pasti beli. Meski yang bener2 dahsyat menurutku hanya Sang Alkemis. Fiksi-populer: nah ini lumayan banyak. Buku-buku Kaifa, Totto-Chan, Pangeran Kecil aku masukin kesini. Ada juga sih yang memiliki identitas ganda, kaya The Holinnes-nya Dalai Lama.. tapi kalau di rak buku aku tempatin dekat buku agama yang lain(biar temenan :D). Ada juga beberapa buku tentang politik dan konspirasi dunia seperti Ideologi Politik Mutakhir dan Benturan Antar Peradaban, keduanya terbitan Qalam.

Untuk gambaran mengenai hubungan antar agama, aku make Sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong. Selain itu, Muhammad-nya Armstrong juga bagus untuk dijadiin referensi untuk ngeliat pandangan Barat terhadap Islam. Ada pembahasan tentang ayat-ayat setan segala, dan kenapa Islam sangat peduli dengan sistem pemerintahan. Untuk jawabannya, bisa dilihat dari buku The Heart of Islam-nya Nasr. Disana dijelaskan tentang visi kemanusiaan dalam Islam. Tentang kajian kesastraan, buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi-nya GM bagus untuk pengantar. Mulai dari yang asing sampai Indonesia ada, lumayan sekilas-sekilas sih, tapi buat pengantar lumayan juga.

Thursday, January 27, 2005

Selamat Pagi Dunia

Kemarin aku terpaksa balik ke bandung. Terpaksa, gara-gara aku udah punya beberapa rencana di hari Rabu, diantaranya ketemu dengan teman dari Solo yang kebetulan lagi di Jakarta, tapi gara-gara ada ujian perbaikan aku harus ngejar kereta pagi jam 8.40.

Stasiun tampak tidak begitu ramai. Bahkan di loket pun tidak tampak ada orang yang sedang mengantri. Aku sampai stasiun jam setengan 8-an, naik bajaj. Jadi masih harus nunggu sekitar satu jam. Dari banyak kegiatan yang ngga kusukai, menunggu adalah salah satunya. Untuk menghabiskan waktu(eh memanfaatkan waktu), aku baca koran aja, kebetulan di koran hari Selasa, ada informasi kalau koran Rabu berisi suplemen mengenai iklan. Jadi deh aku beli koran di kios yang jualan koran dan makanan ringan(lantai dua, arah sebelah kanan dari arah kedatanganku). Ternyata harga korannya jadi 2500(standar stasiun kali ya...).

Aku dapet gerbang 2 bisnis, 4D. Di 3A-B dan 4A-B ada batita. Batita yang sejajar denganku udah agak gede, sekitar 1 tahun beberapa bulan, sedangkan yang didepannya masih agak kecilan. Wah, perjalanan ke bandung kali ini tampaknya akan menarik.

"Ci..luk ba..", wah disapa gitu, batita yang perempuan(yang duduk di 3A-B) langsung ketawa. Aduh lucu banget. Sama ibunya dia diajak jalan-jalan, wah batita yang pake baju pink dan jaket putih kecil itu langsung ketawa pas dideketin. Udah gitu, yang duduk sejajar juga ngga mau kalah, sibuk nyolek-nyolek batita yang ada di depannya. Lucu banget... Kayanya kehidupan bagi mereka hanya berarti satu hal. Tertawa...

Dengan senyum dan tawa mereka yang begitu lepas, tampaknya mereka ingin menyapa semua.
"Selamat Pagi Dunia"

Tuesday, January 25, 2005

Materialisme

[sekalian tanggapan untuk komen dari NN]

Satu hal yang menurut saya tidak bisa dikompromikan dalam memandang Marxisme adalah cara pandangannya terhadap materi(materialisme). Penafsiran saya atas materialisme Marx adalah cara pandang kebendaan. Artinya, benda menjadi dasar dari ide. Contohnya, keberadaan kuda secara fisik lebih dulu ada daripada ide tentang kuda, dan hal ini berhubungan erat dengan pandangannya terhadap agama, dimana agama hanya dipandang sebagai bagian dari konstruksi sosial. Oleh karena itu mengatakan yang satu merupakan subset yang lain sungguh berbahaya(apalagi menyatakan yang satu merupakan subset yang lain secara tidak langsung berarti saling subset atau sama, dalam logika matematika). Padahal landasan keduanya berbeda total.

Materialisme memang dijadikan rujukan untuk mengkaji masalah-masalah mengenai material, hal ini dominan dalam kajian budaya(cultural studies). Dalam teori-teori yang saya baca, analisis materialisme sangat baik untuk menjelaskan bagaimana budaya massa menyerap kesadaran setiap individunya, melalui iklan(proses internalisasi melalui seringnya kemunculan), idol dll. Alat-alat untuk mempengaruhi massa dan adanay semacam perayaan akan keseragaman inilah yang digugat oleh para pengkaji budaya, yang banyak mengambil dasar dari Marx. Berbeda dengan agama, yang menyerang budaya massa ini dari segi hubungan vertikal, membebaskan manusia dari imaji-imaji semu yang coba ditanamkan oleh para produsen.

Bagi saya ada perbedaan mendasar. Agama mencoba menghantarkan manusia pada kebebasan sejati melalui sebuah identitas fitrah, kalangan materialisme lebih banyak menggugat cara kerja para pemilik modal dalam membuat konstruksi kesadaran palsu. Masalah yang disoroti oleh orang2 materialisme adalah adanya klas penguasa(yang kini ditempati oleh para produsen) dan klas yang kesadarannya terjajah(para konsumen). Perbedaan mendasar inilah yang menurut saya agak serem kalau dicampuradukan.

Internet

Salah satu keunikan nge-net di puspiptek adalah acara mancing suara tuwi..wi..wing(tanda sambungan teleponnya udah nyambung ke server). Karena tingkat keberhasilannya rendah, biasanya aku cek pakai telepon biasa dulu, baru setelah kedengaran suara tuwi..wi..wing, aku hubungin ama kompie. Kemarin seharian aku gagal total, dari pagi sampai jam setengah 12 malem, yang kedengaran nada sibuk ama nada panggil terus. Begini nih kalau ngandalin internet gratisan. Tapi lumayan juga sih, itung-itung menahan diri ngga nge-net. Soalnya banyak yang bilang aku udah masuk kategori kecanduan. Yah, mungkin bener juga, abis di dunia maya banyak orang yang unik. Pemikirannya pun macem-macem. Asyik aja bisa bertukar pikiran dengan orang-orang dengan latabelakang beranekaragam.

