Friday, February 16, 2007

Pengamen di Simpang Jalan

“Kopi, teh,” sapa Dani membuyarkan lamunan saya. Dengan menggelengkan kepala saya menepis tawaran Dani tersebut. Suasana pagi dengan mobil yang lalu lalang memang membuat saya sedikit mengantuk, hal yang juga dirasakan Dani, “Biasa teh, untuk ngusir ngantuk,” ujarnya sambil menyesap kopi hitam. Kopi dan pagi menjadi dua hal yang tak terpisahkan dari kehidupan pengamen di simpang. Berbekal uang seribu yang dikumpulkan bersama-sama, mereka biasa membagi segelas kopi untuk dua hingga empat orang. Tak jarang, kopi itu juga ditemani roti isi untuk mengganjal perut yang sebelumnya memang belum diisi.

Jalanan sudah tampak padat. Berbagai jenis mobil lalu lalang melewati perempatan simpang, begitu pula angkutan kota yang tampak dipadati penumpang. Pukul tujuh, lalu lintas memang cukup ramai, begitu pula trotoar yang dipenuhi orang bergegas. Keriuhan suasana pagi itu juga terasa di pinggir jalan, ada yang tengah sarapan, ada yang tengah beroperasi mencari seratus dua ratus rupiah di angkot, ada pula yang tengah latihan lagu baru. Ya, kehidupan pengamen di simpang Dago akan dimulai.

Dan aku mulai takut terbawa cinta, menghirup rindu yang sesakkan dada. Lagu Ruang Rindu milik Letto tersebut dilantunkan Obi untuk memikat penumpang angkot. Dengan gaya yang sudah terlatih, Obi kemudian menyodorkan gelas plastik ke penumpang. Perkenalan Obi dengan dunia pengamen dimulai semenjak ia duduk di kelas 1 SMA. Saat itu, ia mengamen belum sesering sekarang, hanya usai sekolah. Awal mula ketertarikannya untuk terjun pengamen adalah karena ia melihat profesi mengamen enak dan karena ada teman yang mengajak. Meski demikian, saat pertama kali mengamen di dekat Sumur Bandung, ia merasa malu. Perasaan itulah yang mendorong, pria tamatan SMA ini pindah tempat mengamen, yaitu agar ia tak perlu berpapasan dengan tetangga-tetangganya. Saat ini yang tahu statusnya sebagai pengamen baru mama, begitu ia memanggil ibunya, ”papa pergi pagi, taunya Obi pergi main.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Dani ketika menceritakan pengalaman pertamanya mengamen pada tahun 1998. ”Awalnya grogi, tapi setelah satu dua kali jadi terbiasa. Dulu sih belum sesering sekarang, cuma untuk nyari ongkos aja.” Sebelum moneter tahun 1998, Dani bekerja kontrak di bidang pengiriman di Pulo Gadung. Namun sejak moneter, banyak pegawai yang dirumahkan, sejak itu pekerjaan jadi tinggal seminggu sekali. Daripada mengontrak rumah di Jakarta, dani lebih memilih ke Jakarta seminggu sekali, dengan ongkos hasil mengamen, lama kelamaan pekerjaan itu ditinggalkannya dan sepenuhnya menjadi pengamen di simpang.

Cerita tak berbeda jauh, muncul dari mulut Acil. Pria berusia 20 tahun lulusan SMP ini sudah 7 bulan menganggur. Sebelumnya ia sempat bekerja kontrak selama 2 tahun. Kini sambil menunggu panggilan, ia mengamen. Berbeda dengan pengamen lainnya di simpang yang memiliki alat musik sendiri, Acil biasa mengandalkan pinjaman gitar dari teman. Akibatnya, penghasilannya tak menentu, bahkan ia mengaku pernah dua hari hanya makan pohon kersen dan minum. Ketika ditanyakan mengenai pengaruh kenaikan BBM, ia menjawab, ”Sekarang yang ngasih makin dikit. Ngasihnya juga sayang, keliatan dari mukanya.” Saat ditanya mengapa ia memilih menjadi pengamen, ia menjawab segan untuk pulang ke orangtuanya di Cirebon. ”Tanggung aku sudah memasukan 6 lamaran. Nanti kalau dipanggil lewat telepon penjaga warung, aku ngga tau.”

Feri, pengamen dengan rambut bercat pirang berusia juga pernah kerja kontrak. Ia mengaku pernah menjadi koki di restoran Padang, ikut konveksi, pasang pipa AC, tapi sekarang kontrak-kontrak tersebut sudah habis hingga ia kembali ke jalan. ”Kalau mau kerja harus pake uang. Sekarang mah ada uang, pasti kerja,” ujarnya menceritakan bagaimana segala sesuatu bergantung pada uang.

Pada umumnya para pengamen di simpang Dago bagian jalan Dipati Ukur(mangkal di depan Circle K) sudah berkeluarga, berbeda dengan pengamen di jalan Dago yang didominasi anak-anak. Status ini membuat mereka bekerja tak hanya untuk kesenangan semata, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ”kalau punya anak 5, ngga bisa nabung teh,” ujar Dani yang tinggal bersama nenek dan keluarganya.

4 comments:

arifin said...

yap, tulisan ini yang saya tunggu-tunggu..

Anonymous said...

Mengamen, dilemma antara kenyataan hidup dan keputusasaan.

Unknown said...

punya data tentang anak jalanan disimpang dago gak? atau ada kenalan untuk pendamping atau anak jalanan disimpang dago gak? please....untuk penelitian neh

Cheshire cat said...

langsung terjun aja ke sana... penelitian saya kualittaif soalnya... jadi banyak wawancara... dulu ada rumah singgah di dago atas di asuh ama bunda niken, tapi ngga tau sekarang masih ada apa ngga... mending tanya langsung ke mereka.. baik-baik koq :)

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...