Monday, February 28, 2005
Tuesday, February 22, 2005
Bahagia
Monday, February 14, 2005
Insan Cendekia
Pernahkah kau merasa sebuah perasaan bertubi-tubi menyerangmu dalam waktu yang sangat singkat? Hingga engkau lupa bernafas dan merasa kesulitan untuk mencerna apa yang tengah kau alami? Kalau belum, sungguh sayang, karena aku tak tahu apakah kau dapat merasakan apa yang kualami kemarin.
Saat kususuri jalan-jalan itu, hffh.. sungguh susah mengatakannya, aku seolah menyusuri bayang-bayang kenangan. Meresapi segala hal yang terjadi sambil tetap berada dalam kondisi sadar. Tempat-tempat yang dulu pernah menjadi begitu penting, dengan pengalaman-pengalaman yang tak terlupakan, masalah, tawa, tangis, senyum, pelukan, coklat ayam jago, martabak panas, permen loli, catur, perpustakaan di malam hari, bintang, badminton. Bagaimana mungkin kau menjelaskan 3 tahun dari hidupmu dengan kata-kata, dengan sebuah cerita.
Ketika sampai di teater terbuka, sebuah cerita dari sel otakku mendesak keluar. Ia ingin diabadikan, katanya. Maka mengalirlah kenangan tentang tahun pertama di IC. Tahun yang kuisi dengan masa adaptasi dan penuh pemberontakkan. Namun disaat yang sama aku juga mulai merasakan sebuah perasaan sayang pada gedung, kelas, kegiatan serta teman-teman. Mungkin kau akan heran, kenapa perasaan benci dan sayang bisa bercampur aduk tidak karuan. Kalau kau tanya aku, akupun tidak tahu jawabannya. Tapi berbagai pengalaman-pengalaman sederhana, yang sekarang tampak berkesan tapi dulu terasa begitu biasa, tampaknya menjadi bagian dari hadirnya perasaan sayang itu. Di tahun pertama pula, aku mengikuti ekskul teater dan mading Magnet. Dua ekskul yang secara tidak langsung menjadi bagian dari identitasku saat ini.
Kau tahu, di tahun pertama aku sudah harus langsung tampil untuk mengikuti lomba teater antar SMU. Bisa dibayangkan, aku yang tingkat demam panggungnya lumayan parah, harus tampil di depan orang banyak, mana saat itu kami muncul dengan suara langsung, bukan lipsink. Sungguh pengalaman yang mendebarkan. Aku ingat peran pertamaku, sekaligus yang terakhir, adalah sebagai pelayan putri raja. Meski saat itu kami tidak keluar sebagai juara, pengalaman pentas di depan panggung dan disaksikan banyak orang pernah kualami.
Ekskul mading merupakan kegiatan yang sampai saat ini masih memberikan bekas yang mendalam. Bicara mengenai kenanganku di mading, tak bisa tidak aku akan menyinggung mengenai satu sosok, Alief Firmansyah(terakhir aku dengar kabarnya, ia sudah menjadi ketua senat fakultas teknik UI). Ia-lah yang sedikit banyak mengajarkanku akan dunia tulis menulis dan cara berpikir kritis. Ide-idenya, bagiku yang saat itu masih lumayan polos(cka..kak..ka..), sangat visioner dan senantiasa mendobrak kemapanan berpikirku. Aku bertanggung jawab atas rubrik profil dengan sudut sesuai kesepakatan rapat redaksi. Dalam proses belajar, aku sangat terbantu oleh bimbingannya, serta saran-sarannya dalam membuat tulisan yang bagus. Hal lain yang tak bisa aku lupakan adalah suasana kekeluargaan diantara pada mading’ers. Ngetik sampai malam di lab komputer sekolah di malam minggu sudah menjadi makanan mingguan.
Aku ingat pengalaman pertamaku mewawancara orang. Tanpa ba-bi-bu, aku disuruh mewawancara calon ketua OSIS. Pengalaman wawancara pertamaku ini sekalian menjadi salah satu syarat agar aku resmi menjadi anggota mading magnet. Bayangkan, aku yang masih grogi berat ditambah harus menghadapi orang baru tanpa gambaran latar belakang sama sekali, sungguh suatu kondisi yang mengerikan. Untung saja, kakak kelasku di mading berbaik hati membuatkan janji pertemuan. Akhirnya jadi juga aku mewawancara kak Imam Subekti, dengan banyak diam dan grogi berat. Hipi…(job accomplished).
