Ada hal menarik yang patut dikaji dari perbincangan hangat yang terjadi pasca-tsunami. Sejauh mana peranan media mempengaruhi seseorang? Dalam wacana kajian budaya, khususnya pemikiran Baudrillard, bahwa apa yang kita lihat merupakan representasi dari keadaan diluar. Artinya, apa yang kita lihat belum tentu merupakan apa yang terjadi sesungguhnya. Sebelum proses penangkapan, atau coding di otak, ada proses re- terlebih dahulu yang memungkinkan terjadinya galat atau kesalahan.
Dalam kasus Aceh, hal ini menjadi menarik, karena suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa media massa-lah yang memungkinkan bantuan datang dengan cepat. Kalau masih mau setia dengan pandnagan Baudrillard, bahwa apa yang kita lihat di media massa merupakan bentuk 'subjektivitas' seseorang, maka hal ini bisa dilihat dari penyajian alias sudut pandang yang dipakai. Saya berpikir, bahwa subjektivitas akan lebih terlihat dalam liputan perang, dimana penggunaan sudut terbagi menjadi dua kubu besar, yaitu jurnalisme perang dan jurnalisme damai. Untuk kasus bencana hanya ada satu sudut, yaitu mengabarkan banyaknya korban dan kondisi lapangan.
Namun hal ini bukannya bukan tanpa polemik. Maraknya pemberitaan juga sempat membawa wacana, apakah Aceh diberitakan secara benar? Pertanyaan ini muncul dari salah satu artikel beberapa waktu lalu, dimana muncul ketakutan akan ada penilaian-penilaian yang salah, baik masyarakat Aceh terhadap dunia luar maupun sebaliknya.
Dari segi relitas virtual, tayangan Aceh jelas menguntungkan dari segi cepatnya aliran bantuan. Bahkan dengan adanya penyerangan atas kesadaran, dengan penayangan korban Aceh secara terus menerus, masyarakat jadi bisa turut berpartisipasi aktif dalam mengurangi derita Aceh. Solidaritas muncul dimana-mana, tanpa memperhatikan latar belakang. Suatu hal yang tampaknya sudah lama kita rindukan.
Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh apa Anda mempersepsi sebuah kebenaran? Kalau dari segi visual, maka apa yang hadir di layar kaca benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kalaupun ada yang protes mengenai eksploitasi bencana tersebut, maka sebenarnya pihak televisi juga sudah merubah tag-nya dari derita menjadi bangkit, seperti Badai Pasti Berlalu, Dari Titik Nadir dll. Akhirnya semua yang kita lihat dikembalikan pada pengamat, bagaimana ia mengaitkan penanda-penanda(bentuk materi dari tanda) yang ada dihapannya dengan petanda(proses penafsiran tanda dalam kepala seseorang).
1 comment:
Saya tidak mengerti soal virtual yang dimaksud, karena televisi menurutku bukanlah media virtual. Dalam bentuk berita, sebagaimana tayangan musibah Aceh, ia menyajikan semua dari fakta lapangan.
Sedangkan penyajian bagaimanakah itu, itu merupakan sebuah engle, dan juga pembeda dengan yang lain. Karena tidak mungkin sebuah televisi menyajikan tayangan tanpa memberikan suara, atau bahkan bidikan yang terarah.
Kalau judul diatas, diganti, Tayangan Duka Aceh: Tepresentasi atau Realitas? Maka jawabannya adalah realitas yang di representasikan :D
Post a Comment