Teknologi sebagai Produk Budaya

Dalam bukuVisi Iptek Memasuki Milenium III karangan Zuhal ada sebuah sub-bab yang menceritakan iptek yang merakyat dan high touch. Isinya dimulai dengan sejarah perkembangan manusia yang masih bergantung pada alam sampai mulai dapat memanfaatkan alam untuk menunjang kebutuhan hidup. Dalam kerangka iptek yang merakyat, buku itu menyebutkan bahwa manusia harus secepatnya mewujudkan mapannya masyarakat berbasis pengetahuan, manusia yang melek iptek dan siap menggunakan kemudahan yang tersedia untuk keperluan perekonomiannya.

Sisi lain, yang disorot adalah antisipasi akibat dan konsekuensi kehadiran high-tech. Oleh karena itu, Zuhal dalam bukunya menyatakan “Kita perlu melihat high-tech dari kacamata kemanusiaan dan memahami dampaknya terhadap kualitas hidup yang meliputi dan tidak terpisahkan dari evolusi budaya bangsa, kreativitas, imajinasi serta aspirasi masyarakat Indonesia. Bagi kita high tech bukan semata-semata artifak-kebendaan, objek material dan fisik saja, tetapi juga merupakan sesuatu yang menyatu dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan.”

Kalau sains masih bisa diletakan dalam sebuah wilayah bebas-nilai(meski sampai saat ini masih banyak perdebatan mengenai sains yang bebas nilai), maka tak begitu halnya dengan teknologi. Bagaimana tidak, teknologi(techne=cara dan logos=pikiran) merupakan hasil dari proses berpikir manusia. Artinya teknologi merupakan hasil kebudayaan, yang dalam proses pembuatannya melibatkan ideologi, nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu. Sms, misalnya, dalam budaya yang tingkat literernya cukup tinggi mampu menghemat biaya pulsa, namun ketika diterapkan dalam masyarakat tertentu malah dijadikan sarana baru untuk mengobrol. Hasilnya, sms malah menjadi sumber pemborosan baru. Salah satu kisah lain yang menarik adalah sebuah daerah yang penduduknya mayoritas bekerja sebagai TKW, dikisahkan bahwa rumah mereka bagus-bagus, didalamnya ada kulkas, televisi dll. Tapi kulkas tersebut tidak dimanfaatkan untuk menyimpan makanan yang cepat busuk melainkan sebagai tempat menyimpan baju.

Dalam hal ini teknologi hanya menjadi sebuah alat baru untuk menentukan klas seseorang. Dalam kacamata materialisme, aspek materi menjadi dasar dari sebuah bangunan sedangkan aspek non-materi menjadi bangunan yang ada diatasnya. Artinya dasar bangunan secara mutlak akan mempengaruhi bangunan diatasnya, namun tidak berlaku sebaliknya. Pada kasus penerapan teknologi tinggi(high tech), masyarakat di desa akan menyesuaikan diri dengan keberadaan teknologi tersebut. Hal ini akan berbeda keadaannya jika teknologi tersebut merupakan hasil dari proses berpikir masyarakat tersebut. Teknologi yang dihasilkan akan sesuai dengan kebutuhan dan masyarakat tidak akan menganut ideologi asing yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di suatu daerah.

Beberapa ciri manusia modern menurut Inkeles dan Smith dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga adalah memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia bisa mengendalikan alam dan bukan sebaliknya dll. Hal ini terlihat dari teknologi-teknologi tinggi karya manusia modern yang pada umumnya memiliki sistem kontrol untuk menegaskan kekuasaan manusia. Adanya dikotomi manusia modern dan manusia tradisional--sebagai lawan dari manusia modern—juga berdampak dari gaya hidup kedua kelompok tersebut. Teknologi sebagai buah budaya manusia modern secara langsung memiliki sifat sama dengan manusia modern.

Nilai-nilai yang berbeda inilah yang pada umumnya tidak disadari, sehingga ketika suatu teknologi diimport atau digunakan oleh manusia tradisional ada beberapa kemungkinan konflik. Pertama, teknologi tersebut ditolak, sebagaimana yang seringkali dialami oleh peneliti yang melakukan pengawasan langsung ke daerah-daerah. Selama masa pendampingan, teknologi tersebut dapat bekerja dengan baik. Namun ketika dilepas, mereka kembali pada cara-cara konvensional. Kemungkinan kedua, adalah masyarakat tradisional benar-benar bergantung pada teknologi tersebut dan menerima semua perubahan tersebut dengan kepercayaan mutlak. Akibatnya teknologi tersebut mencabut mereka dari akar budaya yang telah ada sebelumnya(cenderung terjadi di bidang consumer technologies).

Oleh karena itu, ada satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah tujuan dari pembuatan teknologi tersebut, apakah teknologi dibuat dengan spesifikasi khusus sesuai dengan kultur budaya masyarakat tertentu atau ia bersifat nir-ruang. Sebagai produk budaya, tentu teknologi tak dapat bersifat nir-ruang. Solusi yang paling mungkin adalah proses adaptasi, sehingga nilai-nilai yang dibawa oleh teknologi tersebut dapat disaring dan dimanfaatkan semaksimal mungkin pada daerah baru(daerah yang mengimpor teknologi tersebut).

Penerapan teknologi terkait langsung dengan perkembangan industri dan juga militer. Artinya, kemajuan teknologi secara tidak langsung juga bisa dilihat dari kemajuan suatu negara. Hubungan ini bisa disederhanakan dengan membagi negara-negara di dunia menjadi dua kubu besar, yaitu negara maju dan negara terbelakang. Negara maju dengan pembagian kerja secara internasional(negara-negara industri dan negara-negara pertanian) berperan sebagai negara industri sedangkan negara terbelakang pada umumnya masuk dalam kelompok negara pertanian. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pembagian kerja ini mengarah pada berkurangnya pendapatan negara-negara pertanian sedangkan kebutuhan belanja barang-barang industri cenderung naik.

Akibatnya, negara pertanian menjadi negara terbelakang dan negara-negera industri melesat menjadi negara maju. Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk menganalisis keadaan ini, salah satu diantaranya adalah pendekatan budaya. Sebagai pengembangan dari Etika Prostestan-nya Weber, McClelland mengajukan n-Ach(the need of Achievement). Konsep ini menyatakan bahwa keinginan, kebutuhan, atau dorongan untuk berprestasi tidak sekadar untuk meraih imbalan material yang besar. Hal ini terungkap dari studi historis pada pembangunan ekonomi di Spanyol pada abad ke-16. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi selalu didahului oleh karya-karya sastra yang mempunyai nilai n-ach yang tinggi.