Masih ada banyak lagi suara-suara dalam kepalaku yang sedang mengadakan pesta pora, namun tiba-tiba suara itu berhenti. Sebuah sosok membuat semua suara itu terdiam, entah karena terkejut, senang atau segala rasa lain. Tiba-tiba fokus tidak lagi pada masa lalu tapi masa kini. Pernahkah kau merasa, ada begitu banyak hal yang ingin kau ceritakan, tapi saat kau sudah ada di depannya, lidahmu kelu, kau tiba-tiba kehilangan kata-kata, segala hal yang sempat terpikirkan olehmu lenyap dengan kehadirannya. Pikiranmu seolah menjadi kacau balau tidak karuan, dan saat ia melihatmu, kau hanya berharap, kau tidak mengeluarkan kata-kata konyol yang akan membuat wibawamu runtuh.
It’s a long..long journey..
Friday, February 11, 2005
Celestine Prophecy
Bagi saya buku itu sangat menarik, karena mengajarkan adanya suara alam, kepercayaan dan aura. Kaya acara hipnotis yang pernah nongol di salah satu televisi swasta, disalah satu episode dijelaskan bagaimana seseorang yang ditepuk(bahkan kalo yang udah expert, bisa lewat tatapan mata aja) bisa dipengaruhi. Contoh yang dikasih liat pas episode itu adalah murid-murid SMA yang disuruh melakukan hal-hal konyol oleh orang yang telah diajarin ama ...(hehe.. susah nginget nama orang, pokoknya yang pake baju dan iket kepala item). Hasilnya orang itu bisa mempengaruhi orang lain. Hal yang sama juga ada di bukunya James Redfield(saya lupa yang mana, soalnya 3 buku tersebut 'bau'-nya sama:D). Buku itu juga menyebutkan bahwa pandangan negatif kita terhadap seseorang juga akan mempengaruhi perilaku orang tersebut terhadap kita. Bahkan dengan gamblang diceritain bahwa seseorang yang memiliki aura yang kuat bisa menyerap aura milik orang lain. Trus ada juga mengenai ketakutan, seseorang yang takut bisa ditemukan, karena auranya terasa. Hal ini kalo kita jeli, ada juga di buku anak-anak seperti Harry Potter dengan Dementor-nya atau Ronya di Sarang Penyamun dengan tokoh abu-abunya.
Hal menarik lain adalah ketika saya ngeliat daftar pecinta buku Celestine di friendster. Rata-rata para pembaca buku Redfield juga pecinta buku Supernova dan Alchemist. Sebenernya karakter orang juga bisa dilihat dari sini sih, liat aja biodatanya, ntar ketemu sebuah benang merahnya.(he..he.. kebanyakan baca buku konspirasi ya.. gini deh.. semua di dunia ini terhubung. Lha.. nyambungnya malah ama Capra).
Buku, Dongeng, Bunga, dan Sepotong Lagu Klasik
Untuk ibuku yang telah menjadi inspirasi hidupku
Kisah ini dimulai dari sebuah yang nampak serupa dengan rumah lainnya. Rumah tanpa atap miring, halaman, teras ataupun gudang, tapi karena didalamnya terdapat seorang ayah, ibu dan kedua anak, maka ruangan besar yang didalamnya terdapat 3 kamar tersebut tetap saja disebut sebuah rumah. Tapi kalau kau bersikeras bahwa sebuah rumah adalah bangunan yang memiliki atap miring, halaman dan sebuah gudang, maka kau boleh menyebut rumahku dengan apartemen. Namun karena aku telah terbiasa menyebutnya dengan rumah, maka kau terpaksa mengikuti kebiasaanku.
