Friday, June 24, 2005

Keberanian untuk Berbagi

Pulang ke kotamu
Bawa setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna

(Yogyakarta, Kla Project)

Rasa itu masih sama. Kebahagiaan yang takkan usai lewat kata. Meski belum genap dua minggu lalu aku meninggalkan rumah, saat kembali selalu ada sensasi yang menyenangkan. Sulit membayangkan kehidupan tanpa orang-orang yang disebut keluarga, tempat dimana kau bisa menjadi sebagaimana adanya, dan mengeluarkan segala keluh kesah.

Aku selalu bertanya-tanya, apakah rasa sayang itu merugikan? Ketika jarak begitu jauh membentang, kau dihantui sebuah kerinduan yang hanya akan terbayar ketika kau berkumpul dengan orang-orang tersayang. Hatimu jadi begitu terikat, dan meski kau telah disibukkan oleh berbagai urusan tetap saja kau tak dapat membebaskan perasaanmu seutuhnya. Aku jadi teringat kisah Pangeran Kecil dengan bunga mawarnya. Bunga manja yang tidak tahan angin, dan senantiasa meminta perhatian lebih. Tapi ketika hatimu sudah terikat, masih bisakah kau berkata tidak? Bahkan ketika Pangeran Kecil menemukan sebuah taman mawar, ia tak tersentuh. Hatinya telah terikat, dan tampaknya begitulah mantera hati, sekali kau kena, tak ada cara untuk melepaskan diri.

Kau tak bisa lagi berkata, “Aku tak peduli.” Karena tanpa sadar kau telah menyerahkan sebagian hatimu pada orang lain. Bagian terpenting dari dirimu yang kini tak bisa lagi kau kendalikan sepenuhnya. Kau mungkin akan bertanya, “Kenapa ada orang yang mau memberikan hatinya?” Awalnya aku pun berpikir demikian. Namun aku kemudian menemukan jawabannya, bukankah kebahagian hanya bisa dirasakan oleh orang yang juga memiliki kemungkinan untuk merasa sedih.

Aku hanya bisa bilang tak ada yang bisa kau peroleh dengan cuma-cuma. Kau harus berani mengambil resiko agar bisa memperoleh sesuatu yang lebih. Kau mungkin takut mendengar hal ini, karena ada begitu banyak kemungkinan terluka: dikhianati, diabaikan, dilupakan. Tapi begitu kau memenuhi pikiranmu dengan hal-hal buruk, tanpa sadar kau juga telah meracuni hatimu sendiri. Aku tentu saja bukan ahli dalam hal ini. Ada begitu banyak kejadian yang selalu membuatku bertanya-tanya, benarkah cara pandangku selama ini? Namun ajaibnya setiap kali aku bertanya-tanya, senantiasa hadir orang-orang yang kembali mengingatkanku pada jalan semula.

Kau bisa bilang, prinsip hidupku aneh. Jangankan kau, akupun kadang berikir seperti itu. Tapi aku tak bisa mengambil resiko kehilangan kesenangan saat melihat orang lain gembira. Kau tentu heran, bagaimana mungkin kebahagiaan orang lain, menjadi milikmu juga? Baiklah, ada satu hal yang belum kuberitahukan padamu. Hati juga menganut hukum kekekalan. Setiap kali kau menyerahkan sebagian hatimu, ada perasaan yang akan mengisi kekosongan itu. Perasaan itu berasal dari hati orang lain yang kemudian menjadi bagian dari dirimu. Itulah mengapa setiap kali kau membantu orang lain, kau tak hanya menyenangkan orang yang kau tolong, tapi juga hatimu sendiri.

Aku tak bisa bilang aku selalu berhasil mempertahankan pikiran positif ini. Seperti yang kualami kemarin di bus Damri. Seorang ibu paruh baya berbalut kebaya dan kain duduk di belakangku. “Apa ini bus ke Leuwi Panjang, neng?” tanyanya dengan suara pelan. “Iya, bu,” jawabku. Tak lama kemudian ia mulai bercerita kalau ia membutuhkan biaya. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan karena bahasanya campur antara Indonesia-Sunda, dan meski sudah beberapa tahun tinggal di Bandung, aku tetap belum bisa bahasa daerah. Namun belakangan aku bisa menangkap maksud ibu itu, ketika ia mulai berkata akan berdoa untuk keselamatanku, kalau aku mau membantunya.

Klasik, pikirku dengan dongkol. Namun pikiran lain kemudian menyelinap masuk, “Bagaimana kalau ibu itu berkata yang sejujurnya? Lagipula uang yang aku gunakan untuk membeli buku lebih besar dibandingkan kalau aku mau memberikan sebagian kepada ibu-ibu itu. Apa salahnya memberikan sebagian?” Tapi bagaimana kalau ibu itu sudah biasa mengandalkan uangnya dengan cara ini. Kalau aku berikan sebagian uangku, artinya aku melestarikan kebiasaan untuk berbohong. Aku bergidik sendiri membayangkan hal ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memberi.

Setelah ibu itu tidak kelihatan lagi, aku menyesali keputusanku. Aku tak punya hak untuk menghakimi seseorang, lagipula kalaupun seseorang memilih untuk berbohong bukankah itu artinya kehidupannya sudah sedemikian sulit sehingga harus menempuh cara itu? Membayangkan hal ini saja sudah membuat perasaanku tidak enak.

Tampaknya aku belum terlalu berhasil dalam berbagi. Kepalaku masih digelayuti ketakutan-ketakutan, bagaimana jika-bagaimana jika, padahal ketika ingin membantu seseorang bukankah yang dibutuhkan hanya sebuah keikhlasan?

2 comments:

Anonymous said...

Kalau sudah begitu, kadang daku berkeinginan untuk bisa punya "kemampuan khusus", dimana kita bisa membaca diri seseorang, membaca hatinya, mendengar pikirannya.

Tapi justru Tuhan tidak memberikan hal itu pada setiap orang. Hanya pada orang-orang dengan keadaan khusus...

Dari situlah ada belajar dan perjuangan untuk memahami orang lain dan lingkungan, bukan? Singkatnya, iqro. Benar kan, Sobat?

Anonymous said...

Wah, betul juga. Mendengar kata iqro aku jadi teringat Siroh, semua manusia ternyata memiliki ketakutan bahkan yang kualitasnya seperti Rasul. Kadang aku takut, kisah-kisah orang teraniaya hanya menjadi komoditas jualan para kuli tinta. Meski aku tahu tanpa pemberitaan, kasus-kasus busung lapar, muntaber, polio hanya menjadi kasus-kasus yang tidak terungkap.

Aku benar-benar harus banyak membaca lagi...

-yuti

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...