Kesimpulan
Dari beberapa teori dan contoh kasus diatas, terlihat bahwa teknologi yang dalam kacamata materialisme akan mempengaruhi masyarakat yang menggunakan teknologi tersebut dapat juga sebaliknya. Dalam masyarakat modern, perkembangan industri yang berbanding lurus dengan teknologi dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan. Semakin tinggi nilai n-Ach, maka perkembangan ekonomi di negara tersebut juga akan maju.

Hal ini secara tidak langsung juga menjadi jawaban atas kemajuan yang dialami oleh negara-negara industri yang menjadi negara maju. Kehadiran alat-alat produksi yang serba cepat dan mekanistik menjadi katalis untuk mempercepat ritme hidup dan kemajuan. Akibatnya, ketika kultur masyarakat industri berubah dengan cepat menjadi masyarakat modern(dengan ciri-ciri yang telah disebutkan diatas). Masyarakat di negara-negara pertanian masih terbiasa dengan pola hidup yang mengandalkan alam, tidak peka terhadap perubahan dll.

Ironisnya, ketika mereka sadar akan ketertinggalan ini, masyarakat negara-negara terbelakang langsung mengadopsi teknologi tinggi yang menyebabkan tingkat ketergantungan mereka terhadap negara maju semakin tinggi. Ditambah intervensi negara-negara maju yang kini memegang posisi penting dalam badan-badan dunia seperti PBB, WTO. Selanjutnya jika menggunakan cara pandang linier, negara terbelakang akan mengikuti sejarah negara maju(berubah menjadi negara industri) dan ketika negara terbelakang telah menjadi negara industri, negara yang disebut maju adalah negara yang menguasai teknologi tinggi. Hal ini berlangsung terus menerus seperti paradok Zeno(kisah dimana Zeno tidak berhasil mengejar kura-kura yang sudah lari terlebih dahulu karena setiap kali Zeno melangkah, kura-kura tersebut sudah melangkah maju lebih dahulu). Untuk mengatasi ketertinggalan tersebut, maka negara-negara terbelakang harus mampu menciptakan teknologi yang berasal dari akar rumput(grass-root), sehingga teknologi mampu memutus matarantai ketergantungan terhadap teknologi yang berasal dari negara maju, sekaligus menghindari terjadinya konflik internal.

Sunday, January 23, 2005

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Gelisah]

Kawan,
Tampaknya gelisah itu kembali menyergap kepalaku. Tapi mungkin inilah sebuah jalan untuk senantiasa mencari dan tidak pernah puas pada suatu bentuk. Tahukah kau, hari ini aku kembali menyusuri tembok bernama kenangan. Kunamakan tembok, karena terkadang aku harus berusaha keras untuk dapat mengintip bangunan yang tersembunyi di balik tembok tersebut, dan kadang pula tembok itu melindungiku dari sejarah masa laluku.

Kawan,
Sebuah pertanyaan kadang membuatku bimbang. Mungkin kau heran kenapa sebuah pertanyaan yang membuatku bimbang, bukannya sebuah jawaban penuh alasan. Tapi itulah yang dinamakan gelisah, saat dimana alasan tak berguna, dan mungkin di waktu yang tak terduga. Tapi kau tahu, gelisah juga membuatku tetap merasa hidup, ya hidup dalam petualangan-petualangan kecil yang senantiasa membuatku terkagum-kagum.

Kawan,
Mungkin inilah yang sebut dengan keajaiban. Tentu saja, aku takkan berbicara mengenai manusia yang menjadi katak ataupun kucing bersepatu boot, tapi aku berbicara mengenai keajaiban hati, bagaimana sesuatu dalam tubuh bisa begitu indah dan menyenangkan. Kau tahu cerita mengenai hujan? Aku dengar hujan itu indah, dengan airnya ia bisa mengembalikan tanaman-tanaman yang tertunduk lesu. Tapi dari zat yang sama ia bisa meluluhlantakkan gedung bertingkat dan menyisakan berbait-bait tangisan penuh kehilangan. Beberapa saat sesudah aku menikmati tanah yang baru bertemu sang kekasih, aku kembali gelisah, karena saat itu saudara-saudaraku harus kehilangan harta benda mereka.

Kawan,
Kau mungkin akan menghiburku dengan cerita mengenai kesejatian. Sungguh, ceritamu itu membawaku untuk mendalami gelisah. Ya gelisah, karena aku tampaknya masih sering menghabiskan waktuku untuk hal-hal yang tak berguna, masih sering becanda dan mungkin lalai dalam menjaga hatiku hanya untuk-Nya.

Kawan,
Tampaknya aku masih harus belajar. Membuka mata, telinga dan hati, tapi kuharap mata itu bisa digunakan untuk melihat, telinga untuk mendengar dan hatiku untuk merasakan.

Teologi Pembebasan

Wacana ini saya dapatkan beberapa tahun lalu. Dari beberapa literatur yang saya baca asal mula wacana mengenai teologi pembebasan ini muncul dari tradisi Kristen(mungkin nyambung juga ama Etika Protestan-nya Weber), khususnya berkembang di daerah miskin. Kalau Marx sempat menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, maka teologi pembebasan malah menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau landasan untuk bergerak. Keduanya sebenarnya sama-sama melawan penindasan meski sudut pandang keduanya menurut saya bertolak belakang. Marx dalam kacamata saya, menganggap agama, terutama jika dikaitkan dengan periode ia hidup, tampak menjadi sebuah kekuasaan yang menindas. Surat-surat penebusan dosa diperjualbelikan dengan harga tinggi, para petinggi agama memiliki akses yang tinggi terhadap kekuasaan dan bisa bertindak semena-mena, sedangkan kaum papa, dicekoki dengan kisah-kisah manusia suci dimana mereka senantiasa ketakutan akan dosa-dosa mereka dan parahnya lagi, keadaan mereka yang tertindas seringkali digambarkan memang sudah seharusnya seperti itu, sebagai sebuah bentuk pengorbanan. Sedangkan sudut yang digunakan oleh teologi pembebasan adalah agama menjadi landasan/ideologi yang menggerakkkan mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terenggut.