Tak sabar rasanya menunggu bel pulang berbunyi, karena akhir pekan ini ibuku akan mengajak aku dan kakakku ke perpustakaan
Akhirnya sampai juga kami di perpustakaan
Malam merupakan saat yang cukup menakutkan bagiku, meski aku tidur dengan kakakku tapi tetap saja sampai saat aku terlelap aku ditemani oleh ibuku. Jadi setiap malam sebelum tidur biasanya ibuku mengisahkan sebuah cerita untukku dan kakakku. Mungkin kau akan berpikir bahwa ibuku akan mengambil sebuah buku dongeng dan membacakannya untukku dan kakakku, tapi tidak. Ibuku membuat ceritanya sendiri. Dongeng ibuku diisi oleh tokoh Kancil, Ucil serta ketiga sahabatnya Ba, Bi dan Bu. Lucunya, kehidupan Kancil dan Ucil mirip dengan kisahku dan kakakku, dan setelah beranjak agak besar ibuku bilang bahwa cerita Kancil dan Ucil itu memang diambil dari cerita-cerita aku dan kakakku di sekolah yang biasa didengar oleh ibuku saat makan malam atau nonton film. Dongeng ibuku senantiasa mengikuti perkembangan zaman, pada saat orang-orang ramai berbicara tentang kecanggihan robot, dongeng ibuku pun bertambah dua tokoh baru, Tuki(robot milik Ucil) dan robot milik Kancil(aku lupa siapa namanya). Setelah aku terlelap baru ibuku menyelinap keluar dan tidur di kamar sebrang.
Kegiatan yang membuatku cukup sebal adalah les organ ibuku. Hari Sabtu merupakan hari bebas dan saat kami berempat berkumpul di rumah. Tapi Sabtu juga berarti les organ. Sebenarnya les-nya tidak begitu menyebalkan karena aku juga punya kegiatan lain, tapi sepulang dari tempat les, biasanya ibuku mempraktekkan hasil latihannya di rumah, dan itu berarti aku tidak bisa bermain dengan ibuku. Kata ibuku, aku cemburu dengan organ ibu yang menghiasi ruang keluarga kami. Aku, cemburu pada sebuah organ? Yang benar saja. Aku tidak cemburu, aku hanya ingin ikutan main juga, yang berujung pada menekan tuts-tuts piano, atau membolak-balikkan buku musik ibuku yang isinya not balok. Akhirnya, aku bosan dan kutinggalkan organ itu(setelah berhasil membuat ibuku menyerah dengan gangguanku, hore..).
Satu hal lagi yang kuingat dari ibuku adalah kecintaannya pada bunga. Biasanya rumah kami yang berbentuk kotak, dengan sebuah lorong yang memisahkan kamarku yang bersebrangan dengan kamar kedua orangtuaku dan dapur sekaligus ruang makan dengan kamar mandi, diakhiri dengan sebuah ruangan luas yang berfungsi sebagai ruang keluarga, dipenuhi bunga pada hari Sabtu. Hari ketika masing-masing orang dapat mengerjakan hal-hal diluar rutinitas, meski ibuku dapat dikenali polanya, pergi les dan kemudian pulang dengan sebuah buket bunga yang besar.
Akhir minggu juga berarti jalan-jalan. Kami berempat memiliki sepeda masing-masing, ibu dan ayah dengan jenis sepeda balap, serta aku dan kakakku dengan model sepeda klasik. Biasanya kami berempat pergi ke taman
Ah, masa kecil yang bahagia..
Antara Re, aku dan nya
Re, aku mau berterimakasih padamu. Karena engkaulah aku bisa merasakan apa yang disebut dengan kangen. Puluhan kata miss u dan salam kangen telah menjadi kata-kata yang tidak terpisahkan dalam sms ataupun mail yang berasal darinya. Bahkan mungkin karena kau, persabatanku dengannya bisa langgeng hingga saat ini. Re, aku tidak tahu seandainya kau tak ada. Mungkin pertemuan menjadi suatu hal yang biasa dan berlanjut pada suatu kebosanan dan keterikatan, meski aku percaya sahabat sejati senantiasa kekal abadi, tapi bagaimanapun kau telah memberikan warna baru.
Kau tahu Re, dengan keberadaanmu aku hanya bisa mengira-ngira apa yang sedang dilakukannya sekarang, mereka-reka perubahan apa yang ada pada dirinya. Kalau aku sudah bosan bermain dengan bayang-bayang, beberapa sms cukup untuk menutupi rasa kangenku. Kau tahu Re, kadang kata-kata lebih cukup dari sebuah pertemuan. Kau mungkin akan mengatakan bahwa ada banyak hubungan yang putus karena kau, tapi dalam kasusku keumuman itu tidak berlaku. Keberadaanmu diantara aku dan nya, mencukupi kebutuhan akan sebuah ruang, dan ruang itu adalah kau Re. Kaulah yang membuat persabatanku dengannya berjalan dengan demikian hangat.
