Kemarin malam saya mendapat telepon dari seorang telepon. Setelah beberapa lama melakukan percakapan tanpa arah, topik mengarah pada fitrah manusia.
Y : "Menurut lo, fitrah manusia seperti apa?"
X : "Menurut gw, kecendrungan manusia adalah untuk mencari keuntungan pribadi?"
Y : "Jadi menurut lo, kalo seorang memeiliki belas kasih kepada orang lain, semuanya disebabkan untuk mencari keuntungan pribadi?"
X : "Iya, sekalipun orang tersebut agamis, maka tujuannya itu untuk memperoleh pahala."
Hmm... percakapan yang cukup mendadak. Tapi dalam kurun waktu satu minggu ini, ada beberapa orang yang mengajukan pertanyaan senada. Heran juga, kenapa kegamangan-kegamangan itu datang disaat yang sama? Apa semester baru senantiasa menimbulkan loncatan-loncatan ide, ataukah memang setiap manusia memiliki pertanyaan seperti ini, namun ada yang mengekangnya dalam batasan taboo.
Saya jadi ingin meletakan seni, sistem, UU dalam kerangka kekuasaan. Andaikan pendekatan yang saya gunakan adalah relasi kekuasaan, maka segala sistem/cara yang kita gunakan tak lain adalah perpanjangan tangan penguasa untuk melakukan konstruk sosial yang akan melanggengkan kekuasaannya. Dari sini seni tak ada yang sepenuhnya bebas nilai atau setahu saya dikenal dengan istilah seni untuk seni, karena seni tak lain merupakan hasil dari kreativitas penciptanya yang tak pernah bebas dari pengaruh tertentu. Sistem, sebagai sebuah alat kontrol ataupun ketentuan yang mengatur kehidupan manusia juga bisa dikenakan pertanyaan serupa, kepada siapa peraturan itu tunduk, kepada kehidupan yang ideal atau hanya menyokong sekelompok elit tertentu? Bukankah sistem merupakan hasil pemikiran manusia juga?
Akhirnya semua balik kepada pilihan manusia. Setelah ribet kesana kemari, manusia kembali bertanya apa yang dijadikan pusat hidupnya? Kepada siapa seseorang memilih untuk percaya? Apa saja yang diakui sebagai masuk akal dan tidak?
No comments:
Post a Comment