Wacana ini sempat menjadi bahan pembicaraan hangat beberapa tahun lalu. Terutama jika dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan, kenapa Indonesia(yang mayoritas muslim) penuh dengan korupsi, pornografi(kedua terparah di dunia!!!) dan berbagai kebobrokkan moral lainnya. Apa yang salah, pemahamannyakah ataukah memang ada sebuah gap antara ibadah mahdhoh dan ghairu-mahdhoh? Dari sinilah muncul teologi pembebasan yang menggugat kemerdekaan manusia. Apa arti kemerdekaan, apa tujuan dari pembebasan? Kalau Marx sering menggunakan pemisahan klas dengan borjuis-proletar, maka di buku Islam dan Teologi Pembebasan yang digunakan adalah kata mustadafin(kaum tertindas). Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana Islam melindungi hak-hak kaum papa, kewajiban untuk membayarkan upah seseorang sebelum keringatnya kering, memperlakukan anak yatim, bagaimana peranan negara mengatur kesejahteraan rakyatnya dll. Lebih jauh lagi, Islam dan teologi pembebasan juga mengajarkan manusia untuk bergerak memperjuangkan kemerdekaan mereka yang sejati. Apa itu kesejatian dan bagaimana memperolehnya.

Saya kurang ingat detilnya secara persis, secara garis besar, baik dari pendekatan Islam maupun teologi pembebasan yang lain, mereka menggunakan agama sebagai kekuatan untuk bergerak. Hal inilah yang menyebabkan gerakan ini diberi nama teologi, karena perjuangan yang dibawa dikaitkan dengan keyakinan agama formal yang mereka miliki. Kalau dalam paradigma Islam, saya melihat semangat teologi pembebasan ini mirip dengan istilah Islam Kiri yang diperkenalkan oleh Hasan Hanafi. Menurut Hanafi Islam Kiri adalah perjuangan melawan kesewenang-wenangan, oleh karena itu ketika Rasulullah melawan kaum kafir Quraisy, Rasul mengusung Islam kiri. Namun lama-kelamaan Islam kiri ini mengalami pergeseran makna. Sekitar tahun 1999-2000an banyak buku-buku yang mengangkat tema ini mulai dari Islam Kiri terbitan LKiS dan GIP(kalau ngga salah isi keduanya agak bertentangan), Islam dan Sosialisme dll. Seingat saya, H.O.S Cokroaminoto(pendiri SI) juga merupakan gambaran yang cukup unik dalam menggambarkan semangat Islam Kiri.

Bagi saya ini hanya masalah cara pandang. Sekarang pun dengan memandang Islam tanpa embel-embel(Islam kiri, islam liberal, islam progresif dan masih banyak lagi), gerakan Islam sebagai sebuah kekuatan pembebas mulai terlihat. Artinya, ketika seseorang mengaku muslim, hal tersebut terlihat dari gaya hidup dan perilakunya, tidak terbatas pada waktu khusus lima kali sehari. Pemberian label, bisa positif maupun negatif. Positif jika ia dikaitkan dengan sebuah bagian dari sebuah bangunan, dalam hal ini embel-embel pembebasan bisa bergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, tanpa menafikan unsur lainnya, ia bisa benar-benar fokus dan maju dibidang kajian ini. Sedangkan bisa negatif jika ia dilihat sebagai sebuah bangunan mandiri yang tampak angkuh menantang dunia. Kalau ini terjadi, frase ‘Islam dan teologi pembebasan’ lagi-lagi bisa terjebak dalam sebuah gerakan praksis sekuler.

Musyawarah Kelinci

Suatu kali sepuluh orang berkumpul di dalam satu ruang. Salah seorang dari mereka membawa seekor kelinci.
“Mari kita tentukan jenis kelamin kelinci ini,” ujar orang yang membawa kelinci.
“Bagaimana caranya?” tanya salah seorang yang hadir.
“Kita tentukan saja berdasarkan suara terbanyak,” usul seseorang yang lain.
Akhirnya, kesepuluh orang tersebut mengadakan voting.
“Siapa yang berpendapat kelinci ini jantan?” Tiga orang mengangkat tangan. Sedangkan enam orang lainnya beranggapan bahwa kelinci tersebut betina, hanya satu orang yang abstain. Dari hasil perhitungan suara tersebut, kesepuluh orang tersebut sepakat bahwa kelinci tersebut betina, semua tampak puas dengan keputusan tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan turut berpikir --entah dengan pendekatan warna ataupun tingkah laku kelinci-- mereka telah membantu orang yang membawa kelinci tersebut menentukan jenis kelamin. Tapi benarkah jenis kelamin seekor kelinci dapat diketahui dari sekelompok orang yang tidak memiliki ilmu tentang kelinci?

Adakalanya niat membantu menjadi kehilangan arti ketika tak dibarengi ilmu(prioritas ilmu atas amal).

Wednesday, January 19, 2005

Ke Soekarno-Hatta

Pagi itu langit tampak mendung. Awan kelam seolah ingin mengambil langit sendirian, tapi kalau kutunda lagi satu urusan ini, mungkin takkan ada langit terang bagi malasku. Akhirnya kuangkat telepon.
"Dengan Pikiran Rakyat, ada yang bisa dibantu?" tanya sebuah suara dari sebrang
"Iya, kalau PR buka ngga ya hari Sabtu?"
"O.. tutup"
Akhirnya karena Sabtu tak menjadi pilihan, kuputuskan pergi pagi itu, saat mentari belum mau menampilkan dirinya.

Dengan panik mencari rute angkot. Gila... gara-gara ngga pernah perhatian ama jalan jadi gajal(gagap jalan) gini nih. Mana peta Bandung yang jadi benda andalannya kakakku ngga berguna, gimana mau berguna wong nyaris setiap beberapa bulan sekali rute jalan dirubah. Ya udah deh sms aja. "Mas, bener ngga abis dari cikawao, naik angkot sederhana yang warna biru, trus sambung lagi naik angkot ke arah kanan. Balas ya" Ngga beberapa lama kemudian dateng sms balesan, penegasan bener plus rute angkot untuk pulang. Fi..uh, perjalanan akan dimulai...

Langit masih mendung, meski gerimis tak kunjung mencium bumi...
Cari payung, padahal payung lipet baru dipinjem. Ada pilihan bawa payung segede gaban(padahal sampai detik ini aku ngga tau gaban itu makhluk apa), ya..h daripada basah kuyup, ngga pa-palah tampang agak aneh juga. Alhasil dengan payung gede dan ransel, aku siap berangkat.