Meski kadang ingin kuenyahkan kau dari pelupuk mata, karena sebuah pelukan hangat akan jauh lebih berarti dari kata-kata atau saat aku dan nya hanya duduk terdiam mengamati langit di malam hari, menikmati kebersamaan kami dalam sebuah keheningan dan kehangatan yang lahir dari saling pengertian. Ah Re, pada saat-saat itulah kadang aku jadi tidak menyukaimu. Sepanjang hidupku aku tak pernah mau membenci sesuatu, hal terburuk yang pernah kupikirkan mengenai sesuatu atau seseorang adalah tak suka. Ya… jika aku sudah sampai pada titik itu, aku hanya akan mengatakan bahwa kita memiliki jalan yang berbeda. Dan pada saat-saat seperti itulah aku ingin mengenyahkanmu untuk selama-lamanya.
<>Mungkin aku akan menyalahkan keberadaanmu karena gara-gara kau aku tak bisa lagi merasakan saat-saat hening, dimana alam pun berhenti bernafas karena takut mengganggu kesakralan hubungan kami. Sakral? Tampaknya akan kujawab dengan ya, karena saat kau bersama dengan seseorang yang telah begitu dekat, segala sesuatu yang ada dihadapanmu seolah kehilangan arti. Kau tak perlu berkata-kata, kau hanya perlu menatap matanya dan mengangguk mengerti. Karena kau Re, aku kehilangan saat-saat itu. Tapi karena keberadaanmu pula aku jadi menemukan sebuah dimensi baru dalam hubungan kami, bahasa pengertian yang bahkan tak lekang oleh kau Re, ya Rentang. Ternyata pengertian hadir karena kesatuan jiwa, bukan oleh rentang jarak, waktu ataupun tempat.Re=panggilan sayang untuk Rentang. Dalam studi bahasa, ada dikotomi kata-kata feminim dan maskulin, dalam hal ini rentang saya letakkan rentang dalam kubu feminim karena penuh dengan rasa dan emosi.
NB: for my best friend in Yogya, thousand words I said to you can’t make my feelings better, it makes me miss u even more. You know, the name Re that I use in this story remind me to Ferre. An ego in Supernova, book which help us to define the meaning of love, and became a part of our history. Do you still remember that we used to think that the love that Ferre have for Rana wasn’t true love’s, coz’ it make other people miserable, and isn’t good for both of them. We use to say that true love guides people to freedom and happiness, true love doesn’t make people hurt.
Miss u, miss u, miss u, always.
Kau
Biarlah kata-kataku menjadi air yang mengalir menuju muara cintamu
Mengabadikan saat-saat kerinduan untuk bertemu denganmu, meski hanya lewat sekelebat bayang penafsiran
Oh, bahkan hatiku pun tak dapat kukendalikan, ia telah terikat padamu bahkan sebelum aku lahir
Kumohon jangan jadikan aku seperti Majnun yang mengharapkan balasan cinta dari Laila hingga ia tenggelam dalam keaku-an dirinya atau pula kisah Romeo yang mati karena telah salah mengerti
Biarkanlah aku menjelajahi cakrawala tak bertepi hanya untuk lebih memahamimu
Membacamu lewat keindahan bintang dan rembulan, bahkan lewat seekor burung yang menggali tanah disamping saudaranya yang telah mati
Lewat rintik hujan yang memberi kehidupan kembali kepada sang bumi
Gelak tawa lepas di pojok jalan
Seorang opa lengkap dengan senyum ompong dan pacul tuanya
Entah kenapa semua mengingatkanku padamu
Begitulah aku, angin, bintang, mentari, daun, semuanya menjadi bagian dari lukisan atas namamu
Tak peduli apa yang kutemui, udara, rasa, jiwa semua hanya menuju pada satu titik yaitu Kau
Tuesday, February 08, 2005
???
Y : "Menurut lo, fitrah manusia seperti apa?"
X : "Menurut gw, kecendrungan manusia adalah untuk mencari keuntungan pribadi?"
Y : "Jadi menurut lo, kalo seorang memeiliki belas kasih kepada orang lain, semuanya disebabkan untuk mencari keuntungan pribadi?"
X : "Iya, sekalipun orang tersebut agamis, maka tujuannya itu untuk memperoleh pahala."
