Apakah semesta tunggal? Kesadaran manusia sebagai suatu yang niscaya atau hanya kebetulan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika aku membaca The End of Science, buku yang dikomentari sebagai biografi science oleh The Associated Press. Penemuan-penemuan ilmiah, yang bagiku tampak lebih banyak memiliki implikasi filosofis, dan lebih jauh lagi, fakta-fakta yang disajikan mengikuti narasi sang penulis lebih mirip sebuah dongeng.
Apa yang membedakan sebuah dongeng dengan sejarah? Bukankah keduanya diceritakan turun temurun dan memiliki kemungkinan distorsi yang sama besarnya? Bahkan terkadang dongeng bisa jauh lebih akurat dibandingkan sejarah(baik sains maupun sosial). Ngga percaya? Oke, cari dua anak kemudian tanya tentang cerita Cinderella, aku (lumayan) yakin garis besarnya sama. Kemudian bandingkan dengan pertanyaan mengenai fisika klasik Newton, atau kalau mau yang lebih kontroversial, mengenai evolusi Darwinian, rasanya distorsi untuk jawaban bagi pertanyaan kedua akan lebih besar.
Hehehe… aku tahu ngga boleh sembarang bikin pembuktian seperti diatas, banyak celah-celah yang bisa diserang. Namun melihat perkembangan saintis kelas tinggi, kebanyakan teori-teori memang disusun berdasarkan positivisme logis dan estetika. Teori superstring misalnya, disebut-sebut to good to be false, dan salah satu landasan dari teori tersebut adalah konsep supersimetri. Hal senada aku temukan dalam sebuah tulisan tentang alasan Coperniccus merombak tatanan tata surya Ptolemi yang rumit, alasannya estetika. Tentu saja, estetika yang dimaksud oleh orang-orang hebat itu memiliki dimensi keindahan tersendiri(yang mungkin tetap tampak mengerikan bagi orang awam sepertiku ;p).
Faktor estetika itu juga aku temukan dalam Matematika terbitan Life melalui bangunan-bangunan Yunani yang memenuhi perbandingan emas, maupun musik, lukisan, dalam tulisan Benno. Hmm.. karena itu untuk sementara aku ikut pendapat Chomsky yang menyatakan ada sejenis tata bahasa universal yang tertanam dalam otak kita(bertentangan dengan prinsip tabula rasa-nya Locke). Pendapat yang mirip juga pernah aku baca dari Aquinas yang bilang, Tuhan senang dengan segala sesuatu yang proporsinya tepat.
Apakah estetika suatu hal yang objektif? Ting.. tong.. ini baru pertanyaan besar. Selfish gene-nya Dawkins versus antichaos-nya Kauffman, kedua-duanya disajikan logika yang cukup ketat meski masih memberikan celah-celah untuk diserang. Simulasi komputasi golongan Santa Fe yang masih dipertanyakan korespondensinya dengan dunia nyata, dan berbagai macam model lainnya yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam semesta. Keindahan persamaan, ekstase informasi, namun bagaimana hubungannya dengan dunia nyata?
Aku jadi lumayan mengerti kenapa ada orang-orang yang menolak kemapanan seperti Chomsky ataupun Feyerabend. Meskipun kedua tokoh tersebut dalam buku The End of Science digambarkan secara paradoksal. Chomsky misalnya, menyatakan “apa pun posisi kemapanan, saya menentangnya(h.200)”, padahal Chomsky merupakan pakar linguistik yang mau tak mau berkaitan dengan struktur. Analog dengan golongan Non-Blok dalam dikotomi Barat dan Timur. Dalam pandangan biner, non-blok mungkin berarti tidak termasuk sistem, namun dalam konstalasi politik, kelompok non-blok merupakan salah satu golongan, seperti halnya Barat dan Timur.
Parah… baca buku itu pikiranku lebih banyak mengawang kemana-mana. Alam semesta yang jamak atau tunggal, keberadaan makhluk berkesadaran selain manusia, evolusi. Bagiku evolusi tidak sekadar berbicara mengenai rantai yang hilang, namun juga pembentukan alam semesta ini serta perkembangan alam semesta yang dipercepat.
Fiu..h dongeng yang satu ini sangat tidak mudah dicerna, namun memiliki pengaruh yang sama dengan dongeng klasik: very amazing. Menakjubkan mengetahui manusia benar-benar makhluk kecil yang tidak ada apa-apanya di tengah jagat galaksi. ‘Kemarin’ ikut diskusi tentang kosmologi, dan dikasih liat gambar galaksi Bima Sakti ditengah galaksi-galaksi lain. Benar-benar ngga memiliki posisi istimewa.
Udah ah, daripada diprotes orang karena menganggap sains yang dibahas secara serius sebagai dongeng, aku beralih ke Little Prince aja. Kadang orang dewasa ngga asyik karena sering menyebut planet dengan angka, padahal banyak banyak hal lebih bermakna lain yang bisa disebutkan. Mungkin begitu pula dengan dongeng sains yang disampaikan oleh Horgan, orang dewasa masih tetap senang dengan angka-angka dan persamaan yang canggih, tapi sekarang mereka menulisnya dengan mengingat masa kecil mereka, karena itu mereka mulai menulis kisah-kisah tanpa persamaan.
NB: sekadar corat-coret iseng untuk mengisi liburan, ditulis dari sudut pandang orang awam(status mahasiswa matematika-nya sedang off ;p)
2 comments:
Well, ditulis oleh orang awam saja masih membingungkan kayak gini apalagi ditulis oleh orang yang ahli ya? :D
-imponk-
Mungkin karena yang nulis orang awam kaya aku, jadi membingungkan:D
-yuti
Post a Comment