Diperempatan pertama, ya ampun aku ngga tau harus naik angkot apa, soalnya petunjuk angkot baru dimulai pas aku nyampe cikawao. Artinya aku harus memilih satu dari angkot-angkot ini, pikirku. Beberapa menit pertama hanya ada satu jenis angkot... He..he.. kayanya emang cuma ini nih jenis yang tersedia. Ya udah deh pe-de aja, lagian itu kan gunanya orang lain, buat bantuin nemu jalan. Untung aja, ngga salah beberapa menit kemudian aku udah nyampe ke cikawao. Sekarang ngikutin petunjuk yang udah dikasih, naik angkot sederhana ke perempatan buah batu. Hu..p, ngambil tempat dekat pojok. Kebetulan ada mbak-mbak yang tampangnya baik, "Mbak perempatan buah batu yang mana ya?" "Ooo.. masih jauh", jawabnya. Oke deh masih bisa tenang. Sambil terus clingak clinguk ngapalin jalan. Ya..h siapa tau diculik(hua...ha.., coba blog ini ada suaranya kayanya asyik banget).

"De' ini perempatan buah batu", kata mbak-mbaknya pas sampai di suatu perempatan. "Kalau jalan Soekarno-Hatta yang mana ya?" tanyaku sambil siap-siap mo turun. Ternyata masih ada satu perempatan lagi.

Akhirnya sampai juga.... Soekarno-Hatta Here I come(intinya sih asyii...k bentar lagi gw bakal dapet duit;D). Kata orang pe-ernya belok ke kanan, arah pasar caringin. Jadi aja aku nyebrang jalan, dan sampai di suatu bangunan dengan alamat S-H 519, he... jalan apa naik angkot ya? Paling kan cuma beberapa ratus bangunan(soalnya kebayangnya deket) ya udah aku mulai jalan aja. Tapi parah juga, udah jalan kayanya jauh bener ternyata baru nyampe S-H 507. Bisa tahun depan nih nyampenya... Ya udah akhirnya aku milih naik angkot.

Brum..brum... bunyi angkot itu pas berangkat. "Mba, kalo S-H 147 ada dimana ya? Itu lho tempatnya pe-er." "Wah, ngga tau mbak, kayanya udah kelewatan deh. Tapi saya kurang tau." Milih second opinion, "Mas, pe-er dimana ya?" "Wah, udah kelewatan. Ntar mbak nyebrang aja, trus naik angkot naik merah." Dan hasil dari tanya-tanya itu satu angkot itu ribut dengan kesimpulan, aku udah salah jalan. Wah, kesimpulannya ngga asyik banget....

Tapi taunya pas udah naik angkot deket pak sopir biar ngga nyasar lagi dan bisa ditanya-tanya, malah dibilangin aku salah arah. Wah... koq hasil musyawarah satu angkot yang tadi mufakat menyatakan aku salah arah, ngga bener ya??? Yo weslah, aku balik ke jalan yang tadi dan akhirnya... sampai di depan kantor Pe-er. Waktu udah menunjukkan pukul 10. Lama juga ya.. ngiter-ngiter bandung.

Di depan ada pak satpam, "Mau kemana dik?" "Itu pak, kemarin abis nulis artikel" "Oo.. mau ngambil honor ya?"(wah.. pak satpamnya bilang honor.. HONOR... wuiiii.... pertama kalinya nih). "Eh, iya pak," jawabku sambil malu-malu(ya iyalah HONOR gitu loh). Akhirnya jadi juga ngambil honor pertama ditambah pengalaman nyasar sedikit. What a beautifull day...

Monday, January 17, 2005

Tayangan Televisi

Tampaknya, menurut Effendi, pegiat televisi memperhatikan enam tahapan
yang dialami masyarakat dalam menonton televisi. Yakni, terkejut,
mencari fakta, membangun solidaritas, mengangkat peristiwa melodrama,
pembesaran harapan, dan penemuan solusi alternatif. ''Ini yang
diperhatikan televisi,'' tuturnya.

Entah kenapa saya selalu tertarik dengan kajian televisi. Mungkin gara-gara televisi jadi alat doktrinasi baru kali ya... he...he... Kutipan diatas saya culik dari milis Kunci yang ngambil dari artikel di Media Indonesia. Dari kutipan diatas terlihat bahwa televisi menjadi salah satu 'alat' untuk menggerakkan masyarakat. Makanya banyak yang percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan demokrasi dengan adanya kebebasan pers. Tapi wacana ini jadi lucu juga kalau disambungin ama tulisan yang sebelumnya(Virtual:...). Jadi ya serba relatif, dan akhirnya saya menemukan jawabannya ketika baca artikel mengenai video amatir. Jadi video amatir dianggap merupakan refleksi dari realitas karena didalamnya TIDAK terjadi proses editing dan narasi.

Sebenarnya hal ini menjadi menarik dengan diskusi saya dengan teman beberapa waktu lalu. Karena saya mikirnya sederhana aja, jadi saya ngga gitu mempermasalahkan proses yang terjadi dalam suatu tindakan, bagi saya yang penting adalah hasil dari suatu tindakan. Tapi teman saya ngga setuju, terutama karena dia mengkaitkan posisinya sebagai mahasiswa, menurut dia yang penting adalah proses belajarnya dan bukan dampak dari suatu tindakan. Sama dengan televisi, di Rusia, Singapur, Malaysia, masih ada pengawasan yang ketat banget mengenai tayangan yang boleh mejeng di layar kaca. Beda ama Indon yang nayangin tayangan mulai berita pro-kontra pemerintah ampe film-film yang ehm.. terbuka banget. Di satu sisi saya penganut kebebasan informasi, tapi pihak lain, saya pikir kontrol yang ketat itu bagus juga.

Liburan

Hal yang paling menyebalkan dari liburan adalah banyak pikiran-pikiran berseliwiren tapi pas mau diabadikan ngilang entah kemana. Kaya pas kemaren abis namatin buku yang sempat tertunda... pas nyampe depan kompie, bukannya muali menuangkan ide malah asyik dengerin lagu dan main Freecell(he..he.. kuno banget). Jadi deh gagal, padahal sebelum itu kayanya udah dapet beberapa gambaran mengenai Teologi Pembebasan(nah ini satu hal lain lagi, kalo liburan pasti baliknye ke wacana-wacana pembebasan). Mungkin gara-gara baca bukunya Patria Es Humanidad, meski dibawainnya dengan pendekatan biografi, tapi karena tokoh dokter paul-nya punya latar belakang yang cukup kompleks(antropologi, kedokteran dan gabungan beberapa ilmu sosial lainyya) jadi bahasannya juga jadi kemana-mana. Dan somehow saya jadi keinget buku The God of Small Things-nya Arundhati Roy. Karena berlatar belakang kemisikinan. Benang merahnya keliatan dari agama dan teologi pembebasan.