Hmm... percakapan yang cukup mendadak. Tapi dalam kurun waktu satu minggu ini, ada beberapa orang yang mengajukan pertanyaan senada. Heran juga, kenapa kegamangan-kegamangan itu datang disaat yang sama? Apa semester baru senantiasa menimbulkan loncatan-loncatan ide, ataukah memang setiap manusia memiliki pertanyaan seperti ini, namun ada yang mengekangnya dalam batasan taboo.
Saya jadi ingin meletakan seni, sistem, UU dalam kerangka kekuasaan. Andaikan pendekatan yang saya gunakan adalah relasi kekuasaan, maka segala sistem/cara yang kita gunakan tak lain adalah perpanjangan tangan penguasa untuk melakukan konstruk sosial yang akan melanggengkan kekuasaannya. Dari sini seni tak ada yang sepenuhnya bebas nilai atau setahu saya dikenal dengan istilah seni untuk seni, karena seni tak lain merupakan hasil dari kreativitas penciptanya yang tak pernah bebas dari pengaruh tertentu. Sistem, sebagai sebuah alat kontrol ataupun ketentuan yang mengatur kehidupan manusia juga bisa dikenakan pertanyaan serupa, kepada siapa peraturan itu tunduk, kepada kehidupan yang ideal atau hanya menyokong sekelompok elit tertentu? Bukankah sistem merupakan hasil pemikiran manusia juga?
Akhirnya semua balik kepada pilihan manusia. Setelah ribet kesana kemari, manusia kembali bertanya apa yang dijadikan pusat hidupnya? Kepada siapa seseorang memilih untuk percaya? Apa saja yang diakui sebagai masuk akal dan tidak?
Bad Start
Monday, February 07, 2005
Balik ke Bandung
Pikiran udah fresh... siap untuk beraktivitas dan kuliah yang bener. Kayanya sekarang aku mau ngucapin kata kuliah setiap kali ngeblog, jadi kan ketauan semangatnya sampai kapan. Abis biasanya semangat kuliah cuma bertahan seminggu pertama, trus minggu kedua dan seterusnya ancur lebur deh. Cayo...cayooo..
Beberapa menit setelah nyampai di kampus(salman included my campus world), aku nyari buku The Life of Pi di kang Irfan. Karena ngga ada aku pesen aja. O iya ada satu metode yang aneh untuk menentukkan buku apa yang bakal aku beli, pertama resensi buku, kedua ada beberapa orang ngomongin buku itu dalam waktu yang relatif berdekatan dan cara ketiga dateng ke tempat beli buku langganan dan nanya ada buku yang menarik apa ngga. Kalo di Gelap Nyawang, kang Irfan udah apal buku-buku yang jadi favoritku, tapi kalo di Ampera(Palasari) biasanya aku ngasih satu judul buku, trus nanya yang sejenis dengan itu. Apakah aku termasuk orang yang terseret pengaruh massa, ngga tau juga. Tapi cara itu seringkali berhasil menurut parameter keberhasilan suatu buku. Parameternya ya... kecepatan baca dan abis atau ngga-nya, tapi ada juga yang aku baca untuk nambah wawasan. Jadi meski setengah mati males, tapi kadang dipaksa juga untuk tetap melewatkan lembar demi lembar.
Ketemu dosen...
Tadi ketemu dosen yang bakal jadi dosen pembimbingku. He..he.. disapa[waks.. yut] Tapi ngga tau nih jadi masuk sks apa ngga semester ini, abis ada persyaratan sks-nya segala. Kalo ngga bisa sih bagus juga, jadi aku bisa ngambil mata kuliah Kontroversi Isu Sosial. Lumayan buat nyemangatin dateng ke kampus dan nambah wawasan. Soalnya semester ini target masuk Opini[saingan ama Zaki;P].
Friday, February 04, 2005
Blog=Persamaan Matematis???
Setelah gw perhatiin, blog gw lebih mirip persamaan matematika. Banyak logika tapi ngga ada bentuk, kaya gimana setting atau kejadiannya. Abis masa ngomongin materialism, pluralitas pake gambaran setting segala, kan ngga mungkin. Kayanya ini kepengaruh bacaan gw juga, berhubung akses buku di Bandung ama di Serpong lebih banyak di Serpong(nyokap, bukunya keren2 banget), jadi selama beberapa hari otak gw dijejelin ama pemikiran-pemikiran tanpa bentuk. Jadi deh, tulisannya kehilangan setting, wa... makin berat aja nih kalo bikin reportase, atau gw harus banyak jalan-jalan kali ya. Bisa gawat nih kalo ngga diimbangin...
