Monday, January 17, 2005

Tayangan Televisi

Tampaknya, menurut Effendi, pegiat televisi memperhatikan enam tahapan
yang dialami masyarakat dalam menonton televisi. Yakni, terkejut,
mencari fakta, membangun solidaritas, mengangkat peristiwa melodrama,
pembesaran harapan, dan penemuan solusi alternatif. ''Ini yang
diperhatikan televisi,'' tuturnya.

Entah kenapa saya selalu tertarik dengan kajian televisi. Mungkin gara-gara televisi jadi alat doktrinasi baru kali ya... he...he... Kutipan diatas saya culik dari milis Kunci yang ngambil dari artikel di Media Indonesia. Dari kutipan diatas terlihat bahwa televisi menjadi salah satu 'alat' untuk menggerakkan masyarakat. Makanya banyak yang percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan demokrasi dengan adanya kebebasan pers. Tapi wacana ini jadi lucu juga kalau disambungin ama tulisan yang sebelumnya(Virtual:...). Jadi ya serba relatif, dan akhirnya saya menemukan jawabannya ketika baca artikel mengenai video amatir. Jadi video amatir dianggap merupakan refleksi dari realitas karena didalamnya TIDAK terjadi proses editing dan narasi.

Sebenarnya hal ini menjadi menarik dengan diskusi saya dengan teman beberapa waktu lalu. Karena saya mikirnya sederhana aja, jadi saya ngga gitu mempermasalahkan proses yang terjadi dalam suatu tindakan, bagi saya yang penting adalah hasil dari suatu tindakan. Tapi teman saya ngga setuju, terutama karena dia mengkaitkan posisinya sebagai mahasiswa, menurut dia yang penting adalah proses belajarnya dan bukan dampak dari suatu tindakan. Sama dengan televisi, di Rusia, Singapur, Malaysia, masih ada pengawasan yang ketat banget mengenai tayangan yang boleh mejeng di layar kaca. Beda ama Indon yang nayangin tayangan mulai berita pro-kontra pemerintah ampe film-film yang ehm.. terbuka banget. Di satu sisi saya penganut kebebasan informasi, tapi pihak lain, saya pikir kontrol yang ketat itu bagus juga.

2 comments:

imponk said...

Televisi diakui telah banyak memberi informasi, bahkan terkadang penyajiannya lebih enak dibandingkan dengan media cetak. Karena tanpa susah payah mengeluarkan tenaga ekstra, informasi sudah diberikan secara cuma-cuma. Terlebih lagi, penyajiannya sangat cepat, bahkan seketika itu bisa disaksikan. Seperti ketika ledakan bom di Kuningan beberapa waktu lalu, sebuah televisi yang kebetulan dekat langsung menyiarkan secara live. Nah, akses informasi sangat cepat tersebar ke seluruh dunia.

Di sisi lain, ia juga membawa sajian yang tidak mendidik. Contohnya, tayangan-tayangan kekerasan yang dihadirkan dalam film-film ataupun tayangan kriminal yang tiada sedikitpun menggunakan kaidah-kaidah rasa kemanusawian.

Sebagai masyarakat, kita berhak memperoleh sesuatu sesuai dengan pilihan, memberi komentar, dan bahkan memberi kritik pedas terhadap tayangan-tayangannya. Maka dari itu, disisi lain ia dibutuhkan, disisi lain ia dicaci. Tergantung bagaimana kita menggunakannya. Tapi kalau saya timbang-timbang secara generalisasi pengaruh negatif sangatlah tinggi. Sebagaimana hadist, akhlak yang jelek itu cepat sekali menular.

za said...

Televisi. "Kotak ajaib" ini telah menjadi anggota keluarga baru di setiap keluarga di Indonesia. Masuk tanpa diundang, hadir tanpa disadari. Yang jelas bagi masyarakat Indonesia yang budaya baca-tulisnya sangat lemah, televisi memberi pengaruh yang begitu besar. Baik positif maupun negatif.

Ada ide apa Yut, setelah membaca sekian banyak buku, untuk membuat tayangan televisi lebih mendidik? Gimana kalau kamu jadi anchor gantiin si Chantal Metro TV :D

Untuk Papa

Papa …  Kini senyum itu tak bisa lagi kulihat  Kebaikan itu tak bisa lagi kudapat  Tapi jasa papa tetap melekat  Hangat itu tetap mendekap  ...