Dari sudut orang pertama(pake sudutnya dokter Paul), dibilangin kalo teologi pembebasan deket ama orang-orang miskin, karena meski kadang hanya berupa teori, teologi itulah yang membuat mereka bertahan hidup. Gimana ya... jadi semacam punya kekuatan, hmm.. mungkin lebih tepatnya kalo dibilang alasan untuk bertahan. Belakangan teologi pembebasan ini juga jadi wacana agama-agama lain(awalnya teologi pembebasan dan kata fundamentalis cuma dilekatkan ke satu agama tertentu). Saya setuju banget, salah satu buku yang menurut saya cukup bagus, yaitu Islam dan Teologi Pembebasannya Ashgar Ali. Dulu sempat dikirimin tulisan-tulisannya Ashgar Ali, tapi gara-gara identitas di hotmail mati(payah tuh, kontak dengan beberapa orang jadi ilang semua) jadi aja ngga bisa ngeliat perkembangan pemikirannya. Salah satu hal yang menarik dari tulisan-tulisan beliau adalah pandangannya untuk berada di tengah antara pertikaian Hindu-Islam di India(kayanya asyik juga kalo baca buku Lajja, tapi pas nyari bukunya lagi abis).

Btw, perjalanan hiperealitas nih. Menjelajah dunia dari buku ke buku...

Thursday, January 13, 2005

Tiba-tiba

Saya ngga tau kemana...

Virtual: Representasi atau Realitas?

Ada hal menarik yang patut dikaji dari perbincangan hangat yang terjadi pasca-tsunami. Sejauh mana peranan media mempengaruhi seseorang? Dalam wacana kajian budaya, khususnya pemikiran Baudrillard, bahwa apa yang kita lihat merupakan representasi dari keadaan diluar. Artinya, apa yang kita lihat belum tentu merupakan apa yang terjadi sesungguhnya. Sebelum proses penangkapan, atau coding di otak, ada proses re- terlebih dahulu yang memungkinkan terjadinya galat atau kesalahan.

Dalam kasus Aceh, hal ini menjadi menarik, karena suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa media massa-lah yang memungkinkan bantuan datang dengan cepat. Kalau masih mau setia dengan pandnagan Baudrillard, bahwa apa yang kita lihat di media massa merupakan bentuk 'subjektivitas' seseorang, maka hal ini bisa dilihat dari penyajian alias sudut pandang yang dipakai. Saya berpikir, bahwa subjektivitas akan lebih terlihat dalam liputan perang, dimana penggunaan sudut terbagi menjadi dua kubu besar, yaitu jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Untuk kasus bencana hanya ada satu sudut, yaitu mengabarkan banyaknya korban dan kondisi lapangan.

Namun hal ini bukannya bukan tanpa polemik. Maraknya pemberitaan juga sempat membawa wacana, apakah Aceh diberitakan secara benar? Pertanyaan ini muncul dari salah satu artikel beberapa waktu lalu, dimana muncul ketakutan akan ada penilaian-penilaian yang salah, baik masyarakat Aceh terhadap dunia luar maupun sebaliknya.

Dari segi relitas virtual, tayangan Aceh jelas menguntungkan dari segi cepatnya aliran bantuan. Bahkan dengan adanya penyerangan atas kesadaran, dengan penayangan korban Aceh secara terus menerus, masyarakat jadi bisa turut berpartisipasi aktif dalam mengurangi derita Aceh. Solidaritas muncul dimana-mana, tanpa memperhatikan latar belakang. Suatu hal yang tampaknya sudah lama kita rindukan.

Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh apa Anda mempersepsi sebuah kebenaran? Kalau dari segi visual, maka apa yang hadir di layar kaca benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kalaupun ada yang protes mengenai eksploitasi bencana tersebut, maka sebenarnya pihak televisi juga sudah merubah tag-nya dari derita menjadi bangkit, seperti Badai Pasti Berlalu, Dari Titik Nadir dll. Akhirnya semua yang kita lihat dikembalikan pada pengamat, bagaimana ia mengaitkan penanda-penanda(bentuk materi dari tanda) yang ada dihapannya dengan petanda(proses penafsiran tanda dalam kepala seseorang).

Wednesday, January 12, 2005

Keberuntungan Pemula

Istilah yang aneh, tapi ada di beberapa buku yang lumayan dalem. Da Vinci Code, Alkemis, Celestine Prophecy, ketiga buku itu nyebutin bahawa pemula selalu memiliki keberuntungan. Gimana cara kerjanya wallahu a'lam, yang jelas keberuntungan itu berguna untuk memacu seseorang untuk terus berada di jalan yang sedang ia tempuh. Pernah ngga sih, kamu ngerasain "Tek", yap ini dia, inilah hasil dari pencarian kamu selama ini. Di Alkemis ada satu bagian yang menarik, yaitu ketika bocah bertemu dengan penjual kristal. Penjual kristal tersebut ngga mau naik haji, gara-gara kalau tujuan hidupnya tercapai, dia ngga tau lagi apa alasannya untuk hidup.

Berpegang pada satu hal dan bertahan dengan itu. Bagi saya pegangan itu ada dua. Tapi yang sering bikin gamang ya.. penafsiran akan dua hal tersebut. Di buku-buku posmo, era ini ditandai dengan adanya berbagai macam perbedaan, dan kesemuanya dirayain aja, toh masing-masing punya alasannya sendiri. Mungkin yang penting bukan pada kemasan luarnya, tapi bagaimana sesuatu itu dimaknai.

Pernah suatu kali teman saya bertanya mengenai kebaikan. "Benarkah kebaikan itu berasal dari agama?" Soalnya banyak yang menuding kebobrokan moral bangsa gara2 kurang ajaran agama dan larinya ke masalah kurikulum. Temen saya lalu bercerita mengenai sebuah kejadian yang dialaminya di warung. Ketika itu ada seorang yang kecelakaan motor, temennya yang atheis langsung bergerak untuk membantu, sebelum orang lain mulai bergerak. Hal ini juga banyak terjadi di luar negeri. Jawaban bagi pertanyaan teman saya mungkin ada dua, pertama pemahaman atas agama yang salah, dan kemungkinan kedua adalah, emang pada dasarnya manusia cenderung pada kebaikan.