Tentang bentuk, sebenernya blog termasuk fenomena yag lucu. Soalnya dengan adanya shoutbox atau fasilitas sejenis, avatar2 di dunia maya melakukan acara silaturahmi juga, dengan meninggalkan jejak di shoutbox. Setelah meninggalkan jejak, bakal ada kunjungan balesan. Mirip kaya main tamu-tamuan. Tapi kalo dulu ada bentuk fisiknya, sekarang sih cuma ngeliat layar monitor dan mengetikkan beberapa kata, jadi deh silaturahmi maya. Hiii... kaya konsep candu gitu, candu kan berfungsi sebagai obat penenang, karena masing-masing orang memiliki konsep ketenangannya masing-masing, candu langsung membuat tenang dengan menyerang saraf. Dunia maya juga mirip candu, dimana masing-masing orang bisa mencari akses informasi yang diinginkannya tanpa ada halangan bentuk(ngga terhalang hambatan budaya, ideologi, agama dll).
Thursday, February 03, 2005
Pluralitas Radikal
Salah satu masukan yang saya peroleh dari temen mengenai tulisan adalah ketidakcocokkan judul dengan isi(ini mah emang udah masalah klasik, ujung2nya ada orang yang ngasih judul. Berhubung ini blog, jadi anggep aja kaya dapet kado yang masih terbungkus rapih. Isi tulisannya surprise. Wah jadi keterusan, ceritanya waktu gw ulangtahun ke-17, dapet hadiah dalam kotak yang terbungkus rapih. Dengan semangat, gw goyang-goyang kotaknya. Dari dalem kedengaran klutuk-klutuk, tapi orang yang ngasih bilang ngga boleh dibolak-balik atau digoyang-goyang. Malah dibungkusnya ada tulisan hati-hati jangan dibolak-balik. Tau ngga isinya apa? KODOK... mending kodok pangeran, ini sih kodok item yang merana karena ditaro dalam kotak disket, dan karena gw rada serem ama makhluk bernama kodok, alhasil kodok yang udah ketakutan itu jadi SUPER KODOK yang loncat dari lantai kamar gw(lt.2) ke bawah. Thanx buat orang yang ngasih gw kodok, setiap ngeliat kodok gw jadi inget lo hehe...)
Nah balik lagi ke topik, saya melihat dalam pluralitas ada sebuah keanekaragaman yang menarik untuk menjaga sesuatu agar tetap dinamis. Misalkan sebuah lembaga yang telah mapan, mau ngga mau dia bakal terjebak dalam sebuah bentuk tradisi yang mengekang, kaya di diskusi milis KM beberapa waktu lalu. Saya menangkap adanya sebuah ketakutan bahwa kekuasaan akan selalu menampilkan wajah yang keras dan tidak bersahabat(ini gara-gara kepotong ama cerita kodok, jadi ide awalnya udah melayang). Artinya, untuk menjaga agar kekuasaan itu tetap setia kepada para pemilihnya atau orang-orang yang ada dibawahnya harus ada kekuatan lain yang mengimbangi. Trias politica mengenalkan tiga elemen kekeuatan berupa, badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Belakangan muncul pilar keempat yaitu media massa, tapi selain itu ada juga badan-badan NGO(pokoknya kaya ide-nya Capra di Hidden Connection-lah). NGO itu fungsinya bukan sebagai lembaga oposisi(meski lebih sering iya), melainkan untuk mengimbangi dan menjaga sumbu-sumbu kekuasaan agar berada di jalur yang benar.
Kenapa ada pandangan seperti ini? Pertama, saya melihat faktor NGO ini digerakkan oleh masyarakat umum. Artinya sebagai alat kontrol ia berasal dari akar rumput, dan kepentingan yang ada di dalamnya tidak terlalu dominan. Hal ini menarik dikaitkan dengan kajian mengenai media massa di Eropa yang terbagi menjadi 3 kubu, yaitu media massa partisan, media massa simpatisan dan media massa non-partisan. Apa hubungannya? Bagi saya hubungannya adalah media massa sejatinya mengungkapkan kebenaran(sebagai implikasi dari dasar2 jurnalisme), namun di dunia ini tak ada yang bebas nilai(seperti yang diungkapkan oleh kang Budhiana waktu diskusi mengenai pers di KM). Oleh karena itu, saya juga tidak akan memungkiri bahwa NGO pasti memiliki interest tertentu, namun dengan adanya NGO, proses dinamisasi bisa berjalan dengan baik.
