Sunday, January 23, 2005

Kepada Seorang Kawan

[Episode: Gelisah]

Kawan,
Tampaknya gelisah itu kembali menyergap kepalaku. Tapi mungkin inilah sebuah jalan untuk senantiasa mencari dan tidak pernah puas pada suatu bentuk. Tahukah kau, hari ini aku kembali menyusuri tembok bernama kenangan. Kunamakan tembok, karena terkadang aku harus berusaha keras untuk dapat mengintip bangunan yang tersembunyi di balik tembok tersebut, dan kadang pula tembok itu melindungiku dari sejarah masa laluku.

Kawan,
Sebuah pertanyaan kadang membuatku bimbang. Mungkin kau heran kenapa sebuah pertanyaan yang membuatku bimbang, bukannya sebuah jawaban penuh alasan. Tapi itulah yang dinamakan gelisah, saat dimana alasan tak berguna, dan mungkin di waktu yang tak terduga. Tapi kau tahu, gelisah juga membuatku tetap merasa hidup, ya hidup dalam petualangan-petualangan kecil yang senantiasa membuatku terkagum-kagum.

Kawan,
Mungkin inilah yang sebut dengan keajaiban. Tentu saja, aku takkan berbicara mengenai manusia yang menjadi katak ataupun kucing bersepatu boot, tapi aku berbicara mengenai keajaiban hati, bagaimana sesuatu dalam tubuh bisa begitu indah dan menyenangkan. Kau tahu cerita mengenai hujan? Aku dengar hujan itu indah, dengan airnya ia bisa mengembalikan tanaman-tanaman yang tertunduk lesu. Tapi dari zat yang sama ia bisa meluluhlantakkan gedung bertingkat dan menyisakan berbait-bait tangisan penuh kehilangan. Beberapa saat sesudah aku menikmati tanah yang baru bertemu sang kekasih, aku kembali gelisah, karena saat itu saudara-saudaraku harus kehilangan harta benda mereka.

Kawan,
Kau mungkin akan menghiburku dengan cerita mengenai kesejatian. Sungguh, ceritamu itu membawaku untuk mendalami gelisah. Ya gelisah, karena aku tampaknya masih sering menghabiskan waktuku untuk hal-hal yang tak berguna, masih sering becanda dan mungkin lalai dalam menjaga hatiku hanya untuk-Nya.

Kawan,
Tampaknya aku masih harus belajar. Membuka mata, telinga dan hati, tapi kuharap mata itu bisa digunakan untuk melihat, telinga untuk mendengar dan hatiku untuk merasakan.

No comments:

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...