Dalam diskusi dengan seorang temen, dia bilang ada perbedaan antara pencarian dan pewarisan. Seperti artikel di koran belum lama ini, dimana mayoritas masyarakat masih berada dalam tataran formal-ritual dan belum beranjak pada tataran praksis(?) .

Karena kehidupan adalah proses...

Bredel

He..he.. tulisan yang sebelum ini dibredel, gara-gara ngga sesuai dengan visi dan misi blog. Tapi kalau ini dibredelnya dengan alasan yang bagus...

Visi blog:
Be positive

Tuesday, January 11, 2005

Klasifikasi Buku

Bisa ngga ya seseorang diklasifikasikan berdasarkan buku. Zaman baheula, gw pernah dikasih listing penerbit buku berdasarkan ideologinya. Memang sih ngga ada batasan, lagian buku-buku gw juga ngga didominasi penerbit tertentu, tapi kayanya bisa diambil benang merah. Kaya, temen yang cinta banget ama Mizan. Trus ada juga yang anti ama penerbit paramadina(terlalu liberal, menurutnya). He..he...

Dari beberapa pengamatan dan diskusi media massa Islam beberapa waktu lalu diperoleh gambaran sbb:
1. Pembaca Mizan cenderung moderat. Bacaannya umum, dan tergolong humanis, penerbit yang lumayan masuk ke tipe pembaca ini adalah Gramedia, Paramadina dll
2. Pembaca .....(wah, yut koq ngga dilanjutin).

Udah ah gw tobat bikin klasifikasi-klasifikasi...


New

Ternyata segala sesuatu yang baru itu menarik ya. Gara-gara ngerubah settingan blog, jadi ada hobi baru, yaitu ngobrak-ngabrik template. Asyik sih, tapi saking asyiknya malah jadi ngga produktif. Eh, tergantung juga sih, nulis, belajar tentang template, keduanya kan sama-sama ilmu. Tapi kadang ilmu itu suka menjadi begitu terbatas pada buku atau formalitas.

Resolusi

Hipi... salah satu resolusi tahun 2005 udah kecapai. Tulisan gw masuk di koran. Sipirili.... seneng banget. Hoo... patut masuk sejarah nih...(perdana gitu loh)

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/belia/110105/10selancar.htm

Monday, January 10, 2005

Akhirnya..

He..he.. kayanya aku punya satu keahlian baru, selain ngelipet, copy-paste dan modif dikit. Kaya perubahan yang terjadi pada blog, asyik... akhirnya bisa juga bikin shoutbox ama link ke temen-temen, kurang nambahin alamat web, tapi ntar ajalah. Bayangin dari kemarin dulu, kerjaannya jadi penggubah. Ada tugas bikin proposal TA. Lha, gimana mau bikin, mulai TA aja belom. Kata temen sih, liat aja ama yang udah jadi, lagian TA beneran ama proposal kan beda. Ya, emang jadinya ngga sama-sama amat, tapi bagian analisis dan kerangka teori kan tetep aja nyeplek. Bete.. berat. Abis tetep aja judulnya nyalin ide kreatif orang.

Ketika seorang Raja menyuruh seekor kodok untuk terbang, maka yang salah adalah sang Raja.

Blue

Gara-gara belum berhasil nyari cara buat nampilin shout box dan link, akhirnya biar rada beda ganti warna aja deh. He..he.. garing sih, tapi yang penting kan usahanya.

Nada Sendu

Tebak, lagu apa yang belakangan ini jadi hit? Kalo patokannya tangga lagu radio atau MTV, pasti ngga bakal nemu, soalnya lagu yang sekarang jadi hit adalah lagu Ebiet G. Ade. Nyaris setiap hari ngedenger lagu itu, dan ajaibnya setiap kali denger lagu itu bawaannya sedih terus. Ngga produktif sih, tapi aku pikir emang adakalanya kita harus disentakkan sedemikian rupa. Coba aja bandingin ama sinetron2 yang mucul. Kayanya tuh kehidupan mereka egois banget, ngga mikirin orang lain, tokoh baiknya diceritain saba...r banget yang mengarah pada bloon, trus tokoh jahatnya pasti kaya orang sakit jiwa, super jahat. Udah gitu kerjaannya ngerebutin cowo' atau cewe', selingkuh, nyiksa orang atau mendadak jadi kaya. Trus dimana peranan dia dalam membangun bangsa, ngga tau deh...

Semoga aja perubahan tayangan televisi bisa menjalar ke kehidupan sehari-hari. Soalnya kemaren abis baca koran trus dibilangin bahwa perubahan yang terjadi di bangsa ini masih sebatas perubahan di media massa dan blom merambah kehidupan bangsa secara keseluruhan. Bahkan banyak nada miring yang berisi ketidakpercayaan akan sampainya sumbangan. Gila ya... rasa ketidakpercayaan itu udah sedemikian tebalnya. Meski memang ada berita mengenai munculnya perdagangan anak. Hiii... orang-orang seperti apa sih yang tega makanin harta anak yatim dan orang-orang terlantar? Apakah mereka manusia?

Hidup Pluralitas!!!

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one
(Imagine-John Lennon)

Mungkin ngga ya, ada dunia universal dimana manusia hidup dengan bahagia dan saling melengkapi. Kaya' bumbu masakan aja, asin menggenapkan manis, pahit memberi nuansa dan jeda untuk merasakan sisi lain. Liat aja kopi, kan pahit, tapi tetep aja enak(meski kadang gulanya dibanyakin he..he..). Tapi kadang sekat negara membuat semuanya berbeda, atau yang sekarang lagi booming, isu mengenai agama. Kenapa sih? Apa benar yang membuat perang tak berkesudahan adalah karena perbedaan, atau emang ada orang yang dari sononya jahat. Wah, itu mah kaya setan dong, dari awal keberadaannya dia udah mengikrarkan diri menjadi penggoda dan bakal masuk neraka. Manusia kan punya otak, punya nurani, atau lagi-lagi nurani itu hanya masalah persepsi hasil kebudayaan?

Perang contohnya. Kayanya semua orang bakal sepakat kalo perang tuh jahat. Perang itu jahat? Apa maksudnya coba? Masa sebuah tindakan bisa dikenai kata sifat. Ngga taulah, kaya perang Irak kemaren aja, banyak koq demo yang dilakuin ama warga Amrik yang ngga setuju dengan aksi Amrik nyerang Irak, tapi perang tetep aja jalan dan semuanya itu mengatasnamakan KEBAIKAN. Hu..h jadi inget kata-kata, "Untuk mencapai kedamaian, harus lewat perang." Tapi memang sih ngga semua perang itu jahat. Mungkin perang itu bisa menjadi suatu hal positif ketika ia dikiatkan dengan pengorbanan. Toh, manusia hidup karena punya visi, ya ngga sih?