Kedua, saya selalu senang dengan perbedaan. Apalagi manusia dimata saya merupakan makhluk yang unik. Oleh karena itu banyaknya NGO juga akan memperbanyak ruang untuk berekspresi. Misalnya seseorang yang memiliki kecendrungan di bidang penelitian atau pendidikan dapat total di bidang tersebut, dan tidak mengandalkan jalur birokrasi. Bagi saya, dalam bangunan yang utuh senantiasa ada spesifikasi dan segmentasi agar kepentingan setiap orang dapat tertampung.
Pertanyaannya, bagaimana jika bagian-bagian kecil tersebut malah menimbulkan konflik? Tak bisa dipungkiri bagian-bagian tersebut juga hierarkis, andaikan kita mengumpamakan sistem tersebut dalam satu tubuh maka hierarki tertinggi dipegang oleh kepala. Begitu juga dengan hubungan antara pemerintah dengan NGO. Pemerintah pastinya memiliki hierarki yang lebih tinggi daripada NGO, namun bukan berarti NGO tidak memiliki kontrol(ya sebenernya pengandaiannya rada ngaco sih, soalnya kan otak ngambil alih semua fungsi yang lain) tapi dalam sistem pengaturan ini semakin banyak NGO dengan segmen yang berbeda-beda semakin baik. Seperti hortikultura(atau apa ya, maklum bio saya parah banget, pokoknya senantiasa ada bank gen untuk ngambil jenis tumbuhan yang asli) di bio.
Dalam sistem yang pluralitas radikal, masing-masing orang, kelompok, atau apapun memiliki kekuatan yang seimbang, sehingga bisa dicapai sebuah kesetimbangan. Tapi ini sih baru mimpi-mimpi demokrasi yang kental dengan agenda HAM, kebebasan berpendapat dll. Saya sendiri masih bingung ditengah lautan kata. :D Mending nyari kodok kali ya...
Oke Deh..
Dunia Maya
Milis
Wednesday, February 02, 2005
Dialog (2)
Saya : "Yut, kuliahnya diseriusin dong, jangan malah cari kegiatan baru, atau baca buku-buku berat"
Gw : "Ye.. lo tu rada-rada ngeyel deh, jelas-jelas yang sering bikin kepala penuh dengan pikiran aneh 'tu elo. Masa lo ngelempar masalah ini ke gw"
Saya : "Oke deh daripada makin ruwet, mending dilist aja alokasi waktu yang diperluin. Lagian kan ngga mungkin juga kalau setiap hari mentok dengan satu jenis kegiatan. Kamu maunya semester depan ngapain aja?"
Gw : "Hmm... apa ya? Gw juga masih bingung[sambil cengar-cengir ngga jelas]. Pastinya, gw ngga bakal betah kalo cuma mantengin buku-buku math. Fiuu..h mana semester depan rada-rada berat lagi. Kenapa sih lo ngga milih mata kuliah yang lucu-lucu?"
Saya : "Bukannya ngga mau, tapi emang udah ngga ada jatah sks-nya, lagian lebih baik pusing sekarang daripada semester depan. Ya ngga?"
Gw : "Ok deh, yang pasti harus ada adalah alokasi untuk baca buku umum."
Saya : "Dasar konyol, kalau itu sih ngga dialokasiin juga udah otomatis, mending kamu kasih target untuk baca buku diktat, atau lebih spesifik alokasi waktu belajar per hari."
Gw : "Gila lo, ngga asyik banget, sekalian aja bikin jadwal kegiatan gw dalam itungan detik. Belajar...belajar...belajar. Ngga realistis lo, mana bisa gw ngikutin jadwal kaya gitu."
Saya : "Lah kalau gitu, kamu serius mau kuliah yang bener apa ngga?"
Gw : "Ya maulah, tapi bikin jadwal juga harus realistis. Oke deh gw bikin daftar tuntutan. Buku umum minimal satu sebulan, nulis sekali seminggu, hari sabtu/ahad hari bebas, trus gw masih ada kesempatan untuk jalan-jalan atau ngapain keq."
Saya : "Sekarang giliran saya, setiap hari sekurang-kurangnya harus ada review pelajaran, trus udah gitu alokasi waktu belajar mandiri per hari minimal 1 jam, dan akan bertambah kalau menghadapi ujian. Ujian pun ngga boleh sistem sks(sistem kebut sejam), tapi sekurang-kurangnya H-2."
Gw : "Gw pengen tau, berhasil ngga ya?"
Saya : "Ya, ini ngga bakal mungkin kalau kamu ngga mendukung."
Gw : "Artinya gw harus mulai fokus ya?"
Saya : "Ya iyalah, kamu harus mulai sadar bahwa timeline untuk kuliah ada batas akhirnya. Ngga mungkin kan kamu selalu menunda-nunda setiap kewajiban. Dan satu hal lagi, kamu juga harus ngambil DNA di TU. Masa sampai saat ini kamu ngga tau, nilai-nilai dan sks kamu."
Gw : "Wuuu... ngga asyik lo, nimpain semua kesalahan ke gw. Siapa coba yang seneng ngelakuin hal aneh-aneh sampai-sampai setiap kali kuliah ngga konsen. Paling kalo dikelas gw cuma bosen karena ngga nyambung ama bahannya. Nah lo malah mikir yang aneh-aneh. Konsentrasi dong!!!"
Saya : "Ok deh... tapi bener ya, semester depan prioritas utama di kul?"
Gw : "Sip-lah"
Shock Wave
Shock wave
wave formed of a zone of extremely high pressure within a fluid, especially the atmosphere, that propagates through the fluid at a speed in excess of the speed of sound. A shock wave is caused by the sudden, violent disturbance of a fluid, such as that created by a powerful explosion or by the supersonic flow of the fluid over a solid object. Propagating from the point of the disturbance, a shock wave carries energy and can have destructive effects as it impinges on solid objects. A shock wave decays rapidly with increasing distance from its point of origin, gradually changing into an ordinary sound wave. Continuous shock waves, such as those produced by supersonic aircraft, are of particular concern as they tend to recur along regular routes. Even after they have decayed into sound waves, thus losing their destructive force, they remain capable of creating noise levels harmful to human beings and animals.
Berbagi
Welcome to Human World
Kepada Seorang Kawan (3)
Kawan,
Kemarin aku nyaris tidak bisa mengendalikan emosiku. Ya, kawan... kemarin aku marah. Tapi untung masih dalam tahapan yang paling rendah, kemarahanku baru sampai dalam hatiku. Kau tahu sensasi yang dirasakan orang yang marah, semua yang ada dihadapanmu seperti benda yang enak untuk dibanting-banting. Otakmu terasa buntu, dan semua rasanya salah, dan hal yang paling mengerikan dari marah adalah kau jadi merasa benar sendiri.
Kawan,
Mungkin kau heran kenapa aku menuliskan pengalaman marahku padamu. Aku takut, dengan emosi kemarin aku menyakiti hatimu. Aku takut... emosi yang tidak bisa kukuasai itu datang lagi mendadak tanpa dapat kucegah. Kau tahu, meski aku senantiasa menggunakan rasioku, rasa marah itu begitu menghentak-hentak, menghancurkan segala penghalang. Kawan, aku sangat ketakutan.
Kawan,
Kuharap kau tak menjauh dariku. Meski pengalaman kemarin cukup menakutkanku, namun aku mulai belajar tentang satu bentuk emosi yang lain. Biasanya aku hanya sampai taraf kesal, yang akan menghilang dalam hitungan menit, tapi ternyata marah itu bisa jauh lebih dahsyat. Kuharap, kalau lain kali aku marah, itu karena sesuatu yang Hakiki dan bukan karena egoku. Ah, manusia itu ternyata makhluk yang rumit.
Kawan,
Maukah kau menjadi pelindungku? Mengingatanku akan makna kesejatian, agar aku dapat marah pada tempatnya, agar egoku tak menguasaiku. Karena kau tahu sesuatu, kaulah salah satu bentuk kasih-Nya padaku, kau mampu membuatku merasa nyaman dan mengingatkanku pada-Nya.
Keluarga
Pas kemaren saya pulang, ibu saya ngasih buku apa coba?(guess..guess:D) Buku Pers Indonesia-nya Jakob Oetama. Wa... seneng banget. Begitu juga kalo beli DVD, pasti ada film2 yang saya sukain...
Somehow, ngomongin orang-orang terdekat selalu bikin saya kehabisan kata-kata.
Untuk Papa
Papa … Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat Tapi jasa papa tetap melekat Hangat itu tetap mendekap ...