Gara-gara ini aku sering dicap liberal. He..he.. abisnya kadang logikaku humanis banget. Bahkan aku punya persamaan islam=fitrah=baik. Nah karena ketiganya ekivalen, maka ketiganya itu harus berjalan seiring. Masalahnya, penilaian baik juga relatif. Siapa yang bisa menjamin penafsiran seseorang tersebut bener. Aristoteles(kalo ngga salah) bilang pemimpin yang paling baik adalah seorang filsuf, trus Arabi bilang Rasul cocok dengan gambaran ini, soalnya mendapat hikmah itu langsung dari Sang Sumber. Intinya sih, sejernih apa seseorang dapat menilai baik atau buruk. Dan karena alasan ini pula, aku lebih deket dengan siroh yang ngisahin kehidupan plural dan cinta tanpa batas. Bahkan ya... Rasul pernah ditegur sama Allah SWT karena nyuekin orang buta(wa.. pak, sirohnya menguap semua) gara-gara lagi ngadain deal dengan para petinggi. Dari perhitungan politis, simpul masa memang bisa menarik banyak orang, tapi islam bukan tentang simpul masa, orang penting, tapi tentang bagaimana menjadi manusia.

Ketika Mentari Meredup

Nyebeliii...n
Kalo ngisi blognya hari Sabtu, maka judulnya bakal mentari bersinar. Tapi hari ini parah banget, ada file yang harusnya dikirim Sabtu malah fail, dan deadline-nya kemaren. Bete berat.... Udah gitu model bakterinya ngaco, daya dukung alamnya bermasalah, kayanya sih gara2 salah masukin persamaan, mana lupa dibawa ke kampus lagi filenya. Hua... ngga asyik banget. Jadi aja ada berapa kerjaan numpuk. Business plan blom beres, meski udah clingak-clinguk ngeliatin punya orang lain. Alhamdulillah proposal TA+penelitian udah beres.

Friday, January 07, 2005

Cahaya di atas cahaya

Kemarin saya abis baca buku Ayat-ayat Cinta(entah kenapa minggu terakhir ini banyak banget yang make kata cinta, mulai dari Al-Izzah, Cendekia buletin yang dikeluarin Mata', sampai pas abis shalat dzuhur temen disebelah ngomongin masalah vmj dan fiqh munakahat). Isinya mengingatkan saya pada seorang temen yang mirip dengan tokoh Fakhri di buku tersebut. Pemahamannya yang dalam serta wawasan yang luas hasil dari hobi membaca buku dari kiri-kanan, atas-bawah, menjadikan teman saya itu enak diajak ngobrol. Pernah suatu kali, saya bertanya mengenai suatu masalah. Terus dia memberikan jawaban dengan referensi tertentu. Setelah melihat tampang saya yang rada ngga nyambung, dia mengganti referensinya.

Cahaya di atas cahaya...
Bagi saya hikmah itu berlapis-lapis. Seperti cahaya, pada setiap tingkatan ia memiliki hikmahnya sendiri, dan setiap orang akan terpesona dengan caranya masing-masing.

Thursday, January 06, 2005

Dari Blog ke Blog

Entah kenapa aku gampang banget kagum. Seperti kali ini ketika melakukan perjalanan dari blog ke blog. Bagus-bagus banget, apalagi dibandingin ama blog-ku yang ala kadarnya. Shout box, link belum ada semua. Pokoknya hadir dengan format standar, minimalis bangetlah. Selama bisa nulis dan menuangkan apa yang ada di kepala udah cukup, tapi setelah melakukan travelling cyber, he..he.. pengen juga ganti suasana. Pernah sih nyoba, pake fasilitas blog standar, tapi hasilnya malah jadi ancur. O iya yang bikin asyik jalan-jalan di dunia maya, ketemu tulisan-tulisan yang bikin senyum dan mikir sendiri. Beda banget ama tulisan populer di portal-portal umum. Ternyata dunia itu luas...

Pergi ke laut lepas anakku sayang
Selama angin masih angin buritan...

(Puisi yang aku dapet waktu SD, kayanya sih banyak kata-kata yang salah. Tapi setiap kali keinget ama puisi ini, aku membayangkan diriku ditepi laut sambil memandangi laut tak bertepi... Dunia, semesta misteri yang tak bertepi)

Spektrum

Kau capai atmosfer itu
Begitu luas dipelopak mata
Menyelam lepas
atau terikat erat

Semesta itu tampak begitu luas. Tapi jalan mana yang harus kupilih, apakah jalan dengan langkah-langkah yang telah teraspal mulus atau aku harus mencari jalan-jalan alternatif? Bagi seseorang yang penuh ingin tahu sepertiku, maka aku memilih opsi kedua. Tapi kadang, jalan itu begitu sepi, sehingga godaan untuk berlari kembali begitu sering kurasakan.

Tuesday, January 04, 2005

Nyari Obat

[Edisi Kemanusiaan...]

Mentari bersinar terang... Dengan langkah yang sedikit terengah kumasuki apotik di dekat Pusdai. "Cari apa, de?" Sambil menyerahkan resep obat, aku bilang minta setengah resep. Setelah menunggu beberapa lama, ada panggilan.

Tapi setelah kulihat, "He..h, obatnya versi dua bulan yang lalu." Gawat, ternyata tadi salah nyerahin resep, mana udah dibayar lagi. Aduh, gimana nih, pikirku panik. Sok cool, cabut dari apotik, atau pasang tampang melas? Akhirnya aku memilih opsi kedua. "Maaf, Bu. Resepnya salah. Bisa dikembaliin ngga?" Dengan tampang pasrah, siap dimarahin. "Memang kenapa 'de?" tanya orang dibelakang meja penerimaan resep. "Ini Bu resepnya salah, harusnya yang ini," ujarku setelah sibuk ngudek-ngudek tas. "O iya ngga pa-pa." Akhirnya uangku dikembaliin karena resep yang baru ternyata ngga ada di apotik itu.

Fiu..h lega banget...

Hipi...

Ujian udah beres. Tinggal presentasi pemodelan minggu depan dan nunggu bagian paling ngga lucu dari ujian... pembagian nilai...

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...